Esai Tentang Filsafat Nilai

Gambar diambil dari: Google.com

Oleh: Raja Cahaya Islam[1]

            Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita dihadapkan dengan pertayaan: “Apakah benda ini bernilai?” atau “Apakah perbuatan itu bernilai?”. Pembicaraan mengenai nilai, jarang sekali dibicarakan oleh, meminjam istilah Muhammad Abduh, masyarakat awwam. Barangkali hal ini disebabkan oleh rutinitas yang menyebabkan mereka lupa akan persoalan ini. Mungkin pula terdapat asumsi, bahwa perbincangan ihwal nilai an sich merupakan suatu kesia-siaan atau buang-buang waktu.
            Apakah asumsi tersebut benar atau salah, penulis tak akan memberikan judgement. Namun, perlu diketahui bahwa perbincangan perihal nilai, merupakan salah satu dari bahan ‘bincangan’ filsafat. Maka dari itu, kita juga menjadi paham mengapa masyarakat awwam (tidak semua) kurang meminati pembicaraan ini, karena konon filsafat sendiri memiliki stigma negatif di mata masyarakat. Mengapa stigma ini bisa muncul? Karena didasarkan dari filsafat itu sendiri, yang berciri spekulatif. Sehingga ‘obrolan’ filsafat dianggap sebagai sebuah kesia-siaan.
            Meskipun ada stereotipe terhadap filsafat, terkhusus filsafat nilai, penulis akan mencoba menjabarkan perihal persoalan ini. Karena, meski filsafat—terkhusus filsafat nilai—bersifat spekulatif, namun pembahasan ini merupakan sesuatu yang krusial bagi kehidupan manusia, dalam artian, kegiatan dari filsafat nilai merupakan usaha dalam menyingkap rahasia-rahasia yang ada pada realitas ini (mengacu pada segala sesuatu yang Ada). Karena pembahasan filsafat nilai sangat luas, penulis akan membatasi diri pada filsafat nilai dan kaitannya dengan hedonisme. Terlebih dahulu penulis akan membicarakan sumber dari suatu nilai, lalu dilanjut oleh pembicaraan mengenai hedonisme itu sendiri dan kesalahpahaman memahami hedonisme, dan terakhir penulis akan membahas tujuan dari esai ini, yaitu hedonisme dalam konteks filsafat nilai, dengan kerangka Epikuros.
Realisme atau subjektifisme nilai?
            Manusia selalu dihadapkan dengan kenyataan. Sebagai seorang subjek yang berkesadaran, hubungannya dengan kenyataan tidak hanya dipahami sebagai dua entitas yang tak memiliki kaitan. Namun, keduanya memiliki hubungan yang resiprokal. Apa maksud dari hubungan itu? kenyataan itu sarat akan nilai, tak ada kenyataan yang tak memiliki nilai. Selain itu, nilai di dalam kenyataan itu tidak tunggal namun plural. Pluralitas nilai inilah yang menjadi problem manusia dalam ‘menilai’ kenyataan. Karena di dalam—sebut saja—suatu entitas mungkin saja terdapat nilai yang kontradiktif.
            Persoalannya, apakah nilai itu inheren di dalam objek (alirannya disebut objektivisme atau realisme aksiologis) atau subjek yang mengonstruksi kenyataan (alirannya subjektivisme aksiologis)? Alangkah baiknya jika kita akomodir terlebih dahulu, kedua distingsi paham mengenai sumber nilai (terdapat dalam subjek atau objek). Jika mendasarkan diri pada paham pertama, subjek diandaikan tidak memiliki konsep nilai. Sehingga, nilai sepenuhnya diberi oleh kenyataan, lalu barulah subjek memiliki konsep tertentu mengenai nilai. Namun, jika kita mengandaikan paham kedua, maka nilai mesti dipahami sudah terdapat di dalam diri subjek, atau bersifat bawaan (innate), maka dari itu ia—bisa dikata—bersifat a priori[2].
            Barangkali kita mesti memilih paham kedua. karena nilai merupakan suatu yang inheren di dalam objek, sehingga manusia sebagai subjek hanya mengafirmasi nilai yang terdapat di dalam suatu entias. Contohnya: pembunuhan, apakah membunuh memiliki nilai yang baik atau buruk? Membunuh an sich mememiliki nilai yang buruk. Jadi, nilai buruk dalam membunuh merupakan nilai yang objektif di dalam ‘pembunuhan’, atau dalam bahasa lain nilai buruk sudah inheren dalam pembunuhan. Namun, disisi lain nilai bisa bersifat subjektif, tapi bukan berarti terdapat nilai yang bersifat innate. Maksudnya, setelah seorang subjek melekatkan nilai pada entitas tertentu. Contohnya: pembunuhan sebagaimana disebutkan memiliki nilai objektif yaitu nilai keburukan, namun ia (baca: pembunuhan) bisa menjadi baik jika orang yang dibunuh, berpotensi untuk membunuh orang yang lebih banyak—kita sebut sebagai pembunuh, sehingga jika tidak dibunuh, maka orang itu akan membunuh orang lebih banyak. Dengan pertimbangan itu, maka pembunuhan memiliki nilai baik. Namun, bukan berarti pembunuhan menjadi berubah nilainya, tetap saja nilai itu bersifat objektif, namun bisa diubah.
            Jadi bisa dijabarkan, bahwa nilai yang terdapat di dalam diri subjek pada mulanya dikondisikan oleh kenyataan (yang memiliki nilai inheren pada dirinya). Namun, disisi lain subjek pun bisa ikut andil dalam pembentukan suatu nilai dari suatu entitas, sehingga bisa bilang subjek tidak melulu pasif, tapi adakalanya ia berperan aktif dalam suatu penilaian.  
Sekelumit tentang hedonisme
            Hedonisme merupakan sebuah aliran filsafat, yang meyakini bahwa tujuan dari hidup manusia adalah mencapai kesenangan. Tidak ada manusia yang hidup tanpa mencari kesenangan, bahkan penjahat sekalipun. Seorang penjahat ketika melakukan sesuatu yang—dianggap—jahat, pada dasarnya menginginkan kesenangan bagi dirinya, meskipun disisi lain ia telah menyakiti orang lain.
            Aliran ini memiliki beberapa tokoh sentral, yaitu Aristippos dari Kyrene (-+ 433/355 S.M.) dan Epikuros (-+ 341/270 S.M.). Aristippos, sebagai murid dari Socrates, meyakini bahwa manusia—sebagaimana disebutkan—menginginkan kesenangan bagi dirinya, dan hal ini merupakan suatu tujuan bagi hidupnya. Bagi Aristippos, kesenangan itu bisa didapatkan melalui kesenangan badaniah. Karena memang pada hakikat kesenangan tidak lain dari gerak badan. Ia membagi gerak ke dalam tiga bagian: pertama, gerak kasar, yaitu sesuatu yang menimbulkan kesakitan; kedua, gerak netral, yang tidak menimbulkan apa-apa, misalnya tidur; ketiga, gerak halus, yaitu suatu gerak yang memberikan kesenangan. Dalam trikotomi tersebut, Aristippos menekankan bahwa manusia mesti fokus pada gerak halus, demi mencapai kesenangan, maka dari itu tujuan hidup manusia dapat terpenuhi.
            Dalam pencapaian kesenangan tersebut Aristippos memberi catatan, bahwa dalam mendapat kesenangan, manusia hendaknya mengendalikan diri. Namun, jangan disalah pahami, bahwa pengendalian diri itu berarti menginggalkan kesenangan. Tapi agar tidak  terkendalikan oleh kesenangan itu sendiri. Diri lah yang mesti menjadi pengendali dari kesenangan tersebut. Perlu diketahui pula, Aristippos memberi batasan bahwa kesenagan itu hanya terjadi pada kesenangan yang sudah aktual, dalam artian bukan kesenangan masa lalu dan masa depan, karena bagi dirinya masa lalu merupakan ‘ingatan’ atas kesenangan, dan masa depan merupakan ‘antisipasi’ atas kesenangan, dan keduanya bukan kesenangan an sich.
            Lain halnya dengan Aristippos, Epikuros memiliki jalan lain. Namun, jalan lain yang dimaksud disini, bukan berarti mengkritik Aristippos sehingga menghilangkan pengertian kesenangan yang dimaksud olehnya. Bukan, tapi Epikuros menambahkan satu jalan lagi dalam mencapai tujuan hidup manusia, yaitu kesenangan ruhaniah. Jadi posisi Epikuros bisa dibilang bukan mengkritik, namun memberikan tambahan pada pengertian pencapaian kesenangan.
Menurut pengakuan Epikuros, meskipun kesenangan badani itu bersifat hakiki, tapi disisi lain ada suatu kesenangan yang bersifat ruhaniah. Bahkan statusnya lebih tinggi dari kesenangan badani. Berbeda dari Aristippos, menurut Epikuros kesenangan itu tidak hanya bersifat ‘hari ini’, tapi mencakup masa lalu dan masa mendatang. Meskipun kesenangan itu pasti bernilai baik, namun bukan berarti segala kesenangan harus dilakukan. Maka dari itu, ia membagi tiga macam keinginan untuk menerangkan batasan mengenai kesenangan yang sejati: pertama, keinginan alamiah, yang ia maksud dengan keinginan alamiah adalah, semacam kebutuhan dasariah manusia, seperti makanan; kedua, keinginan yang tidak perlu, misalnya makanan yang enak; ketiga, keinginan yang sia-sia, misalnya kekayaan. Jika seorang manusia ingin mencapai kesenangan sejati, ia mesti membatasi dirinya pada keinginan alamiah saja, sehingga ia akan mencapai ataraxia, yaitu suatu kedaan dimana jiwa seimbang dan tidak terganggu oleh sesuatu, seperti takut akan kematian. Jadi yang diajarkan oleh Epikuros bisa dibilang sebagai kesederhanaan.
Kesalahan memahami hedonisme: sebuah refleksi
            Sebelum kita menjabarkan hedonisme dalam kerangka filsafat nilai, penulis akan menjabarkan mengenai kesalahan dalam memahami hedonimse. Hedonisme secara definitif merupakan keyakinan bahwa manusia mencari hal-hal yang memberi kesenangan, bahkan kesenangan merupakan tujuan dari hidup manusia. Namun sayangnya penulis seringkali menemukan kesalahan masyarakat dalam memahami hedonisme, meskipun tidak semua masyarakat menyalah pahami hedonisme.
            Kesalah pahaman itu terjadi ketika: pertama, masyarakat memahami hedonisme sebagai paham yang menjunjung tinggi kenikmatan sementara; kedua, banyak asumsi yang menyatakan bahwa hedonisme selalu berkaitan dengan perbuatan yang bersifat duniawi, dalam artian yang dikonfrontasikan dengan perbuatan yang bersifat ukhrowi. Biasanya kita menemukan kedua pengertian ini (baca: duniawi dan ukhrowi) di dalam terminologi agama.
            Perlu dikemukakan disini bahwa, terlalu naif jika pengertian mengenai hedonisme dibatasi pada lingkup yang dikemukakan diparagraf sebelumnya. Karena: pertama, perlu diketahui bahwa kenikmatan yang bersifat temporal, sama sekali bukan termasuk kepada pengertian hedonisme, karena aliran hedonisme ingin mencapai kesenangan yang sejati, bukan temporal; kedua, tidak ada manusia yang tidak mencari suatu kesenangan bagi dirinya, bahkan agama pun termasuk kepada ‘alat’ untuk mendapatkan kesenangan. Dalam artian, kita sering menemukan bahwa di dalam agama terdapat konsep surga dan neraka. Lalu pertanyaannya: bukankah kedua tempat tersebut merupakan sumber dari kesenangan dan ketidaksenangan? Surga identik dengan kesenangan abadi, sedangkan neraka itu sebaliknya. Maka hedonisme pun ternyata mencakup agama pula, bahkan tidak hanya agama tapi segalanya.
Nilai hedonistik dalam kerangka Epikurean
            Sebagaimana disebutkan dimuka, kenyataan itu sarat akan nilai, sehingga mungkin saja terdapat nilai yang kontradiktif dalam suatu entitas. Selain itu, sebagaimana disepakati di awal, terdapat nilai yang bersifat objektif, dan tidak jarang pula subjek berperan dalam menentukan suatu nilai. Dalam pembicaraan hedonisme, kita sudah menyepakati bahwa manusia memiliki tujuan dalam hidupnya, yaitu mencari kesenangan bagi dirinya, dan manusia tidak mencari suatu yang menyebabkan dirinya tidak senang. Jika kita memahami kedua pembahasan kita dalam lanskap yang sama, kita akan menemukan bahwa kenyataan memiliki nilai yang berbeda, yaitu: kesenangan dan ketidaksenangan. Kedua nilai ini selalu mengiringi di dalam segala kenyataan. Karena tujuan manusia adalah mencari kesenangan, maka terlebih dahulu, kita mesti memahami struktur kenyataan. Sehingga kita mendapatkan kesenangan secara definitif atau objektif.
            Kesenangan, mengutip pendapat Epikuros, merupakan suatu kondisi dimana jiwa berada dalam ketentraman, dan tidak terganggu oleh sesuatu pun. Dengan memahami kesenangan dalam pemahaman Epikuros, maka kita dapat memberikan judgement nilai terdahap suatu entitas secara objektif, yaitu sesuatu yang menentramkan jiwa (bersifat ruhaniah). Namun bukan berarti, dalam konteks ini, kesenangan ruhani itu mengenyampingkan hal-hal yang bersifat badani atau jasmani, karena pada dasarnya Epikuros pun berdiri di atas pengertian kesenangan Aristippos—dalam artian badan merupakan asas dari hidup. Jadi keduanya merupakan hal yang penting, tapi yang lebih hakiki adalah yang bersifat ruhani.
            Dalam kerangkan Epikurean, suatu yang bernilai (dalam artian memberi kesenangan) adalah suatu hal yang mengantarkan kita pada kondisi ataraxia. Kondisi ataraxia ini, bisa dicapai jika seorang manusia mendasarkan diri pada keinginan-keinginan yang mendasar atau dalam bahasa lain keinginan yang perlu, dan jangan sampai melampaui keinginan dasar itu, dalam artian membatasi diri pada keinginan fundamental saja. Karena bagi Epikuros, sebagaimana dijelaskan dalam trikotominya, keinginan yang melebihi keinginan fundamental, merupakan sesuatu yang tidak diperlukan karena tidak akan memberikan kesenangan sejati. Maka dari itu, kita bisa memahami dalam kerangka ini, bahwa sesuatu yang bernilai adalah sesuatu yang bersifat sederhana (termasuk pola hidup sederhana). Jadi kesederhanaan merupakan sesuatu yang ‘bernilai’.




[1] Raja adalah mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat—yang sekarang berubah nama menjadi Filsafat Agama—semester lima.
[2] A priori disini mesti dipahami layaknya di dalam filsafat Immanuel Kant. Kant meyakini bahwa di dalam diri subjek terdapat kategori-kategori yang mengonstruk kenyataan, dalam konteks pengetahuan. Jadi pengetahuan itu tidak lain merupakan, sintesis antara konstruksi subjek yang terdiri atas kategori-kategori yang bersifat a priori, dan penampakan dari kenyataan. Penulis memahami—jika mendasarkan diri pada paham yang kedua—bahwa nilai itu bersifat a priori di dalam diri subjek, sehingga subjek lah yang sebenarnya mengonstruksi nilai terhadap kenyataan.

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra