Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra
Reviev
Buku
Judul:
Filsafat Wujud Mulla Sadra
Penulis:
Dr. Syaifan Nur
Penerbit:
Pustaka Pelajar
BAB 1: Pendahuluan
A. Latar
belakang masalah
Tradisi
Filsafat Islam diduga telah berakhir pasca kematian Ibn Rusyd. Lantas apa yang
terjadi dengan tradisi filsafat setelah Ibn Rusyd? Sebenarnya pernyataan
tersebut memang benar, namun hanya sebagian. Maksudnya, tradisi filsafat Islam
yang memengaruhi filsafat Barat telah berakhir pasca Ibn Rusyd, akan tetapi
tradisi filsafat tidak benar-benar hilang di dunia timur. Karena perlu diakui
bahwa filsafat berkembang luas di Persia, terkhusus Dinasti Safawi. Sampai
periode Safawi sebenarnya tradisi filsafat Islam berkembang ditangan
orang-orang Syi’ah Persia. Bahkan tradisi ini cenderung lebih islami daripada
sebelum Ibn Rusyd. Tipe filsafat ini disebut sebagai Hikmah.
Figur
yang paling menonjol di kalangan Islam Syi’ah yang ‘memelihara’ serta
mengembangkan filsafat Islam ini adalah Sadr al-Din al-Syirazi
(979/80-1050H/1571/72-1640M) yang dikenal dengan nama Mulla Sadra. Kehebatannya
adalah, ia dapat menyintesiskan beberapa aliran filsafat menjadi suatu bangunan
filsafat kokoh. Aliran tersebut adalah: tradisi filsafat Peripatetik, Kalam:
baik Syi’ah maupun Sunni, Illmuniasionisme, dan Tasawuf. Selain itu Sadra dapat
memecahkan persoalan mistis, yang dianggap tak terjangkau oleh akal, dengan
pemikiran yang rasional. Oleh karena itu bisa dibilang landasan dari pemikiran
Sadra meliputi: Iluminasi intelektual, penalaran atau pembuktian rasional, dan
agama atau wahyu.
Figur Mulla
Sadra merupakan kebanggan para intelektual Persia. Hal ini terbukti dari
perkataan Asytiyani: “Bisa dikatakan bahwa dengan kelahiran Mulla Sadra,
Metafisika mencapai kematangannya di dunia Timur bersamaan dengan kemajuan
ilmu-ilmu kealaman di dunia Barat. Namun sayangnya figur besar ini, masih
jarang ‘tersentuh’ pemikirannya di luar Persia, terkhusus di Indonesia, dan
lebih khusus lagi di lingkungan IAIN. Berdasarkan hal ini, buku ini difokuskan pada penelitian pada
topik terkait tokoh tersebut.
B. Perumusan
masalah
Kajian
tentang wujud dan mahiyyah merupakan topik utama dari filsafat Islam. bahka
jika ingin seseorang ingin memahami pemikiran filosofis Islam, ia mesti
memahami makna dari konsep-konsep mendasar ini. Untuk memahami topik ini perlu
kiranya membedakan secara tegas tingkat pemahaman dan tingkat realitas
eksternal, dan pembedaan ini merupakan suatu ciri khas filsafat tipe hikmah.
Tingkat realitas tersebut bisa diketahui dan dialami dengan cara menyesuaikan
diri dengan tuntutan-tuntutan Tuhan terhadapnya. Nah, oleh karena itu Sufisme
dan filsafat bertemu disini, bahkan praktek-praktek spiritual menjadi dasar
dari konsep-konsep filosofis yang dikembangkan oleh filosof hikmah.
Persoalan
yang dibahas disini adalah, asalah
al-wujud, wahdah al-wujud, tasykik
al-wujud. Dalam pembahasan pertama, sebenarnya ini terkait dengan problem
mendasar dari berbagai tradisi filsafat Islam, yaitu terkait fundamentalitas
mahiyyah atau wujud. Para filosof muslim, banyak yang membicarakan hal ini, karena
pembahasan ini merupakan persoalan yang paling mendasar dalam suatu bangunan
filsafat. Adapun para filosof muslim terbagi dua terkait permasalahan tersebut
yaitu, kubu asalah al-wujud dan asalah al-mahiyyah. Kubu pertama
diwakili oleh Mulla Sadra, dan kedua adalah Suhrawardi. Adapun di dalam buku
ini , akan dikaji secara komperhensif mengenai pemikiran Sadra terkait asalah al-wujud. Sedangkan persoalan
yang kedua berkaitan dengan permasalahan yang berkaitan dengan tauhid. Prinsip wahdah al-wujud selalu dikaitkan dengan
seorang sufi terkemuka yang bernama, Ibn ‘Arabi. Namun, Mulla Sadra akan
menjabarkan prinsip ini menggunakan kerangka teori ontologinya. Sedangkan
pembahasan ketiga, merupakan pembahasan mengenai pembedaan wujud.
C. Tujuan
dan kegunaan buku
Tujuan
yang ingin dicapai oleh buku ini adalah menjelaskan dan menganalisis filsafat
wujud Mulla Sadra dalam perspektif aliran yang bernama Hikmah al-Mutaaliyyah.
Dengan ini akan diketahui bahwa sebenarnya tradisi filsafat Islam, tidak
berhenti pasca wafatnya Ibn Ruysd. Akan tetapi, tradisi filsafat kian
berkembang dan ‘bermuara’ pada Mulla Sadra sebagai filosof hikmah.
Sebagaimana
diketahui banyak para intelektual muslim yang cenderung rasional, seperti para
filosof dan mutakalimun; atau yang
cenderung pada jalan mitis, sebagaimana para sufi; dan sebagaian yang lain ada
yang disebut sebagai ulama zahir
dalam artian yang cukup puas dengan menyandarkan diri pada Teks-teks Suci tanpa
ada interpretasi yang bersifat rasional, apalagi yang bersifat esoteris. Berbagai
aliran ini tentunya berbeda dengan tradisi yang dibawa oleh Mulla Sadra, yaitu
sebagai sintesis berbagai aliran tersebut menjadi suatu kesatuan yang utuh.
Oleh karena itu, diharapkan buku ini menjadi sumbangan dalam upaya pengembangan
studi-studi keislaman, khususnya di bidang pemikiran Islam.
D. Kajian
pustaka
Kepustakaan
mengenai Mulla Sadra masih realitf kurang, jika dibanding dengan para pemikir
Islam lainnya. baru sebagian kecil peneliti yang mengkaji pemikirannya. Oleh
karena itu banyak yang bisa dilakukan dalam bidang ini. Di Barat, misalnya,
terdapat karya pemula tentang Mulla Sadra, yaitu Das Philosophische System von Schirazi, yang ditulis oleh Max
Horten dan diterbitkan di Strasbourg pada tahun 1913, namun tulisannya
mengandung banyak kesalah pahaman terhadap ide-ide Mulla Sadra. Selain itu
terdapat Henry Corbin yang menulis, paling sedikit, tiga buah tulisan terkait
Mulla Sadra yaitu: La Place de Molla
Sadra Shirazi dans la Philosophie Iranienne, tulisan ini masih terlalu
global, di dalamnya dikemukakan secara ringkas biografi, karya, unsur Syiisme,
dan eskatologi; Molla Sadra Shirazi (1050/1640), tulisannya lebih kaya dari yang
pertama, terkhusus karya ini membicarakan tentang esoterisme dan eskatologi
dalam konteks Syiisme, tapi filsafat wujud tidak dibahas; yang ketiga sama dengan tulisan yang kedua yaitu, Molla Sadra Shirazi (1050/1640-41),
tulisan ini terdapat di dalam buku La
Philosophie Islamique aux XVII et XVIII Siecles, yang memuat 19 filosof
Islam Iran pada abad ke-17 dan ke-18 Masehi. Di dalam tulisan ini seluruh
pemikiran Mulla Sadra dijabarkan, namun kekurangannya terlalu ringkas dan tidak
mendalam.
Ada
pula Seyyed Hossein Nasr, yang paling bersemangat mempopulerkan Mulla Sadra dan
pemikirannya ke dunia Barat. Tulisannya tentang Mulla Sadra—sejauh yang penulis
ini temukan—terdapat dalam buku berjudul Islamic
Studies dan Islamic Life and Thought.
Dalam buku pertama ia berbicara megenai “Sadr
al-Din Shirazi, His life, Doctrines, and Significance”, dan “Mulla Sadra as a Source for the History of
Muslim Philosophy. Kedua artikel tersebut, pembahasannya tidak mendalam dan
hanya mengemukakan secara khusus mengenai aspek-aspek tertentu sesuai
denganjudulnya. Selain itu karyanya yang relatif lebih komperhensif terdapat di
dalam buku A History of Muslim
Philosophy, hasil suntingan M. M. Sharif, namun tulisan ini hampir
merupakan pengulangan terhadap tulisan-tulisannya yang terdahulu, ketika
menjadi editor bersama Oliver leaman dalam buku History of Islamic Philosophy. Adapun bukunya lainnya, yang bisa
dibilang lebih lengkap adalah Sadr al-Din
Shirazi and his Transcendent Theosophy, sementara di dalam tulisan ini
belum ada pembahasan yang mendalam mengenai filsafat wujud Mulla Sadra.
Adapun
Fazlur Rahman, yang membahas Mulla Sadra dalam bukunya yang berjudul The Philosophy of Mulla Sadra. Kelemahan
buku ini adalah, meskipun buku ini lebih kritis dan analitis, namun cenderung
rasionalistik. Padahal perlu dipertimbangkan juga latar belakang spiritual Sadra.
Bahkan aspek ini merupakan aspek esensial dari Sadra. Setelah Fazlur Rahman,
terdapat James Winston Morris, yang menulis buku The Wisdom of the Throne An Introduction to the Philosophy of Mulla Sadra.
Kelemahan buku ini adalah terlalu terfokus pada pembahasan ilmu ketuhanan dan
eskatologi, oleh karena itu karya ini belum memberikan suatu sudut pandang
filsafat Mulla Sadra secara komprehensif, terutama filsafat wujudnya.
Terakhir
adalah Alparslan Acikgenc yang membuat karya berjudul Being and Existence in Sadra and Heidegger A Comparative Ontology. Karena
buku ini hanya membahas presoalan Ontologi, maka kedudukan Sadra di antara
berbagai tokoh pemikir Islam lainnya tidak diperhatikan. Lebih lanjut, karya
ini hanya ingin menunjukan bahwa Sadra adalah seorang pemikir eksistensialis
yang serupa dengan Heidegger, beserta perbedaannya.
Berdasarkan,
semua karya-karya Mulla Sadra yang telah disebutkan di atas, buku ini akan
membahas lebih komperhensif dan integral tentang Mulla Sadra dan pemikirannya,
terlebih akan disajikan latar belakang historis dan akar permasalahan berkenaan
dengan Mulla Sadra dan al-Hikmah
al-Muta’aliyah serta filsafat wujudnya.
E. Metode
penelitian
Buku
ini mendasarkan diri pada magnum opus
nya Mulla Sadra yang berjudul al-Hikmah
al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-‘Aqliyah al-‘Arba’ah, yang disingkat al-Hikmah al-Muta’aliyah. Karya ini
membahas seluruh problem yang tealah dibahas oleh aliran pemikiran Islam
sebelumnya, yang terdiri dari: kalam,
filsafat, dan tasawuf. Selain karya ini,
akan dijadikan sumber primer pula karya-karyanya yang lain, yaitu: Kitab al-Masya’ir, Mafatih al-Gaib,
al-Syawahid al-Rububiyyah fi al-Manahij al-Sulukiyyah, Tafsir al-Qur’an
al-Karim, dan risalah lainnya sejauh terkait dengan topik utama di dalam
buku ini, terkhusus yang berkaitan dengan filsafat wujud, serta al-hikmah al-muta’aliyah.
Selain
karya dari Sadra, akan disajikan pula karya-karya pemikir lain sebagai pembantu
dalam memahami topik-topik utama di dalam buku ini, yaitu: tulisan-tulisan dari
Seyyed Hossein Nasr, Fazlur Rahman, Alparslan Acikgenc, henry Corbin, Toshihiko
Izutsu, Tatatab’I dan penulis lainnya. Semua itu disajikan demi memahami
konteks historis, ketokohan, dan karakteristik aliran Mulla Sadra. Semua sumber
ini—baik sumber dari karya Mulla Sadra atau pun tokoh lainnya—lalu
diidentifikasi, dipahami dan diinterpretasikan, agar konsep-konsep filosofis
dari Mulla Sadra dapat ditangkap.
F. Sistematika
penulisan
Sistematika
dalam tulisan ini bisa dijabarkan sebagai berikut: sebagai pendahuluan akan
dijabarkan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan
kegunaan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika
penulisan; kesemuanya ini merupakan bab pertama. Selanjutnya akan dijabarkan
latar belakang intelektual, kehidupan, serta karya-karyanya; dan semua ini
masuk ke dalam bab dua. Pada bab ketiga, akan dibahas megenai berbagai hal yang
berkenaan dengan al-hikmah al-muta’aliyah
sebagai aliran pemikiran Mulla Sadra, yang mencakup, pengertian,
sumber-sumbernya, serta metode dan karakteristiknya. Dan bab keempat, akan
dikemukakan mengenai filsafat wujud Mulla Sadra, yang terdiri dari pembahasan
wujud sebagai konsep dan sebagai realitas, lalu dilanjut dengan pembahasan asalah al-wujud, wahdah al-wujud, dan tasykik al-wujud; yang dipandang
sebagai prinsip-prinsip fundamental dari
al-hikmah al-muta’aliyah.
BAB 2: Mulla Sadra (Sadr al-Din
al-Syirazi)
A. Latar
belakang intelektual
Sebelum
membahas ‘seorang’ Mulla Sadra kita mesti mengetahui terlebih dahulu beberapa
aliran pemikiran Islam klasik pasca Mongol yaitu, aliran Peripatetik,
Illmuniasionis, Tasawuf dan Teologi Islam. Karena Sadra sendiri berpijak di
atas berbagai aliran itu, dan yang pada akhirnya ia menyintesiskan berbagai
aliran tersebut. Pertama-tama kita akan memulainya dari tradisi Peripatetik. Tradisi
ini (baca: Peripatetik) dikritik habis-habisan oleh para sufi dan teolog
Muslim. Jalal al-Din Rumi misalya, mengkritik cara para filosof peripatetik
yang cenderung menggunakan metode rasionalistik untuk mencapai pengetahua
tuhan, dalam artian dengan bantuan silogisme Aristotelian. Selain itu muncul
figur al-Ghazali, yang melakukan kritikan pada tema-tema tertentu secara lebih
spesisfik, karena ia menganggap pandangan-pandangan aliran peripatetik telah
melanggar prinsip agama. Kemudian hadir Fakhr al-Din al-Razi yang memfokuskan
kritiknya pada karya Ibn Sina—sebagai juru bicara aliran Peripatetik—yang
berjudul al-Isyarat wa al-Tanbihat.
Dalam
fase selanjutnya muncullah Nasir al-Din Tusi yang menghidupkan kembali aliran
Ibn Sina, dengan membuat karya Syarh al-Isyarat. Najm al-Din Dabiran al-Katibi
pun, yang sezaman dengan Tusi, membuat buku Hikmah al-Ain dan Asir al-Din
al-Abhari menulis Kitab al-Hidayah, sebagai sebuah risalah pemikiran
Peripatetik. Sementara itu Qutb al-Din al-Syirazi menulis Durrah al-Taj li
Gurrah al-Dubaj, dan Qutb al-Din al-Rai menulis al-Mahakamat baina Syarhai
al-Isyarat.
Sementara
itu, pada abad ke-14 dan seterusnya kota Syirazz dan sekitarnya menjadi pusat
kajian filsafat. Jalal al-Din al-Dawwani menyusun beberapa karya filosof dengan
corak Peripatetik dan Illuminasionis, serta logika dan kalam. Selain itu ada dua orang figur yang memberikan pengaruh pada
para pemikir Safawi sekaligus intelektual muslim di anak-benua India, mereka
adalah: Amir Sadr al-Din Muhammad al-Dasytaki dan Giyas al-Din Mansur al-Dasytaki.
Selain
itu, ada Aliran Iluminasi, dengan maha gurunya Syaikh al-Isyraq Syihab al-Din
Suhrawardi, yang memberikan pengaruh ke belahan Timur dunia Islam, khususnya
Persia dan India, dan terutama pada Mulla Sadra. Suhrawardi merupakan tokoh
yang membangun jalan tengah antara metode diskursif dan intuisi mistik.
Kemudian, muncul Syams al-Din Muhammad al-Syahrazuri yang menulis komentar atas
karya Suhrawardi, yaitu Hikmah al-Isyraq. Selain Syahrazuri, terdapat Qutb
al-Din al-Syirazi yang juga mengomentari karya Suhrawardi. Di antara kedua
tokoh itu, Qutb al-Din al-Syirazi lah yang karya komentarnya lebih dikenal
luas. Mulla Sadra dalam posisinya, mengetahui tradisi ini, bahkan ia membuat
sebuah catatan terhadap komentar Qutb al-Din al-Syirazi.
Ada tradisi
lain yang memengaruhi Mulla Sadra, yaitu irfan—pada abad ke-13. Tokoh yang
memengaruhi Mulla Sadra pada tradisi ini adalah Ibn ‘Arabi. Selain itu Sadra
pun kenal baik dengan para penyair Sufi Persia, seperi Rumi, Fakhr al-Din
Iraqi, Sa’d al-Din Hamuyah, Aziz al-Din Nafasi, Auhad al-Din al-Kirmani, Mahmud
Syabistari, dan Jami serta Hafiz. Dalam periode ini pun terdapat kalam Sunni dan Syi’ah yang memengaruhi
Mulla Sadra. Dari kalam Sunni
terdapat Fakhr al-Din al-Razi yang menyusun suatu karya Falsafah Kalam. Masih pada periode ini muncul juga karya lainnya
dari para tokoh: Qadi ‘Adud al-Din
al-Iji, Sa’ad al-Din al-Taftazani, dan Sayyid
Syarif al-Jurjani. Adapun di kalam Syi’ah
terdapat Nasir al-Din Tusi—yang membawa karya berjudul Tajrid al-‘Aqaid, beserta
muridnya ‘Allamah al-Hilli.
Keempat
aliran pemikiran Islam tersebut memasuki alam pemikiran Syi’ah, sebagai
persiapan menuju kebangkitan kembali dinasti Syafawi. Pada periode ini, ketika
Isma’ilisme mengalami kemunduran akibat kejatuhan Alamut, Syi’ah Imamiyah
mengasilkan karya filsofis yang fundamental. Figur terkemuka pada periode ini
adalah Sayyid Haidar al-Amuli, yang berhasil mengharmoniskan Syi’isme dan
Sufisme. Menurutnya orang yang imannya sejati adalah yang melampaui ujian yang
memadukan antara syari’ah, tariqah,
dan haqiqah, atau antara praktek,
disiplin, dan penghayatan mitis dibawah tuntunan 12 imam. Selain Haidar
al-Amuli, tedapat figur-figur dari kalam Syi’ah lainnya yang memiliki
kecenderungan terhadap Sufisme, atau beralih ke filsafat Iluminasi dan
Peripatetik, dan sebagian lain mengharmoniskannya. Ibn Turkah adalah orang
pertama yang menyintesiskan ajaran Ibn Sina, Suharawardi, dan Ibn Arabi ke
dalam esoterisme Syi’ah.
Figur
kedua adalah Ibn Abi Jumhur al-Ahsai, yang dalam Kitab al-Mujli memerlihatkan interpretasi Syi’ah terhadap Sufisme
Ibn ‘Arabi. Sebagaimana Ibnu Turkan, di dalam Kitab Maslik al-Afham fi ‘Ilm al-Kalam al-Ahsa’I menggabungkan
antara kalam, Peripatetik, Iluminasi
dan Sufisme Ibn ‘Arabi, dan diwarnai oleh imamologi Syi’ah.
Berbagai
aliran dari para pemikir Islam tersebut, yang merentang dari invasi Mongol
hingga terbentuknya pemerintahan Safawi, telah membantu kebangkitan kembali
Dinasti Safawi dan sintesis yang diciptakan Mulla Sadra. Lebih lanjut, pada
abad ke-16 dengan adanya atmosfir Syi’ah yang baru, muncul beberapa filosof dan
hakim terkenal, diantara yang terkenal dari yang terkenal adalah Mir Damad sang
pendiri aliran Isfahan, dimana Sadra dilatih. Ketika Mulla Sadra datang ke
Isfahan, dia memasuki suatu iklim di mana ilmu-ilmu intelektual bisa berjalan
berbarengan dengan ilmu keagamaan. Masa yang dilaluinya di Isfahan, kota-kota
besar Persia, dan di Syiraz; menyediakan iklim keagamaan Syiah, dimana hikmat-I ilahi bisa dipelajari dan
dikuasai.
Mulla
Sadra adalah pewaris dari perbendaharaan intelektual yang luas ini, sebagaimana
disebutkan secara panjang lebar, yaitu tradisi kalam, filsafat Islam, Sufisme, serta usaha-usaha integrasi dari
kesemuanya itu dalam matriks Syi’isme. Dia adalah seorang figur yang serius dan
mendalam dalam mengkaji berbagai perspektif intelektual tersebut, sehingga
mengantarkannya kepada sintesis besar dalam bangunan filsafatnya. Ia, pun,
merupakan seorang figur yang berhasil mengkombinasikan secara harmonis:
keyakinan agama yang teguh, pikiran logis, dan kalbu yang senantiasa cenderung
berkontemplasi.
B. Kehidupannya
Mulla
Sadra, yang bernama lengkap Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami
al-Syirazi, lahir di Syiraz sekitar tahun 1571-72 M. Ia lahir dari keluarga
Qawam, yaitu keluarga yang cukup terkenal. Ayahnya bernama Ibrahim bin Yahya
al-Qawami al-Syirazi, yang seorang berilmu dan saleh, dan pernah menjabat
sebagai Gubernur Propinsi Fars. Untuk mengkaji kehidupan Mulla Sadra, alangkah
lebih baiknya jika kita membaginya ke dalam tiga periode, yaitu:
1. Periode
pendidikan formal di Syiraz dan Isfahan
Syiraz
merupakan pusat filsafat Islam dan disiplin tradisional lainnya, posisi ini
terus berlanjut sampai abad ke-16. Dan Mulla Sadra memeroleh pendidikan awalnya
di Syiraz. Berkat kecerdasan dan bakatnya, ilmu keagamaan dan ilmu intelektual
ia kuasai dengan baik, hingga akhirnya ia memutuskan untuk berpindah ke Isfahan
untuk menyempurnakan karir intelektualnya. Di Isfahan ia bertemu dengan Syaikh
Baha’ al-Din al-Amili dan Mir Damad. Keduanya merupakan figur yang membentuk
pribadi intelektual Mulla Sadra. Posisi Syaikh Baha’ dimata seorang Sadra
adalah guru dari ilmu keagamaan, sedangkan Mir Damad, sebagai pendiri aliran
Isfahan sekaligus seorang filosof terbesar, adalah guru di bidang Intelektual.
Sampai proses kematangannya di periode ini, lalu ia melanjutkan kehidupannya
kepada kehidupan Asketik yang bertempat di Kahak, sebuah desa terpencil dekat
Qum.
2. Periode
kehidupan Asketik dan pensucian diri di Kahak
Keinginan
Mulla Sadra untuk berhijrah ke Kahak, dilandasi oleh kegelisahan dan
kekecewaannya kepada kondisi yang ada di sekitarnya. Kondisi tersebut adalah,
munculnya serangan dari para ulama eksoteris terhadapnya, karena
ia—Sadra—seringkali mengemukakan doktrin gnostik dan metafisik secara terbuka.
Selain itu, kehidupan para ulama yang seolah-olah tampak baik, namun pada
nyatanya—dibalik itu—terdapat suatu keburukan dan kejahatan yang senantiasa
dilakukan. Tak hanya dari para ulama eksoteris, para mutakalimun telah keluar dari logika yang benar, serta para fuqaha yang senantiasa bertaqlid dan
menyimpang dari kepercayaan metafisisk. Lebih fatalnya lagi adalah, para
intelektual pada saat itu yang cenderung memeroleh kemegahan duniawi.
Selain
kondisi eksternal tersebut, ada sebab lain dari kondisi internal Sadra. Ia
menganggap bahwa dirinya terlalu menggantungkan diri kepada kemampuan
intelektualnya dibanding kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Dengan semua
itulah ia mengasingkan diri, dan berkontemplasi mengenai masalah fundamental
tentang Tuhan, wujud, dan alam semesta secara intuitif. Yang pada akhirnya,
dengan semua usaha penyucian tersebut, ia melahirkan karyanya yang terkenal
yaitu, al-Hikmah al-Muta’aliyah fi
al-Asfar al-‘Aqliyyah al-‘Arba’ah.
Dibalik
itu semua, sebenarnya terdapat kecenderungan lain mengapa Mulla Sadra
mengasingkan diri. Yaitu, dimana ia tidak merasa puas dengan
kebenaran-kebenaran filosofis yang mendasarkan diri pada metode rasional.
Sehingga, sebagaimana al-Ghazali, ia menarik diri dari metode itu menuju
kebenaran-kebenaran mistik, yang bersifat langsung. Tak sampai disitu, bagi
Mulla Sadra, kebenaran mistik pada dasarnya adalah kebenaran intelektual, dan
pengalaman mistik merupakan pengalaman kognitif. Akan tetapi, kebenaran
intelektual dan kandungan kognitif mesti dihidupkan terus menerus agar disadari
sepenuhnya. Jadi kandungan pengalaman dan pemikirannya sama dan bersifat
kognitif. Lanjut Sadra, pengalaman diperlukan bukan untuk menghasilkan
kandungan pemikiran, namun meningkatkan kualitas pengalaman personal terhadap
kandungan pemikiran. Bisa dibilang, sebagaimana Suhrawardi, ia dapat
mengobjektifkan pengalaman batinnya untuk memeroleh prinsip-prinsip filsafat
secara logis.
Persoalan
selanjutnya adalah, pemilihan Kahak sebagai tempat yang dipilih Sadra untuk
menyucikan diri. Sebagaimana para Sufi, bimbingan spiritual umumnya hanya
diperoleh dengan silsilah dan inisiasi yang teratur, yang menghubungkan
tarekat-tarekat tersebut kepada asal-usul tradisi. Namun, ada juga para sufi
yang dibimbing oleh hirariki gaib, atau disebut dengan afrad. Posisi Mulla Sadra tidak begitu jelas diantara kedua posisi
tersebut. Karena bagaimanapun Sadra pastilah dibimbing menuju Kahak, oleh
‘seseorang’ entah itu afrad atau
bimbingan dari guru Sufi.
3. Periode
menulis dan mendidik murid-murid di Syiraz
Pada
fase ini Mulla Sadra mulai terdorong untuk kembali ke kehidupan publik, akibat
desakan sosial. Syah Abbas II, memintanya mengajar kembali, dan Allahwirdi
Khan, Gubernur Syiraz ketika itu, membangun suatu lembaga pendidikan di Syiraz,
dilengkapi dengan masjid besar dan mengundangnya untuk mengajar disana. Berkat
tawaran dari Syah, ia kembali ke Syiraz untuk mengajar disana, yaitu di lembaga
yang dibangun oleh Allahwirdi Khan. Terlebih letak dari institusi tersebut
berjauhan dengan suasana politik ibukota, sehingga memberinya keleluasaan untuk
mengajar dan berkontemplasi. Pupularitas menghampirinya, akibat dari
kepribadian serta intelektualitasnya. Penguasaan dalam bidang keagamaan dan
intelektual, menarik perhatian ibukota Safawi, yaitu Isfahan. Sehingga ia
ditawari berbagai posisi resmi, namun Mulla Sadra menolaknya. Disinilah sangat
kentara posisinya sebagai penolak kebangsawanan. Bahkan hal ini terlihat dari
berbagai karya-karyanya, yang tidak nampak satu pun, penghambaan terhadap para
penguasa dan pangeran. Padahal persembahan ini merupakan mainstream pada saat itu.
Sekolah
Khan ini begitu terkenal, sehingga wisatawan asing tertarik untuk melihatnya.
Bangunan sekolah Khan ini memiliki arsitektur yang indah dan merupakan bangunan
yang penting di kota Syiraz, yang berasal dari dinasti Safawi. Sekarang ini, sekolah teresbut dialihkan
menjadi The Imperial Iranian Academy of Philosophy
dan memiliki perbaikan penting, sehingga ia kembali menjadi pusat kajian
filsafat tradisional. Sampai dewasa ini, tempat Mulla Sadra memberikan ceramah
tentang hikmat masih tetap
terpelihara. Selama jangka waktu sampai 30 tahun, yang kegiatannya menulis dan
mengajar, Mulla Sadra menunaikan Ibadah
Haji selama tujuh kali dengan berjalan kaki. Dan pada perjalanannya yang ketujuh,
ia jatuh sakit di Basrah, dan meninggal pada tahun 1640M.
Jika
ditinjau secara menyeluruh kehidupan Sadra sendiri adalah seluruh aplikasi dari
doktrin metafisikanya, atau justru pandangan metafisikanya merupakan hasil dari
kehidupannya. Kehidupannya yang terdiri dari dua periode awal, membuahkan hasil
di periode yang ketiganya, yaitu kombinasi disiplin intelektual yang kuat pada
periode pertama, dan pandangan mistik pada periode kedua. Dan hampir seluruh
karyanya didasarkan atas keuda fondasi tersebut.
C. Karya-karyanya
Karya-karya
Mulla Sadra bisa diuraikan sebagai berikut:
1. Al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-‘Aqliyyah
al-Arba’ah
2. Al-Mabda’ wa al-Ma’ad
3. Al-Syawahid al-Rububiyyah fil al-Manahij
al-Sulukiyyah
4. Mafatih al-Gaib
5. Kitab al-Masya’ir
6. Tafsir al-Qur’an al-Karim
7. Asrar al-Ayat wa anwar al-Bayyinat
8. Mutasyabihat al-Qur’an
9. Al-Masa’il al-Qudsiyyah
10. Ajwibah al-Masa’il
11. Ajwibah Masa’il Syams al-Din Muhammad
al-Jilani
12. Ajwibah al-Masa’il al-Nasiriyyah
13. Al-Hikmah al-‘Arsyiyyah
14. Al-Waridah al-Qalbiyyah fi Ma’rifah al-Rububiyyah
15. Al-Mazahir al-Ilahiyyah fi Asrar al-‘Ulum
al-Kamaliyyah
16. Iksir al-‘Arifin fi Ma’rifah Tariq al-Haqq
wa al-Yaqin
17. Kasr Al-Asnam al-Jahiliyyah fi Zamm
al-Mutasawiifin
18. Resale Se Asl
19. Risalah fi Ittisar al-Mahiyyah bi al-Wujud
20. Risalah fi al-Tasyakhkhus
21. Risalah fi Surayan al-Wujud
22. Risalah fi al-Qada’ wa al-Qadr
23. Risalah fi Hudus al-A’lam
24. Risalah fi al-Hasyr
25. Risalah fi Khalq al-A’mal
26. Al-Lamaah al-Masyriqiyyah fi Funun
al-Mantiqiyyah
27. Risalah fi al-Tasawwur wa al-Tasdiq
28. Al-Tanqiyyah
29. Risalah fi Ittihad al-‘Aqil wa al-Ma’qul
30. Tahr al-Kunain
31. Diwan
32. Dibache-yi ‘Arsy al-Taqdis
33. Nama-yi Sadra bi Ustad-I Khud Sayyid Mir
Damad (I)
34. Nama-yi Sadra bi Ustad-I Khud Sayyid Mir
Damad (II)
35. Nama-yi Sadra bi Ustad-I Khud Sayyid Mir
Damad (III)
36. Nama-yi Sadra bi Ustad-I Khud Sayyid Mir
Damad (IV)
37. Syarh al-Hidayah al-Asiriyyah
38. Syarh al-Usul min al-Kafi
39. Syarh Ilahiyyat al-Syifa
40. Ta’liqah Syarh Hikmah al-Isyraq
41. Zad al-Musafir
BAB 3: Al-Hikmah al-Muta’aliyah
sebagai aliran filsafat Mulla Sadra
A. Konsep
al-Hikmah dan al-Hikmah al-Muta’aliyah
Untuk
memahami konsep al-hikmah al-muta’aliyyah,
mesti dilihat bagaimana Mulla Sadra mendefinisikan istilah hikmah atau falsafah,
karena baginya kedua istilah itu identik. Dan ketika dia berbicara mengenai
kedua istilah itu dalam perspektifnya sendiri, maka tak lain yang
dimaksudkannya adalah al-hikmah al-muta’aliyayah.
Mulla Sadra mendefinisikan falsafah sebagai:
“Kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap realitas segala sesuatu
yang ada sebagaimana adanya, dan pembenaran terhadap kebenaran mereka, yang
dibangun berdasarkan bukti-bukti yang jelas, bukan atas dasar persangkaan dan
sekedar mengikuti pendapat orang lain, sebatas kemampuan yang ada pada manusia.
Jika anda suka, anda bisa berkata (kesempurnaan jiwa manusia melalui
pengetahuan terhadap) tata tertib alam semesta sebagai tata tertib yang bisa
diamengerti, sesuai kemampuan yang dimiliki, dalam rangka mencapai keserupaan
dengan Tuhan.”
Bagi
Sadra hikmah memiliki dua aspek:
teoritik dan praktik. Aspek teoritik adalah mewarnai jiwa dengan gambaran
realitas sebagai dunia yang bisa dimengerti, yang menyerupai dunia yang
objektif. Sedangkan aspek praktik adalah melakukan perbuatan baik dengan tujuan
mencapai superioritas jiwa terhadap badan dan badan tunduk kepada jiwa. Maka
dari itu, menurut pandangan ini, hikmah
merupakan pembebasan manusia dari dunia yang material, menuju tempat
kesempurnaan, yaitu dunia material atau dalam bahasa lain, tempat manusia
berasal—alam ketuhanan.
B. Sumber-sumber
al-Hikmah al-Muta’aliyah
Sumber
pertama yang mesti diperhatikan adalah al-Qur’an. Bisa dibilang bahwa Mulla
Sadra merupakan figur yang mumpuni kemampuannya dalam mengungkapkan makna batin
dari ‘bidang’ ini. maka dari itu di setiap karyanya selalu sarat akan cahaya
dari al-Qur’an. Sumber kedua adalah Hadist yang bagi Sadra tidak kalah
pentingnya dari al-Qur’an, karena Hadist pun memiliki tingkatan-tingkatan makna
yang bersifat esoterik semacam al-Qur’an. Menariknya, Sadra tidak hanya
membatasi diri pada hadist Syi’ah, namun ia juga kerap mengambil sumber dari
hadist Sunni, seperti Ibnu Abbas. Setelah Hadist, sumber lainnya adalah
perkataan para Imam Syi’ah. Sumber selanjutnya adalah kalam Syi’ah maupun Sunni. Dari kalam
Syi’ah, Sadra mendasarkan sumber utamanya pada karya Nasr al-Din al-Tusi
yang berjudul Tajrid al-‘Aqa’id.
Begitu juga dengan kalam Syia’ah
Isma’iliyah. Sedangkan sumber yang bersal dari kalam Sunni, terdiri dari pandangan-pandangan Asy’ariyah dan
Mu’tazilah.
Selain
sumber-sumber tersebut, Mulla Sadra memiliki sumber dari aliran Yunani dan Alexandria,
mulai dari pra-Sokrates, Plato (seperti dari karya yang berjudul[2],
Timaeus, Dialogues, dan Paedho), Aristoteles (Metaphysics, Phisics, dan On the Soul, On Divine Knowledge, Theology, Liber de Pomo) Neo-platonisme, dan
Stoic (yang disebut Sadra sebagai riwaqi).
Sumber
lain yang tidak kalah utamanya adalah, tradisi Peripatetik, yang dimulai dari
al-Farabi (karyanya yang berjudul Fusus
al-Hikam), Abu Hasan al-‘Amiri (al-Amad
‘ala al-Abad), Ibn Sina (Sadra mengenal karya-karyanya, mulai dari al-Syifa, al-Najat, al-Mabda’ wa al-Ma’ad,
Risalah fi al-‘Isyq, ‘Uyun al-Hikmah, dan Ta’liqat dan Mubahasat),
Bahmanyar (murid Ibn Sina), Abu al-Abbas al-Lukari, Abu al-Barakat al-Bagdadi (Kitab al-Mu’tabar), Nasir al-Din al-Tusi
(Syarh al-Isyarat, Risalat al-Islam,
dan Mulakhakhas), Qutb al-Din
al-Syirazi (penulis Durrah al-Taj,
Dabiran Katibi al-Qazwini (penulis Hikmah
al-‘Ain), Asir al-Din al-Abhari (pengarang Kitab al-Hidayah), Sadr al-Din Dasytaki, dan Giyas al-Din Mansur
Dasytaki.
Aliran
Iluminasi pun menjadi sumber lainnya, terkhusus dari tokoh utamanya yaitu,
Suhrawardi (Talwihat, Mutarahat, Hayakil
al-Nur), Qutb al-Din al-Syirazi, Jalal al-Din Dawwani dan Ibn Turkah.
Terdapat pula tradisi Sufisme yang menjadi sumber dari pemikiran Sadra, mulai
dari: Abu Talib al-Makki (Qut al-Qulub),
al-Haarawi (Manazil al-Sa’irin), Abu
Hafs al-Suhrawardi (‘Awarif al-Ma’arif),
al-Gazali (Ihya’ Ulum al-Din), ‘Ain
al-Qudat al-Hamadani (Zubdad al-Haqa’iq),
‘Ala al-Daulah Simnani, Jalal al-Din Rumi (Masnawi),
Ibn ‘Arabi, Dawud al-Qaisari (murid Ibn ‘Arabi), Hamzah Fanari (murid Ibn
‘Arabi pula). Kemudian, yang terakhir, guru Mulla Sadra sendiri yaitu Mir Damad
(Qabasat), dan Syaikh Baha’i.
C. Metode
dan karakteristik al-Hikmah al-Muta’aliyah
Metode
yang digunakan dan yang menjadi ciri khas dari al-hikmah al-muta’aliyah yaitu; Intuisi Intelektual (kasyf, zauq, atau isyraq), penalaran dan pembuktian rasional (‘aql, burhan, atau istidlal),
dan agama atau wahyu (syar’), serta
ucapan para Imam. Beberapa metode ini di tangan Mulla Sadra menjadi suatu
kesatuan yang bersinergi. Maka dari itu bisa dibilang bahwa metode yang
digunakan Oleh Sadra, jelas berbeda dengan aliran-aliran lainnya yang cenderung
condong kepada salah satu metode, atau barangkali, menyintesiskan beberapa
metode namun metode lainnya tidak ada. Letak dari aliran yang diampu oleh Mulla
Sadra adalah, letak dari metodenya yang integral. Bahkan lebih jauhnya seorang
ahli hikmah adalah orang yang mampu
mensinergikan beragam metode tersebut ke dalam suatu kesatuan yang utuh, dalam
artian jangan sampai dipisahkan.
BAB 4: Filsafat Wujud Mulla Sadra
A. Konsep
dan Realitas Wujud
Menurut
Mulla Sadra wujud merupakan
penyelidikan dalam bidang metafisika. Dalam hal ini bahasan pokok dari
metafisika adalah Wujud Mutlak. Karena ketinggian dan keluasan bidang ilmu ini,
maka konsep mengenai wujud, mesti jelas dengan sendirinya, demi mengetahui
konsep wujud sebagaimana adanya. Karena jika tidak demikian, maka konsep
tersebut tidak akan masuk kepada syarat dari kajian metafisika.
Konsekuensi
dari ‘pendekatan’ tersebut adalah: wujud niscaya tak terdefiniskan. Maksudnya,
sebagaimana diketahui bersama bahwa definisi membutuhkan genus dan differentia.
Selain itu dalam pola definisi, sesuatu yang ingin diketahui mesti mensyaratkan
sesuatu yang diketahui sebelumnya. Maka dari itu, pertama, wujud tak memiliki genus
dan differentia karena konsep
mengenai wujud merupakan definisi yang begitu universal; kedua, apakah ada sesuatu yang begitu jelasnya selain wujud?
Padahal wujud itu sendiri merupakan suatu konsep yang paling mendasar dan
paling jelas, sehingga tak memerlukan sesuatu yang lain untuk menjelaskannya,
bahkan sesuatu yang lain terjelaskan oleh wujud. Jadi sia-sialah pendefinisian
terhadap wujud.
Namun
disisi lain, penyelidikan mengenai konsep wujud tidak berhenti setelah kita
mengetahui bahwa wujud merupakan sesuatu yang tak bisa didefinisikan. Karena
bagi Mulla Sadra, pikiran kita belum memahami sepenuhnya megenai konsep ini,
maka sisi yang belum dipahami dengan cara menganalisis makna wujud dalam terminologi
yang lebih jelas dan membangkitkan pikiran terhadapnya.
Bagi Sadra,
wujud merupakan ‘sesuatu’ yang menyifati segala sesuatu. Oleh karena itu bisa
dijabarkan bahwa di dalam setiap maujud terdapat wujud, namun di dalamnya
terdapat perbedaan-perbedaan dari segi kuat dan lemahnya, dahulu dan
kemudiannya, serta sempurna dan tidaksempurnanya. Namun disisi lain, lanjut Sadra,
wujud merupakan sesuatu yang unik, hal ini tercermin dari teori tasykik al-wujud. Wujud, oleh karenanya,
memiliki dua karakteristik fundamental: pertama,
bahwa segala sesuatu itu sama dari segi wujudnya; kedua, namun tidak ada entitas yang sama dalam ‘keberadaannya’,
sehingga dalam konteks ini wujud memiliki status ontologis yang berbeda-beda.
Pertanyaan
muncul disini, apakah wujud merupakan suatu abstraksi mental? Sadra memiliki
posisi yang bersebrangan dengan pertanyaan tersebut. Maksudnya, bagi Sadra
wujud merupakan realitas konkret, sedangkan mahiyah bersifat mental. Argumentasi
yang diajukan Mulla Sadra ialah: memang pada kenyataannya wujud yang berada di
dalam pikiran itu merupakan fenomena mental (untuk sementara kita gunakan
bahasa seperti ini untuk memudahkan), namun fenomena wujud yang berada pada
pikiran sama sekali tidak mewakili wujud di dalam realitas eksternal, karena
wujud—sebagaimana diakui Sadra—yang dipahami oleh pikiran akan memeroleh bentuk
wujud yang berbeda (dengan realitas eksternal). Karena setiap yang bersifat
mental pastilah mahiyah yang tetap. Untuk lebih mudahnya: esensi dari wujud itu
sendiri berada pada realitas eksternal, bukan secara mental, maka wujud tidak
bisa ‘ada’ di dalam pikiran.
Kita
sudah menyebutkan di awal-awal tulisan mengenai karakteristik dari wujud.
Sebagaimana disepakati, wujud merupakan suatu yang universal, namun
keuniversalan wujud berbeda dengan universalitas genus. Sadra menjelaskan, bahwa pemahaman umum mengenai wujud tak
pernah bisa ditangkap, karena ia (baca: wujud) sekaligus bersifat partikular.
Maka ia disebut: kulli bil takhassus
(universalitas yang dikhususkan). Kondisi ini merupakan suatu keniscayaan,
karena jika tidak, maka wujud akan menjadi suatu konsep abstrak yang kosong,
dan suatu yang umum tak bisa menggambarkan esensi wujud. Sebagai penguat
argumentasi bahwa wujud merupakan universalitas yang dikhususkan adalah, bahwa
pada faktanya setiap yang ada merupakan suatu individu yang unik, yang tak bisa
digambarkan dengan mahiyyah. Sebab, mahiyyah memiliki karakteristik umum yang
dimiliki oleh seluruh individu tersebut. Hal ini disebabkan karena wujud
memiliki sifat yang berbeda-beda, sedangkan mahiyyah itu bersifat statis dan
sama pada setiap individu, ditambah kemunculan mahiyyah dalam pikiran karena
mahiyyah sendiri memiliki bagian-bagian wujud. Maka menjadi jelaslah, bahwa
wujud yang ada dalam pikiran sama sekali tidak mewakili wujud di dalam realitas
eksternal yang bersifat individual. Bahkan wujud konseptual bisa disebut
sebagai bagian dari suatu mahiyyah, karena mahiyyah itu sendiri pada nyatanya
hanyalah bersifat mental dan berciri-ciri universal.
Persoalan
lain dari wujud adalah, bagaimana sesuatu yang partikuar menjadi universal?
Bagi Sadra, wujud yang hakiki merupakan suatu prinsip pengindividuan, yang
diekspresikan sebagai partikularisasi wujud. Persoalan ini dijabarkan dalam
teori tasykik al-wujud. Perlu
diketahui, bahwa wujud memiliki prinsip gerak. Gerakan yang muncul pada wujud
bermula dari wujud yang terbatas dan kurang sempurna, menuju wujud yang lebih
sempurna. Dan hal ini pun terjadi pada wujud hakiki, karena ia bersifat
dinamis, sehingga akibatnya bahwa pada setiap saat wujud berubah menjadi bentuk
wujud yang baru. Wujud yang lebih tinggi bermula dari wujud yang rendah, tapi
wujud yang rendah ini ditopang oleh wujud yang tinggi.
Wujud
yang ‘paling’ tinggi adalah wujud Absolut, atau dalam kata lain Tuhan. Wujud
Absolut adalah wujud hakiki yang murni, dan tidak tunduk pada pengetahuan
konseptual, sehingga Tuhan tak bisa dipahami secara konseptual. Ketika gerakan
pada wujud terjadi sebagai proses gradasi (tasykik),
universalitas wujud berkurang sampai ia mencapai suatu wujud yang tunggal yang
tidak tunduk pada universalitas. Tapi disisi lain Sadra menyebutkan bahwa wujud
pun bisa tunduk pada universalitas, dalam catatan, di dalam bentuk wujud yang
lebih rendah. Wujud hakiki sebagaimana telah disebutkan di atas adalah wujud
partikular. Dan wujud partikular ini tunduk pada universalitas, sebagaimana
fakta bahwa aspek-aspek tersebut merupakan objek dari persepsi indrawi dan bisa
dialami. Ketika wujud yang partikular mencapai bentuknya yang lebih tinggi,
maka wujud yang lebih rendah menjadi objek pengalaman indrawi. Maka dari itu
wujud yang lebih rendah, pikiran mengonseptualisasikan individu, dan
menghasilkan pandangan umum yang disebut mahiyyah. Tetapi, karena Tuhan bukan
merupakan objek universalitas, maka ia tidak memiliki mahiyyah.
Sebagai
penutup dari pembahasan ini, perlu diketahui bahwa realitas wujud tak bisa
ditangkap oleh pikiran manusia, namun Ia hanya bisa dijangkau oleh intuisi
mistis, dalam artian subjek kemanusiaan lebur dengan Subjek ketuhanan. Cara
menjangkau Realtias wujud ini hanya bisa dialami oleh orang-orang tertentu,
baik setelah melatih konsentrasi atau karena bawaan sejak lahir. Dan perlu
ditegaskan sekali lagi, bahwa tidak semua orang dapat mengalami hal ini.
B. Asalah
al-wujud
Mulla Sadra
bisa disebut sebagai seorang filosof yang memerjuangkan asalah al-wujud, atau dalam bahasa lain fundamentalitas wujud.
Mengapa demikian? Karena di dalam sejarah filsafat Islam, sebagaimana
diketahui, terdapat dua aliran besar yang membincang persoalan prinsipilitas
kedua entitas tersebut, yaitu aliran asalah
al-mahiyyah dan asalah al-wujud,
kedua aliran itu yang pertama diwakili oleh Suhrawardi dan yang terakhir adalah
Mulla Sadra.
Sadra
menentang pandangan yang mengatakan bahwa wujud tidak berkaitan dengan realitas
eksternal, namun bagi Sadra, wujud merupakan realitas yang benar-benar riil.
Lebih lanjut, wujud merupakan realitas yang tak dapat ditangkap oleh pikiran,
karena ia merupakan realitas yang unik dan partikular, sehingga pikiran yang
mengonsepsinya merupakan pemalsuan dari wujud di dalam realitas eksternal.
Sedangkan mahiyyah dapat ditangkap, karena ia merupakan ide-ide umum. Kesalahan
Suhrawardi, sebagai penganut asalah
al-mahiyyah, adalah menyamakan konsep abstrak yang dipalsukan oleh mental
dengan realitas konkret, sehingga ia merupakan suatu konsep yang kosong.
Padahal pada faktanya wujud yang dikonsepsi berbeda dengan wujud yang ada di
realitas konkret.
Wujud,
lanjut Mulla Sadra, merupakan realitas primordial yang dengannya sesuatu yang
lain menjadi ada. Wujud tidak bisa dikatakan bahwa ia ada, tapi wujud merupakan
ada itu sendiri, dalam artian wujud tak memerlukan aktualisasi karena ia
merupakan aktualisasi itu sendiri. Kesalahan lain dari Suhrawadi adalah mengira
bahwa wujud merupakan sesuatu yang ada, sehingga ia (baca: wujud) membutuhkan
aktualisasi, sehingga konsekuensinya terdapat regresi yang tak terhingga, dan
hal ini tidak mungkin bagi Suhrawardi. Namun pada kenyataannya asumsi
Suhrawardi ini tidak tepat.
Karakter
lainnya adalah, bahwa wujud adalah sesuatu
yang fundamental pada setiap yang ada, dan yang lainnya merupakan refleksi atau
bayangan. Selain itu wujud merupakan sesuatu yang jelas, dan riil pada dirinya
sendiri, karena ia merupakan manifestasi dari hubungan mereka dengan Realitas
Absolut. Sedangkan mahiiyah merupakan sesuatu yang samar, karena mereka tidak
ada pada diri mereka sendiri, dan mereka membutuhkan wujud.
Kita
perjelas kembali kedudukannya di dalam konsepsi. Wujud, sebagaimana diungkap
oleh Sadra, merupakan realitas yang riil, sedangkan mahiyyah pada ‘nyatanya’
tidak ada. Jadi, ketika pikiran mengonsepsi wujud dari realitas eksternal, maka
sebenarnya yang ada di dalam pikiran merupakan mahiyyah, dan bukan sama sekali
wujud, dalam artian dipalsukan. Namun, memang pikiran menganggap bahwa mahiyyah
merupakan sesuatu yang riil, padahal pada faktanya wujud lah yang riil, dan ia
hanya berada pada realitas eksternal dan ‘tidak akan bisa’ dikonsepsi oleh
pikiran. Sama halnya seperti bersinar yang merupakan abstraksi dari cahaya,
bersinar tak memiliki wujud di dalam realitas eksternal. Akan tetapi, cahaya
merupakan sesuatu yang faktual ada secara eksternal. Sebagaimana cahaya, wujud
merupakan sesuatu yang dengannya mahiyyah menjadi ada secara aksidental, karena
wujud merupakan ada bagi dirinya sendiri sedangkan mahiyyah tidak. Dan kita
bisa menyebut mahiyyah sebagai kegelapan, jika wujud kita sebut sebagai cahaya.
C. Wahdah
al-wujud
Dalam
pemahaman mengenai teori wahdah al-wujud Mulla Sadra, mula-mula mesti diketahui
berbagai cara pandang Nasir al-Din al-Tusi terhadap mahiyyah, namun Sadra
menetapkannya kepada wujud, yaitu: la
bi-syart (tidak bersyarat), bi-syart la (bersyarat negatif), bi-syart syai (bersyaratkan sesuatu).
Selain itu mesti dipahami berbagai aliran: pertama,
para ahli metafisika Ismaili. Mereka menyatakan bahwa bukan Wujud Murni
yang memberi wujud atau keesaan, akan tetapi Supra-Wujud, yang tindakannya
adalah kun memberikan wujud terhadap
segala sesuatu. Menurut mereka, keesaan terletak pada sumber wujud universal
itu sendiri.
Kedua, dari para filosof
isyraqi. Mereka menerima prinsip tayskik yang oleh tokoh utamanya, yaitu
Suhrawardi, ditetapkan pada cahaya. Tetapi mereka menerapkannya kepada wujud
sebagaimana Mulla Sadra, dan mereka memercayai keesaan dan tingkatan-tingkatan
wujud. Menurut mereka wujud merupakan keluasan, kesempurnaan dan kemurniaan,
yang hanya ada pada diri Tuhan. Selain itu, wujud memiliki hirarki, yang
masing-masingnya dibedakan menurut kekuatan dan kelemahannya. Ketiga, aliran sufi dan terutama Ibn
‘Arabi. Bagi aliran ini yang ada hanyalah wujud Tuhan, selain dari Tuhan
merupakan penampakan-penampakan dari wujud yang Esa.
Dalam
konteks keseluruhan ini, perlu diketahui dalam pembicaraan keesaan dan
keanekaragaman wujud dan yang maujud, terdapat kemungkinan interpertasi, yaitu:
keesaan wujud dan yang maujud, keanekaragaman wujud dan yang maujud, keesaan
wujud dan keanekaragaman yang maujud, dan yang terakhir keanekaan wujud dan
keesaan yang maujud. Sadra dalam pembacaraan wahdatul wujud bertendensi pada
interpretasi yang ketiga yaitu, keesaan wujud dan keanekaragaman yang maujud.
Bagi Sadra Yang Esa memanifestasikan dirinya dalam keragaman dan keanekaragaman
di dalam Yang Esa. Namun, pandangan ini tidak menghilangkan keesaan wujud.
Ketiga Sadra menjabarkan persoalan wujud ke dalam berbagai yang maujud, ia
menyatakan tentang tiga tingkatan wujud.
Pada
tingkatan pertama, wujud dipandang sebagai la
bi-syart, yaitu wujud yang keberadaannya tanpa syarat, yaitu Realitas
Mutlak. Penggunaan istilah wujud untuk menggambarkan Realitas Mutlak merupakan
simbol terhadap-Nya, dan merupakan alat bantu untuk memahami-Nya. Pada
tingakatan kedua, wujud dipandang sebagai bi-syart
syai’, yang berkaitan dengan wujud kosmis yang tersususn secara hirarkis.
Hirarki tersebut terbentang dari realitas material hingga pada realitas yang
rohani. Deskripsi tentang hirarki tersebut berasal dari pandangan dalam
kaitannya dengan sumbernya, yaitu wujud murni, dan gambaran ini merupakan
penggambaran tasykik al-wujud.
Sedangkan pada tingkat terakhir, yaitu wujud sebagai bi-syarat la, yaitu yang bagi kaum Sufi disebut sebagai al-ahadiyyah di satu pihak, dah nafas al-rahman atau al-faid al-aqdas, yang menyebabkan
nama-nama dan sifat-sifat Tuhan untuk ‘memasuki’ wilayah pembedaan atau disebut
sebagai wahidiyyah, di pihak yang
lain.
Dari
pandangan Sadra ini, ia mencoba menunjukan bahwa wujud sebenarnya adalah Esa,
namun berbagai determinasi dan cara-cara yang memandangnya menyebabkan manusia
menemukan keanekaragaman, yang menyelubungi dalam artian menutupi ke-Esaannya.
Dan bagi mereka yang memiliki visi spirituallah yang dapat ‘menyaksikan’ wahdah al-wujud ini sebagai suatu
kebenaran yang nyata. Maka dari itu, bisa disebutkan bahwa kenyakinan terhadap wahdah al-wujud ini bukan merupakan
pembahasan rasional melainkan penyingkapan batin. Maka dari itu filsafat hanya
sebagai pembimbing untuk memersiapkan pikiran agar mendapatkan pengetahuan yang
bukan didapatkan dengan ‘pemahaman’ rasional, melainkan—perlu ditekankan
kembali—dengan intuisi intelektual dalam artian merasakan dan mengalaminya
secara langsung.
D. Tasykik
al-wujud
Dalam
pembahasan taskik al-wujud perlu diketahui
bahwa prinsip Mulla Sadra ini, memiliki kesamaan dengan Suhrawardi, namun Sadra
menerapkan prinsip ini pada wujud, bukan mahiyyah sebagaimana Suhrawardi. Pada
prinsipnya tasykik berarti bertambah
dan berkurang. Jadi yang ada dipahami sebagai berbeda dalam arti: lebih dahulu
dan yang kemudian, yang sempurna dan tidak sempurna, serta kuat dan lemah.
Prinsip ini meyatakan bahwa wujud adalah suatu realitas tunggal, dan pada
dasarnya ada sama dan serupa pada seluruh yang ada, karena seluruh yang ada itu
merupakan fenomena penampakan dari yang tunggal, namun ia juga bertindak
sebagai prinsip perbedaan.
Maka
wujud pada setiap realitas berada dalam bentuk yang sama. Baik pada
universalitasnya sebagai suatu konsep pemikiran, maupun sebagai individu pada
realitas yang ada. Kemudian, wujud dalam perbedaannya dengan yang lain mesti
didasarkan pada wujud itu sendiri. Pada posisi ini pemikiran Sadra berada pada
ketegangan monistik dan pluralistik.
Maksud
dari pernyataan itu adalah: Mulla Sadra pada satu pihak, menolak monisme
eksistensial. Ia mengkritik para sufi yang meyakini bahwa wujud merupakan suatu
yang tunggal yang ‘berpangkal’ pada Tuhan, sedangkan wujud yang lain melupakan
ilusi. Penolakan ini berdasar pada prinsip Sadra yaitu, hakikat yang sederhana
adalah segala sesuatu. Maksud dari prinsip ini adalah, Tuhan merupakan hakikat
tunggal dan sederhana, dengan begitu Ia adalah seluruh wujud, sebagaimana
seluruh hakikat Tuhan adalah wujud.
Bagi
Mulla Hadi Sabzawari, seorang komentator dan pengikut Sadra, kita mesti
memahami bahwa prinsip ini harus dipahami bahwa realitas itu adalah bukan
bagian dari Tuhan dan tidak pula entitas ilusi. Tapi seluruh realitas itu mesti
dipahami sebagai ‘sesuatu’ yang bergantung kepada Tuhan dan dibedakan dari
Tuhan karena keberagaman mereka. Jadi ungkapan yang lebih tepat adalah
mengatakan bahwa seluruh ciptaan berada di dalam Tuhan, dan bukan Tuhan yang
berada di dalam seluruh ciptaannya.
Karena pada prinsip tasykik al-wujud mengandung arti bahwa
wujud bisa menjadi lebih atau kurang, terdahulu atau kemudian, maka hal ini
berkaitan dengan evolusionisme Mulla Sadra. Jadi setiap wujud itu mesti
dipahami sebagai suatu gerak wujud menuju sesuatu yang lebih tinggi, dalam
artian kualitasnya. Namun gerak ini, bagi Sadra, hanya terjadi pada substansi,
karena aksiden bergantung kepada substansi. Maka dari itu wujud berarti selalu
‘berada’ dalam kebaruannya. Gerakan ini bermula dari materi menuju Tuhan
sebagai wujud yang Tinggi. Mulai dari wujud rendah sampai kepada tingkat
tertinggi, wujud itu selalu membuka dirinya dan memerlukan eksistensi
individual yang lebih konkret. Meskipun terdapat wujud yang berstatus rendah,
namun wujud ini bukan ilusi namun ia tetap disebut sebagai wujud. Maka dari itu
setiap yang ada dibedakan satu sama lainnya dari segi keterdahuluan dan
kemudiannya, atau dari kuat dan lemahnya.
Comments
Post a Comment