Karya Sastra

Oleh: Raja Cahaya Islam
Gambar diambil dari: www.kompasiana.com
Kota Z hari ini mendung. Sudah seminggu kota ini diguyur hujan lebat. Bahkan, kemarin ada pohon yang menimpa mobil sedan hitam, namun untung saja sang pengemudi tak mati. Ia hanya luka-luka ringan. Tapi tetap saja, kerugian tak bisa disebut sebagai keberuntungan. Semoga saja pria pengemudi itu memiliki asuransi.
Awan hitam mulai menggerombol untuk menghujani kembali kota Z. Kilatan cahaya mulai muncul. Angin yang besar menerbangkan dedaunan dari pohon-pohon. Seorang wanita yang sedang berjalan ditrotoar menutup mukanya dengan tas gendongnya. Beberapa orang berlari kecil untuk segera mengendarai kendaraan umum. Para pengendara motor mulai menepi ke samping jalan raya untuk mengenakan jas hujan. lampu-lampu mobi mulai dinyalakan. Sepertinya matahari ingin melarikan diri, karena hari ini mulai gelap. Cahaya jingga mulai meredup sedikit demi sedikit. Para pejalan kaki lainnya, mulai membuka payung-payung mereka.
Larry buru-buru mengayuh sepedanya. Ia lupa tak membawa jas hujannya. Kemeja putihnya dilipat hingga sikutnya terlihat. Celana katun hitamnya pun dilipat sampai terlihat bulu-bulu di daerah betisnya. Untung saja ia memakai tas ransel hari ini. Jadi ia tak begitu repot menggendongnya. Gerimis mulai menetes dimukanya. Kayuhan sepedanya mulai dipercepat.
Akhirnya ia sampai di sarangnya. Orang-orang biasa menyebutnya rumah. Larry memarkirkan sepedahnya di dalam rumah. Angin berhembus dengan kencang, jendela rumahnya melambai-lambai, ingin segera ditutup. Hujan pun menyusul.
“Untung saja” gumamnya dalam hati. Setelah menutup jendela, Larry pergi ke kamarnya dan membuka layar laptopnya.
“Astaga aku lupa” katanya pada dirinya sendiri, ia terkejut setelah membaca emil masuk. Larry merupakan penulis artikel di koran, sekaligus editor di salah satu penerbit daerah kota Z. Ia baru saja diberi tugas dari penerbitnya. Seperti biasa menyunting beberapa tulisan. Ia langsung mengunduh beberapa file yang ia terima di emailnya barusan. Esok adalah hari terakhir Larry merampungkan hasil suntingannya.
“Bagaimana mungkin aku lupa membuka email, padahal baru kemarin Santi mengingatkanku” Santi adalah pacar Larry. Ia berumur 24 tahun, lebih tua dari Larry dua tahun. Wanita itu mengikat hatinya ketika ia bertemu di kantor penerbit.
“Ya ampun, sastra lagi? Sudah berapa kali aku menyunting tulisan tak berguna ini?!” Larry termasuk pembenci sastra, baik itu novel, puisi, atau prosa. Segala hal yang berbau sastra ia benci. Ia membenci sastra karena baginya, sastra hanyalah permainan bahasa yang tak berguna. Fiktif, kata itulah yang membuatnya tak menyukainya. Sastra, bagi Larry tak pernah memberikan gambaran mengenai kenyataan. Bahasa sastra hanyalah kumpulan kata yang emotif, tanpa memberikan pengetahuan apapun baginya. Sastra, tambahnya, hanyalah rekayasa fakta.
Tapi bagaimana lagi, ia dittugaskan untuk menyunting naskah-naskah sastra. Lagipula jika ia meninggalkan tugasnya, posisinya akan terancam. Ia tak mau mendengarka bosnya berkata: “Kau di pecat!”. Itu merupakan mimpi terburuknya, karena Larry menggantungkan hidupnya pada pekerjaan ini. Tiba-tiba handphonenya berdering.
“Halo” ucap Larry.
“Bagaimana tugasmu?” ucap seorang pria di telfon.
“Tunggu, ini siapa?” tanya Larry penasaran. Ia mengapit handphonenya dengan pipi dan bahunya, karena lengannya sibuk mengerjakan tugasnya yang belum rampung.
“Ini Andi. Bagaimana mungkin kau melupakanku?”
“Ya ampun. Maaf, bukan berarti aku melupakanmu sobat. Aku sekarang sedang sibuk dengan tugasku” nada Larry mengiba.
“Lupakan. Kau masih bekerja di penerbitan?” tanya Andi.
“Tentu. Pekerjaan inilah yang memberiku penghidupan selama ini, bagaimana mungkin aku keluar dari pekerjaan?” Larry menyerengeh. “Bagaimana karya terbarumu? Kudengar kau sedang menulis novel?”
“Baru kemarin aku kirimkan ke penerbitan. Aku baru merampungkannya seminggu yang lalu” ucap Andi.
“Syukurlah. Kau punya waktu luang? Sudah lama kita tak bertemu”
“Bagaimana jika esok lusa?” jawab Andi antusias.
“Dimana?”
“Di angkringan dekat penerbitanmu sepertinya cocok”
“Baiklah, nanti aku kabari lagi”
“Oke”
Larry menutup telponnya. Jam di layar handphonenya menunjukan pukul 19.00. Ia melanjutkan lagi menyunting novel.
***
Gerimis menghujani kota Z. Barangkali bukan gerimis, tapi kemuraman. Hari ini, badai menyerang kota ini. Dua tiang listrik baru saja roboh, tak kuasa menahan angin yang kencang. Untung saja tak ada korban jiwa. Tapi, toko roti menjadi korban. Salah satu tiang listrik menimpa toko tersebut. Larry kebetulan melewati toko tersebut saat hendak pergi ke angkringan untuk bertemu Andi. Ia melihat rusaknya toko roti itu. Kaca depannya pecah, papan nama toko roti hancur. Etalase tempat memajang roti sudah tak berupa. Para pemadam kebakaran terlihat sibuk mengevakuasi reruntuhan toko tersebut. Malangnya, sang pemilik hanya bisa meratapi kerugian yang ia timpa. Pria tua itu hanya terduduk di depan tokonya, menutupi mukanya. Para tetangga pemilik toko lain, hanya bisa menenangkan pria tua itu dengan menepuk-nepuk pundaknya.
Di atas sepedanya Larry melihat kesedihan itu di sebrang toko. “Malangnya pria itu, semoga keberuntungan menghampirnya” ia mengayuh sepedanya lagi, karena jam di layar Handphonenya menunjukan pukul 14.55.
Andi terlihat sedang duduk di atas trotoar. Ia melambaikan tangannya kepada Larry dari jauh. Larry memarkirkan sepedanya di sebelah Andi. Mereka bersalaman dan saling memeluk. Betapa tidak, mereka tak bertemu hampir 3 tahun lamanya.
“Bagaimana kabarmu sobat?” Andi membuka pembicaraan.
“Lebih baik dari cuaca hari ini” senyum membingkai wajah Larry yang agak basah.
“Mari duduk disana” tangan Andi menunjuk trotoar yang baru saja ia duduki.
Angkringan itu sangat kecil, tapi lumayan terkenal, karena  banyak pembeli yang sering mengantre untuk membeli beberapa camilan. Tapi hari ini, angkringan ini begitu sepi, mungkin karena gerimis serta kejadian tiang listrik yang roboh.  
“Kopi satu pak” ucap Andi, kepada pria yang sedang melayani beberapa pesanan dari pengunjung lain.
“Siap” jawab pria itu.
“Oh, gerimis sudah reda” ucap Andi. “Coba ceritakan karyamu Andi” Larry membuka pembicaraan sambil mengeluarkan rokok dari saku celananya, dan menaruhnya di samping Larry.
“Ya begitulah, seperti biasa. Tunggu, aku penasaran, apa kau masih membenci sastra?” ucap Andi.
Larry tertawa “Kau tau lah, memangnya kenapa?” tanya Larry sambil menyalakan rokoknya. Asap mengepul di antara mereka.
Andi mengambil rokok Larry yang ditaruh di antara mereka. “Jawab saja” desisnya.
“Aku tak menyukai sastra, karean sastra hanyalah kata-kata yang kosong. Sastra hanya memainkan emosi dari pembaca tanpa ada kaitannya dengan hal-hal yang konkret. Kau tau lah, sastra hanya mimesis, tak lebih dari itu. Paling banter sastra yang menggambarkan realitas konkret. Tapi tetap saja, sastra mengelabui fakta dengan memberi bumbu-bumbu pada fakta, sehingga tidak membuatnya ilmiah, alias tak menggambarkan realitas. Lebih parahnya puisi. Puisi hanya permainan bahasa.”
Kopi disuguhkan pria pemilik angkringan, ia meletakannya diantara Larry dan Andi. “Terimakasih pak, bayarnya nanti ya pak” ucap Andi. Pria itu hanya mengangguk, dan kembali melayani pembeli lain.
Andi tertewa mendengar argumentasi dari Larry. 
“Mengapa kau tertawa?” ucap Larry.
“Aku setuju dengamu Larry, tapi selebihnya tidak” jawab Andi sambil tersenyum.
“Lalu?”
“Karya sastra sebagaian memang seperti itu. Coba aku tebak, kau pasti mengutip pendapat Jean Paul Satre kan? Karena argumenmu mirip dengan sang tokoh eksistensialisme itu”
“Aku memang setuju pada Sartre” timpal Larry.
“Tapi kau lupa bagian argumen lainnya dari Sartre. Ia hanya memberi catatan pada beberapa karya sastra yang hanya memainkan kata-kata. Bukankah ia mengecualikan beberapa karya sastra lain? Maksudku, ia memberi catatan bahwa suatu tulisan yang disebut sastra hanyalah karya sastra yang membebaskan. Kau mesti paham maksudku, ia adalah seorang eksistensialis. Makanya ia berargumen demikian”
“Tentu saja aku tak lupa. Tapi bagiku, itu merupakan kelemahan Sartre. Ia melupakan bahwa karya sastra tak lebih dari fiksi belaka, tanpa acuan yang tepat pada realitas konkret. Menurutku, dengan argumen Sartre itu, karya sastra sama dengan buku motivasi. Karena jika Sartre hanya menghendaki bahwa sastra mesti membebaskan, apa bedanya dengan buku-buku motivasi? Apakah kau setuju jika karya sastra sama dengan buku motivasi?” Tegas Larry.
“Tentu saja tidak Andi” jawab Andi.
Handphone Larry berdering. “Tunggu sebentar Andi, aku harus mengangkat telfon”
Andi mengangguk. Larry pun menjauh dari Andi untuk menerima telfon. Beberapa saat kemudian, ia kembali kepada Andi.
“Maaf Andi, aku mesti pulang. Baru saja tugas-tugas suntingan berdatangan. Aku dibanjiri naskah-naskah baru” muka Larry berubah muram.
“Tak apa-apa sobat. Kita bisa berbincang lain kali”
Mereka berjabat tangan. Lalu Larry pergi meninggalkan Andi.
“Ia tak berubah” gumam Andi dalam hati sambil melambaikan tangannya kepada Larry.


TAMAT

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra