Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama
Oleh: Durito Osiris
Langit saat itu begitu gelap nan mencekam, namun tak hening. Hutan sedang dilanda keributan. Burung-burung gagak berterbangan di atas langit, karena ketakutan oleh bising suara benturan pedang. Bercak darah membekas di tanah coklat yang kering itu, potongan daging bertebaran di sekitarnya. Di tengah hutan itu, ternyata terdapat pertarungan antara seorang kesatria soliter melawan monster-monster atau iblis, yang sedang mengacau di hutan. Iblis-iblis itu menginginkan nyawa si kesatria.
Di tengah pertarungan itu, seorang pria tua berjanggut putih menjerit karena diserang iblis, tak pelak lagi si kesatria langsung menyambar leher-leher iblis itu, dengan pedang seukuran tubuhnya. Ya, ia memang terkenal sebagai sang kesatria pembawa pedang raksasa, juga berat, yang membuat ngeri bagi musuh apabila melihatnya. Ternyata nyawa si pria tua tak terselamatkan, karena serangan iblis begitu banyak dan si kesatria agak kepayahan, mahluk-mahluk terkutuk dan menjijikan itu terus menerus bermunculan satu persatu.
Tiba-tiba sebuah kepala melayang di udara, ternyata kepala si anak perempuan yang bersama dengan si pria tua. Kepalanya menggelinding laiknya bola sepak yang baru saja ditendang oleh pemain bola, hanya bola ini berlumuran dan bercucuran darah merah segar. Si kesatria pun marahnya bukan main, ia berteriak sekencang-kencangnya lalu menebas seluruh leher dan tubuh dari iblis itu, hingga tak ada satu pun yang tersisa. Akhirnya pertarungan itu pun selesai di pagi hari, ketika matahari mulai muncul laiknya seorang manusia yang menengok karena penasaran. Lalu, pedang si pria itu pun ia simpan kembali di punggungnya, dan ia pun pergi meneruskan perjalannya.
Kurang lebih itulah cuplikan episode pertama dari anime berjudul Berserk. Anime ini menceritakan seorang pria bernama Guts, yang hendak mencari teman perempuannya yang selama ini hilang. Tapi pencarian ini tak pernah mulus, karena selalu saja ada hambatan yang ia alami, yakni ancaman-ancaman dari monster dan Nabi. Nabi ialah bos monster yang kerap kali muncul di mana Guts berada, tanda Nabi akan muncul adalah ketika tatto atau tanda yang ada di leher Guts tiba-tiba berdenyut dan mengeluarkan darah.
Yang menarik dari anime ini, selain karena plotnya, adalah apa yang coba dihadirkan oleh anime ini, alias makna yang seolah menggedor-gedor otak setiap penonton untuk memelototi pesan yang terhampar di seluruh alur cerita anime ini. Pertanyaannya, apakah itu?
Anime ini dengan jelas mengkritik agama. Memang jika dilihat selintas, kritiknya ditujukan kepada para tokoh agama dan juga para pemeluknya, namun jika ditilik lebih dalam lagi, akan nampak bahwa kritiknya justru ditujukan kepada agama itu sendiri. Kritik anime ini sebenarnya memiliki pola yang sama dengan kritik Nietzschean. Dalam konteks Nietzsche, tujuan lancaran kritik itu tak hanya ditargetkan kepada agama, namun kepada kebenaran itu sendiri sebagai basis dari agama, filsafat dan sains, berikut juga segala kepercayaan yang ada di semesta ini. Cerita Guts sejauh itu cukup Nietzschean.
Sebelum itu, Di Dalam Dinding...
Namun, ada suatu hal yang mesti diketahui terlebih dahulu, tak hanya Berserk yang pernah melancarkan kritik terhadap agama, tapi anime lain pun demikian. Misalnya, Shingeki No Kyojin atau Attack on Titan. Anime ini, begitu jelas menyudutkan agama. Shingeki No Kyojin (SNK) adalah anime yang bercerita tentang serangan para Titan, monster yang berwujud manusia yang memakan manusia-manusia yang ada di dalam dinding. Jadi, umat manusia diceritakan tinggal di dalam dinding, sedangkan di luar dinding adalah tempat para spesies Titan hidup. Pada mulanya, kehidupan umat manusia aman-aman saja, sampai akhirnya ada Titan Khusus yang menghancurkan dinding, kekhususan Titan ini nampak dari perilaku Titan yang agak mirip dengan manusia; biasanya Titan biasa tak memiliki perilaku itu, mereka hidup laiknya binatang, namun tak berkembang biar laiknya mahluk hewani. Mereka, Titan khusus ini, seolah memiliki kecerdasan yang sama dengan manusia.
Singkat cerita, akhirnya misteri tersibak. Sebenarnya, di dalam tembok dinding itu terdapat Titan. Jadi, kurang lebih, para manusia dalam dinding ini, dilindungi oleh apa yang mereka takuti selama ini. Dan kebenaran ini di simpan secara rahasia oleh para agamawan (meskipun tak disebutkan agama apa, barangkali kita lebih baik menyebutnya sebagai aliran kepercayaan). Yang paling mengagetkan adalah, mereka merahasiakan ini selama ratusan tahun, dan mereka menyimpan rahasia ini dari berbagai kalangan masyarakat dan para tentara dinding yang bertugas melindungi mereka dari serangan Titan. Jadi, yang mengetahui rahasia ini hanya lingkungan para penganut kepercayaan ini.
Posisi ini tentu saja sangat merugikan umat manusia, mereka seolah telah dibohongi selama ratusan tahun oleh mereka. Bisa disebutkan bahwa para agamawan ini adalah kumpulan para pengkhianat umat manusia, jika saja mereka memberitahu para tentara, mereka setidaknya dapat mengambil langkah strategis bagi perlindungan manusia, karena dengan diketahuinya rahasia ini setidaknya umat manusia dapat mengetahui asal usul para Titan. Asal-usul ini merupakan informai yang sangat penting bagi kemajuan manusia untuk menyibak misteri para Titan.
Lalu, yang lebih mengerikan adalah, ketika si pemuka atau pemimpin agama ketahuan menyembunyikan rahasia ini, yakni ketika salah satu dinding agak runtuh kemudian nampak wajah titan yang sedang melongok ke luar, si pemimpin agama ini dengan ngotot terus merahasiakan kebenaran dan keuntungan umat manusia ini.
Jika ditafsir, kengototan itu merupakan bentuk-bentuk dari sikap fanatisme agama, mereka sudah diberitahu bahwa dengan dibukanya rahasia itu, setidaknya umat manusia yakin akan terbebas dari kemalangan yang mereka alami, tapi mereka tetap saja keras kepala. Mereka, enggan memberitahukan, karena bagi mereka tradisi tak boleh disebarkan kepada orang di luar kelompok mereka, bahkan semenguntungkan apapun informasi itu. Jelas-jelas sikap itu merupakan borok dan penyakit, dan juga sudah jelas yang rugi tak hanya mereka, tapi umat manusia secara keseluruhan terugikan.
Tafsir lain yang mengemuka adalah, karena fanatisme itulah mereka enggan membuka diri terhadap kenyataan. Dengan kekolotan mereka, mereka buta terhadap realitas di depannya. Laiknya orang-orang yang terkena delusi atau nampak seperti orang yang skizofrenik, mereka mendaku diri sebagai sumber kebenaran, sumber kesucian, sumber segala ilham yang paling berharga, padahal pada kenyatannya mereka hanyalah seonggok ketololan dan kedunguan luar biasa. Fanatik buta! Itulah kurang lebih kata yang dapat merepresentasikan kondisi mereka, padahal fanatisme merupakan nama lain dari orang-orang bermental cacat. Shingeki No Kyojin berhasil menyuguhkan hal tersebut.
Berserk dan Kebusukan Agama
Berserk sebenarnya lebih parah, pola dan kelakuan para penganut agamanya lebih tolol daripada apa yang terjadi di anime Shingeki No Kyojin. Jika anime SNK menyuguhkan kekeraskepalaan, yang sebenarnya jika mereka mau membuka diri, para penganut ini setidaknya agak berguna. Berserk malah menyuguhkan bahwa sikap kaum agamawan dan agamanya itu sendiri sudah tak berguna. Bahkan, jika ditelisik lebih dalam perilaku Tobat Nasuha yang ada di dalam Berserk bukanlah kembali kepada agama, justru pertobatan di dalam anime ini berarti pergi dan hengkang dari agama!
Awal mula cerita kehinaan agama itu dimulai dari masyarakat yang begitu saja manut kepada otoritas agama, baik secara institusional maupun personal. Masyarakat di mana Guts mengaruhi jalan kehidupannya, bertumpu pada agama sebagai sumber inspirasi hidup, atau pedoman. Selintas, akan sangat terasa hawa Abad Pertengahan di sini, di mana kontrol terhadap hidup manusia dijangkarkan kepada agama, dalam hal ini Kristen. Dengan itu, konsekuensinya jelas, tak ada pengetahuan dan perilaku di luar penjara agama. Aliran-aliran minor yang tumbuh di sekitar agama, diberantas, mereka dianggap sesat, dianggap sebagai kutu yang menganggu tatanan, dan sangat pantas untuk dimusnahkan.
Tak hanya golongan- golongan kepercayaan minor itu, orang-orang yang dianggap penyihir pun diberantas, entah apakah mereka terbukti melakukan aktivitas sihir atau pun tidak. Maksudnya, ada saja orang-orang yang difitnah melakukan sihir, padahal pada kenyatannya tidak, mereka disiksa secara keji. Para korban misalnya dibakar hidup-hidup, ditelanjangi kemudian dipukuli oleh algojo, dimasukan ke dalam petimati berduri, dibiarkan kelaparan di ruang bawah tanah, dan bentuk-bentuk penyiksaan yang barbaristik; sungguh ironis, penyiksaan-penyiksaan itu dilegitimasi oleh agama. Para pembelot otoritas kerajaan pun sama, mereka dihabisi, dikuliti dan tak diberi tempat sedikit pun di dunia itu. Dunia gelap nan kotor dan juga biadab.
Jangan dulu pembelot, bahkan orang-orang yang mengemis meminta tolong kepada kalangan agamawan atau bangsawan, dan mereka tak mampu menolongnya pun disikat, karena mereka dianggap mengganggu. Intinya, masyarakat itu tak lagi dianggap manusia lagi, jika mereka diperlakukan demikian, mereka hanya dianggap sebagai domba-domba bodoh yang tersesat, dan ngerinya masyarakat itu mengamini, bahkan tak jarang ikut memuja otoritas keji itu. Guts adalah salah seorang yang diburu oleh kalangan agamawan itu, karena dianggap sebagai sang bid’ah.
Adalah tokoh Pimpinan pendeta, yang dapat disoroti kekejiannya. Dengan otoritasnya sebagai pemimpin agama, ia mampu menentukan benar-salahnya seseoranga tau kelompok. Jika dirasa suatu golongan agak menyimpang, ia dengan lantangnya mampu menggerakan satu batalion perang untuk menggempurnya. Landasan sang Pimpinan pendeta ini jelas, otoritas dalam menafsirkan titah Tuhan. Laiknya remote control televisi, titah Tuhan menjadi alat pengontrol segalanya.
Suatu ketika, ada golongan masyarakat miskin yang meminta tolong kepada Pimpinan Pendeta, mereka mengais pertolongan kepadanya. Kebetulan, mereka memohon pertolongan kepada pimpinan pendeta, ketika rombongan gereja kebetulan sedang melintas daerah kumuh warga. Namun, apa daya, karena masyarakat ini dianggap menganggu, disebabkan tak percaya pada nasib yang tuhan berikan, mereka langsung ditangkap satu persatu, kemudian disiksa dengan cara tubuh mereka dihantam oleh benda bulat yang berat sampai mereka mati, kemudian mayat mereka ditaruh di tiang, yang di atasnya terdapat semacam roda untuk merebahkan tubuh mayat-mayat, dengan cara itu tubuh mayat-mayat akan dimakan oleh burung gagak.
Contoh lainnya adalah, dengan banyaknya warga yang dituduh sebagai penyihir. Dan tuduhan itu tidak mesti berdasar, asal sang pendeta menuduhnya sebagai penyihir, maka nasib orang tersebut akan berakhir pada saat itu juga. Pembelaan dari sang tertuduh bukan malah menghindarkan dirinya dari siksaan, tapi sebaliknya hanya menarik neraka pada dirinya.
Atas nama wakil Tuhan, sang pendeta memiliki kekuasaan sepenuhnya untuk menentukan segala nilai moral yang hadir di dalam masyarakat. Sekalipun si wakil Tuhan melakukan kesalahan! Mengapa demikian? Dalam anime ini, ternyata Pimpinan pendeta tak lain dari Nabi. Memang, mulanya identitasnya ini belum terkuak pada awal-awal episode, namun akhirnya fakta itu terkesiap. Guts lah salah satunya yang menyadari hal ini, dan yang langsung mengafirmasi bahwa ia adalah monster (Karena, ada juga sang tentara gereja yang juga mengetahui fakta ini, namun masih agak menyangkal asumsinya itu).
Namun ngeri, ketika akhirnya sang pendeta memperlihatkan dirinya dengan wujud Monster, kebetulan ia sedang bertarung dengan Guts dan kewalahan, ia masih membela dirinya, bahwa kekuatan ini diberikan oleh Tuhan, wujud limpah ruah berkat Tuhan kepada sang terpilih! Dan tololnya, masyarakat percaya akan perkataan sang pendeta. Meskipun pada satu sisi sikap mereka agak bisa diwajarkan, dikarenakan pada saat pertarungan antara Guts dan Pendeta, para warga juga terancam oleh kedatangan monster yang ingin memakan jiwa-jiwa mereka. Dalam kondisi panik itu mereka memintai pertolongan kepada Pendeta. Pada satu sisi wajar, namun di sisi lain kewajaran itu tak bisa diampuni, karena dengan kepanikan mereka, mata mereka tiba-tiba buta terhadap kebenaran. Akhirnya tentu mudah ditebak, ketololan akan hancur dengan sendirinya, dan masyarakat yang pro pada gereja, mati satu persatu karena kedunguan mereka manut kepada pendeta.
Dalam momen pertarungan itu, Guts menang dan si pendeta mati dengan cara kematian monster. Namun, agak menggelikan juga karena toh kematian si pendeta monster agak berguna, si mayat monster terbakar, dan monster pemakan jiwa yang menyerang warga ternyata takut api, sehingga mereka menghindari mayat si pendeta. Dan momen itu dimanfaatkan oleh sebagian warga untuk mengerubuni mayat, dan mereka menganggap bahwa mayat itu adalah berkah Tuhan.
Apartus Ideologi: Alat Penebar Kabut
“Ide-ide milik kelas penguasa dalam setiap epos merupakan ide-ide yang berpengaruh, yakni kelas, yang merupakan kekuatan material masyarakat yang menguasai, apda saat yang bersamaan merupakan kekuatan intelektual yang menguasai...Individu-individu yang membentuk kelas penguasa memiliki kesadaran, dan, oleh karenanya, mereka berpikir. Maka, sejauh mereka sebagai sebuah kelas berkuasa dan menentukan perkembangan dan arah suatu epos, dengan sendirinya terbukti bahwa mereka melakukannya dalam seluruh wilayah kekuasannya; selain sebagai penguasa, mereka juga menjadi pemikir, produsen ide, dan pengatur produksi dan distribusi ide: sehingga ide-ide mereka menjadi ide-ide yang menguasai epos.” (Fromm, 2004:276-277).
Kutipan tersebut sengaja dihadirkan dengan panjang, karena kutipan dari penyataan Marx tersebut akan memandu kita memahami mekanisme yang terjadi di dalam Berserk—dan juga Shingeki No Kyojin. Kelas yang berkuasa, yang dalam kasus Berserk dan SNK, adalah kelas produsen ide dalam suatu epos sejarah. Ide itu, kemudian menjadi kontrol dalam suatu masyarakat. Dalam posisi itu, masyarakat secara pasif mengonsumsi ide-ide yang dihadirkan oleh kelas penguasa. Mengapa? Karena mereka tidak memiliki waktu untuk menanggapi secara aktif dan juga tidak memiliki kesempatan untuk memproduksi ide untuk diri mereka sendiri (Fromm, 2004: 277).
Namun, mesti dipahami, bahwa ide—atau lebih tepatnya ideologi—itu bukan benar-benar merupakan fondasi dari suatu sejarah. Ide tersebut merupakan representasi dari suatu hal yang paling mendasar, yakni kepentingan bagi yang berkuasa. Karena, ada kecenderungan bahwa ide atau ideologi ini dipahami sebagai kepentingan umum yang bersifat universal (Fromm, 2004: 279), padahal ia merupakan representasi dari kelas dominan, atau dengan kata lain, ideologi merupakan legitimasi bagi kelas yang sebenarnya tidak memiliki legitimasi (Suseno, 2000: 122).
Seolah-olah petuah Pemimpin pendeta merupakan suatu kebenaran absolut, dan juga mewakili kepentingan bersama. Ketika tafsir terhadap wahyu Tuhan muncul, maka tafsir itu seolah-oleh persis menggambarkan keinginan Tuhan. Lalu dengan nmeyakinkan si pendeta terus menggembar-gemborkan keyakinan itu. Sampai akhirnya masyarakat pun menurut kepadanya. Tapi tentu saja dibalik itu, hanya ada kepentingan si pendeta, untuk melanggengkan kekuasannya sebagai pemegang otoritas tertinggi.
Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa ideologi, dalam bahasa yang cerdas Louis Althusser menyebutnya, metafora. Metafora ialah sebentuk ‘usaha’ untuk mengungkapkan suatu hal yang lain. Jadi dalam posisi ini, metafora mensyaratkan kita untuk tidak berhenti pada dirinya, namun kepada suatu hal lain. Jika ideologi merupakan metafora, maka ia bukanlah kenyataan itu sendiri, namun ia merupakan layang-layang yang di bawahnya terdapat seorang pengendali, yakni kelas dominan (Althusser, 2007: 157). Namun, pertanyaan selanjutnya yang mengemuka adalah, lantas ideologi itu sendiri apa? Ideologi, dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai dan sikap-sikap yang menjadi landasan dasar dari gerak suatu masyarakat. Kemudian, di sisi lain, ideologi juga dapat berarti negatif, sejauh kita berposisi dalam lanskap Marxian, yakni sebagai kesadaran palsu. Ia adalah metafor untuk melanggengkan status quo. (Suseno, 2016: 230).
Setiap kata dan pernyataan yang muncul dalam mulut pendeta, tak lain dari representasi palsu. Kata dan kalimat, yang saling kelindan hingga menjadi sabda, hanyalah metafor untuk suatu hal yang lebih mendasar, yakni legitimasi posisi kelas dominan; dan lebih jauh merupakan fiksasi tatanan masyarakat.
Anime Berserk dan juga SNK, menampilkan kenyataan tersebut. Kita dapati bahwa agama membius masyarakatnya untuk tetap tunduk kepada otoritas gereja. Dan perlu diketahui, bahwa mekanisme ideologi ini, merupakan salah satu bentuk dari dua Aparatus negara. Althusser membagi dua, Aparatus Represif Negara (ARN) dan Aparatus Ideologi Negara (AIN) (Althusser, 2007: 166). Dua bentuk aparatus itu, tak lain berfungsi sebagai pelanggeng tatanan yang hadir di dalam struktur masyarakat. Untuk yang pertama, secara primer ia bekerja dengan cara kekerasan atau represi, baik fisik maupun non-fisik (misalnya represi administratif), namun juga secara ideologis meskipun bersifat sekunder. Sedangkan yang kedua, secara primer ia bekerja secara ideologis, namun juga secara sekunder bersifat represif, baik secara secara halus maupun tidak (Althusser, 2007: 169-170).
Gereja dan institusi kepercayaan, baik dalam Berserk maupun SNK, pada akhirnya mesti diposisikan sebagai AIN, yang melanggengkan tatanan masyarakat yang dianggap terberi. Dalam anime SNK, hal ini cukup nampak jelas, bahwa informasi yang disembunyikan oleh pihak aliran kepercayaan, berfungsi menutupi eksploitasi yang dilakukan oleh negara. Informasi mengenai keberadaan Titan yang ada di dalam dinding, beserta seluk beluk misteri titan yang ada, dicoba ditutupi, dibalut, ditopengi oleh ilusi dan mitos pemujaan terhadap dinding.
Jika dalam Berserk, mekanisme ideologi itu bekerja dalam penggunaan otoritas keagamaan untuk melegitimasi status kekuasaan tertentu, yang kemudian memafinestasi menjadi praktik kekuasaan; entah praktik itu bersifat keji atau pun sebaliknya. Suatu hal yang dianggap keji pun, jika dibalut dengan legitimasi agama, menjadi suatu hal yang sama sekali tak keji. Di sini, legitimasi merupakan mekaisme dari AIN. Seorang manusia yang dituduh dan dianggap bid’ah—misalnya Guts—menjadi wajib untuk dihukum. Dan hukum itu dianggap sebagai suatu hal yang alamiah.
Maka dari itu, ideologi bagi Althusser menjalankan fungsinya juga sebagai pemanggil subjek. Maksudnya, subjek-subjek yang ada di dalam struktur masyarakat, sebenarnya sudah selalu mengambil peran subjek tertentu (Althusser, 2007: 206). Fungsi ini akhirnya, akan membuat subjek-subjek yang ada di dalam masyarakat, dapat menyebut dirinya dengan status tertentu, dan juga menjalankan perannya sesuai dengan status yang melekatinya. Para buruh, para guru, para pemuka tertentu mampu dengan tegas, menyebut dirinya sebagai: Aku buruh, aku guru, dan aku pemuka agama. Dan mereka secara ideologis, mampu berperan secara sukarela dan juga tidak (Althusser, 2007: 211).
Masyarakat yang ada di dalam Berserk, nampak jelas memfungsikan perannya dengan baik sebagai subjek ideologis. Misalnya, dalam adegan ketika terdapat seorang penyihir tertuduh, mereka secara sukarela mengafirmasi hukum yang berlaku itu, karena mereka mengidentifikasi diri sebagai pemeluk agama, dengan begitu mereka mesti patuh pada otoritas. Mereka pun memiliki kesadaran, jika menolak peran tersebut (baca: tunduk dan patuh pada hukum), mereka akan tertolak. Mekanisme penolakan ini nanti, akan bekerja entah via rasa bersalah, yakni pola AIN, atau juga pola represif yang muncul dari ARN.
Usaha Menghalau Gaya Reformis
Apakah kita mampu mengajukan semacam penyangsian? Atau barangkali semacam gugatan yang agak bersifat etis terhadap paparan yang telah dijabarkan di atas? Mungkin semacam pengajuan pertanyaan: mengapa agama yang diserang? Jangan-jangan agama itu sendiri sebenarnya tak bersalah, alias netral, alias fitrah, alias kertas kosong yang mampu dicorat-coret oleh seonggok manusia. Jika demikian, bukankah salah jika kita mencoba menyalahkan agama pada dirinya sendiri? Laiknya para pembela sistem khilafah, jangan salahkan kekhalifahannya, tapi salahkan orang yang menjalankan sistemnya!
Pertanyaan tersebut sangat boleh memasuki ring tinju polemik ini, namun, siap-siaplah bahwa hantaman pertanyaan itu, akan dibalik hantam di dalam ring ini. Hantaman balasan, atau jawaban yang akan disodorkan pada persoalan itu, hadir di dalam sikap tokoh utama Berserk, yakni Guts. Guts, adalah sosok kesatria yang “tak percaya pada apapun”. Ia menolak untuk bergabung dengan negara dan juga otoritas agama. Ia adalah sosok soliter, yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri.
Setelah bertarung dengan pimpinan pendeta, Guts pun mesti mengatasi masalah kedua, yakni menyelematkan dirinya dari monster penghisap jiwa manusia. Namun, Guts tahu, bahwa tak hanya ia yang patut diselamatkan, namun orang-orang yang ada di sekelilingnya pun secara moril, perlu diselamatkan, jika mereka mau. Singkat cerita, ada salah satu orang, yakni perempuan panglima tentara yang awalnya ragu akan bisa selamat dari kondisi itu, karena melihat, bahwa monster pemakan jiwa telah tersebar di mana-mana. Kemudian, keraguan itu berubah menjadi ketakutan. Ketakutan si perempuan itu, menyebabkannya mencari pertolongan. Namun, usaha pencarian pertolongan itu dihalau oleh Guts. Dan Guts berkata bahwa tak ada lagi yang mampu menyelematkan dirimu, kecuali dirimu sendiri. Guts pun memosisikan diri bukan sebagai ‘penolong’, karena yang mampu menolong si perempuan adalah dirinya sendiri.
Sikap yang dihadirkan Guts, kurang lebih adalah bentuk Ja Sagen, ala Nietzschean. Dalam arti, tak ada transendensi sama sekali. Karena transendensi tak lain tak bukan merupakan imanensi. Transendensi tak lain dari swa-kenosis atau eksternalisasi-diri serta negasti atas diri sendiri. Dengan demikian, afirmasi atas transendensi bukanlah apa-apa kecuali kastrasi dan represi diri sendiri. Afirmasi atas transendensi hanyalah bentuk dari afirmasi atas imanensi (Suryajaya, 2009:59).
Kesadaran Guts sangat menarik untuk ditelisik. Dengan ketidak percayaannya pada otoritas apapun (transendensi), dan mengembara sebagai kesatria soliter, ia sebenarnya hendak menyadarkan bahwa imanensilah yang ada. Maka dari itu, mau tidak mau kita mesti dihadapkan pada suatu fakta, bahwa yang namanya ideologi tak lain dari afirmasi transendensi. Maka dari itu, transendensi pada dirinya sendiri ialah, sebagaimana disebutkan di atas, self negation. Negasi diri, berarti juga adalah imanensi.
Menggunakan intuisi Nietzschean, jika demikian halnya maka percuma jika kita mencoba menyalahkan para pemeluknya, serta merta menganggap bahwa agama itu netral dan tak berdosa. Sejauh transendensi ada, maka penindasan akan selalu hadir! Jadi, sekali lagi, masalah utamanya, bukan para pemeluknya, tapi agama itu sendiri adalah masalah, karena ia adalah transendensi: yang pada dasarnya adalah imanensi, yakni negasi diri.
Guts, maka dari itu merupakan sosok yang mencoba mengafirmasi imanensi, seraya ‘menolak’ transendensi, sikap itu nampak dari perilakunya yang tak percaya pada otoritas apapun. Dalam posisi ini, Guts seolah-olah bilang: kau bisa menggonta-ganti sistem dan kepercayaanmu pada apapun, karena kedua hal tersebut itu kurang penting, sedangkan yang penting adalah dirimu sendiri (Wibowo, 2017: 217). Sikap soliter Guts adalah sikap afirmasi pada imanensi.
Kebobrokan yang hadir di dalam aktivitas keberagamaan, entah itu dalam anime Berserk dan juga Shingeki No Kyojin, menawarkan suatu insight bahwa agama pada dirinya sendiri bukanlah apa-apa. Ia hanyalah alat dari penguasa. Agama pada akhirnya hanyalah asap dari kobaran api, ia cuma efek dari suatu hal yang lain.
Dengan demikian, kita tahu bahwa emansipasi hanya dimungkinkan jika sistem itu sendiri ditolak, agama itu ditolak, sembari mengafirmasi bahwa yang paling penting adalah manusia. Karena yang namanya pewartaan atas kemuliaan Tuhan, politik atau apapun namanya, yang berwujud transendensi merupakan sikap merendahkan derajat manusia (Bakunin, 2017: 66). Dalam artian, transendensi yang dianggap sebagai suatu hal yang fix atau yang mutlak (Sunardi, 1999: 29).
Daftar Pustaka
Althusser, Louis. (2007). Filsafat Sebagai Senjata Revolusi. Resist Book: Yogyakarta.
Bakunin, Mikhail. (2017). God and State. Terj. Zulkarnaen Ishak. Second Hope: Yogyakarta.
Pontoh, Coen H. (2015). Teori Negara Marxis: Eksplorasi atas Pemikiran Friedrich Engels. Dalam Mulyanto, Dede (ed). Di Balik Marx: Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels. Marjin Kiri: Tangerang Selatan.
Fromm, Erich. (2004). Konsep Manusia Menurut Marx. Terj. Agung Prihantoro. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Suryajaya, Martin. (2009). Imanensi dan Transendensi: Sebuah Rekonstruksi Deleuzian atas Ontologi Imanensi dalam Tradisi Filsafat Prancis Kontemporer. AksiSepihak: Jakarta Barat.
Sunardi, St. (1999). Nietzshce. LKis: Yogyakarta.
Suseno, Franz Magnis. (2016). Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Kanisius: Yogyakarta.
Suseno, Franz Magnis. (2000). Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Wibowo, Setyo. (2017). Gaya Filsafat Nietzsche. Kanisius: Yogyakarta.
Comments
Post a Comment