Manusia dan Absurditas

Gambar diambil dari: wishestrumpet.com
Oleh: Raja Cahaya Islam

Permasalahan yang seringkali muncul di benak penulis adalah, eksistensi manusia. Beragam teori bermunculan untuk merumuskan, apa itu manusia, apa tujuan manusia, dan beragam pertanyaan lain terkait 'manusia'. Hal ini seringkali mengganggu pikiran penulis, terkhusus jika kita membicarakan keterbatasan dan kebebasan manusia. Jika kita tinjau dari perspektif agamis, terkhusus Islam, kita akan menemukan, bahwa manusia merupakan mahluk yang serba terbatas. Tugas manusia hanya untuk mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan menyadari bahwa eksistensinya dibatasi oleh Yang Maha itu. Mengapa konsepsi ini terbentuk? tentunya, didasarkan atas doktrin teks. Teks agama, seringkali mengulang-ulang 'kalimat' atau pernyataan: bahwa manusia itu adalah mahluk yang lemah. Manusia dilingkupi oleh kehendak-Nya, dan tidak bisa terlepas dari-Nya. Teks dipercayai, datang dari Tuhan, melalui malaikat, dan dari malaikat diperantarai pula oleh seorang manusia terpilih, atau bisa kita sebut sebagai Sang Rasul atau Nabi. Mereka (baca: para nabi), dipilih atas dasar hak preogratif Tuhan, dan sang nabi hanya menerima keputusan Tuhan itu, tanpa memiliki pilihan: menolak atau menerima. Pasrah! 

Kembali kepada pembahasan. Mengapa? mungkin karena penulis rasa (atau barangkali pikir?), terlalu cepat untuk mengambil kesimpulan demikian. Kepasrahan menjadi watak dari kaum agamawan (mungkin tidak semua), atau ketundukan dan sebagainya, yang melambangkan ketidak mampuan manusia, sebagai mahluk yang diciptakan. Karena apa? karena manusia menyandang status: yang diciptakan, bukan pencipta. Yang menciptakan manusia adalah Tuhan, dan hanya Ia lah yang Maha Berkuasa. Di dalam Islam, penulis kira, banyak sekali ajaran yang mengingatkan hal-hal demikian. Keterbatasan manusia. Barangkali, tak usah disebut satu-persatu dalil-dalil yang menyebutkan kelemahan manusia ini.

Namun, menarik sekali jika kita melihat konsepsi manusia yang lahir dari rahim pemikiran Barat (tidak semua). Kita ambil satu saja, misalnya Jean Paul Satre. Satre dalam pemikriannya yang brilian, dalam penjabarannya mengenai manusia, menjauhkan term-term yang dianggap membuat manusia terlihat sebagai mahluk yang lemah. Bahkan dalam adagiumnya yang terkenal disebutkan, bahwa manusia dikutuk menjadi bebas! Sebetulnya, sebelum adagium ini muncul, Satre sudah menolak keberadaan Tuhan sebagai entitas Yang Maha. Karena baginya, manusia akan serba terbatasi oleh Tuhan. Dan jika Tuhan itu ada, maka manusia sudah ditentukan apa esensinya, namun pada kenyataannya manusia tak memiliki esensi, hal ini dibuktikan dengan adanya kesadaran. Dan fitrah dari kesadaran, adalah menidak. Hal inilah yang membedakan manusia dengan benda lainnya, yang selalu bisa ditidak, namun berbeda dengan manusia. 
Selain Satre, kita bisa meninjau pula pemikiran Nietzche. Syaikh Nietzche, lebih garang lagi dalam menjabarkan manusia. Konsekuensi yang diemban dari konsepsi Nietzche pun mirip dengan Satre, yaitu 'menghilangkan' peran Tuhan dalam diri manusia. Hal ini jelas tergambarkan dari adagium Nietzche yang terkenal: Tuhan telah mati. Siapa yang membunuhnya? kita, ungkap Nietzche. Namun, penulis ingatkan, jangan dulu kaget dengan sabda Nietzche ini, karena Tuhan dalam ungkapan Nietzche, tidak hanya dipahami sebagai Tuhan an sich, tapi Tuhan-tuhan lain. Tuhan dalam hal ini adalah, 'sesuatu' yang dianggap sudah absolut, sehingga mengkerangkeng manusia. 

Barangkali kita sudah melihat beberapa konsepsi singkat dari berbagai pandangan itu (meskipun sangat sedikit), terdapat jurang pemisah antara konsepsi agamawan dan para filosof Barat tersebut. Mungkin bisa dijabarkan seperti ini: jika kita mengunggulkan manusia, maka kita menihilkan Tuhan, dan jika kita mengunggulkan Tuhan, maka kita menihilkan manusia. Yang satu pasrah, yang satu bebas. Terdapat jurang pemisah antara kedua konsepsi itu. Bermasalah sekali, bagi penulis.
Namun, jika penulis ditanya, manakah konsepsi yang penulis akan ambil, atau lebih berpihak kepada konsepsi manakah penulis akan percaya. Penulis tentunya, lebih condong kepada konsepsi Barat. Penjabarannya barangkali seperti ini: dunia itu absurd, dan hal inilah yang perlu diakui. Dalam pemikiran kaum agamawan (maaf memukul rata), di dunia yang absurd ini terdapat dunia yang tidak absurd. Maka dari itu, dunia yang tak absurd itulah yang menjadi tujuan bagi seorang manusia. Tuhan berada 'disana' (meskipun Ia tak dapat dilekatkan dengan ruang dan waktu), maka dunia yang absurd ini mesti dilampaui oleh seorang manusia. 
Berbeda halnya dengan konsepsi Barat, dalam konsepsi barat, dunia yang jelas absurd ini, bukanlah untuk dilampaui, tapi untuk dihadapi. Tujuan dari seorang manusia adalah dunia yang absurd ini. Dunia ini diafirmasi. Karena bagi mereka (mungkin tak semua), dunia absurd ini dan mesti dilampaui, sebagaimana konsepsi kaum agamawan, tidak memberikan solusi. Mereka memberontak dengan konsepsi itu, hal ini terlihat dari terdapatnya zaman Renaissance. Sebagai bentuk pemberontakan terhadap Hegemoni Gereja pada Masa Kegelapan (Dark Age). Memang, sebelumnya perlu diakui, bahwa Barat hanya menentang dari Hegemoni Gereja, bukan Islam (karena dimuka kita menyinggung konsepsi agamawan , yang dibatasi pada Islam), namun apakah kita tidak pantas untuk memukul rata? tentunya tidak pantas, namun permasalahannya adalah: hal-hal yang 'berbau' masalah-masalah yang dihadapi Barat, ketika menghadapi Gereja, atau singkatnya: hal-hal dalam Islam yang mirip dengan Gereja, dalam wataknya.

Perbedannya jika disederhanakan adalah: pasrah vis a vis merdeka (bebas). Penulis, di dalam tulisan ini tak akan memberikan solusi apapun dalam permasalahan ini. Hal ini disengaja, agar kita berpikir! perenungan yang mendalam atas absurditas dunia. Absurditas masalah di dalam tulisan ini. Afirmasilah Absurditas ini! Tapi penulis memberikan catatan: solusinya(jika dikatakan sebagai solusi yang tak memberikan solusi) adalah bagaimana motif kita menyikapi masalah ini, atau sederhananya semau kita. Sederhana bukan?

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra