Eksistensi Agama di Zaman Modern: Agama dalam Pandangan Immanuel Kant
A. LATAR BELAKANG
Agama merupakan suatu hal yang
fundamental bagi kehidupan manusia. Bahkan tidak jarang, sejarah manusia selalu
bergandengan dengan ‘sosok’ agama. Misalnya saja peristiwa dramatis yang sangat
terkenal, yaitu Perang Salib. Konon, penyebab peristiwa berdarah itu dilatar
belakangi oleh agama. Dalam perang ini ‘aktor yang bermain’ adalah umat agama
Islam dan Kristen. Bisa dibayangkan bagaimana pengaruh agama, sehingga manusia
rela membunuh manusia lainnya. Namun, tidak hanya itu, kerap kali agama pun
dianggap sebagai sumber dari altruisme sejati.
Perlu diakui agama pun merupakan salah
satu sumber pengetahuan manusia. Permasalahan pun muncul disini: Perkembangan
pengetahuan manusia, di Barat khususnya, sekaligus diiringi oleh kecurigaan
terhadap kebenaran agama (Hardiman, 2007: 7). Kritikan yang tajam mulai
berkembang seiring dengan kemajuan sains, bahkan para kaum saintifik mulai menganggap
bahwa agama merupakan sumber ketidak mampuan manusia dalam menghadapi realitas,
lebih jauh lagi, Tuhan yang selama ini dianggap sebagai penopang dari segala
‘yang ada’, diklaim hanya sebagai proyeksi keterasingan manusia (Kartanegara,
2007: 47). Kecurigaan serta kritikan itu memuncak pada zaman modern, di mana
perkembangan sains benar-benar pesat.
Sebenarnya penolakan terhadap agama dan
Tuhan beserta entitas semacamnya, bisa dijabarkan sebagai penolakan terhadap
metafisika (Hardiman, 2007: 6). Sebagaimana diketahui, metafisika merupakan
suatu hal yang fundamental bagi agama. Barangkali, agama tanpa metafisika tak
bisa disebut sebagai agama. Maksudnya agama mesti tak ada jika penopangnya,
yaitu Tuhan, runtuh. Lalu pertanyaannya, bagaimana posisi agama ditengah badai
serangan terhadap metafisika? Masih bisakah agama bisa dijadikan sumber
pengetahuan?
B. PROBLEMATIKA
Perkembangan ilmu pengetahuan
modern (sains), dengan metode empiris-rasionalnya, memberikan manfaat yang
sangat besar bagi kehidupan manusia, bahkan sumbangsihnya terhadap peradaban
sangat terasa bagi mahluk yang dinamakan homo
sapien ini. Begitu pun dengan agama. Agama diyakini sebagai pedoman bagi
kehidupan manusia, bahkan tak kalah berfungsinya, agama pun tak jarang
memberikan pengaruh terhadap peradaban manusia.
Pertanyaan muncul disini,
apakah agama dan sains tidak bertentangan? Pertama, di dalam agama terdapat
ajaran mengenai entitas metafisis, dalam artian tak dapat diindra. Bahkan
terdapat pula puncak dari entitas metafisis tersebut, yang biasanya disebut
sebagai Tuhan. Ia diyakini sebagai penopang dari realitas ini. Di pihak lain,
sains hanya membatasi lingkup pengetahuan pada dunia yang dapat diobservasi
secara empiris, dan mesti bersifat rasional. Implikasi dari kedua pihak itu
adalah kontradiksi. Dimana agama memusatkan perhatiannya pada hal metafisis,
namun sains malah menolak metafisika. Bahkan menyebut pondasi dari agama
tersebut—yaitu Tuhan—sebagai proyeksi manusia. Kalau begitu bagaimana
seharusnya diposisikan ketika berhadapan dengan sains?
C. TEORI DAN PEMBAHASAN
Sapere
Aude! Beranilah berpikir
sendiri! (Hardiman, 2007: 135) Begitulah kira-kira Zeitgeist dari zaman modern. Apa sebenarnya yang dimaksud oleh
adagium tersebut? Tak diragukan lagi yaitu, aktualisasi rasio manusia, dalam
artian, saatnya manusia mempertanyakan hal-hal yang berbau mitologis (Hardiman,
2007: 3). Mengapa mitos[1]?
Pertama-tama perlu dijabarkan
terlebih dahulu—secara singkat—inti dari mitos. Mengutip pendapat C.A. Van
Peursen, mitos bisa diartikan sebagai cerita yang memberikan pedoman kepada
manusia. Di dalam tradisi mitos banyak ‘ditemukan’ entitas tak kasat mata,
seperti: dosa, penyucian, surga, neraka dll. Selain itu, dalam tradisi mitos
terdapat kepercayaan terhadap Tuhan, Dewa, To Hen, Allah, dan semacamnya, yang
merupakan puncak dari realitas, bahkan Entitas tersebut merupakan penopang dari
alam semesta, mencakup realitas material dan non-material (Peursen, 1989: 37).
Oleh karena itu, mitos bisa kita sebut penuh dengan hal-hal metafisis, misalnya
‘konsep’ surga[2]
yang mengacu pada tempat yang antah
barantah, sama sekali tidak merujuk pada tempat yang konkret di muka bumi,
sebagaimana tercantum di Kamus besar
bahasa indonesia offline versi 1.5, surga didefinisikan sebagai alam
akhirat tempat roh-roh mendapat kebahagiaan. Bahkan roh pun merupakan entitas
metafisis.
Sebelum melangkah lebih jauh,
sebenarnya perlu diakui, bahwa agama termasuk ke dalam dimensi mitologis, karena
keduanya (Baca: agama dan mitos) meyakini hal-hal yang berbau metafisis, bahkan
keduanya meyakini, terdapat entitas metafisik yang menopang realitas. Fungsi
dari mitos dan agama pun sama, yaitu sebagai pedoman hidup bagi manusia. (Definisi
agama di buku filsafat agama) Maka dari itu, agama bisa kita sebut sebagai
mitos atau dalam bahasa lain penuh dengan unsur mitos (meskipun tidak semua
unsurnya)[3].
Jadi apa yang dimaksud oleh aktualisasi rasio manusia adalah, mempertanyakan
kembali segala dogma mitologis yang ada, bil
khusus doktrin agama. Ditengah perkembangan ilmu empiris-rasional, agama sebagai
pemuat metafisika mulai dipertanyakan kembali, bahkan diragukan kebenarannya
(Kartanegara, 2007: 21).
Zaman
modern: pemberontakan terhadap agama
Pada zaman tradisional—dimana
agama atau mitos merajalela—pusat dari realitas adalah Tuhan, namun pada zaman
modern Tuhan diturunkan dari tahtanya, lalu digantikan oleh manusia. Maksudnya,
kebenaran eksistensi Tuhan beserta rengrengannya,
yang bersemayam dalam tubuh agama (atau sebaliknya?) mulai dikritisi, bahkan
Tuhan dianggap sebagai sumber dari alienasi, sebagaimana ‘keyakinan’ Feuerbach
(Mutahhari, 2011: 107 ). Implikasi dari ‘kejatuhan’ Tuhan tersebut merupakan
masa kejayaan manusia, bahkan manusia modern memutuskan untuk ‘bercerai’ dengan
metafisika yang tak terindra, dan ‘menyunting’ entitas material yang terindra
(Hardiman, 2007: 9).
Konsekuensinya, para pemeluk
agama mesti berkurang drastis (kalau bukan hilang). Namun, pada faktanya kita
tak dapat menutup mata, bahwa agama di zaman modern masih hadir di muka bumi
ini. Atau barangkali tepatlah ungkapan Will Durant, sebagaimana dikutip oleh
Murtadha Muthahhari: ”Agama memiliki
seratus jiwa. Segala sesuatu jika telah dibunuh pada kali pertama itu pun ia
sudah mati untuk selama-lamanya, kecuali agama. Sekiranya ia seratus kali
dibunuh, ia akan muncul lagi dan kembali hidup setelah itu” (Mutahhari,
2007: 47). Berarti terdapat ambivalensi
di zaman ini: Agama pada zaman modern masih ada—Tuhan menjadi pusat realitas,
sedangkan semangat zaman sudah berubah—Tuhan bukan lagi pusat realitas.
Menurut
Budi Hardiman, sebagaimana disindir pada paragraf awal, zaman modern merupakan
berpalingnya manusia dari dunia yang tak kasat mata, menuju dunia yang kasat
mata (Hardiman, 2007: 6-7). Pada saat itu juga kita bisa katakan, mengutip
pendapat Mulyadhi Kartanegara, Ilmu pengetahuan Barat Modern, membatasi diri
pada hal-hal yang bersifat indrawi, dalam artian yang dapat diobservasi dengan
panca indra. Bahkan Henry Margenau, yang dikutip Guru besar lulusan University
of Chicago tersebut, menyebutkan di
dalam bukunya yang berjudul The Scientist,
membatasi ruang lingkup pengetahuan pada apa yang disebutnya sebagai Observable fact, yaitu suatu dunia
pengalaman yang terindra, yang nantinya akan diproses oleh logika
murni—memilih, memutuskan, penalaran (Kartanegara, 2007: 4-5).
Lebih
lanjut, wilayah yang tak dapat diobservasi dan dibuktikan secara
empiris-rasional, dianggap sebagai suatu hal yang tidak nyata. Ilmu pengetahuan
modern ini, menolak status objek yang tak empiris (metafisis), dan meragukan
status ilmiah yang menjadikan objek non-empiris tersebut sebagai objek formalnya,
dan menyebut hal tersebut sebagai pseudo-ilmiah
(Kartanegara, 2007: 5). Implikasi dari pemusatan pada hal-hal yang empiris-rasional
salah satunya adalah agama mulai dibanjiri dengan kritikan yang amat tajam.
Hal ini bisa dilihat dari
pandangan Auguste Comte. Ia menyatakan bahwa agama[4]
merupakan kebodohan manusia dalam menghadapi alam. Contohnya ketika manusia
menghadapi suatu bencana gempa bumi lantas manusia mencari penyebabnya, lalu
mereka berkesimpulan bahwa yang menyebabkan gempa bumi adalah Tuhan. Maka dari
itu semakin manusia itu mengaktualkan rasionya, pembicaraan Tuhan menjadi omong
kosong belaka (Muthahhari, 2011: 123-125). Selain Comte, kita bisa menilik
pendapat dari Sigmund Freud. Ia berpendapat, bahwa hal-hal yang metafisis
adalah proyeksi manusia atas ketakutannya atau ketidak mampuannya berhadapan
dengan alam secara rasional, sehingga ia menciptakan suatu zat yang bisa
membuat dirinya aman, yaitu Yang Kudus (Kartanegara, 2007: 47). Mengutip
kembali pendapat Mulyadhi, dua tokoh tersebut mendasarkan diri pada pandangan
empiris-rasional, sehingga mengantarkan mereka kepada konklusi tersebut
(Kartanegara, 2007: 22).
Ketidak
mungkinan metafisika dalam pandangan Immanuel Kant
Berdasarkan pendapat dari beberapa intelegensia di atas,
mereka menunjukan bahwa sesungguhnya realitas metafisis merupakan pseudo-ilmiah dan bukan termasuk kedalam
ilmu pengetahuan. Pada ulasan terakhir ini, paparan mengenai pemikiran Immanuel
Kant akan menjelaskan kejelasan posisi agama dihadapan ‘Goliath’ sains. Jika
sains benar-benar meluluhlantakan agama, maka lain halnya dengan Immanuel Kant.
Pertanyaan yang mesti diajukan adalah, apakah metafisika itu mungkin? Karena
metafisika merupakan penopang di dalam agama, yang di dalamnya terdapat Tuhan
dan hal lainnya yang bersifat metafisis.
Mula-mula perlu dijabarkan
secara singkat mengenai proyek pemikiran Kant. Filosof Jerman ini, sebenarnya
ingin membuat sintesis antara pengetahuan a
posteriori yang bersifat sintesis, maksudnya putusan yang predikatnya tidak
terdapat di dalam subjek, dengan pengetahuan a priori yang bersifat analitik, maksudnya putusan yang predikatnya
terdapat di dalam subjek. Sehingga menciptakan pengetahuan sintesis a priori, misalnya: Semua peristiwa
memiliki sebab, predikat dalam putusan itu (memiliki sebab) bersifat sintesis
karena tidak terdapat di dalam subjek, namun bersifat a priori (semua peristiwa) karena tidak perlu menyelidiki segala
peristiwa sebelum menyimpulkannya (Hardiman, 2007: 133-135).
Dalam buku Kritik der reinen Vernunft—sebagaimana
dikutip oleh Budi Hardiman—Kant menjabarkan mengenai pengetahuan yang bersifat
sintesis a priori (proyek pemikiran
Kant, lihat paragraf sebelumnya). Ia menjabarkannya dalam beberapa bagian: dalam
bab Estetika Transendental, menurut Kant pengetahuan manusia didasarkan atas
persepsi indrawi (a posteriori). Kant
menambahkan, bahwa dalam mempersepsi penampakan objek, terdapat dua unsur
yaitu: unsur materi (matter) dan
bentuk (form). Unsur materi adalah
isi pengindraan, sedankan unsur bentuk adalah sesuatu yang bersifat a priori, yaitu ruang dan waktu, dan
kedua entitas inilah yang menata penampakan objek. Mungkin suatu pertanyaan
muncul, mengapa hanya penampakan? Kant menjabarkan bahwa ada wilayah Das ding an sich yang tak dapat dijamah
oleh subjek[5].
Kembali lagi pada pembicaraan, jadi yang ditangkap oleh subjek sudah bersifat
sintesis, yaitu efek objek pada subjek dan unsur a priori. Lanjutnya, perlu diingat bahwa ruang dan waktu itu secara
empiris real dan secara transendental ideal. Maksudnya, pertama: bahwa ruang
dan waktu bukan suatu ilusi namun real secara indrawi; kedua, ruang dan waktu
hanya bisa diterapkan pada wilayah fenomena bukan Das ding an sich (Hardiman, 2007: 137-139).
Selanjutnya dalam bab lainnya, yaitu Analitika
Transendental, di dalam diri subek terdapat dua kemampuan yaitu, sensibilitas
(kemampuan mengindrai) dan intelek atau Verstand
(sebagai penghasil konsep sebagai pemahaman). Keduanya merupakan suatu yang
krusial, tanpa sensibilitas objek tak dapat masuk ke dalam subjek, dan tanpa
intelek objek tak dapat dipikirkan. Mulailah kita masuk pada Logika
Transendental[6],
yang merupakan pembahasan asas-asas akal budi. Perlu dipahami disini bahwa
intelek itu sendiri merupakan kemampuan untuk memberikan putusan, dan di dalam
putusan terdapat sintesis, yaitu antara data-indrawi dan unsur a priori di dalam akal budi. Meskipun unsur
ini bersifat a priori, namun unsur
ini tetap terkait dengan objek empiris. Unsur ini disebut Kant sebagai
kategori, dan kategori ini terdiri dari empat bagian, dan masing-masing terdiri
dari tiga macam. Kategori itu ialah: 1) Kuantitas: unitas, pluralitas,
totalitas; 2) Kualitas: realitas, negasi, limitasi; 3) Relasi: substansi,
kausalitas, komunitas; 4) Modalitas: kemungkinan-kemustahilan,
eksistensi-non-eksistensi, keniscayaan-kontingensi (Hardiman, 2007: 139-141).
Kita
masuk pada pembahasan terakhir, dan sekaligus membicarakan kemungkinan
metafisika sebagai pengetahuan. Dalam bab Dialektika Transendental, Kant
menyebutkan Vernunft. Apa itu Vernunft? Ia mengacu pada suatu hal yang
lebih tinggi dari intelek. Vernunft
menghasilkan ide transendental yang memiliki fungsi meregulasi putusan, sehinggga
Vernunft tidak menambah pengetahuan. Vernunft menerima konsep dari putusan
akal budi dan membuat suatu kesatuan atasnya. Misalnya: Semua manusia akan
mati, dan Socrates adalah manusia, lalu kesimpulannya Socrates akan mati.
Kesimpulan ketiga merupakan silogisme, hasil dari kesatuan dari dua putusan
yang mendahuluinya. Kesimpulan ketiga ini tidak di dasarkan atas penampakan. Tambah
Kant, Vernunft selalu mengusahakan
kesatuan menuju keadaan akhir yang murni (Hardiman, 2007: 142).
Menurut
Kant, terdapat tiga tipe kesimpulan silogisme yang mungkin, yaitu: kesimpulan
kategoris, hipotetis dan disjungtif. Ketiga kesimpulan itu pun berkaitan dengan
tiga macam kesatuan tanpa syarat yang merupakan postulat dari Vernunft. Pertama, yang menjamin kesatuan
akhir kesadaran subjek dan hubungannya dengan dirinya yaitu Idea Jiwa; kedua,
yang menjamin kesatuan akhir dalam hubungan sebab-akibat dalam penampakan objek
disebut Idea Dunia; ketiga, yang menjamin kesatuan akhir dari segala sesuatu
yaitu Idea Tuhan. Mulailah kita masuk kepada pertanyaan inti yaitu, apakah
metafisika—sebagai penopang dari agama—itu mungkin? Kant menjawab tidak, karena
Idea-idea rasio murni tidak berhubungan dengan objek terindra atau empiris,
maka ia (baca: metafisika) tak memberikan pengetahuan tentang objek. Jika
metafisika ingin menjadi sebuah ilmu pengetahuan ia mesti berhubungan dengan
objek berkaitan dengan idea transendental, namun tak ada objek pengalaman bagi
ketiga indra itu. Singkat kata, tidak bersifat sintesis a priori (Hardiman, 2007: 143-144).
Immanuel
Kant dan agama
Sebagaimana
disebutkan, lingkup kajian sains hanya pada dunia terindra, sehingga
metafisika—sekaligus agama—merupakan non-sense
belaka. Maka dari itu benarkah klaim yang diajukan Comte dan Freud? Apakah Immanuel
Kant mengafirmasi klaim sains, bahwa agama hanya kekosongan sekaligus ketidak
mampuan manusia dalam menghadapi realitas? Jawaban dari pertanyaan itu: ya dan
tidak. Pertama, Kant mengakui bahwa metafisika itu bukan merupakan pengetahuan,
karena tidak didasarkan atas objek yang terindra; Kedua, Kant tidak begitu saja
menihilkan agama, atau mencibir bahwa agama merupakan sumber dekadensi yang
paling nyata. Ia ‘menyelamatkan’ metafisika pada wilayah etika.
Tujuan
dari etika adalah kebahagiaan sempurna dengan melakukan tindakan kebaikan. Namun,
Kant menyadari bahwa di dunia ini kebaikan moral tidak pasti mendapatkan
kebahagiaan, bahkan tidak jarang mendapatkan keburukan yang berujung kesedihan.
Oleh karena itu, Kant menyebutkan tiga syarat atau postulat yang memungkinkan
adanya relasi antara kebaikan moral dan kebahagiaan sempurna. Postulat tersebut
adalah: kebebasan, keabadian jiwa dan Tuhan. Yang menjadi catatan disini
adalah, bahwa ketiga postulat ini tak dapat dibuktikan secara empiris, karena
bersifat metafisis. Namun ketiga postulat ini cukup dipercayai saja, tapi bukan
berarti ketiga postulat ini tidak penting, karena tindakan seorang manusia
hanya mungkin jika menerima ketiga syarat tersebut (Hamersma, 1992: 32).
Oleh
karena itu, menurut Hamersma, bagi Kant agama itu hanya berdasarkan tindakan.
Agama itu hadir sebagai hasil dari tindakan dan pikiran etis, dan dari tindakan
etis muncul beberapa pertimbangan—yaitu tiga postulat—yang merupakan pondasi
dari agama. Kant menambahkan, pluralitas agama merupakan cara untuk ‘mewarnai’
agama yang tunggal, yang didasarkan atas anggapan-anggapan. Jika bermacam-macam
anggapan itu dihilangkan, maka agama moral akan muncul (Harmesma, 1992: 33).
D. KESIMPULAN
Sebagaimana klaim dari kaum
saintifik, Kant meyakini bahwa agama tidak bisa dijadikan sebagai suatu
pengetahuan. Karena metafisika, yang merupakan pondasi agama, tidak bisa
diobservasi secara empiris, lebih lanjut, tidak dapat ditata oleh kategori
akal-budi. Namun, bukan berarti Kant menganggap bahwa agama itu nihil, ia
berpendapat bahwa agama itu didasarkan atas tindakan, dalam artian etika. Tapi
disini Kant mengakomodir ide-ide metafisis, ia meyakini bahwa ide-ide tersebut
merupakan syarat dari mungkinnya kebaikan moral dan kebahagiaan sempurna.
Sehingga tindakan seseorang didasarkan atas ide metafisis.
E. DAFTAR PUSTAKA
Hamersma,
Harry. (1992). Tokoh-tokoh Filsafat Barat
Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hardiman, F. Budi. (2007). Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta:
Kanisius.
____________. (2007). Filsafat Modern: dari Machiavellli sampai
Nietzche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kartanegara,
Mulyadhi. (2007). Mengislamkan Nalar:
Sebuah Respons Terhadap Modenitas. Jakarta: Erlangga.
KBBI
Offline 1.5
Muthahhari,
Murtadha. (2007). Membumikan kitab suci:
Manusia dan Agama. Bandung: Mizan.
_______________.
(2011). Bedah Tuntas Fitrah: Mengenal
jati diri , hakikat dan potensi kita. Jakarta: Citra.
Peursen, C.A. Van. (1989).
Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
[1]
Mengapa penulis menjabarkan mitologi dalam tulisan ini? Penulis berasumsi bahwa
agama identik dengan mitos, maka duduk perkaranya akan menjadi jelas ketika
agama dihadapkan dengan karakteristik dari zaman modern, sehingga konfrontasi
agama dan zaman modern menjadi kentara.
[2]
Yang terdapat dalam agama semit
[3]
Semoga tulisan ini tak pernah dibaca oleh kalangan konservatif dan sejenisnya.
Mengapa? Karena seringkali kita (mungkin dan tidak semua) memiliki stereotype terhadap mitos, sehingga jika
kita menganggap agama sebagai mitos, terasa ada yang janggal, karena asumsi
kita tentang agama adalah sesuatu yang sakral, dengan demikian mitos dalam
artian hal yang negative, tidak bisa dilekatkan kepada agama. Padahal alangkah
naifnya menganggap mitos sebagai sesuatu yang buruk atau jelek.
[4]
Menurut Budi Hardiman (2007), Comte membagi tiga tahapan manusia dalam
beragama: animisme, politeisme, dan monoteisme (sebagai puncak). Hlm. 207 dst.
[5]
Apakah Das Ding an sich merupakan hal yang metafisis? Bukan, menurut Kant,
karena subjek senantiasa menata penampakan objek, maka dari itu objek pada
dirinya tak mungkin diketahui. Dan yang menatanya tersebut bersifat a priori. Kant mengilustrasikan,
bagaikan seseorang yang menggunakan kaca mata merah, ketika melihat benda.
Benda akan berwarna merah karena seseorang tersebut menggunakan kaca mata
berwarna merah.
[6] Logika
transendental masih termasuk pembahasan analitika transendental
Comments
Post a Comment