Refleksi atas keraguan part 2

Apakah pengetahuan kita benar-benar telah menggambarkan kenyataan? apakah pengetahuan kita benar-benar terlepas dari diri kita, dan secara independet berada diluar jangkauan kita? Pertanyaan inilah yang benar-benar mengusikku. Dan apakah kita benar-benar bisa memiliki pengetahuan yang tak tergoyahkan? bahkan bagaimana posisi sains yang dianggap sebagai ilmu pasti?
David Hume pernah berkata bahwa pengetahuan universal, dalam artian yang definitif itu tak pernah menyatakan kenyataan indrawi. Dan tak akan mungkin pernah merepresentasikan kenyataan secara pasti, meskipun kita telah melakukan observasi ribuan kali. Mengapa? Hume menggambarkan, ketika kita melihat A itu memiliki sifat x, lalu kita mengambil konklusi bahwa A pasti x. Hal ini menurut Hume, tak menggambarkan apa yang telah kita persepsi. Karena apakah mungkin penelitian selanjutnya, realitas akan menyatakan hal yang demikian? jawabannya, tidak pasti.
Gagasan Hume menginspirasi Popper dalam menjelaskan sains, dalam kritiknya terhadap positivisme logis yang menyatakan, bahwa suatu proposisi harus dapat diverifikasi secara empiris. Popper menggambarkan, bahwa usaha demarkasi terhadap kata yang bermakna atau tak bermakna, dalam artian tak bisa diverifikasi sama sekali tak berdasar. Karena, sebagaimana dijelaskan sebelumnya oleh Hume, bahwa konklusi kita terhadap kenyataan merupakan konsekuensi psikologis, dan bukan konsekuensi logis. Misalnya, angsa itu berwarna putih. Lalu ditemukan ada angsa berwarna hitam, alih-alih kita menyatakan bahwa teori angsa itu salah, tapi kita bisa mnyebutnya sebagai bukan angsa, dan menamainya dengan sebutan lain. Tapi pada nyatanya kita harus mengakui bahwa teori angsa berwarna putih, harus gugur dengan kenyataan bahwa ada angsa berwarna hitam. Dalam hal ini kita tak akan pernah mencapai suatu kesimpulan pasti, dalam sains. Jadi, kembali pada prinsip verifikasi, prinsip menggeneralisasi konsep itu tak akan pernah dapat diverifikasi secara empiris. Dengan begitu prinsip verifikasi dalam positivisme logis sama sekali tak bermakna.
Lalu dia menawarkan prinsip falsifikasi, karena verifikasi itu tidak mungkin. Prinsip ini bisa digambarkan dari kritik Einstein terhadap Newton. Teori Newton yang dianggap sebagai prinsip sains yang mendominasi dunia selama 200 tahun (kurang lebih), telah membantu berbagai permasalahan manusia. Dengan ini, teori Newton benar-benar dianggap sebagai teori yang sudah benar. Namun lebih lanjut, ternyata teori ini secara tak langsung dikritik oleh teori Relativitas Einstein. Namun bukan berarti Einstein lebih benar dari Newton, tapi teori ini lebih mendekati kebenaran setelah di observasi sedemikian rupa. Jadi benar dugaan Hume, bahwa konsep universal dalam teori sains itu sama sekali tidak menggambarkan kenyataan secara pasti.
Sampai sini Popper berkesimpulan, bahwa sains mesti dilekati prinsip falsifikasi, jika tidak bisa maka dari itu, sesuatu tak bisa disebut sebagai sains.
Apa yang bisa kita dapatkan? Jadi sebenarnya pengetahuan sains dalam hal ini, merupakan pengetahuan anggapan, dan tak pernah menggambarkan realitas. Memang disisi lain, realitas itu independen dari diri manusia, tapi pengetahuan manusia itu tidak independen dari diri manusia. Bisa kita ambil contoh, bahwa teori Newton bukanlah teori realitas. Namun teori Newton merupakan anggapan Newton terhadap realitas, begitu juga dengan teori-teori lain.

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra