Sejarah Politik Islam: dari Rasulullah Hingga Ali

Oleh : Raja Cahaya Islam

Ketika islam lahir, islam berada dalam keadaan lemah. Ketika Rasulullah mendapat wahyu pertama dan mendakwahkannya, Rasulullah hanya memiliki sedikit pengikut, dan Islam ketika itu ditentang keras oleh golongan Quraisy yang berkuasa di Makkah, bahkan pengikut pada masa periode awal kerasulan, ditindas oleh kaum Quraisy, sehingga umat islam terpaksa harus hijrah ke Yasrib, yang terkenal dengan nama Madinah, yaitu kota Nabi (Nasution, 2013: 88)
Jika di Makkah umat islam ditindas, maka disini umat islam berkembang (Armstrong, 2012:119). Bahkan Rasulullah pun menjadi kepala negara di kota ini, yang didalamnya terdapat berbagai umat-umat selain islam. Jadi Rasulullah pada masa di kota ini tidak hanya menjadi pemimpin ruhaniah umat, namun sekaligus menjadi pemimpin negara. Sungguhpun tidak ada yang lebih pantas menempati status sebagai pemimpin negara selain Rasulullah s.a.w. disamping beliau dikuatkan statusnya sebagai seorang utusan Allah s.w.t.
Pada saat Rasulullah wafat, maka posisinya sebagai kepala negara digantikan. Sebagaimana dicatat dalam sejarah bahwa Abu Bakar yang menggantikan Rasulullah, dan Abu Bakar diberi gelar Khalifah. Ketika Abu Bakar wafat, lalu digantikan oleh Umar, sebagai khalifah yang kedua. Kemudian Usman bin Affan melanjutkan posisi sebagai khalifah ketiga, pada masa ini mulai terjadi persoalan-persoalan politik. Gubernur-gubernur yang telah diangkat oleh Umar bin Khatab, diturunkan oleh Usman dan digantikan dengan kerabat-kerabatnya. Politik nepotisme ini mengguncang umat pada masa itu, para Sahabat yang pada mulanya mendukung Usman, kini berpaling. Hingga pada akhirnya lima ratus pemberontak bergerak dari Mesir menuju Madinah, untuk menggulingkan kedudukan Usman sebagai Khalifah. Setelah Usman wafat, kemudian digantikan oleh Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat, namun Ali langsung mendapat tantangan dari pihak Talhah, yang disokong oleh Aisyah. Namun konflik ini menyebabkan Talhah dan Zubair terbunuh, dan Aisyah dikembalikan ke Makkah. (Nasution:2013:89)  
Dilain pihak Muawiyah juga ikut melawan, khalifah Ali. Muawiyah tidak mengakui Ali sebagai Khalifah bahkan Ali dituduh telah campur tangan dalam pembunuhan Usman, karena dalam pemberontakan itu terdapat Muhammad, ia adalah anak angkat dari Ali. Kemudian terjadilah perang Shiffin, Irak. Namun, peperangan ini diakhiri oleh tahkim/arbitrase, yang diusungkan oleh pihak Muawiyyah. Lalu, dipertemukanlah wakil dari kedua belah pihak, pihak Ali mengirimkan Abu Musa Al-Asy’ari dan Amr bin Ash dari pihak Muawiyah. Peristiwa tahkim ini kemudian dimenangkan oleh pihak Muawiyah, dan Ali turun dari jabatan khalifah. Pergolakan politik ini menyebabkan perpecahan diantara umat muslim, sehingga umat terbagi beberapa golongan. Yang pertama, golongan Syiah, yaitu para pendukung Ali. Yang kedua, Khawarij yang keluar dari barisan Ali, karena mereka memiliki argumen bahwa Ali sudah menghukumkan sesuatu kepada manusia, yaitu arbitase, namun menurut mereka yang seharusnya Ali lakukan adalah menghukumkan sesuatu kepada Allah s.w.t. (Nasution, 2013: 90)
Perlu diketahui bahwa sistem yang digunakan dalam memilih Khalifah setelah Rasulullah wafat adalah Musyawarah atau dalam bahasa lain secara demokratis antara Shahabat-shahabat. Sistem ini mengharuskan, jika suatu kesepakatan telah didapat, maka setiap pihak yang mengikuti musyawarah, wajib untuk ta’at kepada khalifah. Namun, mulainya terjadi problem politis dimulai pada masa Usman dan Ali. Dalam periode Usman, seperti yang telah disebutkan di atas, yang konon terdapat pergeseran politik, yaitu nepotisme yang menyebabkan kegaduhan diantara para Shahabat, di tambah aksi pemberontakan yang dilakukan terhadap kepemimpinan Usman. Peristiwa ini menampakkan terjadinya penyelewengan nilai-nilai politik demokratis yang pertama kali di usung oleh Rasulullah, terkhusus nilai kesetiaan pada pemimpin terpilih—meskipun kita tidak dapat menutup mata hal ini disebabkan oleh nepotisme Usman.
 Tak berhenti disitu, konflik terus berlanjut hingga pada fase kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, yang dituduh[1] tak bertanggung jawab atas peristiwa pemberontakan terhadap khalifah Usman, sehingga terjadi perang Shiffin, dan akhirnya terjadi arbitrase yang menyebabkan umat muslim terpecah kepada beberapa kelompok: Sunni, Khawarij (kontra terhadap Ali) dan Syi’ah (pro terhadap Ali)—kedua kelompok yang pecah.
Mulai dari terpecah belahnya umat, perspektif umat muslim terhadap sistem politik pun—boleh dikata— terdapat perberbedaan. Misalnya, Syiah memiliki pandangan bahwa khalifah seharusnya berasal dari ahlul bait (Rozak & Anwar, 2012: 130). Ahlul bait adalah keturunan Rasulullah, atau saudara sedarah Rasulullah. Syi’ah beranggapan bahwa yang seharusnya menjadi Khalifah pertama itu bukan Abu Bakar, lalu dilanjut oleh Umar dan Usman. Namun, yang harus menjadi Khalifah adalah Ali bin Abi Thalib. Jika dilihat sistem politik yang digunakan oleh Syi’ah ini bersifat eksklusif. (Rasjidi, 2013: 71). Namun, patut dipahami bahwa sistem politik yang digunakan oleh Syi’ah, merupakan usaha pencapaian suatu pemimpin umat yang ideal dan mereka membatasi diri hanya pada keturunan Rasulullah/ahlul bait, yang diyakini memiliki sikap-sikap yang ideal, untuk menjadi tauladan bagi umat Muslim.

Sedangkan kaum Khawarij memiliki pandangan politik yang berbeda dari Syi’ah, mereka beranggapan bahwa khalifah itu tidak harus ahlul bait dan tidak pula seorang dari suku Quraisy, yang katanya sebagai landasan politik ahlus sunnah waljamaah. (Syalabi:2003:283). Merenurut Khawarij, imam/pemimpin itu boleh tidak ada, diperlukannya seorang imam adalah jika keadaannya memang diharuskan untuk mengangkat seorang imam. Mereka berpendapat bahwa siapapun bisa menjadi imam, asalkan taat kepada Allah dan Rasul. Bahkan seorang budak pun dapat menjadi imam, namun tidak boleh luput dari syarat yang telah disebutkan.
Terakhir adalah Ahlusunnah waljama’ah, yaitu golongan Islam Sunni, berpendapat dengan landasan Hadist Rasul, bahwa pemimpin/khalifah harus dari Quraisy. (Nasution, 2013: 92). Namun, kita tidak boleh memahaminya secara harfiah saja, alangkah tepatnya jika kita memahami hadist itu secara metaforis, dalam artian yang dimaksud “harus beraswal dari suku Quraisy” adalah sifat-sifat mulia yang tercermin dari orang-orang Quraisy. Seperti: jujur, adil, amanah dan sifat-sifat lain yang menonjol dibanding dengan suku lain. Sehingga dapat dipahami bahwa politik ahlus sunnah tidak bersifat eksklusif namun inklusif, dalam konteks Islam tidak meng-superiorkan suatu ras tertentu, dan meng-inferiorkan ras lainnya. Mengutip pendapat H.M. Rasyidi, bahwa sesungguhnya—dalam doktrin Islam—di “mata” Allah, manusia itu sama, hanya saja takwa yang membedakan derajat seorang Muslim (Rasjidi:2013:71).
Dari uraian ini, kita tidak dapat menutup mata, bahwa terdapat multi interpretasi terhadap model sistem politik yang pertama kali di contohkan oleh Rasul, dan memang dalam sumber rujukan doktrin Islam sendiri, yaitu al-Qur’an dan Sunnah, tidak tercantum suatu sistem politik yang Ideal, sehingga multi interpretasi tak dapat dipungkiri.

DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Karen. (2013). Muhammad prophet for our time. Bandung : PT Mizan Pustaka.
Nasution, Harun. (2013). Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Jakarta : UI- Press.
Rasjidi, H M. (2013). Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution : Tentang “Islam ditinjau dari berbagai aspeknya”. Depok : Kalam Ilmu Indonesia.
Rozak, Abdul & Anwar, Rosihon. (2012). Ilmu kalam. Bandung : CV Pustaka Setia.
Syalabi, A. (2003). Sejarah & Kebudayaan Islam 2. Jakarta : PT. Pustaka Al Husna Baru.





[1] Tuduhan itu diteriakan oleh Kelompok Muawiyyah

Comments

  1. Jadi kumaha atuh ja. Antum sebagai calon intelektual dan cendikiawan muslim yg memegan amanah dan tanggung jawab ummat. Aku sih hanya kuli gambar yg menunggu pencerahan dari antum2 semua hhhaha. Salam pencerahan

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra