Menyingkap “Tabir” Kesaksian dengan Hermeneutika

Oleh: Raja Cahaya Islam

Dalam kajian epistimologi tentunya kita tidak akan terlepas dari pembahasan mengenai dasar-dasar pengetahuan. Dasar-dasar pengetahuan tersebut terbagi 8 bagian, diantaranya : pengalaman, ingatan, kesaksian, minat dan rasa ingin tahu, pikiran dan penalaran, logika, bahasa, dan kebutuhan hidup manusia. Dalam hal ini kita akan ambil salah satu unsur dasar pengetahuan untuk dikaji dalam tulisan ini, yaitu kesaksian.
Kesaksian dimaksudkan sebagai mempercayai otoritas seorang dalam menyampaikan suatu informasi, dalam hal ini kesaksian berkaitan dengan sejarah. Kesaksian, dalam hal ini adalah menyandarkan kepercayaan kepada orang yang benar-benar langsung menyaksikan suatu peristiwa sejarah (Sudarminta, 2010: 35). Biasanya pengetahuan yang kita dapat dari kesaksian orang lain kita temukan dalam bentuk sebuah teks.
Mengapa kita membutuhkan suatu kesaksian ? karena kita tidak hanya bisa menyandarkan suatu pengetahuan kepada pengalaman atau ingatan saja. Karena, pengetahuan yang diperoleh dari diri sendiri itu hanya mencakup pengetahuan yang sedikit, sedangkan, kebanyakan pengetahuan yang kita peroleh itu didapat melalui kesaksian. Karena, jika kita menolak sumber pengetahuan yang didasarkan atas kesaksian, tentunya kita tidak akan mungkin bisa mengembangkan pengetahuan. Misalnya, kita tidak akan mengetahui dan mengambil makna  dari sosok Soekarno apabila kita tidak mempercayai kesaksian, atau sejarah renaissance tidak akan kita ketahui kecuali didapat dari kesaksian.
Namun yang menjadi problem adalah apakah orang yang kita beri kepercayaan sebagai saksi sudah benar dalam memberikan pengetahuan? Jika merujuk kepada Karl Jaspers, ia mengatakan bahwa objek itu terbentuk dari kerangka kondisi pada zamannya, dan ia sebut sebagai das umgreifende. Dalam artian, seseorang selalu berada dalam kerangka referensi, dimensi, suatu batas, nyata atau semu, yang memberikan suatu ciri khas pada objek (Sumaryono, 1999: 33).
Maka seorang saksi tidak bisa lepas dari kerangka dan bentukan yang telah disebutkan Jaspers diatas. Bahkan aliran skeptisisme pun menolak pengetahuan yang didasarkan atas kesaksian, karena penuh dengan tipuan, dan bahkan seorang saksi itu sangat tidak bisa dipercaya. Lantaran ada anggapan bahwa seorang saksi bisa saja menambah atau mengurangi suatu informasi.[1] Maka kita mesti memberi interpretasi kepada suatu kesaksian, karena bisa saja suatu yang dijabarkan itu telah jauh dari kadar kemurnian.
Hermeneutika sebagai alat untuk memahami
            Didalam uraian-urain sebelumnya kita fahami bahwa seorang saksi itu terbentuk dari bawaan-bawaan yang membentuk dirinya, sehingga pemahaman kita terhadap suatu pengetahuan yang didasarkan kepada kesaksian, dimungkinkan tidak menjadi murni sebagaimana adanya. Meskipun disisi lain, hal ini tidak dapat kita kesampingkan begitu saja, karena kesaksian sangat berkontribusi dalam suatu pengetahuan. Maka untuk menjawab masalah-masalah diatas, heremeneutika hadir sebagai suatu alat untuk memahami sebuah kesaksian –dalam bentuk teks— dan memperoleh makna darinya, sehingga melahirkan suatu pengetahuan. Dalam uraian ini kita akan mengambil hermeneutika yang diajukan F.D.E Schleiermacher.   
            Heremeneutika adalah suatu seni interpretasi terhadap suatu teks. Scheleiermacher menawarkan suatu rumusan dalam seni interpretasi, Pertama, rekonstruksi objektif-historis, yang ia maksud ialah membahas sebuah pernyataan dalam hubungan dengan bahasa bagi keseluruhan. Kedua, rekonstruksi subjektif-historis, ia bermaksud membahas awal mulanya sebuah pernyataan masuk dalam pikiran seseorang. Scheleiermacher menyatakan, bahwa hermeneutika adalah memahami “teks” lebih baik dari pengarangnya, dan memahami pengarang lebih baik dari memahami diri sendiri (Sumaryono, 1999: 41)
Pemahaman seorang saksi ketika memberikan suatu informasi –dalam teks—cenderung lebih subjektif, dikarenakan ia hanya memandang suatu peristiwa hanya dalam kerangka ruang dan waktu yang sempit. Sedangkan seorang interpreter akan bisa melihat dari keseluruhan suatu peristiwa secara baik dan benar, karena ia melihat dari sudut pandang yang luas, beserta seluruh aspek yang tidak dilihat oleh seorang saksi. Maka, memang sudah menjadi tugas seorang interpreter, memahami seluruh konteks keseluruhan bagian-bagiannya, sehingga memberikan suatu interpretasi yang baru (Sumaryono, 1999: 42)
Namun perlu dipahami juga, bahwa seorang interpreterpun tidak mungkin lepas dari apa yang ia tuduhkan kepada seorang saksi –kerangka dan bawaan yang menempel pada seorang saksi—. Maka hal ini memberikan kita pada pemahaman bahwa suatu interpretasi itu tidak statis, namun dinamis, sesuai dengan konteks sang penafsir. Namun, ini tidak menjadikan bahwa kesaksian itu tidak dapat dipercaya, karena kesaksian adalah salah satu sumber pengetahuan yang memberikan kontribusi yang besar.




[1] Materi Perkuliahan FIlsafat sejarah bersama pak Mulyadi, di jurusan aqidah filsafat, pukul 13.00, tanggal 17 November 2014.

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra