Refleksi atas tekanan batin

Waktu itu, di sekretariat, sebagaimana biasanya penulis mengobrol dengan kawan kawan sepencerahan. Salah satu dari kami, mengangkat topik pembicaraan seorang tokoh. Yaitu, Muhammad Al-fayyadl dan Martin suryajaya. Namun, kita tak membincangkan masalah pemikiran kedua orang jenius itu, mungkin karena kami sudah cukup lelah menjalani aktifitas hari itu. Jadi kami hanya membincangkan sedikit mengenai biografi mereka.
Kami setuju mereka berdua adalah orang yang sangat jenius, yang sangat pantas diacungi jempol. Pengetahuan mereka dalam kajian filsafafat tak usah ditanya lagi. Kami terkagum-kagum dengan kedua orang itu.
Pembicaraan lalu mengerucut kepada Al-fayyadl. Salah satu dari kami pernah membaca biografinya di internet. Ia menjelaskan, bahwa Fayyadl ketika di bangku sekolah telah mampi membaca teks asli Ibn Sina, menginjak semester 2 di bangku kuliah, ia berhasil menyelesaikan buku mengenai Derrida, dengan referensi bahasa inggris yang banyak, disertai dengan pembahasan yang sangat ajib.
Fayyadl memang luar biasa. Dibandingkan kami, yang diakui masing-masing, ketika menginjak bangku sekolah masih senang bermain, nongkrong, dan mungkin menjalin kasih dengan lawan jenis (terkhusus penulis). Kami benar-benar kagum.
Disisi lain, penulis benar-benar down mendengar cerita itu. Mengapa? penyesalan menyergap jiwa ini sehingga tak mampu berkutik. Namun, setelah dipikir (setelah obrolan selesai) aku lupa bahwa ada suatu faktisitas, meminjam istilah Satre, ya g hadir ditengah-tengah kehidupan seseorang. Sebelum itu aku pernah mendengar cerita dari salah seorang teman, ia menjelaskan, bahwa Fayyadl dan Martin bisa dianggap wajar jika mereka hebat, karena mereka berdua lahir disuatu lingkungan yang msmang mendukung. Begitu ucap temanku.
Namun disisi lain, kita tak bisa menutup mata bahwa di Indonesia lingkungan kajian memang terhitung 'malas' (mengutip dari Setyo wibowo dalam buku imanensi dan transendensi karya Martin Suryajaya, dalam pengantarnya).
Berangkat dari kesadaraan 'kefaktaan' bahwa kita tak dapat memilih ketika lahir, mungkin dapat sedikit mengobati mental yang down ini.
Manusia tak memiliki esensi pada awalnya. Begitu ucap Syekh Satre. Namun kita pun harus mengakui wilayah bawaan yang tak bisa kita pilih, yaitu wadah dalam menampung pengetahuan (karena kita masih berbicara mengenai sisi kecerdasar Martin dan Fayyadl) alias IQ. Ini pun layak menjadi perhitungan, bahkan patut. Hal inilah yang menurut penulis, menjadi esensi dari seorang individu (meskipun berbeda konteks dalam pembicaraan Satre, karena dalam konteks itu ia tengah berbicara kesadaran).
Lantas apa yang bisa dijadikan modal bagi penulis yang berbeda jauh dengan kedua tokoh itu? disamping penulis yakin kedua orang itu memiliki 'wadah' yang sempurna untuk menampung pengetahuan, dibanding penulis yang tanpungannya rusak, akibat terlalu banyak memimirkan ini itu yang nampak kurang bersesuaian dengan wilayah pengajian 'pengetahuan'. Pertama harus diakui, bahwa penulis benar-benar dicetak oleh lingkungan. Namun, penulis yakin (mengutip pendapat Ibn Sina) bahwa jiwa seluruh manusia ketika lahir, berada dalam kondisi potensial, yang harus diaktualisasikan (yang penulis maksud adalah intelek). Hal ini lah yang harus diperhatikan.
Jadi sudah seharusnya penulis bisa lepas dari pengaruh lingkungan (bukan lingkungannya yang harus ditinggalkan, karena kita tak dapat senaif itu meninggalkan habitat kita), dan kita harus bisa membentuk esensi kita 'sendiri'!. Penulos yakin, bahwa materi bawaan (misalnya IQ) tak akan menjadi beban yang signifikan dibanding dengan jiwa yang memiliki elan vital (istilah ini berasal dari Henry Bergson, kurang relsvan memang, karena maksud dariniatilah ini adalah daya penggerak dari realitas. Tapi kita coba bermain istilah) yang membawa kita pada kesempurnaan jiwa, atau dalam bahasa lain mengaktualisasikan intelek potensial menjadi intelek aktual, bahkan kalau bisa menuju intelek perolehan (masih meminjam istilah Syaikh ar-Rais, Ibn Sina).

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra