Refleksi atas emosi dan akal

Seringkali ketika menghadapi suatu masalah akal tiba-tiba mati bekerja. Kadang (seringkali) tak disadari, malah emosi yang maju ke garda depan untuk menyelesaikan masalah. Menurut penulis hal ini tak bisa dibiarkan, karena menimbang bahwa kita adalah manusia, dan ciri manusia adalah akal yang bekerja, bukan hawa nafsu (emosi).
Penulis kira hal ini biasanya disebabkan oleh ketidakmampuan akal menerjemahkan suatu masalah. Atau akal tak memiliki pengetahuan terhadap masalah yang sedang dihadapi, maka emosi maju sebagai penumpas.
Jima begitu apa bedanya kita dsngan hewan, yang apabila terancam (menghadapi masalah), ia akan lari tunggang langgang atau, jika mampu, melawan dengan kekuatan yang ada, tanpa prediksi kematian atau kemenangan.
Hal ini seringkali ditiru oleh manusia. Namun, bukan berarti hal ini diwajarkan, mengingat manusia pun termasuk hewan. Tapi ciri khas dari manusia itu yang patut dikedepankan.
Kekurangan pengetahuan inilah yang menjebloskan manusia dalam penjara kehewanan. Maka pengetahuanlah yang menjadi bahan bakar akal. Maka dari itu, pengetahuanlah yang bisa membungkam emosi ketika menghadapi suatu masalah.
Maka sudah sepatutnya kita bertanya, apabila kita emosi. Karena jangan-jangan kita tak mengetahui masalah yang dihadapi, sekaligus solusi apa yang harus dilancarkan.
Hal ini pun yang bisa jadi indikator kekurangan pengetahuan, bagi orang-orang yang selalu menggunakan emosinya.
Tak jarang kita melihat para ilmuan atau ulama yang kalem-kalem saja ketika menghadapi suatu masalah. Karena bisa jadi mereka tahu apa yang harus mereka lakukan.

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra