Dilema Poligami
Tujuan pernikahan merupakan usaha
mencapai suatu kebahagiaan dan meraih kehidupan yang sakinah (tenang) mawaddah (cinta)
dan rahmah (kasih sayang). Maka
segala potensi kerusakan mesti dihidari demi terciptanya rumah tangga yang
harmonis. Yang menarik perhatian penulis adalah, ketika penulis menemukan beberapa
bentuk praktik pernikahan salah satunya adalah praktik poligami.
Poligami merupakan fenomena yang tak
asing lagi ditelinga kita. Terkhusus dalam konteks Indonesia. Tak jarang, dalam
menanggapi fenomena itu, umat muslim terpecah menjadi dua kubu, yang saling
berkonfrontasi dalam melayangkan argumen untuk “membela” pendapatnya masing-masing
mengenai status poligami di mata Islam. Baik itu argumentasi yang membolehkan,
atau menolak praktik poligami. Hal inilah yang menyebabkan praktik poligami
menjadi nampak problematis.
Landasan normatif mengenai praktik
poligami, dan mengundang banyak interpretasi, adalah surat an-Nisa ayat 3: “dan jika kamu takut tidak bisa berbuat adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (ketika kamu menikahinya), maka nikahilah
perempuan-perempuan (lain) yang kau senang: dua, tiga, atau empat, jika kamu
takut tidak bisa berbuat adil, maka cukup seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Untuk
lebih memahami praktik poligami ini, penulis akan coba kupas mengenai hal-ihwal
poligami dalam tulisan yang sangat singkat ini.
Poligami, Keadilan, dan
Fakta Sosio-Historis
Keadilan merupakan suatu tuntutan yang
wajib ditegakan dimanapun dan kapanpun, tanpa melihat latar belakang seseorang,
atau jenis kelaminnya. Dalam praktik pernikahan, keadilan tak boleh absen di
dalam rumah tangga, sebagaimana oksigen yang wajib kita hirup, yang tanpanya
kita tak dapat hidup. Sebagaimana di dalam surat an-Nisa ayat: 3, kita bisa melihat
penekanan yang Allah Swt. berikan pada aspek keadilan, bahkan aspek tersebut
merupakan tolak ukur keabsahan poligami.
Menurut Neng Dara Affifah, dalam
wawancaranya yang dimuat di laman islamlib.com,
menyebutkan bahwa kebanyakan penafsir surat an-Nisa ayat: 3 hanya menekankan
aspek bolehnya poligami, bukan pada aspek keadilannya. Lalu pertanyaan muncul,
apakah manusia dapat berlaku adil? Jawaban atas pertanyaan ini, dijawab oleh
ayat selanjutnya, yaitu ayat: 129 “Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kau terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga membiarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Dengan merujuk kepada ayat: 129, kita tak
dapat begitu saja menyimpulkan bahwa manusia tak dapat berlaku adil sepenuhnya.
Menurut Hamka, sebagaimana dikutip oleh Mohammad Nor Ichwan dalam bukunya yang
berjudul Prof. M. Quraish Shihab
Membincang Persoalan Gender, yang dimaksud adil dalam ayat: 129 ialah,
bahwa seorang suami masih mungkin berlaku adil, tapi hanya dalam persoalan
material. Namun, jika berbicara persoalan immaterial (cinta), maka akan lain
lagi. Karena menurut Hamka inilah yang dimaksudkan ayat: 129, bahwa manusia tak
akan dapat berbuat adil, dalam wilayah immaterial. Pertanyaannya. Apakah
pernikahan hanya mencakup wilayah material saja? Penulis kira tidak demikian, karena
persoalan immaterial pun memainkan peranan yang penting dalam berkeluarga.
Mengingat, dalam diri manusia sendiri terdapat dua dimensi, yaitu badan dan
ruh. Kedua entitas ini sudah selayaknya mendapatkan perhatian, tanpa
mengerdilkan yang lainnya. Jika ketimpangan terjadi, maka hal yang buruk pasti
terjadi.
Kembali kepada Neng Dara, ia menyebutkan
bahwa kita tak boleh melupakan wilayah sosio-historis dalam memahami ayat
tersebut, hal ini pun yang seringkali luput dari para penafsir. Turunnya ayat
poligami itu, berkaitan dengan kekalahan umat Islam dalam perang Uhud di tahun
625 M, yang berimplikasi pada banyaknya para istri berserta anak-anak yang
ditinggalkan oleh suami atau ayahnya. Disisi lain, umat Islam pada saat itu
masih memiliki populasi yang sedikit. Maka turunlah ayat itu untuk: pertama, menjaga keutuhan masyarakat
Islam. Kedua, agar pengayom anak
yatim dan janda korban perang dapat berlaku adil. Maka poligami menjadi solusi
yang tepat, karena pada saat itu masyarakat masih berwatak patriarki. Walau
budaya ini lantas ditinggalkan perlahan.
Problem lain ditemukan disini,
sebagaimana diungkapkan oleh Ashgar Ali Engineer dalam buku Merayakan kebebasan Beragama: Bunga Rampai
70 Tahun Djohan Effendi, banyak umat muslim yang kurang memperhatikan aspek
sosiologis dalam memahami suatu teks, namun bukan berarti meninggalkan aspek
teologis. Dalam hal ini, Ali membandingkan praktik poligami dengan praktik perbudakan. Pada zaman Abad
Pertengahan Islam, para ulama saat itu marak mendukung praktik perbudakan.
Seiring dengan perkembangan zaman, perbudakan lantas dianggap melanggar hak
asasi manusia, sehingga para ulama meninggalkan praktik ini. Maka sudah
selayaknya praktik poligami bernasib sama dengan perbudakan. Karena, mengacu
pada fakta sosiologis zaman ini, sebagaimana data dari Neng Dara, banyak wanita
yang tidak mau dipoligami.
Praktik Poligami
Rasulullah, Apakah Sunnah yang Harus Diikuti?
Sudah diketahui bersama bahwa
Rasulullah memiliki istri lebih dari satu, bahkan karena beliau adalah seorang utusan
Allah Swt. maka beliau diberi keutamaan khusus untuk menikahi istri lebih dari
empat. Pertanyaannya, apakah poligami merupakan Sunnah Rasul?
Menurut Mohamad Guntur Romli dalam
bukunya yang berjudul Islam Tanpa
Diskriminasi: mewujudkan Islam rahmatan lil alamin, menurutnya ada suatu
hadist yang bisa dijadikan landasan tidak dianjurkannya poligami (kecuali
Rasul), yaitu ketika Ali bin Abi Thalib dilarang mempoligami Fathimah,
istrinya: “Bani Hisyam bin al-Mughirah
izin kepadaku mereka mau menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib,
tidak akan aku beri izin, tidak akan aku beri izin, tidak akan aku beri izin
kecuali (Ali) bin abi Thalib menceraikan putriku (Fathimah) dan ia bisa menikah
dengan putri mereka, karena sungguh putriku adalah bagian dari diriku, aku akan
gelisah yang membuatnya gelisah dan menyakitiku apapun yang membuat sakit. (HR.
Muslim). Alasan Rasulullah melarang Ali memadu putrinya dikarenakan dapat
menyakitinya, bila hati putrinya tersakiti, maka beliau pun merasa sakit hati.
Lalu apakah ada sosok figur ayah yang sebijak rasulullah? Apakah kebijakan
rasululah ini tak dapat diikuti? Menurut penulis, seorang ayah yang bijak tak
akan rela putrinya dipoligami.
Menurut Quraish Shihab, sebagaimana
yang dikutip oleh Guntur Romli. Praktik poligami yang dilakukan oleh
Rasulullah, hanya dilakukan selama 8 tahun, sedangkan beliau melakukan monogami
selama 25 tahun, bahkan ketika Khadijah (Istri pertama Rasul) wafat, terdapat
jarak tiga atau empat tahun sebelum Rasul menikah dengan Aisyah dan selanjutnya
melakukan poligami.
Argumentasi ini pun senada dengan
apa yang diungkapkan oleh Faqihuddin Abdul Kodir, dalam wawancaranya di dalam
buku Ijtihad Islam Liberal, bahwa
pandangan poligami adalah sunnah merupakan penafsiran yang semena-mena, karena
jika memang poligami adalah sunnah Rasul, mengapa beliau tidak melakukannya
saat pertama kali menikah? Bahkan beliau begitu berduka ketika Istri pertamanya
meninggal, bahkan tahun itu (kesepuluh kenabian) dinamakan amulhuzn, tahun duka cita. Bahkan, lanjut Faqihuddin, praktik
poligami yang dilakukan oleh Rasulullah merupakan suatu proteksi bagi
janda-janda yang ditinggalkan oleh suami-suaminya. Tapi pada nyatanya praktik
poligami yang dilakukan pada zaman ini, kebanyakan malah melirik daun muda.
Jika demikian apakah esensi dari poligami dapat tercapai, dengan motivasi yang
telah disebutkan oleh Abdul Kodir?
Untuk lebih memperjelas lagi,
penulis kutipkan pendapat dari Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Wawasan al-Qur’an: tafsir tematik atas pelbagai
persoalan umat, ia menyebutkan bahwa yang dimaksud oleh surat an-Nisa: 3
itu bukan anjuran atau suatu kewajiban untuk berpoligami. Quraish Shihab lantas
mengutip uraian dari istri Rasul Aisyah r.a. bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut
adalah, menyangkut sikap orang yang ingin menikahi wanita yatim yang kaya
sekaligus cantik, tapi enggan memberikan mahar sebagaimana layaknya pernikahan
dengan wanita lain, serta tidak memperlakukannya secara adil. Jadi yang
dimaksud dengan ayat ini tak lain adalah, semacam pemberian alternatif dalam
kondisi yang sangat urgen, dan bukan semacam anjuran apalagi kewajiban. Jadi
lucu juga apabila ada orang yang menganggap poligami itu lebih baik daripada
monogami. Terakhir penulis akan tanyakan kembali, apakah poligami masih pantas
disebut Sunnah Nabi?
[1]
Penulis adalah mahasiswa Aqidah Filsafat Semester 4, aktif di UKM LPIK
sekaligus manajer II bisnis busana KlugClothes. Dan penulis tidak senang
menyebutkan mengenai tulisan-tulisannya yang dimuat di media, karena penulis
tidak sombong.
Comments
Post a Comment