Manusia, antara Satu atau Dua Sisi
Pandangan yang sangat materialistik telah
banyak memengaruhi paradigma barat dalam memandang realitas. Hal ini terungkap
dalam zaman modern, salah satunya nampak dalam perkembangan secara membabibuta
dalam bidang sains. Dan kita patut mengapresiasi, hal ini merupakan kemajuan besar
peradaban umat manusia. Mereka telah bangun dari tidur panjang dogmatisme yang
membunuh aktifitas rasio. Dogmatism yang dimaksud adalah dimana gereja
menghegemoni peradaban eropa pada waktu itu, sehingga aktifitas intelektual
maupun agama dibatasi. Implikasi dari trauma ini adalah ditinggalkannya hal-hal
yang berbau religi, sehingga spiritualitas mulai dibungkam.
Namun, perlu diperhatikan pula kekurangan
yang terdapat dalam hal apa yang dianggap kemajuan. Karena pada realitanya
kemajuan sains, yang penulis sebut secara membabi buta, telah berhasil
mengeksploitasi alam sebagai habitat utama mahluk hidup dibumi ini. Maka dari
itu cukup banyak juga—jika tidak dikatakan sedikit—para pemikir barat yang
mengkritik habis pola modernisme (red. Sains) seperti ini. Salah satunya
Nietzche, sebagaimana disampaikan oleh A. Setyo Wibowo dalam suatu kuliah
filsafat di komunitas Salihara, mengungkapkan bahwa sesungguhnya alih-alih kaum
saintifik meninggalkan mitos-mitos, yang dianggap sebagai penghambat peradaban
manusia, mereka malah menciptakan suatu mitos baru yang diberi nama sains.
Termasuk agama yang mereka anggap sebagai parasit ilmu pengetahuan, padahal diri mereka sendiri telah menelan ludahnya sendiri, karena pada akhirnya kaum saintifik menciptakan suatu agama baru yang bernama sains. Lalu Nietzche pun dengan sinisnya mengatakan, bahwa dirinya masih lebih saleh daripada kaum saintifik, karena kaum saintifik dengan pongahnya meyakini dapat menyingkap realitas dengan hanya dengan rasionya saja.
Termasuk agama yang mereka anggap sebagai parasit ilmu pengetahuan, padahal diri mereka sendiri telah menelan ludahnya sendiri, karena pada akhirnya kaum saintifik menciptakan suatu agama baru yang bernama sains. Lalu Nietzche pun dengan sinisnya mengatakan, bahwa dirinya masih lebih saleh daripada kaum saintifik, karena kaum saintifik dengan pongahnya meyakini dapat menyingkap realitas dengan hanya dengan rasionya saja.
Permasalahan tidak sampai situ, paradigma
materialism yang menjelma dalam sains ternyata tidak hanya merusak alam, namun
manusia sendiri pun menjadi korban, sebagaimana menurut pepatah senjata makan
tuan.
Dalam pandangan Sayyid Murtadha Muthohari
dalam buku Agama dan Manusia, bahwa paradigma Barat[1]
itu berdampak terhadap turunnya derajat manusia sebagai mahluk yang mulia—dalam
pandangan filsafat timur, dimana manusia dianggap sama halnya dengan binatang
maupun tumbuhan. Implikasinya apa? bahwa manusia hidup hanya untuk mempertahakan
dirinya, sehingga semacam nama-nama nilai yang luhur semacam: cinta, kerjasama,
kebijaksanaan dll, tidak lain hanyalah semacam nilai buatan untuk mempertahankan
kedudukan diri sendiri, layaknya binatang.
Selain itu, pandangan barat yang sangat
materialistic itu menganggap bahwa seluruh tatanan kosmis itu berjalan secara
mekanis. Misalnya dalam pemikiran Thomas Hobbes—penulis mengutip dari buku
Filsafat Modern karya F. Budi Hardiman. Hobbes meyakini, sesungguhnya seluruh
realitas bergerak layaknya sebuah mesin, mati tanpa ruh. Termasuk manusia
sebagai mikrokosmos hanyalah “mesin” kecil sebagaimana alam semesta. Tidak
sampai disitu, masih menurut Muthohari, menurut kepercayaan barat tindakan
manusia dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi, bahkan ekonomi, filsafat, agama,
dan politik hanyalah kepentingan ekonomi. Tidak sampai disitu, Sigmund Freud
memiliki pendapat lain, ia menyebutkan bahwa tindakan manusia didasari oleh
seksualitas. Kedua motivasi tindakan itu, merupakan pendasaran atas
wilayah-wilayah material.
Tentunya pandangan yang materialistic itu
menurut perspektif Timur, khususnya menurut falsafah Islam, benar-benar
merugikan status manusia. Dalam perspektif Islam, Muthohari menyebutkan, disini
ada pandangan yang tak terjamah oleh barat namun “diakomodir” oleh Islam. Bahwa
manusia memiliki dua dimensi: dimensi material yaitu jasad dan spiritual yaitu
ruh. Dimensi spiritual merupakan ciri kemuliaan manusia, mengapa? Karena manusia merupakan manifestasi ilahi dalam
artian sangat mulia dibanding mahluk lainnya. Lalu dalam Jiwa manusia itu—tanpa
menutup mata—terdapat kejahatan dan ketakwaannya yang diberikan oleh Tuhan,
namun manusia cenderung kepada kebaikan. Bahkan hakikat manusia itu bertabiat
baik. Dan yang menjadi motivasi dari tindakan manusia bukanlah nilai-nilai
rendah, seperti ekonomi atau seksualitas sebagaimana terdapat perspektif barat,
namun tindakan manusia itu didasarkan atas nilai-nilai keilahian dan Yang Ilahi
sebagai satu-satunya tujuan hidup.
Kedua perspektif ini masing-masing
memberikan implikasi yang radikal, dalam menyikapi realitas terutama diri
sendiri (red. Manusia). Dan sesungguhnya sangat kentara dalam memberikan
pandangan hidup, termasuk sikap. Dengan potensi rasio kita, diharapkan kita
dapat memilih dengan bijak suatu pandangan hidup yang menjunjung tinggi
nilai-nilai spiritualitas, yang dianggap omongkosong oleh barat, karena mereka
terlalu rendah hati.
[1]
Penulis tidak mencoba mengeneralisir, karena penulis yakin ada para pemikir
barat yang masih bijak menyikapi alam dan manusia.
Comments
Post a Comment