Refleksi atas Sunni dan Syi'ah
Penulis selalu bingung dengan isu sektarian Islam. Yang sedang ramai diperbincangkan hari ini adalah Sunni vs Syi'ah. Mengapa sekte selalu dibedakan satu sama lain, maksud penulis dibedakan secara diskriminatif. Kedua sekte ini saling mengunggulkan tafsiran masing-masing dan menganggap benar keyakinannya, lalu menganggap yang lain salah. Mengapa keduanya tak diam saja dan fokuskan kajian mereka masing-masing, tanpa harus menyalahkan sekte lain. Mungkin akan ada yang berkata: "Ini persoalan kebenaran maka kita harus kritis". Memang demikian, tapi apakah kebenaran itu tak memiliki nilai etis?! Lalu akan ada yang menjawab: "Jujurlah walaupun itu pahit, ini kan sudah dijelaskan dalam hadist". Lalu bagaimana dengan hadist atau ayat lain yang menjelaskan tentang larangan menyakiti orang lain? Jika memang tetap kekeuh dengan dalih hadiat itu, maka penulis pun akan kekeuh dengan dalih hadist ini. Tak ada jalan keluar kan? Tentu ada, jalan satu-satunya adalah menolak diskriminasi kebenaran, jika itu memang ada. Kebenaran tak pernah mendiskriminasi. Mungkin memang kebenaran seringkali didiskriminasi, tapi ia tak pernah mendiskriminasi. Tuhan atau bisa kita sebut, Sang Kebenaran Sejati, tak pernah mendiskriminasi. Buktinya hambanya yang menolak-Nya pun tetap Ia pelihara dengan baik. Lantas apakah kita akan berlaku demikian?
Sunni dan Syiah sudah tak relevan dibicarakan, dalam konteks diskriminatif. Penulis seringkali kebingungan, mengapa para pemuka agama dari setiap sekte masih saja mendiskriminasi? Apakah ilmu mereka masih rendah? Penulis yakin tidak demikian, mereka memiliki ilmu yang tinggi, namun bermasalah jika mendiskriminasi. Selain itu penulis pun bingung, kenapa mereka selalu khawatir pengikut mereka berkurang? Atau barangkali mereka khawatir pengikut mereka pindah, dengan demikian mereka akan sesat. Penulis akan bertanya sebenarnya siapa yang memiliki otoritas melabeli sesat? Atau mana jaminan seseorang dikatakan sebagai sesat? Apakah Tuhan telah membisikan kepada telinga mereka? Atau mereka telah menerima pesan singkat dari Tuhan, mengenai kriteria sesatnya seseorang? Jelas tak ada, dan mustahil.
Perlu diketahui, ajaran dari masing-masing sekte merupakan tafsiran, bagaimanapun kita telah mencoba untuk se-letterlock mungkin. Semua hanyalah penafsiran, yang tak ada jaminan kebenaran dari Tuhan. Apakah lantas lalu kita mesti menjadi tuhan, atau mengambil alih tugas tuhan? Fikirkanlah jika kita memiliki akal! Apa sebenarnya yang bukan penafsiran? Semuanya penafsiran, begitu kata Martin Heidegger. Dan bagi penulis demikianlah adanya.
Jika kalian masih tetap teguh membedakan secara diakriminatif atas nama kebenaran: Jadilah tuhan-tuhan baru kawan, agar keinginan kalian terpenuhi, agar kalian bisa leluasa menyesatkan sekte lain!
![]() |
Gambar diambil dari: Google.com |
Comments
Post a Comment