Refleksi atas keraguan part 1

Hari ini tanggal 14 oktober 2015, pukul 22.57. Tiba-tiba saja terlintas dalam akalku pertanyaan yang aneh, yaitu: untuk apa aku hidup? Mungkin aku adalah orang yang, mungkin, sekuler. Karena aku selalu tidak puas jika pertanyaanku dijawab oleh landasan dalil agama. Aku tak menyukai sikap dogmatis, atau cukup menerima pernyataan yang ada dalam ajaran agama. Namun bukan berarti aku meragukan agama, karena jujur, aku adalah orang yang beriman. Namun, akalku tetap menolak untuk bersikap menelan mentah-mentah ajaran agama. Seolah ada 'sesuatu' yang menyuruhku untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku dengan argumentasi yang rasional.
Kembali dengan pertanyaanku. Aku sebenarnya, pernah menjawab pertanyaan ini. Tapi aku akhirnya tak puas dengan jawabanku, sampai akhirnya aku memiliki hipotesa, bahwa hidup adalah kenihilan. Hidup itu tak ada apa-apa.
Aku selalu mengira bahwa pencari kebenaran hanya menerjemahkan realitas sesuai dengan pandangannya. Karena pada nyatanya, kebenaran selalu beragam dalam setiap ungkapan orang-orang. Misalnya kaum agamawan vis a vis para saintis sekuler atau ateis.
Mereka memiliki pandangan yang berbeda tentang dunia, dan para saintis pun demikian. Mungkin para kaum agamawan beranggapan bahwa dunia ini merupakan batu loncatan dan sekaligus melatih jiwa agar dapat survive di alam yang selanjutnya, setelah alam dunia ini hancur. Sedangkan kaum saintis ateis menganggap, bahwa setelah alam dunia ini tak akan ada apa-apa lagi.
Penyebab perbedaan perspektif ini tentu atas dasar latar pengetahuan mereka yang berbeda. Namun hal ini membawaku pada pertanyaan lain. Untuk apa mengetahui? mungkin jawaban sederhananya adalah untuk hidup. Tapi persoalan sebenarnya adalah mengapa setiap orang memimi pengetahuan yang beragam, meskipun dihadapkan pada suatu kenyataan yang sama? Akalku hanya menjawab: "ah itu sesuai motif dari setiap orang saja". Apakah ini benar? mungkin saja benar. Jadi seluruh ungkapan pengetahuan dari kedua belah pihak, baik itu kaum agamawan atau para saintis, hanya mewakili keinginan mereka. Keinginan apa? untuk hidup. Karena bisa jadi mereka tenang dengan keyakinan (baca: pengetahuan) mereka itu. Hidup nyaman siapa yang tak mau??
Dosenku pernah bilang: "ingat motif itu sangat menentukan". Barangkali ucapan beliau benar, karena pada nyatanya ungkapan terhadap kebenaran itu berbeda-beda. Karena bagaimana mungkin akan ada pengetahuan tanpa motif? Barangkali kepentingan politik, ekonomi dan lain-lain.
Jadi pengetahuan hanya sarana untuk menjabarkan kenyataan, sesuai motif dari diri sendiri. Cuma apologi terhadap hidup. Tapi nikmati saja kenyataan ini.
Belum selesai, kita lanjut bagian II
Gambar diambil dari: Google.com

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra