Epistemologi Ala Descartes


Oleh: Raja Cahaya Islam[1]

Epistimolgi adalah salah satu cabang dari filsafat. Epistimologi membahas mengenai pengetahuan. Epistimologi mempertanyakan, Apakah pengetahuan itu? Apakah kita dapat mengetahui? Bagaimana cara kita mengetahui? Sejauh manakah suatu pengetahuan itu sah? (Sudarminta, 2002: 18). Permasalahan lainnya seperti, seperti apakah hubungan antara pengetahuan dan kepastian, antara pengetahuan dan kemustahilan kekeliruan, tempat pengalaman dalam membangkitkan pengetahuan, atau tempat rasio dalam hal membangkitkan pengetahuan (Blackburn, 2013: 286)
Kajian epistimologi secara tidak langsung, dimulai dari para filosof Yunani, yang kita kenal sebagai kaum sofis. Kaum sofis, terkenal dengan pandangannya mengenai kerelatifan suatu kebenaran atau pengetahuan, mereka meyakini bahwa sesungguhnya ukuran kebenaran itu adalah manusia, pandangan ini berasal oleh Protagoras. Ia meyakini, bahwa semua pengetahuan itu relatif bagi suatu sumber, suatu konteks, suatu kebudayaan, suatu masyarakat dan seorang individu (Solomon & Higgins, 2003: 76). Bahkan ada suatu pandangan yang lebih parah lagi, yaitu pandangan yang dikemukakan oleh Gorgias. Ia benar-benar mengingkari realitas. Dalam ungkapannya yang terkenal, bahwa tak satu pun yang ada, jika sesuatu itu ada maka tidak mungkin dipahami, jika sesuatu itu dipahami maka sesuatu itu tak mungkin dapat dikatakan (Tafsir, 2012: 52).
Masalah-masalah diatas adalah permasalahan epistimologi. Yang kemudian permasalahan ini terus berlanjut sampai zaman modern. Kita mungkin mengetahui bapak modern yaitu Rene Desacrtes, yang mulai mengangkat masalah epistimologi, sebagaimana yang terjadi pada zaman Yunani Klasik. Namun Istilah epistimologi digunakan oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854 (Tafsir, 2013: 23).
Dalam tulisan ini, kita tidak akan menjabarkan seluruh permasalahan epistimologi yang dibahas oleh seluruh filosof, namun kita akan fokuskan pembahasan epistimologi pada salah satu tokoh saja, yaitu Rene Descartes sebagaimana yang telah disinggung dalam paragrap sebelumnya.
Sedikit Mengenai Descartes
Descartes lahir tahun 1596 dan meninggal pada tahun 1650. Bukunya yang terpenting didalam filsafat murni ialah Discours de la Methode (1637) dan Meditation (1642). Kedua buku itu menjadi buku yang penting dalam filsafat Descartes, dan didalamnya juga terdapat metode yang paling terkenal dari Descartes, yaitu metode keraguan Descartes (Cartesian Doubt). (Tafsir, 2012: 129). Ia lahir di La Haye, dekat Tours, Descartes menjalani pendidikan di kampus Yesuit yang baru di La Fleche, sebelum belajar hukum di Poitiers. Pada 1618 (Blackburn, 2013: 232)
Descartes menggunakan pendekatan matematis dalam bangunan filsafatnya, yang menurut keyakinan Descartes, dapat membuat filsafat itu berdiri kokoh, dalam artian memberikan suatu kejelasan dan kepastian. Matematika menurut Descartes, memberikan suatu pengetahuan absolut, universal, dan tidak akan ada yang dapat meragukannya. Selain itu, matematika lah yang membawa Copenicus kepada suatu teori[2] yang baru, serta Galileo[3] yang memberikan suatu dukungan terhadap teori Copernicus (Lavine, 2002: 81).
Rasionalisme sebagai Pandangan Epistemologi
            Sebelum memasuki pemikiran epistimologi dari Descartes, ada baiknya kita membahas mengenai Rasionalisme. Descartes digolongkan kepada aliran Rasionalisme, mengapa? Mungkin penjelasan dari Rasionalisme akan menjawab pertanyaan itu, ditambah dengan teori-teorinya yang akan dibahas pada bab selanjutnya, akan menegaskan posisi Descartes sebagai kaum rasionalisme.
            Rasionalisme, adalah suatu aliran filsafat menekankan peran rasio dalam mendapatkan suatu pengetahuan. Para rasionalis, lebih memilih rasio daripada pengalaman indrawi sebagai sumber utama dan satu-satunya pengetahuan. Rasionalisme dimulai oleh kaum Eleatik[4] (Blackburn, 2013: 732)
Metode Matematis dalam Filsafat Descartes
            Descartes dalam hal ini menggunakan metode matematis dalam mengkaji filsafatnya. Sebelum itu timbul suatu pertanyaan, mengapa metode matematika dimasukan dalam rasionalisme –sebagaimana Descartes? Jawaban atas pertanyaan ini adalah, bahwa matematika hanya berada padar tataran mental, yang tidak didasarkan atas persepsi yang didapatkan dari indra. Meskipun, pada akhirnya kesimpulan-kesimpulan matematika bisa diterapkan pada hal-hal material (Lavine, 2002: 81).
            Metode penggunaaan metode matematika ini ada dua. Pertama, intuisi. Dengan intuisi yang dimaksud Descartes adalah, dimana suatu pengetahuan membuktikan dirinya sendiri, atau bisa juga kita maksudkan bahwa intuisi adalah pemahaman kita atas prinsip bukti diri, dalam artian mengetahui itu semua benar secara absolut dan berlaku universal, seperti aksioma geometri  (garis lurus merupakan jarak terdekat antara dua titik) dan aritmatika (Misalnya 2 + 2 = 4). Nah, aksioma-aksioma ini tentunya, dibuktikan melalui proses mental kita (Lavine, 2002: 81). Kedua, Deduksi, dimana setiap prinsip harus didasarkan pada sekumpulan aksioma dasariah, yang demikian jelasnya, sehinga “jelas dengan sendirinya” (Solomon & Higgins, 2003: 330).
Metode Skeptis awal dari Kepastian Pengetahuan
            Filsafat Descartes diawali dengan tuntutan bahwa kita menetapkan kebenaran atas kepercayaan kita sendiri. Untuk tujuan ini, Descartes menggunakan metode keraguan, dimana ia benar-benar mencurigai seluruh kepercayaan, atau oleh para skeptik awal disebut epoche (menangguhkan). (Solomon & Higgins, 2003: 327).
Namun apakah mungkin semua kepercayaan yang kita bangun sedemikian rupa, dalam artian seluruh kepercayaan kita diruntuhkan? Namun Descartes memiliki semangat optimistik dalam hal ini, ia –sebagai pencinta kepastian dan keteraturan— mengkelaskan dan mengelompokkannya untuk mengetahui apakah ada satu keyakinan yang tidak bisa diragukan dengan memenuhi tiga kriteria ala Descartes, yaitu: Pertama, dalilnya tidak dapat diragukan lagi. Kedua, keyakinan itu bersifat final. Ketiga, bahwa keyakinan itu merupakan sesuatu yang ada (sehingga keyakinan keberadaan benda lainnya bisa disimpulkan (Lavine, 2002: 82).
Berdasarkan kriteria Descartes itu, ia menguji persepsi indrawi. Ia meyakini bahwa ia sering kali tertipu oleh indranya sendiri, misalnya, ketika ia melihat seekor sapi berjarak 30 meter dari dirinya, sapi itu akan terlihat kecil, namun ketika sapi itu berjarak 1 meter dari dirinya, sapi itu tampak besar. Atau dalam persitiwa-peristiwa lainnya, semacam, ketika kita mencelupkan pulpen pada sebuah gelas kaca yang didalamnya terdapat air, maka pulpen itu akan terlihat bengkok. Dan hal-hal yang demikian itu membuktikan indra kita seringkali menipu. Maka persepsi indrawi tidak memberikan suatu pengetahuan yang pasti. Namun disisi lain, Descartes tidak dapat meragukan bahwa dirinya –misalnya— sedang mengenakan pakaian, maka pada saat yang sama persepsi indrawilah yang bekerja. Tapi, menerut Descartes, ia pernah mengalami hal yang serupa dalam dunia mimpi, yaitu megenakan pakaian yang sama. Jadi, apakah Descartes sedang bermimpi? Dan hal ini menunjukan kelemahan kedua dari persepsi indrawi, persepsi indrawi tak dapat memisahkan dunia real dengan dunia mimpi (Tafsir, 2012: 129-130)
Descartes kemudian menyadari, ada sesuatu yang tidak bisa tidak pasti dan benar, walaupun ia sedang bermimpi, yaitu aritmatika dan geometri. Pengetahuan ini tidak didapatkan dari indra, namun didapatkan dari pikiran/akal. Namun Descartes juga meyakini, kadangkala ahli matematika pun melakukan suatu kesalahan. Barangkali ada “setan yang cerdas” yang membuat ia melakukan suatu kesalahan kepada diri kita (Solomon & Higgins, 2003: 329).
Namun disisi lain ketika Descartes meragukan semua yang dapat ia ragukan, ia tak dapat menyangkal atau terdapat suatu konsekuensi logis, bahwa harus ada yang sedang meragukan, atas keragu-raguannya, yaitu Aku ada. Bahkan jika segala sesuatu yang terpikirkan itu keliru, maka ada satu keyakinan yang tetap benar, yaitu berfikir atas kekeliruan itu, dalam artian proses mental apapun seperti meragukan atau berkeinginan, aku berada dalam keadaan memikirkan sesuatu. Dan inilah suatu kesimpulan akhir dari Descartes dalam suatu ungkapannya yang terkenal yaitu, Cogito Ergo Sum, Aku Berfikir maka Aku Ada (Hardiman, 2007: 38).
Lalu Descartes mulai memasukan kesimpulannya itu dalam suatu kategori yang ia tetapkan sebelumnya. Pertama, apakah dalil ini bisa terbukti dengan pasti, atau tak dapat diragukan lagi? maka jawabannya, Ya, karena ketika aku berfikir atau meragukan itu, tak dapat diragukan kembali, kecuali ada Aku yang meragukan itu. Kedua, apakah tidak terikat dari kebenaran akhir lainnya? Jawabannya, Ya, diri yang berfikir ini tidak disimpulkan dari kebenaran yang lebih akhir. Semua yang berpikir itu ada, yaitu aku yang berpikir, maka aku ada. Ketiga, apakah merujuk pada dunia yang ada? Jawabannya, Ya pula, diri yang berfikir yaitu Cogito merujuk padaku, yang ada sebagai benda berpikir. Maka Aku ada (Lavine, 2002: 86).
Dari hasil kesimpulan mengenai keniscayaan diri, yang tidak mungkin digugurkan lagi, lahirlah suatu paham subjektivisme, dimana semua pengetahuan dari pemikiran lain atau dari benda material bisa dibuktikan atas kepastian aku, diketahui pasti olehku, serta kesadaran subjektifku sendiri dan pikiran atau ideku (Lavine, 2002: 87).
Pembuktian Keberadaan Tuhan sebagai Teori Pengetahuan
            Setelah Descartes menemukan aksiomanya, yaitu Aku berpikir maka Aku ada. Dimana ada suatu realitas, yang tidak dapat diragukan kembali, serta membuktikan suatu kepastian yang absolut. Namun Descartes ternyata hampir terjebak kepada solipsisme. Maksud dari solipsisme adalah, dimana seseorang mengingkari realitas selain dirinya, dan ia  meyakini bahwa satu-satunya realitas adalah dirinya (Lavine, 2002: 88). Descartes pada tahap ini, tentunya tidak mau terjebak dalam solipsime, sehingga ia mesti membuktikan realitas diluar dirinya, namun tentunya tidak terlepas dari prinsip Descartes, bahwa suatu pengetahuan itu haruslah pasti. Maka dari itu, ia pada akhirnya harus membuktikan keberadaan Tuhan, bahwa Tuhan tidak akan menipu dirinya mengenai realitas diluar dirinya (Solomon & Higgins, 2003: 330).
Teori Keberadaan Tuhan
            Ketika Descartes mengemukakan mengenai bukti keberadaan Tuhan, agar tidak terjebak dalam solipsisme, Descartes tidak membuktikannya lewat teori kausalitas, sebagaimana pada umumnya. Tapi dikarenakan Descartes jelas-jelas masih menangguhkan akan keberadaan realitas selain dirinya, maka tidaklah mungkin ia menggunakan hukum kausalitas kosmologi[5] dalam pembuktiannya. Begitu pula Descartes tidak mungkin menggunakan teori harmoni dan keteraturan alam semesta dalam pembuktian keberadaan Tuhan, sebagaimana yang dilakukan oleh para filosof Abad pertengahan. Descartes dalam membuktikan keberadaan Tuhan, hanya dengan kesimpulannya yang absolut mengenai keberadaan Aku. Aku dalam artian sebagai benda berpikir dan memiliki Ide. (Lavine, 2002: 91).
            Ide yang dimaksud Descartes adalah segala sesuatu yang disadari seseorang, seperti perasaan, persepsi indra, pengingatan atau kenangan dan pemikiran kaum intelek[6]. Lalu Descartes mulai mengidentifikasi tiga ciri utama Ide dalam tiga hal: Pertama, darimana datangnya atau sumber ide, Kedua, realitas apa yang ada didalamnya, Ketiga, merujuk kemana ide itu (Lavine, 2002: 91).
Pertama, Sumber Ide menurut Descartes itu terbagi pula kepada tiga macam: Pertama, Innate Idea, yaitu ide bawaan, datangnya ide ini tidak diperoleh lewat persepsi Indrawi, namun kita sudah memilikinya sebagai sifat alami. Contohnya, hukum kausalitas, keberadaan, waktu, ruang, prinsip dasar matematika dan logika. Kedua, factitious, maksudnya dimana ada ide yang ditemukan lewat imajinasi manusia. Contoh, Superman, Gatot kaca, atau manusia setengah burung. Ketiga, adventitious, maksudnya, dimana suatu ide datang dari luar diri kita[7]. Contoh, mendengarkan suara, melihat matahari dan warna (Lavine, 2002: 91-92).
Kedua, Realitas apa yang terdapat didalam ide, menurut Descartes, memang benar-benar ada dan menunjukan pada realitas nyata. Dan yang Ketiga, merujuk kemana ide itu. pembahasan mengenai merujuk kemana suatu ide, adalah pembahasan yang akan membawa kita kepada pembuktian mengenai keberadaan Tuhan. Menurut Descartes, suatu ide itu menunjukan pada Realitas Objektif. Dimana suatu ide itu merujuk kepada suatu objek, misalnya, ide tentang Tuhan –yang akan kita bahas—merujuk kepada Tuhan, ide manusia merujuk kepada manusia, dst (Lavine, 2002: 92).
Ide mengenai Tuhan
            Setelah kita memberikan argumentasi kepada Ide, dalam artian memberikan kepastian kepada Ide, Descartes setelah itu memberikan suatu argumentasi mengenai Ide Tuhan, dalam artian mengenai keberadaan Tuhan. Descartes dalam hal ini membuktikan keberadaan Tuhan menggunakan kausalitas, namun dalam kerangka Cogito. Argumentasi Pertama. Ide mengenai Tuhan, adalah suatu yang sepurna. Dalam argumentasinya ini, Descartes memegang argumentasinya pada suatu kesimpulan. Tidak mungkin suatu yang sempurna itu berlanjut dari suatu yang tidak sempurna. Maka dari pendasaran ini, Ide mengenai Tuhan tidak mungkin berasal dari Aku sebagai suatu yang tidak sempurna, maka Ide mengenai Tuhan itu berasal dari Tuhan itu sendiri, sebagai sesuatu yang sempurna (Lavine, 2002: 92-94)
Lalu timbul suatu pertanyaan, apa argumentasi yang membuktikan bahwa Aku tidak sempurna? Faktanya Aku, dalam hal ini, masih meragukan suatu pengetahuan, yang mana ini menunjukan ketidak sempurnaan Aku, seandainya Aku sempurna, maka aku akan membuat diriku tidak harus meragukan suatu pengetahuan, dikarenakan aku sudah mengetahui dengan pasti suatu pengetahuan, namun pada faktanya tidak demikian (Lavine, 2002: 93)
Argumentasi Kedua. Descartes menambahkan argumentasi lain dari pendasarannya pada kausalitas yang telah dijabarkan sebelumnya. Descartes dalam hal ini memberikan suatu kemungkinan mengenai sebab dari keberadaan Aku –sebagai pokok pendasarannya : Pertama, apakah mungkin Aku sendiri yang menjadi sebab keberadaanku? Kedua, ataukah sumber lain yang kurang sempurna? Ketiga, apakah Tuhan sebagai suatu yang sempurna? Jawaban atas pertanyaan pertama: jawabannya adalah tidak mungkin, dikarenakan jika Aku yang menciptakan keberadaan diriku sendiri, maka Aku akan membuat diriku sempurna, dan pada faktanya tidak demikian, karena Aku tidak memiliki kemampuan itu. Jawaban atas pertanyaan kedua, jika orang lain yang menyebabkan diriku, maka akan terjadi ketidak terbatasan. Maksudnya, jika orang lain menjadi penyebab diriku, maka orang lain itu harus ada yang menjadi penyebab dirinya, dan seterusnya tak terhingga. Jawaban atas pertanyaan ketiga, inilah yang benar-benar mungkin, dikarenakan inilah suatu yang final, dikarenakan tidak ada lagi kemungkinan sebab lain, dan ditambah atas argumentasi Pertama (Lavine, 2002: 96).
Berdasarkan pembuktian mengenai keberadaan Tuhan ini, Descartes meyakini bahwa Tuhan tidak menipu, dan Descartes tidak terjebak pada Solipsisme. Selanjutnya Descartes akan membuktikan mengenai keberadaan benda fisik.
Bukti Keberadaan Benda Fisik
            Descartes seperti yang sudah kita fahami, menolak persepsi indra dikarenakan indra sering kali menipu –pulpen yang dicelupkan pada segelas air akan terlihat bengkok. Tapi objek fisik itu terdapat benar-benar terasa oleh indra, dan kesan ini ada sejak kita lahir, dan ini menunjukan bahwa benda fisik juga merupakan Ide, yang dalam bahasa Descartes disebut sebagai perluasan dariku (Res Extensa). Maka dari itu, Descartes mulai mendasarkan pembuktiannya pada Cogito nya (Hardiman, 2007: 40).
Sebelumnya kita meyakini bahwa Aku itu benar-benar berada dengan pasti, dan Tuhan sebagai zat sempurna benar-benar berada, dan Descartes meyakini bahwa semua memiliki sebab. Maka pertanyaan selanjutnya adalah “apa yang menjadi sebab dari ideku –ide mengenai benda fisik? Sebab benda fisik tentunya bukan dari diriku, karena jika Aku yang menjadi benda fisik maka aku bisa bebas menentukan setiap objek fisik, tapi pada faktanya tidak demikian. Misalnya, aku tidak bisa merubah warna meja yang didepanku pada saat itu juga. Maka tidak mungkin benda fisik itu berasal dari ideku. Jika didasarkan pada prinsip kausalitas, maka akibat tentunya tidak akan berbeda dari sebab, dalam artian benda fisik tentunya berasal dari benda fisik.  Dengan demikian benda fisik  ada diakibatkan berasal dari Ide kita mengenai benda fisik tersebut. Maka keberadaan benda fisik itu pasti, disamping keberadaan Aku dan Tuhan (Lavine, 2002: 102).
Namun, lanjut Descartes, persepsi indra tidak memberikan suatu pengetahuan yang persis sebagaimana benda fisik tersebut, namun hanya Ideku mengenai benda fisik sajalah yang dapat memberikan pengetahuan yang pasti. Dalam menyikapi permasalahan tersebut Descartes, memberikan percobaan terhadap sebongkah lilin. Descartes, mengakui warna dan rasa yang terdapat dalam sebongkah lilin, dan mengakui pula mengenai ukuran dan bentuk mengenai benda fisik (Blackburn, 2013: 234).
Sensasi-sensasi yang didapatkan dari benda fisik tadi seperti, warna dan rasa, itu berasal dari Ide Adventitious, yaitu ide yang muncul dari luar diri kita. Namun menurut Descartes, hal tersebut bukan berasal dari objek benda fisik tersebut, namun berasal dari diri kita. Sedangkan ukuran dan bentuk itu berasal dari objek benda fisik tersebut, dan Descartes mengklasifikasikan ini kepada Ide Innate[8] (Lavine, 2002: 105). 
Berdasarkan hal ini Descartes, benar-benar menggunakan metode matematis dalam menyikapi hal diatas, dimana ia hanya meyakini bahwa sifat benda fisik yang sejati/primer hanya pada ukuran dan bentuk, sedangkan warna dan rasa hanya ada pada diri kita sendiri, sebagai penentunya (Blackburn, 2013: 234). Dan berbagai argumentasi inilah yang menjelaskan –dengan kepastian—mengenai keberadaan benda fisik.






DAFTAR PUSTAKA
Blackburn, Simon. (2013). Kamus Filsafat : Buku Acuan Paling Terpercaya di Dunia. Terj. Yudi Santoso, S.Fil. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hardiman, Budi F. (2007). Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lavine, T.Z. (2002). Petualangan Filsafat; dari Socrates ke Satre. Terj. Andi Iswanto dan Deddy Andrian Utama. Yogyakarta: Jendela.
Sudarminta, J. (2002). Epistimologi Dasar. Yogyakarta: Kanisius.
Solomon, C. Robert., Higgins, M. Kathleen. (2003). Sejarah Filsafat. Terj. Saut Pasaribu. Jogjakarta: Bentang Budaya.
Tafsir, Ahmad. (2012). Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: Remaja Rosdakarya.





[1] Penulis adalah Mahasiswa UIN SGD BDG, jurusan Aqidah Filsafat dan aktif di UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman.
[2] Teori yang pada saat itu dikecam oleh Gereja, Copernicus pada abad XVI merevolusi ilmu astronomi dengan teori Heliosentris. Dalam teorinya itu Copernicus mengungkapkan, sesungguhnya bumi lah yang mengelilingi matahari, atau dalam kata lain, matahari sebagai pusat alam semesta (Heliosentris).
[3] Galileo pada abad XVII, yang dapat memberikan bukti kebenaran teori Copernicus.
[4] Mazhab filosofis yang dimulai oleh Parmenides dari Elea di abad ke-6 SM. Parmedines disebut kaum rasionalis dikarenakan, ia lebih menggunakan rasionya dalam melihat realitas. contoh, ia melihat bahwa segala sesuatu itu diam tak bergerak, padahal jelas-jelas indra kita mengatakan, ketika melihat realitas, bahwa realitas itu bergerak. Disini tampak jelas peran rasio yang ditekankan.
[5] Bahwa Tuhan menjadi penyebab dari segala yang ada, yang didasarkan bahwa dunia pasti memiliki sebab, dan Tuhan menjadi penyebab terakhir.
[6] Seperti: pernyataan ilmiah, matematis, atau filosofis
[7] Disini tampak bahwa Descartes tidak benar-benar mengingkari persepsi indra. Namun Descartes hanya mengakui bahwa persepsi indra hanya memberikan bentuk dasar.
[8] sebagai bawaan dari diri kita secara alami, karena ukuran dan bentuk bukan berasal dari persepsi indrawi.

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra