Esai Tentang Filsafat Nilai
Dalam kehidupan sehari-hari
seringkali kita dihadapkan dengan pertayaan: “Apakah benda ini bernilai?” atau
“Apakah perbuatan itu bernilai?”. Pembicaraan mengenai nilai, jarang sekali
dibicarakan oleh, meminjam istilah Muhammad Abduh, masyarakat awwam. Barangkali hal ini disebabkan
oleh rutinitas yang menyebabkan mereka lupa akan persoalan ini. Mungkin pula
terdapat asumsi, bahwa perbincangan ihwal nilai an sich merupakan suatu kesia-siaan atau buang-buang waktu.
Apakah asumsi tersebut benar atau
salah, penulis tak akan memberikan judgement.
Namun, perlu diketahui bahwa perbincangan perihal nilai, merupakan salah satu
dari bahan ‘bincangan’ filsafat. Maka dari itu, kita juga menjadi paham mengapa
masyarakat awwam (tidak semua) kurang
meminati pembicaraan ini, karena konon filsafat sendiri memiliki stigma negatif
di mata masyarakat. Mengapa stigma ini bisa muncul? Karena didasarkan dari
filsafat itu sendiri, yang berciri spekulatif. Sehingga ‘obrolan’ filsafat
dianggap sebagai sebuah kesia-siaan.
Meskipun ada stereotipe terhadap filsafat, terkhusus filsafat nilai, penulis
akan mencoba menjabarkan perihal persoalan ini. Karena, meski
filsafat—terkhusus filsafat nilai—bersifat spekulatif, namun pembahasan ini
merupakan sesuatu yang krusial bagi kehidupan manusia, dalam artian, kegiatan
dari filsafat nilai merupakan usaha dalam menyingkap rahasia-rahasia yang ada
pada realitas ini (mengacu pada segala sesuatu yang Ada). Karena pembahasan
filsafat nilai sangat luas, penulis akan membatasi diri pada filsafat nilai dan
kaitannya dengan hedonisme. Terlebih dahulu penulis akan membicarakan sumber
dari suatu nilai, lalu dilanjut oleh pembicaraan mengenai hedonisme itu sendiri
dan kesalahpahaman memahami hedonisme, dan terakhir penulis akan membahas
tujuan dari esai ini, yaitu hedonisme dalam konteks filsafat nilai, dengan
kerangka Epikuros.
Realisme atau subjektifisme
nilai?
Manusia selalu dihadapkan dengan
kenyataan. Sebagai seorang subjek yang berkesadaran, hubungannya dengan
kenyataan tidak hanya dipahami sebagai dua entitas yang tak memiliki kaitan.
Namun, keduanya memiliki hubungan yang resiprokal. Apa maksud dari hubungan itu?
kenyataan itu sarat akan nilai, tak ada kenyataan yang tak memiliki nilai.
Selain itu, nilai di dalam kenyataan itu tidak tunggal namun plural. Pluralitas
nilai inilah yang menjadi problem manusia dalam ‘menilai’ kenyataan. Karena di
dalam—sebut saja—suatu entitas mungkin saja terdapat nilai yang kontradiktif.
Persoalannya, apakah nilai itu
inheren di dalam objek (alirannya disebut objektivisme atau realisme
aksiologis) atau subjek yang mengonstruksi kenyataan (alirannya subjektivisme
aksiologis)? Alangkah baiknya jika kita akomodir terlebih dahulu, kedua
distingsi paham mengenai sumber nilai (terdapat dalam subjek atau objek). Jika
mendasarkan diri pada paham pertama, subjek diandaikan tidak memiliki konsep
nilai. Sehingga, nilai sepenuhnya diberi oleh kenyataan, lalu barulah subjek
memiliki konsep tertentu mengenai nilai. Namun, jika kita mengandaikan paham
kedua, maka nilai mesti dipahami sudah terdapat di dalam diri subjek, atau
bersifat bawaan (innate), maka dari
itu ia—bisa dikata—bersifat a priori[2].
Barangkali kita mesti memilih paham
kedua. karena nilai merupakan suatu yang inheren di dalam objek, sehingga
manusia sebagai subjek hanya mengafirmasi nilai yang terdapat di dalam suatu
entias. Contohnya: pembunuhan, apakah membunuh memiliki nilai yang baik atau
buruk? Membunuh an sich mememiliki
nilai yang buruk. Jadi, nilai buruk dalam membunuh merupakan nilai yang
objektif di dalam ‘pembunuhan’, atau dalam bahasa lain nilai buruk sudah
inheren dalam pembunuhan. Namun, disisi lain nilai bisa bersifat subjektif,
tapi bukan berarti terdapat nilai yang bersifat innate. Maksudnya, setelah seorang subjek melekatkan nilai pada
entitas tertentu. Contohnya: pembunuhan sebagaimana disebutkan memiliki nilai
objektif yaitu nilai keburukan, namun ia (baca: pembunuhan) bisa menjadi baik
jika orang yang dibunuh, berpotensi untuk membunuh orang yang lebih banyak—kita
sebut sebagai pembunuh, sehingga jika tidak dibunuh, maka orang itu akan
membunuh orang lebih banyak. Dengan pertimbangan itu, maka pembunuhan memiliki
nilai baik. Namun, bukan berarti pembunuhan menjadi berubah nilainya, tetap
saja nilai itu bersifat objektif, namun bisa diubah.
Jadi bisa dijabarkan, bahwa nilai
yang terdapat di dalam diri subjek pada mulanya dikondisikan oleh kenyataan
(yang memiliki nilai inheren pada dirinya). Namun, disisi lain subjek pun bisa
ikut andil dalam pembentukan suatu nilai dari suatu entitas, sehingga bisa
bilang subjek tidak melulu pasif, tapi adakalanya ia berperan aktif dalam suatu
penilaian.
Sekelumit tentang hedonisme
Hedonisme merupakan sebuah aliran
filsafat, yang meyakini bahwa tujuan dari hidup manusia adalah mencapai
kesenangan. Tidak ada manusia yang hidup tanpa mencari kesenangan, bahkan
penjahat sekalipun. Seorang penjahat ketika melakukan sesuatu yang—dianggap—jahat,
pada dasarnya menginginkan kesenangan bagi dirinya, meskipun disisi lain ia
telah menyakiti orang lain.
Aliran ini memiliki beberapa tokoh
sentral, yaitu Aristippos dari Kyrene (-+ 433/355 S.M.) dan Epikuros (-+
341/270 S.M.). Aristippos, sebagai murid dari Socrates, meyakini bahwa
manusia—sebagaimana disebutkan—menginginkan kesenangan bagi dirinya, dan hal
ini merupakan suatu tujuan bagi hidupnya. Bagi Aristippos, kesenangan itu bisa
didapatkan melalui kesenangan badaniah. Karena memang pada hakikat kesenangan
tidak lain dari gerak badan. Ia membagi gerak ke dalam tiga bagian: pertama, gerak kasar, yaitu sesuatu yang
menimbulkan kesakitan; kedua, gerak
netral, yang tidak menimbulkan apa-apa, misalnya tidur; ketiga, gerak halus, yaitu suatu gerak yang memberikan kesenangan.
Dalam trikotomi tersebut, Aristippos menekankan bahwa manusia mesti fokus pada
gerak halus, demi mencapai kesenangan, maka dari itu tujuan hidup manusia dapat
terpenuhi.
Dalam pencapaian kesenangan tersebut
Aristippos memberi catatan, bahwa dalam mendapat kesenangan, manusia hendaknya
mengendalikan diri. Namun, jangan disalah pahami, bahwa pengendalian diri itu
berarti menginggalkan kesenangan. Tapi agar tidak terkendalikan oleh kesenangan itu sendiri.
Diri lah yang mesti menjadi pengendali dari kesenangan tersebut. Perlu
diketahui pula, Aristippos memberi batasan bahwa kesenagan itu hanya terjadi
pada kesenangan yang sudah aktual, dalam artian bukan kesenangan masa lalu dan
masa depan, karena bagi dirinya masa lalu merupakan ‘ingatan’ atas kesenangan,
dan masa depan merupakan ‘antisipasi’ atas kesenangan, dan keduanya bukan
kesenangan an sich.
Lain halnya dengan Aristippos,
Epikuros memiliki jalan lain. Namun, jalan lain yang dimaksud disini, bukan
berarti mengkritik Aristippos sehingga menghilangkan pengertian kesenangan yang
dimaksud olehnya. Bukan, tapi Epikuros menambahkan satu jalan lagi dalam
mencapai tujuan hidup manusia, yaitu kesenangan ruhaniah. Jadi posisi Epikuros
bisa dibilang bukan mengkritik, namun memberikan tambahan pada pengertian
pencapaian kesenangan.
Menurut pengakuan Epikuros, meskipun
kesenangan badani itu bersifat hakiki, tapi disisi lain ada suatu kesenangan
yang bersifat ruhaniah. Bahkan statusnya lebih tinggi dari kesenangan badani.
Berbeda dari Aristippos, menurut Epikuros kesenangan itu tidak hanya bersifat
‘hari ini’, tapi mencakup masa lalu dan masa mendatang. Meskipun kesenangan itu
pasti bernilai baik, namun bukan berarti segala kesenangan harus dilakukan.
Maka dari itu, ia membagi tiga macam keinginan untuk menerangkan batasan
mengenai kesenangan yang sejati: pertama,
keinginan alamiah, yang ia maksud dengan keinginan alamiah adalah, semacam
kebutuhan dasariah manusia, seperti makanan; kedua, keinginan yang tidak perlu, misalnya makanan yang enak; ketiga, keinginan yang sia-sia, misalnya
kekayaan. Jika seorang manusia ingin mencapai kesenangan sejati, ia mesti
membatasi dirinya pada keinginan alamiah saja, sehingga ia akan mencapai ataraxia, yaitu suatu kedaan dimana jiwa
seimbang dan tidak terganggu oleh sesuatu, seperti takut akan kematian. Jadi
yang diajarkan oleh Epikuros bisa dibilang sebagai kesederhanaan.
Kesalahan memahami
hedonisme: sebuah refleksi
Sebelum kita menjabarkan hedonisme dalam
kerangka filsafat nilai, penulis akan menjabarkan mengenai kesalahan dalam
memahami hedonimse. Hedonisme secara definitif merupakan keyakinan bahwa
manusia mencari hal-hal yang memberi kesenangan, bahkan kesenangan merupakan
tujuan dari hidup manusia. Namun sayangnya penulis seringkali menemukan
kesalahan masyarakat dalam memahami hedonisme, meskipun tidak semua masyarakat
menyalah pahami hedonisme.
Kesalah pahaman itu terjadi ketika: pertama, masyarakat memahami hedonisme
sebagai paham yang menjunjung tinggi kenikmatan sementara; kedua, banyak asumsi yang menyatakan bahwa hedonisme selalu
berkaitan dengan perbuatan yang bersifat duniawi, dalam artian yang
dikonfrontasikan dengan perbuatan yang bersifat ukhrowi. Biasanya kita menemukan kedua pengertian ini (baca:
duniawi dan ukhrowi) di dalam
terminologi agama.
Perlu dikemukakan disini bahwa,
terlalu naif jika pengertian mengenai hedonisme dibatasi pada lingkup yang
dikemukakan diparagraf sebelumnya. Karena: pertama,
perlu diketahui bahwa kenikmatan yang bersifat temporal, sama sekali bukan
termasuk kepada pengertian hedonisme, karena aliran hedonisme ingin mencapai
kesenangan yang sejati, bukan temporal; kedua,
tidak ada manusia yang tidak mencari suatu kesenangan bagi dirinya, bahkan
agama pun termasuk kepada ‘alat’ untuk mendapatkan kesenangan. Dalam artian,
kita sering menemukan bahwa di dalam agama terdapat konsep surga dan neraka.
Lalu pertanyaannya: bukankah kedua tempat tersebut merupakan sumber dari
kesenangan dan ketidaksenangan? Surga identik dengan kesenangan abadi,
sedangkan neraka itu sebaliknya. Maka hedonisme pun ternyata mencakup agama
pula, bahkan tidak hanya agama tapi segalanya.
Nilai hedonistik dalam
kerangka Epikurean
Sebagaimana disebutkan dimuka,
kenyataan itu sarat akan nilai, sehingga mungkin saja terdapat nilai yang
kontradiktif dalam suatu entitas. Selain itu, sebagaimana disepakati di awal,
terdapat nilai yang bersifat objektif, dan tidak jarang pula subjek berperan
dalam menentukan suatu nilai. Dalam pembicaraan hedonisme, kita sudah
menyepakati bahwa manusia memiliki tujuan dalam hidupnya, yaitu mencari
kesenangan bagi dirinya, dan manusia tidak mencari suatu yang menyebabkan
dirinya tidak senang. Jika kita memahami kedua pembahasan kita dalam lanskap
yang sama, kita akan menemukan bahwa kenyataan memiliki nilai yang berbeda,
yaitu: kesenangan dan ketidaksenangan. Kedua nilai ini selalu mengiringi di
dalam segala kenyataan. Karena tujuan manusia adalah mencari kesenangan, maka
terlebih dahulu, kita mesti memahami struktur kenyataan. Sehingga kita
mendapatkan kesenangan secara definitif atau objektif.
Kesenangan, mengutip pendapat
Epikuros, merupakan suatu kondisi dimana jiwa berada dalam ketentraman, dan
tidak terganggu oleh sesuatu pun. Dengan memahami kesenangan dalam pemahaman
Epikuros, maka kita dapat memberikan judgement
nilai terdahap suatu entitas secara objektif, yaitu sesuatu yang menentramkan
jiwa (bersifat ruhaniah). Namun bukan berarti, dalam konteks ini, kesenangan
ruhani itu mengenyampingkan hal-hal yang bersifat badani atau jasmani, karena pada
dasarnya Epikuros pun berdiri di atas pengertian kesenangan Aristippos—dalam
artian badan merupakan asas dari hidup. Jadi keduanya merupakan hal yang penting,
tapi yang lebih hakiki adalah yang bersifat ruhani.
Dalam kerangkan Epikurean, suatu
yang bernilai (dalam artian memberi kesenangan) adalah suatu hal yang
mengantarkan kita pada kondisi ataraxia.
Kondisi ataraxia ini, bisa dicapai
jika seorang manusia mendasarkan diri pada keinginan-keinginan yang mendasar
atau dalam bahasa lain keinginan yang perlu, dan jangan sampai melampaui
keinginan dasar itu, dalam artian membatasi diri pada keinginan fundamental
saja. Karena bagi Epikuros, sebagaimana dijelaskan dalam trikotominya,
keinginan yang melebihi keinginan fundamental, merupakan sesuatu yang tidak
diperlukan karena tidak akan memberikan kesenangan sejati. Maka dari itu, kita
bisa memahami dalam kerangka ini, bahwa sesuatu yang bernilai adalah sesuatu
yang bersifat sederhana (termasuk pola hidup sederhana). Jadi kesederhanaan
merupakan sesuatu yang ‘bernilai’.
[1]
Raja adalah mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat—yang sekarang berubah nama
menjadi Filsafat Agama—semester lima.
[2] A priori disini mesti dipahami layaknya
di dalam filsafat Immanuel Kant. Kant meyakini bahwa di dalam diri subjek
terdapat kategori-kategori yang mengonstruk kenyataan, dalam konteks
pengetahuan. Jadi pengetahuan itu tidak lain merupakan, sintesis antara
konstruksi subjek yang terdiri atas kategori-kategori yang bersifat a priori, dan penampakan dari kenyataan.
Penulis memahami—jika mendasarkan diri pada paham yang kedua—bahwa nilai itu
bersifat a priori di dalam diri
subjek, sehingga subjek lah yang sebenarnya mengonstruksi nilai terhadap
kenyataan.
Comments
Post a Comment