Refleksi keberagamaan part 1

Sebenarnya apa itu fungsi agama? terkhusus ritus-ritus yang senantiasa penulis laksanakan tiap waktu. Pertanyaan ini yang senantiasa berdengung didalam sanubari akalku. Mengapa? bagi penulis pertanyaan ini begitu penting. Penting, karena mungkin penulis dilahirkan dalam rahim lingkungan yang agamis, sekaligus dididik dalam lingkungan yang agamis pula. Mungkin hal itulah yang menyebabkan pertnnyaan ini begitu penting.
Terlepas dari itu, penulis mencoba untuk mencari jawaban ini dengan keras, tanpa ada motivasi apapun. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? entah.
Suatu saat, jawaban ini akhirnya terjawab. Jawaban ini didapatkan atas hasil bincang-bincang dengan seorang dosen di jurusan yang aku tempuh. Lantaran penulis adalah seorang yang malas menjawab, tapi sangat semangat untuj bertanya, maka ketika pertemuan penulis dengan dosen itu, penulis tak sia-siakan untuk langsung bertanya.
Mungkin sebelumnya penulis harus ingatkan, bahwa bagi anda para pembaca yang mungkin akan membaca ini atau sedang memvaca ini akan <em>boring</em>. Karena mungkin anda berpikir, bahwa bertanya pertanyaan ini sungguh menggelikan dan diluar kebiasaan. Maka penulis akan menjawab, Ya bahwa pertanyaan ini menggelikan, tapi hal ini begitu penting bagi penulis.
Kembali pada pokok bahasan, akhirnya jawaban itu penulis peroleh. Dosen penulis menjawab, bahwa beragama merupakan suatu kebutuhan bagi seorang manusia, bahkan sebanyak manusia. Namun jangan lantas mengartikan, bahwa kebutuhan disini laiknya hubungan antar manusia, seperti saling butuh. Karena Tuhan sama sekali&nbsp; tak butuh pada ritus yang kita laksanakan, dan mantra-mantra (do'a) yang kita panjatkan.
Kita harus senantiasa merasa butuh kepada Tuhan. Namun perlu diingat, substansi ibadah itu kosong.
Kosong, jika tak ada yang mengisinya. Isi yang kita maksudkan adalah keperluan akan kebutuhan. Kebutuhan harus senantiasa menempel pada ritus ibadah. Namun tentu saja, jangan sampai kita mereduksi keperluan kebutuhan dalam ritus keberagamaan. Misalnya, aku sholat karena sholat itu memberi manfaat biologis, seperti menangkal penyakit dll. MENgapa tidak boleh? karena pada akhirnya kita akan menemukan suatu hal lain yang dapat menggantikan ritus sholat (dalam konteks ini). Misalnya jika keperluannya adalah kesehatan, sebagai implikasi dari penangkal penyakit, maka kita bisa saja mengganti ritus iftu dengan berolah raga di pagi hari, atau berdansa diiringi lafu yang merdu, dan tentunya hal ini lebih menyenangkan.
Jadi sebenarnya reduksi yang telah kita bicarakan dalam paragraf sebelum ini (yang pada hari ini sedang marak), perlu dihindari. Lalu jika kita analisis lebih jauh, reduksi itu benar-benar sangat mengerikan. Mengapa? karena yang pada mulanya ritus itu berfungsi sebagai pengenyang ruh, malah jadi sebaliknya, yaitu pengenyang jasad (meskipun memang kesehatan ruh berimplikasi pada kesehatan jasad, namun bukan konteks ini yang penulis maksud, karena, sebagaimana penulis sebutkan diatas, jika direduksiseperti ini, maka ritus keagamaan bisa diganti dengan aktifitas lain). Maka alangkah eloknya, jika kita memahami kebutuhan kita sebagai kebutuhan spiritual, dan hal ini merupakan keniscayaan. Jika ada yang menyangsikan, menurut penulis maka ia belum memahami dualitas manusia, yaitu jiwa dan tubuh, yang masing-masing butuh 'makanan'. Namun dalam kesempatan kali ini penulis tak akan menyebutkan pengalaman ritus keagamaan penulis, karena ditakutkan pembaca, sedikitnya akan terpengaruh atau apapun bahasanya, meskipun penulis yakin hal ini tak akan terjadi. Jadi ibadah (ritus keagamaan) itu menjadi kebutuhan.
Persoalan lain yang mesti kita jawab adalah persoalan, mengapa kita harus beragama, setelah kita mengetahui (mungkin) mengapa harus beribadah.
Tuhan harus disembah. Hal ini yang menjadi kesepakatan para kaum agamawan. Namun apakah kita pernah bertanya, mengapa kita harus menyembah-Nya? Kita harus menyembahnya lantaran alasan kebaikan. "Tentu saja" mungkin itu yang ada dibenak pembaca.
Kebaikan yang penulis maksudkan adalah kebaikan bagi sesama manusia. Lebih spesifik penulis maksudkan sebagai penstabilan harmoni diantara manusia.
Maksudnya, ketika, misalnya seorabg manusia merasa dirinya sebagai penguasa diantara manusia lain, dan merasa hebat. Maka apa implikasinya? ia tak akan segan untuk mengeksploitasi manusia lain, atau mencelakakan orang lain. Karena, ketika ia merasa 'besar' maka manusia lain ia anggap sebagai kecil. Atau oun sebaliknya, yaitu merasa rendah diantara manusia lainnya. Hal ini bisa kita sebut mengeksploitasi diri, bagaikan ada dua entitas 'diri' dalam diri yang tunggal.
Syahdan, kesadaranterhadap Tuhan itu menjadi niscaya. Mengapa? ketika kita meyakini bahwa Tuhan adalah Dzat yang tinggi maka tak ada yang pntas untuk ditinggikan selain-Nya. Maka spirit pembebasan akan menjadi konsekuensi logia dari keyakinan ini, sekaligus menjadi kebebasan yang mebimbulkan harmoni. Bukan kebebasan yanf mengekploitasi, sebagaimana tercermin dalam pemikiran para eksistensialis macam Satre dan Nietzche. Hal inilah yang menurut penulis menjadi hal yang ideal.
Dan inilah yang menurut penulis termanifestasi dalam <em>syahadat.</em>
Sebenarnya hal inipun menjawab pertanyaan lain, yaitu pertanyaan, mengapa Rasul menyampaikan risalah tauhid ketika bangsa arab (Makkah khususnya) mengalami kekacauan? <em>to be continued to part 2.</em>
Gambar diambil dari: Google.com

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra