Eksistensi Agama di Zaman Modern: Agama dalam Pandangan Immanuel Kant

Gambar diambil dari: thirdspacesblog.wordpress.com

Oleh: Raja Cahaya Islam

A.     LATAR BELAKANG
Agama merupakan suatu hal yang fundamental bagi kehidupan manusia. Bahkan tidak jarang, sejarah manusia selalu bergandengan dengan ‘sosok’ agama. Misalnya saja peristiwa dramatis yang sangat terkenal, yaitu Perang Salib. Konon, penyebab peristiwa berdarah itu dilatar belakangi oleh agama. Dalam perang ini ‘aktor yang bermain’ adalah umat agama Islam dan Kristen. Bisa dibayangkan bagaimana pengaruh agama, sehingga manusia rela membunuh manusia lainnya. Namun, tidak hanya itu, kerap kali agama pun dianggap sebagai sumber dari altruisme sejati.
Perlu diakui agama pun merupakan salah satu sumber pengetahuan manusia. Permasalahan pun muncul disini: Perkembangan pengetahuan manusia, di Barat khususnya, sekaligus diiringi oleh kecurigaan terhadap kebenaran agama (Hardiman, 2007: 7). Kritikan yang tajam mulai berkembang seiring dengan kemajuan sains, bahkan para kaum saintifik mulai menganggap bahwa agama merupakan sumber ketidak mampuan manusia dalam menghadapi realitas, lebih jauh lagi, Tuhan yang selama ini dianggap sebagai penopang dari segala ‘yang ada’, diklaim hanya sebagai proyeksi keterasingan manusia (Kartanegara, 2007: 47). Kecurigaan serta kritikan itu memuncak pada zaman modern, di mana perkembangan sains benar-benar pesat.
Sebenarnya penolakan terhadap agama dan Tuhan beserta entitas semacamnya, bisa dijabarkan sebagai penolakan terhadap metafisika (Hardiman, 2007: 6). Sebagaimana diketahui, metafisika merupakan suatu hal yang fundamental bagi agama. Barangkali, agama tanpa metafisika tak bisa disebut sebagai agama. Maksudnya agama mesti tak ada jika penopangnya, yaitu Tuhan, runtuh. Lalu pertanyaannya, bagaimana posisi agama ditengah badai serangan terhadap metafisika? Masih bisakah agama bisa dijadikan sumber pengetahuan?



B.     PROBLEMATIKA
Perkembangan ilmu pengetahuan modern (sains), dengan metode empiris-rasionalnya, memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia, bahkan sumbangsihnya terhadap peradaban sangat terasa bagi mahluk yang dinamakan homo sapien ini. Begitu pun dengan agama. Agama diyakini sebagai pedoman bagi kehidupan manusia, bahkan tak kalah berfungsinya, agama pun tak jarang memberikan pengaruh terhadap peradaban manusia.
Pertanyaan muncul disini, apakah agama dan sains tidak bertentangan? Pertama, di dalam agama terdapat ajaran mengenai entitas metafisis, dalam artian tak dapat diindra. Bahkan terdapat pula puncak dari entitas metafisis tersebut, yang biasanya disebut sebagai Tuhan. Ia diyakini sebagai penopang dari realitas ini. Di pihak lain, sains hanya membatasi lingkup pengetahuan pada dunia yang dapat diobservasi secara empiris, dan mesti bersifat rasional. Implikasi dari kedua pihak itu adalah kontradiksi. Dimana agama memusatkan perhatiannya pada hal metafisis, namun sains malah menolak metafisika. Bahkan menyebut pondasi dari agama tersebut—yaitu Tuhan—sebagai proyeksi manusia. Kalau begitu bagaimana seharusnya diposisikan ketika berhadapan dengan sains?
C.     TEORI DAN PEMBAHASAN
Sapere Aude! Beranilah berpikir sendiri! (Hardiman, 2007: 135) Begitulah kira-kira Zeitgeist dari zaman modern. Apa sebenarnya yang dimaksud oleh adagium tersebut? Tak diragukan lagi yaitu, aktualisasi rasio manusia, dalam artian, saatnya manusia mempertanyakan hal-hal yang berbau mitologis (Hardiman, 2007: 3). Mengapa mitos[1]?  
Pertama-tama perlu dijabarkan terlebih dahulu—secara singkat—inti dari mitos. Mengutip pendapat C.A. Van Peursen, mitos bisa diartikan sebagai cerita yang memberikan pedoman kepada manusia. Di dalam tradisi mitos banyak ‘ditemukan’ entitas tak kasat mata, seperti: dosa, penyucian, surga, neraka dll. Selain itu, dalam tradisi mitos terdapat kepercayaan terhadap Tuhan, Dewa, To Hen, Allah, dan semacamnya, yang merupakan puncak dari realitas, bahkan Entitas tersebut merupakan penopang dari alam semesta, mencakup realitas material dan non-material (Peursen, 1989: 37). Oleh karena itu, mitos bisa kita sebut penuh dengan hal-hal metafisis, misalnya ‘konsep’ surga[2] yang mengacu pada tempat yang antah barantah, sama sekali tidak merujuk pada tempat yang konkret di muka bumi, sebagaimana tercantum di Kamus besar bahasa indonesia offline versi 1.5, surga didefinisikan sebagai alam akhirat tempat roh-roh mendapat kebahagiaan. Bahkan roh pun merupakan entitas metafisis.
Sebelum melangkah lebih jauh, sebenarnya perlu diakui, bahwa agama termasuk ke dalam dimensi mitologis, karena keduanya (Baca: agama dan mitos) meyakini hal-hal yang berbau metafisis, bahkan keduanya meyakini, terdapat entitas metafisik yang menopang realitas. Fungsi dari mitos dan agama pun sama, yaitu sebagai pedoman hidup bagi manusia. (Definisi agama di buku filsafat agama) Maka dari itu, agama bisa kita sebut sebagai mitos atau dalam bahasa lain penuh dengan unsur mitos (meskipun tidak semua unsurnya)[3]. Jadi apa yang dimaksud oleh aktualisasi rasio manusia adalah, mempertanyakan kembali segala dogma mitologis yang ada, bil khusus doktrin agama. Ditengah perkembangan ilmu empiris-rasional, agama sebagai pemuat metafisika mulai dipertanyakan kembali, bahkan diragukan kebenarannya (Kartanegara, 2007: 21).
Zaman modern: pemberontakan terhadap agama
Pada zaman tradisional—dimana agama atau mitos merajalela—pusat dari realitas adalah Tuhan, namun pada zaman modern Tuhan diturunkan dari tahtanya, lalu digantikan oleh manusia. Maksudnya, kebenaran eksistensi Tuhan beserta rengrengannya, yang bersemayam dalam tubuh agama (atau sebaliknya?) mulai dikritisi, bahkan Tuhan dianggap sebagai sumber dari alienasi, sebagaimana ‘keyakinan’ Feuerbach (Mutahhari, 2011: 107 ). Implikasi dari ‘kejatuhan’ Tuhan tersebut merupakan masa kejayaan manusia, bahkan manusia modern memutuskan untuk ‘bercerai’ dengan metafisika yang tak terindra, dan ‘menyunting’ entitas material yang terindra (Hardiman, 2007: 9).
Konsekuensinya, para pemeluk agama mesti berkurang drastis (kalau bukan hilang). Namun, pada faktanya kita tak dapat menutup mata, bahwa agama di zaman modern masih hadir di muka bumi ini. Atau barangkali tepatlah ungkapan Will Durant, sebagaimana dikutip oleh Murtadha Muthahhari: ”Agama memiliki seratus jiwa. Segala sesuatu jika telah dibunuh pada kali pertama itu pun ia sudah mati untuk selama-lamanya, kecuali agama. Sekiranya ia seratus kali dibunuh, ia akan muncul lagi dan kembali hidup setelah itu” (Mutahhari, 2007: 47). Berarti terdapat ambivalensi di zaman ini: Agama pada zaman modern masih ada—Tuhan menjadi pusat realitas, sedangkan semangat zaman sudah berubah—Tuhan bukan lagi pusat realitas.
            Menurut Budi Hardiman, sebagaimana disindir pada paragraf awal, zaman modern merupakan berpalingnya manusia dari dunia yang tak kasat mata, menuju dunia yang kasat mata (Hardiman, 2007: 6-7). Pada saat itu juga kita bisa katakan, mengutip pendapat Mulyadhi Kartanegara, Ilmu pengetahuan Barat Modern, membatasi diri pada hal-hal yang bersifat indrawi, dalam artian yang dapat diobservasi dengan panca indra. Bahkan Henry Margenau, yang dikutip Guru besar lulusan University of Chicago tersebut,  menyebutkan di dalam bukunya yang berjudul The Scientist, membatasi ruang lingkup pengetahuan pada apa yang disebutnya sebagai Observable fact, yaitu suatu dunia pengalaman yang terindra, yang nantinya akan diproses oleh logika murni—memilih, memutuskan, penalaran (Kartanegara, 2007: 4-5).
            Lebih lanjut, wilayah yang tak dapat diobservasi dan dibuktikan secara empiris-rasional, dianggap sebagai suatu hal yang tidak nyata. Ilmu pengetahuan modern ini, menolak status objek yang tak empiris (metafisis), dan meragukan status ilmiah yang menjadikan objek non-empiris tersebut sebagai objek formalnya, dan menyebut hal tersebut sebagai pseudo-ilmiah (Kartanegara, 2007: 5). Implikasi dari pemusatan pada hal-hal yang empiris-rasional salah satunya adalah agama mulai dibanjiri dengan kritikan yang amat tajam.
Hal ini bisa dilihat dari pandangan Auguste Comte. Ia menyatakan bahwa agama[4] merupakan kebodohan manusia dalam menghadapi alam. Contohnya ketika manusia menghadapi suatu bencana gempa bumi lantas manusia mencari penyebabnya, lalu mereka berkesimpulan bahwa yang menyebabkan gempa bumi adalah Tuhan. Maka dari itu semakin manusia itu mengaktualkan rasionya, pembicaraan Tuhan menjadi omong kosong belaka (Muthahhari, 2011: 123-125). Selain Comte, kita bisa menilik pendapat dari Sigmund Freud. Ia berpendapat, bahwa hal-hal yang metafisis adalah proyeksi manusia atas ketakutannya atau ketidak mampuannya berhadapan dengan alam secara rasional, sehingga ia menciptakan suatu zat yang bisa membuat dirinya aman, yaitu Yang Kudus (Kartanegara, 2007: 47). Mengutip kembali pendapat Mulyadhi, dua tokoh tersebut mendasarkan diri pada pandangan empiris-rasional, sehingga mengantarkan mereka kepada konklusi tersebut (Kartanegara, 2007: 22).

Ketidak mungkinan metafisika dalam pandangan Immanuel Kant
            Berdasarkan pendapat dari beberapa intelegensia di atas, mereka menunjukan bahwa sesungguhnya realitas metafisis merupakan pseudo-ilmiah dan bukan termasuk kedalam ilmu pengetahuan. Pada ulasan terakhir ini, paparan mengenai pemikiran Immanuel Kant akan menjelaskan kejelasan posisi agama dihadapan ‘Goliath’ sains. Jika sains benar-benar meluluhlantakan agama, maka lain halnya dengan Immanuel Kant. Pertanyaan yang mesti diajukan adalah, apakah metafisika itu mungkin? Karena metafisika merupakan penopang di dalam agama, yang di dalamnya terdapat Tuhan dan hal lainnya yang bersifat metafisis.
Mula-mula perlu dijabarkan secara singkat mengenai proyek pemikiran Kant. Filosof Jerman ini, sebenarnya ingin membuat sintesis antara pengetahuan a posteriori yang bersifat sintesis, maksudnya putusan yang predikatnya tidak terdapat di dalam subjek, dengan pengetahuan a priori yang bersifat analitik, maksudnya putusan yang predikatnya terdapat di dalam subjek. Sehingga menciptakan pengetahuan sintesis a priori, misalnya: Semua peristiwa memiliki sebab, predikat dalam putusan itu (memiliki sebab) bersifat sintesis karena tidak terdapat di dalam subjek, namun bersifat a priori (semua peristiwa) karena tidak perlu menyelidiki segala peristiwa sebelum menyimpulkannya (Hardiman, 2007: 133-135).
Dalam buku Kritik der reinen Vernunft—sebagaimana dikutip oleh Budi Hardiman—Kant menjabarkan mengenai pengetahuan yang bersifat sintesis a priori (proyek pemikiran Kant, lihat paragraf sebelumnya). Ia menjabarkannya dalam beberapa bagian: dalam bab Estetika Transendental, menurut Kant pengetahuan manusia didasarkan atas persepsi indrawi (a posteriori). Kant menambahkan, bahwa dalam mempersepsi penampakan objek, terdapat dua unsur yaitu: unsur materi (matter) dan bentuk (form). Unsur materi adalah isi pengindraan, sedankan unsur bentuk adalah sesuatu yang bersifat a priori, yaitu ruang dan waktu, dan kedua entitas inilah yang menata penampakan objek. Mungkin suatu pertanyaan muncul, mengapa hanya penampakan? Kant menjabarkan bahwa ada wilayah Das ding an sich yang tak dapat dijamah oleh subjek[5]. Kembali lagi pada pembicaraan, jadi yang ditangkap oleh subjek sudah bersifat sintesis, yaitu efek objek pada subjek dan unsur a priori. Lanjutnya, perlu diingat bahwa ruang dan waktu itu secara empiris real dan secara transendental ideal. Maksudnya, pertama: bahwa ruang dan waktu bukan suatu ilusi namun real secara indrawi; kedua, ruang dan waktu hanya bisa diterapkan pada wilayah fenomena bukan Das ding an sich (Hardiman, 2007: 137-139).
             Selanjutnya dalam bab lainnya, yaitu Analitika Transendental, di dalam diri subek terdapat dua kemampuan yaitu, sensibilitas (kemampuan mengindrai) dan intelek atau Verstand (sebagai penghasil konsep sebagai pemahaman). Keduanya merupakan suatu yang krusial, tanpa sensibilitas objek tak dapat masuk ke dalam subjek, dan tanpa intelek objek tak dapat dipikirkan. Mulailah kita masuk pada Logika Transendental[6], yang merupakan pembahasan asas-asas akal budi. Perlu dipahami disini bahwa intelek itu sendiri merupakan kemampuan untuk memberikan putusan, dan di dalam putusan terdapat sintesis, yaitu antara data-indrawi dan unsur a priori di dalam akal budi. Meskipun unsur ini bersifat a priori, namun unsur ini tetap terkait dengan objek empiris. Unsur ini disebut Kant sebagai kategori, dan kategori ini terdiri dari empat bagian, dan masing-masing terdiri dari tiga macam. Kategori itu ialah: 1) Kuantitas: unitas, pluralitas, totalitas; 2) Kualitas: realitas, negasi, limitasi; 3) Relasi: substansi, kausalitas, komunitas; 4) Modalitas: kemungkinan-kemustahilan, eksistensi-non-eksistensi, keniscayaan-kontingensi (Hardiman, 2007: 139-141).
            Kita masuk pada pembahasan terakhir, dan sekaligus membicarakan kemungkinan metafisika sebagai pengetahuan. Dalam bab Dialektika Transendental, Kant menyebutkan Vernunft. Apa itu Vernunft? Ia mengacu pada suatu hal yang lebih tinggi dari intelek. Vernunft menghasilkan ide transendental yang memiliki fungsi meregulasi putusan, sehinggga Vernunft tidak menambah pengetahuan. Vernunft menerima konsep dari putusan akal budi dan membuat suatu kesatuan atasnya. Misalnya: Semua manusia akan mati, dan Socrates adalah manusia, lalu kesimpulannya Socrates akan mati. Kesimpulan ketiga merupakan silogisme, hasil dari kesatuan dari dua putusan yang mendahuluinya. Kesimpulan ketiga ini tidak di dasarkan atas penampakan. Tambah Kant, Vernunft selalu mengusahakan kesatuan menuju keadaan akhir yang murni (Hardiman, 2007: 142).
            Menurut Kant, terdapat tiga tipe kesimpulan silogisme yang mungkin, yaitu: kesimpulan kategoris, hipotetis dan disjungtif. Ketiga kesimpulan itu pun berkaitan dengan tiga macam kesatuan tanpa syarat yang merupakan postulat dari Vernunft. Pertama, yang menjamin kesatuan akhir kesadaran subjek dan hubungannya dengan dirinya yaitu Idea Jiwa; kedua, yang menjamin kesatuan akhir dalam hubungan sebab-akibat dalam penampakan objek disebut Idea Dunia; ketiga, yang menjamin kesatuan akhir dari segala sesuatu yaitu Idea Tuhan. Mulailah kita masuk kepada pertanyaan inti yaitu, apakah metafisika—sebagai penopang dari agama—itu mungkin? Kant menjawab tidak, karena Idea-idea rasio murni tidak berhubungan dengan objek terindra atau empiris, maka ia (baca: metafisika) tak memberikan pengetahuan tentang objek. Jika metafisika ingin menjadi sebuah ilmu pengetahuan ia mesti berhubungan dengan objek berkaitan dengan idea transendental, namun tak ada objek pengalaman bagi ketiga indra itu. Singkat kata, tidak bersifat sintesis a priori (Hardiman, 2007: 143-144).
Immanuel Kant dan agama
            Sebagaimana disebutkan, lingkup kajian sains hanya pada dunia terindra, sehingga metafisika—sekaligus agama—merupakan non-sense belaka. Maka dari itu benarkah klaim yang diajukan Comte dan Freud? Apakah Immanuel Kant mengafirmasi klaim sains, bahwa agama hanya kekosongan sekaligus ketidak mampuan manusia dalam menghadapi realitas? Jawaban dari pertanyaan itu: ya dan tidak. Pertama, Kant mengakui bahwa metafisika itu bukan merupakan pengetahuan, karena tidak didasarkan atas objek yang terindra; Kedua, Kant tidak begitu saja menihilkan agama, atau mencibir bahwa agama merupakan sumber dekadensi yang paling nyata. Ia ‘menyelamatkan’ metafisika pada wilayah etika.
            Tujuan dari etika adalah kebahagiaan sempurna dengan melakukan tindakan kebaikan. Namun, Kant menyadari bahwa di dunia ini kebaikan moral tidak pasti mendapatkan kebahagiaan, bahkan tidak jarang mendapatkan keburukan yang berujung kesedihan. Oleh karena itu, Kant menyebutkan tiga syarat atau postulat yang memungkinkan adanya relasi antara kebaikan moral dan kebahagiaan sempurna. Postulat tersebut adalah: kebebasan, keabadian jiwa dan Tuhan. Yang menjadi catatan disini adalah, bahwa ketiga postulat ini tak dapat dibuktikan secara empiris, karena bersifat metafisis. Namun ketiga postulat ini cukup dipercayai saja, tapi bukan berarti ketiga postulat ini tidak penting, karena tindakan seorang manusia hanya mungkin jika menerima ketiga syarat tersebut (Hamersma, 1992: 32).
            Oleh karena itu, menurut Hamersma, bagi Kant agama itu hanya berdasarkan tindakan. Agama itu hadir sebagai hasil dari tindakan dan pikiran etis, dan dari tindakan etis muncul beberapa pertimbangan—yaitu tiga postulat—yang merupakan pondasi dari agama. Kant menambahkan, pluralitas agama merupakan cara untuk ‘mewarnai’ agama yang tunggal, yang didasarkan atas anggapan-anggapan. Jika bermacam-macam anggapan itu dihilangkan, maka agama moral akan muncul (Harmesma, 1992: 33).

D.     KESIMPULAN
Sebagaimana klaim dari kaum saintifik, Kant meyakini bahwa agama tidak bisa dijadikan sebagai suatu pengetahuan. Karena metafisika, yang merupakan pondasi agama, tidak bisa diobservasi secara empiris, lebih lanjut, tidak dapat ditata oleh kategori akal-budi. Namun, bukan berarti Kant menganggap bahwa agama itu nihil, ia berpendapat bahwa agama itu didasarkan atas tindakan, dalam artian etika. Tapi disini Kant mengakomodir ide-ide metafisis, ia meyakini bahwa ide-ide tersebut merupakan syarat dari mungkinnya kebaikan moral dan kebahagiaan sempurna. Sehingga tindakan seseorang didasarkan atas ide metafisis.
E.     DAFTAR PUSTAKA
            Hamersma, Harry. (1992). Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hardiman, F. Budi. (2007). Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta: Kanisius.
____________. (2007). Filsafat Modern: dari Machiavellli sampai Nietzche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kartanegara, Mulyadhi. (2007). Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons Terhadap Modenitas. Jakarta: Erlangga.
KBBI Offline 1.5
Muthahhari, Murtadha. (2007). Membumikan kitab suci: Manusia dan Agama. Bandung: Mizan.
_______________. (2011). Bedah Tuntas Fitrah: Mengenal jati diri , hakikat dan potensi kita. Jakarta: Citra.
Peursen, C.A. Van. (1989). Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.




[1] Mengapa penulis menjabarkan mitologi dalam tulisan ini? Penulis berasumsi bahwa agama identik dengan mitos, maka duduk perkaranya akan menjadi jelas ketika agama dihadapkan dengan karakteristik dari zaman modern, sehingga konfrontasi agama dan zaman modern menjadi kentara.
[2] Yang terdapat dalam agama semit
[3] Semoga tulisan ini tak pernah dibaca oleh kalangan konservatif dan sejenisnya. Mengapa? Karena seringkali kita (mungkin dan tidak semua) memiliki stereotype terhadap mitos, sehingga jika kita menganggap agama sebagai mitos, terasa ada yang janggal, karena asumsi kita tentang agama adalah sesuatu yang sakral, dengan demikian mitos dalam artian hal yang negative, tidak bisa dilekatkan kepada agama. Padahal alangkah naifnya menganggap mitos sebagai sesuatu yang buruk atau jelek.
[4] Menurut Budi Hardiman (2007), Comte membagi tiga tahapan manusia dalam beragama: animisme, politeisme, dan monoteisme (sebagai puncak). Hlm. 207 dst.
[5] Apakah Das Ding an sich merupakan hal yang metafisis? Bukan, menurut Kant, karena subjek senantiasa menata penampakan objek, maka dari itu objek pada dirinya tak mungkin diketahui. Dan yang menatanya tersebut bersifat a priori. Kant mengilustrasikan, bagaikan seseorang yang menggunakan kaca mata merah, ketika melihat benda. Benda akan berwarna merah karena seseorang tersebut menggunakan kaca mata berwarna merah.  
[6] Logika transendental masih termasuk pembahasan analitika transendental

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra