Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Gambar diambil dari: https://neuroecology.wordpress.com/category/paper-roundups/

Siapa yang dapat mengira bahwa hantaman batin dapat melahirkan pemikiran yang jenius? Ya aku tak mengira hal itu dapat terjadi, namun itu terjadi padaku. Setelah mengalami hantaman batin yang cukup serius dan hebat. Pertentangan itu terjadi setelah aku kembali merefleksikan pemikiran Freire dan Nietzsche, lalu beberapa filsuf lainnya. Lalu pikiranku tiba-tiba melahirkan berbagai ide yang cukup bagus untuk direnungi; direnungi oleh diriku sendiri tentunya.
Tapi sebelumnya aku menghimbau bahwa tulisan ini tidak ditujukan bagi mereka yang tak bisa memahamiku, karena aku memang sulit dipahami. Pikiranku terlampaui sulit dipahami oleh mereka yang tak mengenal diriku. Mungkin pikiranku terlalu hebat. Tapi, aku percaya bahwa pikiranku ini pernah, atau mungkin sekali dipahami. Hanya saja, aku yakin bahwa pemahaman atas pikiranku hanya sebatas pengertian yang terbatas, tak utuh dan kurang benar (jika tidak ingin disebut salah). Terlepas dari itu, aku tak hendak untuk mengurungkan niatku untuk menuliskan hal ini.
Aku sadar, manusia itu dibagi ke dalam dua macam tipe. Tipe pertama adalah anti-dialogis, dan yang kedua adalah dialogis. Orang pertama adalah orang-orang keras kepala, yang tak mau mendengarkan perkataan orang lain. Ia hanya mendalkan insting individualnya dalam mengambil keputusan. Dan segala keputusan yang dia buat, bahkan yang mengatasnamakan keputusan demokratis; yang mana berhubungan dengan orang-lain, alih-alih mempertimbangkan intersubjektifitas, malah menampik tendensi ke arah itu.
Ketika berhadapan dengan orang lain, orang ini tak mau mendengarkan penjelasan dari sang liyan terlebih dahulu. Meskipun di antara relasi tersebut terjadi dialog satu sama lain, tapi sebenarnya si anti-dialogis telah menyimpan keputusan di dalam benaknya. Dialog baginya hanyalah jalan, menuju manipulasi dan pemaksaan kehendak yang akan ia lakukan. Manusia atau orang ini, tak menyukai pertentangan yang terjadi di dalam dialog, tak menyukai perdebatan yang terjadi, karena baginya perdebatan dan pertentangan hanyalah gangguan dalam suatu dialog. 
Dalam arti itu, kita bisa membaca, bahwa manusia anti-dialogis memang selalu memendam keputusan. Keputusan subtil yang licik tentunya. Ini bagiku, merupakan konsekuensi logis dari keengganan dalam melakukan perdebatan dan pertentangan dalam komunikasi. 
Berlawanan dengan itu, kita menemukan manusia dialogis. Manusia dengan tipe ini justru berbeda, bahkan berkebalikan dengan manusia atau orang tipe pertama. Manusia ini, dalam relasinya dengan orang lain, selalu menekankan intersubjektifitas, keterhubungan satu sama lain, demi mencapai konvensi. Manusia dengan tipe ini tak akan pernah jengah dengan benturan dalam dialog, pertentangan dalam argumentasi, perbincangan berkelok nan tiada batas. Orang ini, kuat berhadapan dengan situasi tersebut dikarenakan, ia menjunjung tinggi intersubjektifitas. 
Memang, pengambilan keputusan dari manusia tipe kedua cenderung berbelit-belit, ribet, memakan waktu yang lama, menguras kesabaran yang tak berhingga, bahkan nampak tak akan pernah menyelesaikan masalah. Namun, sepertinya tidak demikian. Mengapa? Karena, dengan anti-dialogis sebenarnya kita sedang memberangus sisi manusiawi kita sendiri. Ya, manusia adalah homo socius, ia dalah mahluk yang tak bisa hidup tanpa manusia lainnya. Dalam artian ini, manusia merupakan mahluk yang tak bisa tidak untuk berelasi. Berelasi dengan orang lain pada akhirnya, mesti dimaknai bahwa manusia mesti berdialog. Dan dialog, meniscayakan atau membuka peluang besar untuk terjadi pertentangan. Pertanyaannya mengapa pertentangan bisa terjadi? Hal tersebut terjadi, karena perbedaan. Perbedaan itu tentunya meniscayakan potensi pertentangan. 
Jadi kita bisa lihat dan menilai bahwa manakah yang lebih baik di antara dua tipe itu. 
Tulisan ini memang kurang jelas, tapi biarlah karena batas menulis di akun ini begitu sempit.

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra