Refleksi atas kullu nafsin dzaiqotul maut

Apakah kematian merupakan keniscayaan? atau bukan? mungkin kita akan menjawab dengan lantang, bahwa kematian itu merupakan keniscayaan. Dan dengan gerak cepat kita akan sodorkan ayat: "setiap yang bernyawa akan mati". Doktrin ini sudah tak perlu dipertanyakan ulang kebenarannya, lebih jauh mungkin kita akan menjawab: "tak perlu dalil agamapun kita akan tahu bahwa semua ciptaan-Nya akan mati". Mungkin jawaban ini betul, atau bahkan bukan suatu kemungkinan lagi?
Dari pernyataan dan dalil itu kita bisa ambil kesimpulan, bahwa tak ada yang qadim selain diri-Nya. Semua mahluknya adalah fana atau nisbi. Atau diksi apapun yang 'merendahkan' derajat mahluk-Nya.
Lalu bagaimana kira-kira jika ada yang berkata: "kalau begitu batu itu kekal, karena ia tak bernyawa". Bukankah itu adalah suatu fakta, bahwa yang hidup hanyalah tumbuhan, binatang dan manusia? mineral, bintang dan batu-batuan itu tak bernyawa.
Mungkin ini merupakan persoalan, atau bukan? Dengan penuh percaya diri penulis akan menjawab bahwa ini merupakan persoalan. Lebih jauh persoalan yang biasa saja. Karena dengan pernyataan di atas (yang menganggap batu tak akan mati) memberikan penulis kesimpulan bahwa ternyata ada yang abadi selain diri-Nya. Yaitu batu. Apakah kita pantas membuat konklusi seperti itu? Penulis kira tidak. Karena jawaban ini akan menyulut emosi para kaum agamawan yang paham terhadap agamanya.
Lalu apa yang mesti kita lakukan dengan pernyataan orang itu? Biarkan atau persoalkan?
Mari kita persoalkan. Tapi cukup simple saja. Dengan sederhana kita akan menjawab bahwa batu itu hidup, dan tidak ada secuilpun barang di alam semesta ini yang tak hidup. Termasuk batu sekalipun.
#Wassalam

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra