Manusia, antara Satu atau Dua Sisi

Gambar diambil dari: ajiraksa.blogspot.com
Oleh: Raja Cahaya Islam

Pandangan yang sangat materialistik telah banyak memengaruhi paradigma barat dalam memandang realitas. Hal ini terungkap dalam zaman modern, salah satunya nampak dalam perkembangan secara membabibuta dalam bidang sains. Dan kita patut mengapresiasi, hal ini merupakan kemajuan besar peradaban umat manusia. Mereka telah bangun dari tidur panjang dogmatisme yang membunuh aktifitas rasio. Dogmatism yang dimaksud adalah dimana gereja menghegemoni peradaban eropa pada waktu itu, sehingga aktifitas intelektual maupun agama dibatasi. Implikasi dari trauma ini adalah ditinggalkannya hal-hal yang berbau religi, sehingga spiritualitas mulai dibungkam.
Namun, perlu diperhatikan pula kekurangan yang terdapat dalam hal apa yang dianggap kemajuan. Karena pada realitanya kemajuan sains, yang penulis sebut secara membabi buta, telah berhasil mengeksploitasi alam sebagai habitat utama mahluk hidup dibumi ini. Maka dari itu cukup banyak juga—jika tidak dikatakan sedikit—para pemikir barat yang mengkritik habis pola modernisme (red. Sains) seperti ini. Salah satunya Nietzche, sebagaimana disampaikan oleh A. Setyo Wibowo dalam suatu kuliah filsafat di komunitas Salihara, mengungkapkan bahwa sesungguhnya alih-alih kaum saintifik meninggalkan mitos-mitos, yang dianggap sebagai penghambat peradaban manusia, mereka malah menciptakan suatu mitos baru yang diberi nama sains.
Termasuk agama yang mereka anggap sebagai parasit ilmu pengetahuan, padahal diri mereka sendiri telah menelan ludahnya sendiri, karena pada akhirnya kaum saintifik menciptakan suatu agama baru yang bernama sains. Lalu Nietzche pun dengan sinisnya mengatakan, bahwa dirinya masih lebih saleh daripada kaum saintifik, karena kaum saintifik dengan pongahnya meyakini dapat menyingkap realitas dengan hanya dengan rasionya saja.
Permasalahan tidak sampai situ, paradigma materialism yang menjelma dalam sains ternyata tidak hanya merusak alam, namun manusia sendiri pun menjadi korban, sebagaimana menurut pepatah senjata makan tuan.
Dalam pandangan Sayyid Murtadha Muthohari dalam buku Agama dan Manusia, bahwa paradigma Barat[1] itu berdampak terhadap turunnya derajat manusia sebagai mahluk yang mulia—dalam pandangan filsafat timur, dimana manusia dianggap sama halnya dengan binatang maupun tumbuhan. Implikasinya apa? bahwa manusia hidup hanya untuk mempertahakan dirinya, sehingga semacam nama-nama nilai yang luhur semacam: cinta, kerjasama, kebijaksanaan dll, tidak lain hanyalah semacam nilai buatan untuk mempertahankan kedudukan diri sendiri, layaknya binatang.
Selain itu, pandangan barat yang sangat materialistic itu menganggap bahwa seluruh tatanan kosmis itu berjalan secara mekanis. Misalnya dalam pemikiran Thomas Hobbes—penulis mengutip dari buku Filsafat Modern karya F. Budi Hardiman. Hobbes meyakini, sesungguhnya seluruh realitas bergerak layaknya sebuah mesin, mati tanpa ruh. Termasuk manusia sebagai mikrokosmos hanyalah “mesin” kecil sebagaimana alam semesta. Tidak sampai disitu, masih menurut Muthohari, menurut kepercayaan barat tindakan manusia dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi, bahkan ekonomi, filsafat, agama, dan politik hanyalah kepentingan ekonomi. Tidak sampai disitu, Sigmund Freud memiliki pendapat lain, ia menyebutkan bahwa tindakan manusia didasari oleh seksualitas. Kedua motivasi tindakan itu, merupakan pendasaran atas wilayah-wilayah material.
Tentunya pandangan yang materialistic itu menurut perspektif Timur, khususnya menurut falsafah Islam, benar-benar merugikan status manusia. Dalam perspektif Islam, Muthohari menyebutkan, disini ada pandangan yang tak terjamah oleh barat namun “diakomodir” oleh Islam. Bahwa manusia memiliki dua dimensi: dimensi material yaitu jasad dan spiritual yaitu ruh. Dimensi spiritual merupakan ciri kemuliaan manusia, mengapa? Karena  manusia merupakan manifestasi ilahi dalam artian sangat mulia dibanding mahluk lainnya. Lalu dalam Jiwa manusia itu—tanpa menutup mata—terdapat kejahatan dan ketakwaannya yang diberikan oleh Tuhan, namun manusia cenderung kepada kebaikan. Bahkan hakikat manusia itu bertabiat baik. Dan yang menjadi motivasi dari tindakan manusia bukanlah nilai-nilai rendah, seperti ekonomi atau seksualitas sebagaimana terdapat perspektif barat, namun tindakan manusia itu didasarkan atas nilai-nilai keilahian dan Yang Ilahi sebagai satu-satunya tujuan hidup.
Kedua perspektif ini masing-masing memberikan implikasi yang radikal, dalam menyikapi realitas terutama diri sendiri (red. Manusia). Dan sesungguhnya sangat kentara dalam memberikan pandangan hidup, termasuk sikap. Dengan potensi rasio kita, diharapkan kita dapat memilih dengan bijak suatu pandangan hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai spiritualitas, yang dianggap omongkosong oleh barat, karena mereka terlalu rendah hati.



[1] Penulis tidak mencoba mengeneralisir, karena penulis yakin ada para pemikir barat yang masih bijak menyikapi alam dan manusia.

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra