Karya Sastra
Oleh: Raja Cahaya Islam
![]() |
Gambar diambil dari: |
Awan hitam mulai menggerombol
untuk menghujani kembali kota Z. Kilatan cahaya mulai muncul. Angin yang besar
menerbangkan dedaunan dari pohon-pohon. Seorang wanita yang sedang berjalan
ditrotoar menutup mukanya dengan tas gendongnya. Beberapa orang berlari kecil
untuk segera mengendarai kendaraan umum. Para pengendara motor mulai menepi ke samping
jalan raya untuk mengenakan jas hujan. lampu-lampu mobi mulai dinyalakan. Sepertinya
matahari ingin melarikan diri, karena hari ini mulai gelap. Cahaya jingga mulai
meredup sedikit demi sedikit. Para pejalan kaki lainnya, mulai membuka
payung-payung mereka.
Larry buru-buru mengayuh
sepedanya. Ia lupa tak membawa jas hujannya. Kemeja putihnya dilipat hingga
sikutnya terlihat. Celana katun hitamnya pun dilipat sampai terlihat bulu-bulu
di daerah betisnya. Untung saja ia memakai tas ransel hari ini. Jadi ia tak
begitu repot menggendongnya. Gerimis mulai menetes dimukanya. Kayuhan sepedanya
mulai dipercepat.
Akhirnya ia sampai di
sarangnya. Orang-orang biasa menyebutnya rumah. Larry memarkirkan sepedahnya di
dalam rumah. Angin berhembus dengan kencang, jendela rumahnya melambai-lambai,
ingin segera ditutup. Hujan pun menyusul.
“Untung saja” gumamnya dalam
hati. Setelah menutup jendela, Larry pergi ke kamarnya dan membuka layar
laptopnya.
“Astaga aku lupa” katanya pada
dirinya sendiri, ia terkejut setelah membaca emil masuk. Larry merupakan
penulis artikel di koran, sekaligus editor di salah satu penerbit daerah kota
Z. Ia baru saja diberi tugas dari penerbitnya. Seperti biasa menyunting
beberapa tulisan. Ia langsung mengunduh beberapa file yang ia terima di
emailnya barusan. Esok adalah hari terakhir Larry merampungkan hasil
suntingannya.
“Bagaimana mungkin aku lupa
membuka email, padahal baru kemarin Santi mengingatkanku” Santi adalah pacar
Larry. Ia berumur 24 tahun, lebih tua dari Larry dua tahun. Wanita itu mengikat
hatinya ketika ia bertemu di kantor penerbit.
“Ya ampun, sastra lagi? Sudah
berapa kali aku menyunting tulisan tak berguna ini?!” Larry termasuk pembenci
sastra, baik itu novel, puisi, atau prosa. Segala hal yang berbau sastra ia
benci. Ia membenci sastra karena baginya, sastra hanyalah permainan bahasa yang
tak berguna. Fiktif, kata itulah yang membuatnya tak menyukainya. Sastra, bagi
Larry tak pernah memberikan gambaran mengenai kenyataan. Bahasa sastra hanyalah
kumpulan kata yang emotif, tanpa memberikan pengetahuan apapun baginya. Sastra,
tambahnya, hanyalah rekayasa fakta.
Tapi bagaimana lagi, ia
dittugaskan untuk menyunting naskah-naskah sastra. Lagipula jika ia
meninggalkan tugasnya, posisinya akan terancam. Ia tak mau mendengarka bosnya
berkata: “Kau di pecat!”. Itu merupakan mimpi terburuknya, karena Larry
menggantungkan hidupnya pada pekerjaan ini. Tiba-tiba handphonenya berdering.
“Halo” ucap Larry.
“Bagaimana tugasmu?” ucap
seorang pria di telfon.
“Tunggu, ini siapa?” tanya
Larry penasaran. Ia mengapit handphonenya
dengan pipi dan bahunya, karena lengannya sibuk mengerjakan tugasnya yang belum
rampung.
“Ini Andi. Bagaimana mungkin
kau melupakanku?”
“Ya ampun. Maaf, bukan berarti
aku melupakanmu sobat. Aku sekarang sedang sibuk dengan tugasku” nada Larry
mengiba.
“Lupakan. Kau masih bekerja di
penerbitan?” tanya Andi.
“Tentu. Pekerjaan inilah yang
memberiku penghidupan selama ini, bagaimana mungkin aku keluar dari pekerjaan?”
Larry menyerengeh. “Bagaimana karya terbarumu? Kudengar kau sedang menulis novel?”
“Baru kemarin aku kirimkan ke
penerbitan. Aku baru merampungkannya seminggu yang lalu” ucap Andi.
“Syukurlah. Kau punya waktu
luang? Sudah lama kita tak bertemu”
“Bagaimana jika esok lusa?”
jawab Andi antusias.
“Dimana?”
“Di angkringan dekat
penerbitanmu sepertinya cocok”
“Baiklah, nanti aku kabari lagi”
“Oke”
Larry menutup telponnya. Jam di
layar handphonenya menunjukan pukul
19.00. Ia melanjutkan lagi menyunting novel.
***
Gerimis menghujani kota Z.
Barangkali bukan gerimis, tapi kemuraman. Hari ini, badai menyerang kota ini.
Dua tiang listrik baru saja roboh, tak kuasa menahan angin yang kencang. Untung
saja tak ada korban jiwa. Tapi, toko roti menjadi korban. Salah satu tiang
listrik menimpa toko tersebut. Larry kebetulan melewati toko tersebut saat
hendak pergi ke angkringan untuk bertemu Andi. Ia melihat rusaknya toko roti
itu. Kaca depannya pecah, papan nama toko roti hancur. Etalase tempat memajang
roti sudah tak berupa. Para pemadam kebakaran terlihat sibuk mengevakuasi
reruntuhan toko tersebut. Malangnya, sang pemilik hanya bisa meratapi kerugian
yang ia timpa. Pria tua itu hanya terduduk di depan tokonya, menutupi mukanya. Para
tetangga pemilik toko lain, hanya bisa menenangkan pria tua itu dengan
menepuk-nepuk pundaknya.
Di atas sepedanya Larry melihat
kesedihan itu di sebrang toko. “Malangnya pria itu, semoga keberuntungan
menghampirnya” ia mengayuh sepedanya lagi, karena jam di layar Handphonenya menunjukan pukul 14.55.
Andi terlihat sedang duduk di
atas trotoar. Ia melambaikan tangannya kepada Larry dari jauh. Larry
memarkirkan sepedanya di sebelah Andi. Mereka bersalaman dan saling memeluk. Betapa
tidak, mereka tak bertemu hampir 3 tahun lamanya.
“Bagaimana kabarmu sobat?” Andi
membuka pembicaraan.
“Lebih baik dari cuaca hari ini”
senyum membingkai wajah Larry yang agak basah.
“Mari duduk disana” tangan Andi
menunjuk trotoar yang baru saja ia duduki.
Angkringan itu sangat kecil,
tapi lumayan terkenal, karena banyak
pembeli yang sering mengantre untuk membeli beberapa camilan. Tapi hari ini,
angkringan ini begitu sepi, mungkin karena gerimis serta kejadian tiang listrik
yang roboh.
“Kopi satu pak” ucap Andi,
kepada pria yang sedang melayani beberapa pesanan dari pengunjung lain.
“Siap” jawab pria itu.
“Oh, gerimis sudah reda” ucap
Andi. “Coba ceritakan karyamu Andi” Larry membuka pembicaraan sambil
mengeluarkan rokok dari saku celananya, dan menaruhnya di samping Larry.
“Ya begitulah, seperti biasa. Tunggu,
aku penasaran, apa kau masih membenci sastra?” ucap Andi.
Larry tertawa “Kau tau lah,
memangnya kenapa?” tanya Larry sambil menyalakan rokoknya. Asap mengepul di
antara mereka.
Andi mengambil rokok Larry yang
ditaruh di antara mereka. “Jawab saja” desisnya.
“Aku tak menyukai sastra,
karean sastra hanyalah kata-kata yang kosong. Sastra hanya memainkan emosi dari
pembaca tanpa ada kaitannya dengan hal-hal yang konkret. Kau tau lah, sastra
hanya mimesis, tak lebih dari itu.
Paling banter sastra yang menggambarkan realitas konkret. Tapi tetap saja,
sastra mengelabui fakta dengan memberi bumbu-bumbu pada fakta, sehingga tidak
membuatnya ilmiah, alias tak menggambarkan realitas. Lebih parahnya puisi. Puisi
hanya permainan bahasa.”
Kopi disuguhkan pria pemilik
angkringan, ia meletakannya diantara Larry dan Andi. “Terimakasih pak, bayarnya
nanti ya pak” ucap Andi. Pria itu hanya mengangguk, dan kembali melayani
pembeli lain.
Andi tertewa mendengar
argumentasi dari Larry.
“Mengapa kau tertawa?” ucap
Larry.
“Aku setuju dengamu Larry, tapi
selebihnya tidak” jawab Andi sambil tersenyum.
“Lalu?”
“Karya sastra sebagaian memang
seperti itu. Coba aku tebak, kau pasti mengutip pendapat Jean Paul Satre kan? Karena
argumenmu mirip dengan sang tokoh eksistensialisme itu”
“Aku memang setuju pada Sartre”
timpal Larry.
“Tapi kau lupa bagian argumen
lainnya dari Sartre. Ia hanya memberi catatan pada beberapa karya sastra yang
hanya memainkan kata-kata. Bukankah ia mengecualikan beberapa karya sastra
lain? Maksudku, ia memberi catatan bahwa suatu tulisan yang disebut sastra
hanyalah karya sastra yang membebaskan. Kau mesti paham maksudku, ia adalah
seorang eksistensialis. Makanya ia berargumen demikian”
“Tentu saja aku tak lupa. Tapi bagiku,
itu merupakan kelemahan Sartre. Ia melupakan bahwa karya sastra tak lebih dari
fiksi belaka, tanpa acuan yang tepat pada realitas konkret. Menurutku, dengan
argumen Sartre itu, karya sastra sama dengan buku motivasi. Karena jika Sartre
hanya menghendaki bahwa sastra mesti membebaskan, apa bedanya dengan buku-buku
motivasi? Apakah kau setuju jika karya sastra sama dengan buku motivasi?” Tegas
Larry.
“Tentu saja tidak Andi” jawab
Andi.
Handphone Larry
berdering. “Tunggu sebentar Andi, aku harus mengangkat telfon”
Andi mengangguk. Larry pun
menjauh dari Andi untuk menerima telfon. Beberapa saat kemudian, ia kembali
kepada Andi.
“Maaf Andi, aku mesti pulang. Baru
saja tugas-tugas suntingan berdatangan. Aku dibanjiri naskah-naskah baru” muka
Larry berubah muram.
“Tak apa-apa sobat. Kita bisa
berbincang lain kali”
Mereka berjabat tangan. Lalu Larry
pergi meninggalkan Andi.
“Ia tak berubah” gumam Andi
dalam hati sambil melambaikan tangannya kepada Larry.
TAMAT
Comments
Post a Comment