Dilema Poligami

Gambar diambil dari: www.faridnuman.com

Oleh: Raja Cahaya Islam[1]

Tujuan pernikahan merupakan usaha mencapai suatu kebahagiaan dan meraih kehidupan yang sakinah (tenang) mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang). Maka segala potensi kerusakan mesti dihidari demi terciptanya rumah tangga yang harmonis. Yang menarik perhatian penulis adalah, ketika penulis menemukan beberapa bentuk praktik pernikahan salah satunya adalah praktik poligami.
Poligami merupakan fenomena yang tak asing lagi ditelinga kita. Terkhusus dalam konteks Indonesia. Tak jarang, dalam menanggapi fenomena itu, umat muslim terpecah menjadi dua kubu, yang saling berkonfrontasi dalam melayangkan argumen untuk “membela” pendapatnya masing-masing mengenai status poligami di mata Islam. Baik itu argumentasi yang membolehkan, atau menolak praktik poligami. Hal inilah yang menyebabkan praktik poligami menjadi nampak problematis.
Landasan normatif mengenai praktik poligami, dan mengundang banyak interpretasi, adalah surat an-Nisa ayat 3: “dan jika kamu takut tidak bisa berbuat adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (ketika kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kau senang: dua, tiga, atau empat, jika kamu takut tidak bisa berbuat adil, maka cukup seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Untuk lebih memahami praktik poligami ini, penulis akan coba kupas mengenai hal-ihwal poligami dalam tulisan yang sangat singkat ini.
Poligami, Keadilan, dan Fakta Sosio-Historis
Keadilan merupakan suatu tuntutan yang wajib ditegakan dimanapun dan kapanpun, tanpa melihat latar belakang seseorang, atau jenis kelaminnya. Dalam praktik pernikahan, keadilan tak boleh absen di dalam rumah tangga, sebagaimana oksigen yang wajib kita hirup, yang tanpanya kita tak dapat hidup. Sebagaimana di dalam surat an-Nisa ayat: 3, kita bisa melihat penekanan yang Allah Swt. berikan pada aspek keadilan, bahkan aspek tersebut merupakan tolak ukur keabsahan poligami.
Menurut Neng Dara Affifah, dalam wawancaranya yang dimuat di laman islamlib.com, menyebutkan bahwa kebanyakan penafsir surat an-Nisa ayat: 3 hanya menekankan aspek bolehnya poligami, bukan pada aspek keadilannya. Lalu pertanyaan muncul, apakah manusia dapat berlaku adil? Jawaban atas pertanyaan ini, dijawab oleh ayat selanjutnya, yaitu ayat: 129 “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kau terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga membiarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Dengan merujuk kepada ayat: 129, kita tak dapat begitu saja menyimpulkan bahwa manusia tak dapat berlaku adil sepenuhnya. Menurut Hamka, sebagaimana dikutip oleh Mohammad Nor Ichwan dalam bukunya yang berjudul Prof. M. Quraish Shihab Membincang Persoalan Gender, yang dimaksud adil dalam ayat: 129 ialah, bahwa seorang suami masih mungkin berlaku adil, tapi hanya dalam persoalan material. Namun, jika berbicara persoalan immaterial (cinta), maka akan lain lagi. Karena menurut Hamka inilah yang dimaksudkan ayat: 129, bahwa manusia tak akan dapat berbuat adil, dalam wilayah immaterial. Pertanyaannya. Apakah pernikahan hanya mencakup wilayah material saja? Penulis kira tidak demikian, karena persoalan immaterial pun memainkan peranan yang penting dalam berkeluarga. Mengingat, dalam diri manusia sendiri terdapat dua dimensi, yaitu badan dan ruh. Kedua entitas ini sudah selayaknya mendapatkan perhatian, tanpa mengerdilkan yang lainnya. Jika ketimpangan terjadi, maka hal yang buruk pasti terjadi.
Kembali kepada Neng Dara, ia menyebutkan bahwa kita tak boleh melupakan wilayah sosio-historis dalam memahami ayat tersebut, hal ini pun yang seringkali luput dari para penafsir. Turunnya ayat poligami itu, berkaitan dengan kekalahan umat Islam dalam perang Uhud di tahun 625 M, yang berimplikasi pada banyaknya para istri berserta anak-anak yang ditinggalkan oleh suami atau ayahnya. Disisi lain, umat Islam pada saat itu masih memiliki populasi yang sedikit. Maka turunlah ayat itu untuk: pertama, menjaga keutuhan masyarakat Islam. Kedua, agar pengayom anak yatim dan janda korban perang dapat berlaku adil. Maka poligami menjadi solusi yang tepat, karena pada saat itu masyarakat masih berwatak patriarki. Walau budaya ini lantas ditinggalkan perlahan.
Problem lain ditemukan disini, sebagaimana diungkapkan oleh Ashgar Ali Engineer dalam buku Merayakan kebebasan Beragama: Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi, banyak umat muslim yang kurang memperhatikan aspek sosiologis dalam memahami suatu teks, namun bukan berarti meninggalkan aspek teologis. Dalam hal ini, Ali membandingkan praktik poligami dengan  praktik perbudakan. Pada zaman Abad Pertengahan Islam, para ulama saat itu marak mendukung praktik perbudakan. Seiring dengan perkembangan zaman, perbudakan lantas dianggap melanggar hak asasi manusia, sehingga para ulama meninggalkan praktik ini. Maka sudah selayaknya praktik poligami bernasib sama dengan perbudakan. Karena, mengacu pada fakta sosiologis zaman ini, sebagaimana data dari Neng Dara, banyak wanita yang tidak mau dipoligami.
Praktik Poligami Rasulullah, Apakah Sunnah yang Harus Diikuti?
            Sudah diketahui bersama bahwa Rasulullah memiliki istri lebih dari satu, bahkan karena beliau adalah seorang utusan Allah Swt. maka beliau diberi keutamaan khusus untuk menikahi istri lebih dari empat. Pertanyaannya, apakah poligami merupakan Sunnah Rasul?
Menurut Mohamad Guntur Romli dalam bukunya yang berjudul Islam Tanpa Diskriminasi: mewujudkan Islam rahmatan lil alamin, menurutnya ada suatu hadist yang bisa dijadikan landasan tidak dianjurkannya poligami (kecuali Rasul), yaitu ketika Ali bin Abi Thalib dilarang mempoligami Fathimah, istrinya: “Bani Hisyam bin al-Mughirah izin kepadaku mereka mau menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib, tidak akan aku beri izin, tidak akan aku beri izin, tidak akan aku beri izin kecuali (Ali) bin abi Thalib menceraikan putriku (Fathimah) dan ia bisa menikah dengan putri mereka, karena sungguh putriku adalah bagian dari diriku, aku akan gelisah yang membuatnya gelisah dan menyakitiku apapun yang membuat sakit. (HR. Muslim). Alasan Rasulullah melarang Ali memadu putrinya dikarenakan dapat menyakitinya, bila hati putrinya tersakiti, maka beliau pun merasa sakit hati. Lalu apakah ada sosok figur ayah yang sebijak rasulullah? Apakah kebijakan rasululah ini tak dapat diikuti? Menurut penulis, seorang ayah yang bijak tak akan rela putrinya dipoligami.
            Menurut Quraish Shihab, sebagaimana yang dikutip oleh Guntur Romli. Praktik poligami yang dilakukan oleh Rasulullah, hanya dilakukan selama 8 tahun, sedangkan beliau melakukan monogami selama 25 tahun, bahkan ketika Khadijah (Istri pertama Rasul) wafat, terdapat jarak tiga atau empat tahun sebelum Rasul menikah dengan Aisyah dan selanjutnya melakukan poligami.
            Argumentasi ini pun senada dengan apa yang diungkapkan oleh Faqihuddin Abdul Kodir, dalam wawancaranya di dalam buku Ijtihad Islam Liberal, bahwa pandangan poligami adalah sunnah merupakan penafsiran yang semena-mena, karena jika memang poligami adalah sunnah Rasul, mengapa beliau tidak melakukannya saat pertama kali menikah? Bahkan beliau begitu berduka ketika Istri pertamanya meninggal, bahkan tahun itu (kesepuluh kenabian) dinamakan amulhuzn, tahun duka cita. Bahkan, lanjut Faqihuddin, praktik poligami yang dilakukan oleh Rasulullah merupakan suatu proteksi bagi janda-janda yang ditinggalkan oleh suami-suaminya. Tapi pada nyatanya praktik poligami yang dilakukan pada zaman ini, kebanyakan malah melirik daun muda. Jika demikian apakah esensi dari poligami dapat tercapai, dengan motivasi yang telah disebutkan oleh Abdul Kodir?
            Untuk lebih memperjelas lagi, penulis kutipkan pendapat dari Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Wawasan al-Qur’an: tafsir tematik atas pelbagai persoalan umat, ia menyebutkan bahwa yang dimaksud oleh surat an-Nisa: 3 itu bukan anjuran atau suatu kewajiban untuk berpoligami. Quraish Shihab lantas mengutip uraian dari istri Rasul Aisyah r.a.  bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah, menyangkut sikap orang yang ingin menikahi wanita yatim yang kaya sekaligus cantik, tapi enggan memberikan mahar sebagaimana layaknya pernikahan dengan wanita lain, serta tidak memperlakukannya secara adil. Jadi yang dimaksud dengan ayat ini tak lain adalah, semacam pemberian alternatif dalam kondisi yang sangat urgen, dan bukan semacam anjuran apalagi kewajiban. Jadi lucu juga apabila ada orang yang menganggap poligami itu lebih baik daripada monogami. Terakhir penulis akan tanyakan kembali, apakah poligami masih pantas disebut Sunnah Nabi?




[1] Penulis adalah mahasiswa Aqidah Filsafat Semester 4, aktif di UKM LPIK sekaligus manajer II bisnis busana KlugClothes. Dan penulis tidak senang menyebutkan mengenai tulisan-tulisannya yang dimuat di media, karena penulis tidak sombong.

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra