Pandangan Hidup Orang Sunda Sebagai Alternatif dari Modernisme
Ketika kita berbicara kebudayaan Sunda, mungkin kita langsung teringat pada istilah tradisional, setelah itu mungkin nalar kita akan mengantarkan pada kepurbaan. Terkait apakah hal ini perlu diwajarkan atau tidak, penulis tak bisa pastikan. Namun, asumsi-asumsi itu perlu disikapi dengan bijak. Bisa jadi, asumsi itu muncul disebabkan oleh anggapan bahwa kita adalah orang yang ‘baru’ dalam arti modern, atau barangkali karena perkembangan teknologi informasi yang menyebabkan asimilasi budaya, sehingga terbentuk suatu kebudayaan global, lalu anggapan muncul bahwa kebudayaan lokal itu sudah ketinggalan zaman.
Dalam
posisi ini, penulis barangkali adalah orang yang menolak asumsi-asumsi itu,
karena kita tak bisa semena-mena mengklaim bahwa kebudayaan yang dianggap
‘tradisional’ itu sudah tak relevan lagi dengan zaman yang serba maju ini.
Karena kita harus akui dengan lapang dada, bahwa setiap gerak kebudayaan
memiliki hal yang positif dan negatif. Meskipun label positif dan negatif itu
hadir setelah kita mengalami fase kebudayaan tertentu.
Penulis
dalam hal ini, memiliki anggapan yang positif terhadap kebudayaan Sunda.
Apalagi jika kita konfrontasikan kebudayaan Sunda dengan zaman modern ini.
Mengapa? Penulis percaya bahwa kearifan-kearifan yang ada pada kesundaan itu
dapat menjawab problem-problem yang ada pada modernitas. Karena perlu diakui
modernisme telah menimbulkan berbagai problem yang harus ditangani, demi
kesejahteraan manusia itu sendiri, sebagai pelaku kebudayaan.
Karakter
kemodernan
Alangkah
perlunya jika kita mengenal terlebih dahulu kemodernan. Emanuel Wora
menguraikan karakteristik ini dalam beberapa bagian: kecenderungan
materialistik, binner oposisi (manusia sebagai
pusat), dan kemenjadian (Wora,
2006: 83-92). Pertama, Benih-benih materialisme
dalam tradisi modern, bermula dari pandangan hylemorfisme Aristoteles. Berbeda dengan Platon yang menganggap idea segabai realitas, Aristoteles hanya
meyakini dunia material sebagai realitas yang ‘benar’. Pada fase selanjutnya,
konsep yang materialis ini kian kentara pada pemikiran Rene Descartes, yang
biasa dijuluki bapak filsafat Modern. Hal ini tercermin dari konsep Cogito Ergo Sumnya yang mendikotomi
realitas, yaitu realitas pikiran (res
cogitan) dan realitas materi (res
extensa). Subjek adalah pikiran dan objek adalah materi, kedua entitas ini
terpisah. Jadi sesuatu yang tak rasional mesti tidak ada. Menurut Wora, dengan
kerangka rasionalis-materialis ini, Descartes mencoba mengaitkan bidang
matematika dalam filsafatnya itu. Bapak filsafat modern ini meyakini bahwa
matematika dapat menjelaskan alam semesta, sehingga jika kita ingin memahami
alam semesta maka cukuplah menggunakan rumusan matematis, sehingga kebenaran alam
semesta ini dapat tersingkap oleh matematika. Dari rumusan semacam inilah sains
modern berkembang (Wora, 2006: 40-41).
Mulyadhi
Kartanegara menyebutkan beberapa pemikir yang mengemuka dengan pandangan
materialismenya—sebagai kelanjutan kerangka Cartesian, misalnya Simone D
Laplace dan Sigmund Freud. Simone D Laplace ketika menulis bukunya Celestial Mechanics. Ketika ia ditanya
mengenai, mengapa ia tidak menyertakan Tuhan dalam bukunya, lantas ia menjawab
bahwa ia tak memerlukan hipotesa itu. Dalam hal ini nampak jelas implikasi dari
materialisme yaitu, hal yang berbau metafisis ditolak, atau dalam bahasa lain
keberadaan Yang Kudus ditolak (Kartanegara, 2007: 45). Bahkan Freud mengatakan
bahwa hal-hal yang metafisis adalah proyeksi manusia atas ketakutannya atau
ketidak mampuannya berhadapan dengan alam secara rasional, sehingga ia
menciptakan suatu zat yang bisa membuat dirinya aman, yaitu Yang Kudus. (Kartanegara,
2007: 47). Dalam hal ini paradigma saintifik telah mereduksi realitas hanya
kepada entitas material. Dengan materialisme, fakta dianggap hanya sebagai
fakta saja tak lebih dari itu. Tak ada apapun dibalik realitas, yang ada
hanyalah realitas material. Implikasinya adalah hilangnya makna dan spiritualitas
(Humaidi, 2015: 35).
Kedua, Dalam ‘tradisi’ modern,
manusia merupakan pusat dari realitas. Kita bisa melacak awal dari konsepsi ini
pada pemikiran Descartes dalam adagium: Cogito
Ergo Sum (aku berpikir maka aku ada). Pikiran (res cogitan) menjadi pusat realitas sedangkan sesuatu yang
bukan-aku (res extensa) hanyalah
perluasan dari aku (Hardiman, 2007: 3-4). Dengan berpijak pada konsepsi ini,
maka realitas itu bersifat biner oposisi. Dalam relasi manusia dengan alam,
alam dianggap rendah dibanding manusia, karena manusia menjadi pusat di dalam
realitas. Eksploitasi terhadap alam pun menjadi sangat mungkin[2]
(Kartanegara, 2007: 155). Buktinya—mengutip
ungkapan K. Bertens—bisa dilihat dari munculnya kesadaran yang muncul pada
tahun 1960-an, yaitu kesadaran mengenai kerusakan ekologi dan lingkungan hidup.
Hal ini muncul sebagai dampak dari—salah satunya—teknologi yang digunakan
secara memababi buta di dalam industri modern (Bertens, 2011: 304).
Ketiga, kemenjadian menjadi
karakter khas modern, hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa realitas itu berevolusi.
Jadi dalam modernisme tak ada kata kepastian atau finalitas, semua serba
menjadi. Implikasnya adalah kebingungan dari masyarakat modern, dan seringkali
menyebabkan disorientasi (Wora, 2006: 88). Dan Sains yang selama ini
digadangkan oleh modernisme pun ternyata tidak memberikan kepastian,
sebagaimana ungkapan Karl Popper yang menyatakan bahwa sains berada di atas
pasir yang bergeser (Wora, 2006: 50).
Filsafat
Sunda sebagai alternatif modernisme
a. Pengakuan
terhadap hal yang metafisis
Jika di
dalam modernisme, kecenderungan terhadap materialisme sangat kentara, namun
lain halnya dengan filsafat Sunda. Di
dalam Babad pakuan: Guru Gantangan,
kita akan melihat kepercayaan-kepercayaan kepada hal-hal yang metafisis, seperti
pengakuan kepada Yang Kudus sebagai entitas yang tertinggi. Hal ini nampak
ketika Guru Gantangan diceritakan, telah dikhianati oleh rekan seperjalanannya
Bramanasakti. Lalu Guru Gantangan diberi nasihat oleh Nagaraja, bahwa kepayahan
yang menimpanya harus diterima sebagai kehendak Yang Maha Kuasa, dan mesti
dijadikan suatu pelajaran baginya (Sumardjo, 2004: 19). Keberadaan Yang Kudus
dalam babad ini, tidak hanya dipahami sebagai suatu Zat yang cukup dipercayai
saja, namun sebagai tujuan hidup bagi manusia. Tujuan yang dimaksud adalah
kesempurnaan. Manusia dapat menjadi sempurna, hanya jika ia dapat menyatu
dengan Tuhan melalui perbuatan[3]
(Sumardjo, 2004: 35).
Dalam hal ini, berpijak
pada pandangan Jakob, terdapat paham dualistik dalam memandang manusia[4]
(penjabaran ini perlu, karena dualistas dalam tubuh manusia merupakan instrumen
dalam mencapai tujuan tertinggi manusia). Tubuh manusia itu terstruktur secara
horizontal dan vertikal. Struktur horizontal itu adalah tubuh (jasmani),
sedangkan struktur vertikal adalah ruh[5].
Jika kita lihat kembali cerita Guru Gantangan, di dalamnya diceritakan bahwa
tangan dan kaki Guru Gantangan di potong atas perintah ayahnya sendiri, Prabu
siliwangi. Dan hal ini merupakan hambatan bagi proses penyempurnaan diri Guru Gantangan,
karena ia tak akan bisa lagi melakukan suatu perbuatan. Namun dalam cerita ini,
lanjut Jakob, bahwa struktur vertikal manusia itu lebih penting, manusia tanpa
struktur vertikalnya, ia hanyalah seekor binatang. Selain itu struktur vertikal
manusia merupakan fungsi transenden, yang menghubungkan manusia dengan Tuhan
sehingga ia menjadi sempurna (Sumardjo, 2004: 37-39).
Selain dalam babad Guru Gantangan, Warnaen dkk,
menyebutkan bahwa orang-orang Sunda dari ‘dahulu’ sudah memiliki keyakinan
terhadap Zat Yang Maha Tinggi. Sebagaimana tercantum dalam lakon Lutung Kasarung[6],
Tuhan digambarkan sebagai Zat yang berada di atas segala-galanya. Selain di
dalam lakon Lutung Kasarung, di dalam
Sanghyang Siksa Kandang Karesian[7],
dijelaskan bahwa Tuhan selalu melihat perilaku manusia di dunia, meskipun
manusia tak bisa melihat-Nya. Dan manusia yang menyadari Tuhan digambarkan
seperti kebenaran bersatu dengan kebenaran, namun bila manusia tak
menyadari-Nya, ia bagaikan kesesatan bersatu dengan kesesatan (Warnaen dkk,
1987: 187). Keyakinan terhadap Yang Maha Tinggi
ini, menjadi dasar atau landasan bagi pandangan hidup orang Sunda yang lain,
sebagaimana akan dijelaskan selanjutnya.
b. Pandangan
non-oposisi biner, dan implikasinya terhadap alam
Menurut
Jakob Sumardjo, di dalam pandangan Sunda lama, terdapat asas kesatuan tiga,
atau biasa disebut Tritangtu. Konsep tritangtu ini bisa dibilang, sangat
berbeda dengan konsep oposisi binernya Cartesian. Mengapa demikian? Sebelumnya
harus dipahami terlebih dahulu, bahwa orang Sunda meyakini bahwa semua
eksistensi itu dualistik dan bersifat biner, dalam artian saling bertentangan.
Pertentangan ini tak boleh dibiarkan begitu saja, namun harus terdapat harmoni
diantara keduanya. Bentuk dari harmoni itu adalah munculnya eksistensi yang
ketiga, sebagai integrasi dari dua eksistensi yang konflik (Sumardjo, 2011:
31).
Pandangan
tritangtu ini bisa dilihat dari pandangan kosmologi Sunda, yakni Dunia Atas
(Buana Nyungcung), Dunia Bawah (Buana Larang), dan Dunia Tengah (Buana Panca
Tengah). Atau dalam ungkapan yang terkenal: silih
asah, silih asih, silih asuh; ucap,
tekad, lampah; dan masih banyak lagi. Perlu diketahui bahwa asas tritangtu
ini merupakan ciri khas dari masyarakat ladang, yang merupakan masyarakat
produktif. Maksudnya masyarakat ini tidak terlalu bergantung kepada alam.
Menurut Jakob, mereka sangat menghargai kehidupan. Maka dari itu segala hal
yang biner-dualistik, mesti diharmonikan. Implikasi dari konsep ini adalah,
akrabnya masyarakat Sunda dengan alam, mereka mengharmonikan diri dengan alam
atau dalam bahasa lain tidak memusuhinya (Sumardjo, 2011: 31-32). Bahkan,
seringkali alam dijadikan sebagai sumber makna dalam kehidupan.
Dalam
naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian,
sebagaimana dikutip oleh Suwarsih Warnaen dkk, dijelaskan bahwa manusia dapat
mengolah atau memanfaatkan alam dengan bertanggung jawab. Tak bisa dilupakan pula,
bahwa segala yang ada di alam semesta ini didiami oleh sosok yang gaib. Pandangan
orang Sunda[8]
terhadap alam sangat berbeda dengan pandangan kaum materialis. Dimana kaum
materialis menganggap bahwa realitas eksternal (baca: alam) hanya materi dan
tak lebih dari itu. Sedangkan orang Sunda menganggap bahwa ada ‘sesuatu’
dibalik fakta material ini, yaitu dewa-dewa (Warnaen dkk, 1987: 180).
Bahkan,
Warnaen menambahkan, bahwa benda-benda dan tempat-tempat konkret merupakan
manifestasi dari kekuatan Tuhan. Hal ini dibuktikan di dalam Sanghyang Siksa Kandang Karesian,
disebutkan bahwa di dalam keempat mata angin dan titik tengahnya dikuasai oleh
dewa atau para hyang (Warnaen dkk, 1987: 198). Konsekuensi dari pandangan ini
adalah, pengolahan alam yang terkontrol dalam artian dihormati. Hal ini bisa
kita lihat dalam bait lakon pantun Sunda
Lutung Kasarung yang berbunyi: “bisina
nerus nurutus, bisina narajang alas; palias nerus nurutus, palias narajang
alas” (jangan sampai terus saja, jangan sampai menerjang hutan; janganlah
terus saja, hindarkanlah menerjang hutan[9]).
Hal ini menunjukan bahwa pengolahan terhadap alam harus disikapi dengan bijak
(Warnaen dkk, 1987: 178). Karena di semesta ini terdapat dua alam, yaitu alam yang
nampak dan yang tak nampak (yang memengaruhi proses kehidupan manusia[10]).
Alam
pun dalam pandangan Orang Sunda, sebagaimana sempat disindir di paragraf
sebelumnya, tak hanya dianggap sebagai sarana atau alat—dalam pengertian
negatif—untuk memenuhi keinginan manusia, dalam artian bisa dieksploitasi
semena-mena, atau menganggap alam hanya ‘entitas mati’. Namun, orang-orang Sunda menganggap bahwa
alam itu sarat akan makna, atau dalam bahasa lain alam dapat menjadi ‘guru’.
Hal ini nampak dalam peribahasa sunda yang seringkali menjadikan alam sebagai
metafora untuk mencerminkan sesuatu. Misalnya, di dalam novel Rasiah Nu Goreng Patut (Karnadi Anemer
Bangkong)[11]
yang dikutip oleh Warnaen dkk, terdapat peribahasa: “muncang labuh ka puhu” (Kemiri jatuh lagi ke pangkal)[12]
yang bermakna orang yang kembali ke kampung halamannya, tapi dalam konteks ini
menjelaskan tentang Karnadi yang pada mulanya miskin dan kembali lagi menjadi
miskin, setelah menjadi seorang jendral palsu yang beristri cantik, dan
kesenangan yang didapat hanyalah sementara. Dan ungkapan “kemiri” ini
menjelaskan kesenangan sementara tersebut (Warnaen dkk tahap II, 1987: 212).
Selain
dari Novel Rasiah Nu Goreng Patut,
novel Mayit Dina Dahan Jengkol[13]
terdapat ungkapan: “saha bae nu
ngasongkeun talen, talenden waeh (siapa saja yang menyodorkan uang setali,
segera didekatinya)[14].
Ungkapan ini bermakna, Nok Sari yang digambarkan sebagai orang yang langsung
tertarik, dengan laki-laki yang memiliki banyak uang. Kata “talenden” biasa
dipakai untuk ayam, maksudnya ketika ayam disodorkan makanan ia langsung lari
menghampiri makanan itu. Nok Sari diserupakan dengan seekor ayam (Warnaen dkk
tahap II, 1987: 213). Dalam cerita rakyat, Pariboga,
Sunan Burung Baok[15]
terdapat ungkapan: “Sagalak-galakna
macan, moalnya daekeun nyatu anak, sok komo teuing jelema (sebuas-buasnya
macan, tidak mungkin memakan anaknya, apalagi manusia). Di dalam cerita ini,
manusia diserupakan dengan sifat macan, dimana seekor macan ‘tak mungkin’
(baca: tega) memakan anaknya sendiri, apalagi seorang manusia (Warnaen dkk
tahap II, 1987: 211).
c. Kepastian
tujuan hidup orang Sunda
Sebagaimana
disebutkan dimuka, bahwa Tuhan menjadi dasar dari berbagai aspek pandangan
hidup orang Sunda. Dalam bab terakhir ini, kita akan membicarakan orientasi
orang Sunda dalam memandang hidup, berangkat dari kenyataan bahwa di dalam
dunia modern, pengetahuan itu senantiasa berubah dalam artian tidak pasti.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena pengetahuan di dalam sains modern,
didasarkan atas ‘kepercayaan’ materialisme. Pandangan ini berlainan dengan pandangan
hidup orang Sunda. Mereka meyakini bahwa alam semesta ini ditopang oleh
Tuhan—sebagaimana disebutkan di dalam pembahasan sebelumnya. Konsekuensinya
adalah menyempurnakan diri (jiwa) dan memperoleh kesatuan dengan-Nya merupakan
tujuan dari manusia, seperti tercantum dalam babad Guru Gantangan.
Mengapa
kesatuan itu diperlukan? Berangkat dari tujuan orang Sunda sendiri, yaitu
meraih kemuliaan, kebahagiaan, ketentraman, hidup, kesejahteraan dll. Langkah
pertama untuk mencapai beberapa tujuan itu adalah, mengutip pendapat Warnaen
dkk, dengan terlebih dahulu meyakini Tuhan sebagai sesuatu yang tetap dan tidak
berubah, sebagaimana tercantum dalam lakon Lutung
Kasarung, dalam ungkapan Purbasari terhadap Purbararang: “mana
hoerip koe goestina, mana waras koe Alahna, waloeja ti koedratna, teu beunang
dipake kahajang, dipake kaemboeng” (makanya hidup karena Tuhan, makanya
sehat karena Allah, selamat dari kudrat-Nya, tak bisa jadi kehendak, jadi
keengganan[16]).
Masih menurut Warnaen dkk, setelah memercayai Tuhan, lalu hal yang mesti
ditempuh adalah langkah-langkah etis. Seperti: percaya diri, berpikir dinamis,
semangat pengabdian, patuh, sabar, tabah dan toleran, setelah itu barulah
seorang manusia mendapatkan kemuliaan (Warnaen dkk, 1987: 166-167).
Pertanyaan
muncul: mengapa hal-hal seperti itu yang mesti ditempuh dalam mencapai
kesempurnaan? Pertama, perlu diketahui, bahwa dalam tradisi masyarakat mitis
(dalam hal ini masyarakat Sunda), pengetahuan sejati itu lebih bersifat
ontologis-eksistensial (Bagir, 2011: 147). Kedua, Menurut Jakob, filsafat
(pandangan hidup) orang Indonesia—seperti halnya Cina—tidak hanya memusatkan
pada hal yang bersifat teoritik sebagaimana di Barat, namun mesti
termanifestasi dalam perbuatan, hal ini nampak dalam ungkapan Fung Yu-lan: “filsafat bukan untuk menambah pengetahuan
positif, tetapi untuk meningkatkan taraf jiwa; suatu upaya untuk mencapai apa
yang berada di luar dunia nyata ini, untuk mencapai nilai-nilai yang lebih
tinggi dari nilai-nilai moral”, serta dalam ungkapan Mangkunegara IV: “Ilmu (filsafat) itu terwujudnya lewat laku”.
Maka dari itu, masih menurut Jakob, produk filsafat di Indonesia tidak usah njelimet tapi cukup diungkapkan dalam
pepatah pendek. Misalnya: silih asah,
silih asih, silih asuh (Jakob, 2011: 28-29).
Semoga
Tuhan menyingkapkan pengetahuan-Nya kepada kita, Aamiin…
Daftar
Pustaka
Bagir,
Haidar. (2011). Perolehan Pengetahuan Sebagai Pengalaman Eksistensial
“Subjektif”. Dalam Ihsan Ali-Fauzi dkk (Ed). Dari Kosmologi ke Dialog: Mengenal batas pengetahuan, menentang
fanatisme. Jakarta Selatan: Mizan Publika.
Bertens, K. (2011).
Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hardiman, F. Budi. (2007). Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai
Nietzche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Humaidi, (2015). Paradigma sains integratif al-Farabi. Jakarta Selatan: Shadra
Press.
Kartanegara, Mulyadhi. (2007). Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons Terhadap
Modenitas. Jakarta: Erlangga.
Sumardjo, Jakob. (2004). Hermeneutika Sunda: Simbol-simbol Babad
Pakuan/Guru Gantangan. Kabupaten Bandung: Kelir.
______________. (2011). Sunda: Pola
Rasionalitas Budaya. Kabupaten Bandung: Kelir
Wora, Emanuel. (2006). Perenialisme: Kritik atas Modernisme dan
Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius.
Wamaen,
Suwarsih dkk. (1987). Pandangan Hidup Orang
Sunda: seperti tercermin dalam tradisi lisan dan sastra sunda. Bandung:
Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung.
__________________.
(1987). Pandangan Hidup Orang Sunda:
seperti tercermin dalam tradisi lisan dan sastra sunda (Tahap II). Bandung:
Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung.
[1]
Mahasiswa Jurusan yang jarang diminati: Aqidah Filsafat, penyuka dan penikmat
filsafat. Si Aku pun sedang merintis bisnis bersama dua orang manusia yang
dikenalnya sewaktu Tsanawiyyah dan Muallimien.
[2]
Sebetulnya hal ini merupakan kelanjutan dari paham materialisme. Mengapa bisa
begitu? Karena, yang pada mulanya menjadi pusat realitas adalah Tuhan,
digantikan posisinya oleh manusia. Alam tak lagi dipandang sebagai suatu
anugrah yang diberikan oleh Tuhan, atau bukan manifestasi dari Tuhan yang patut
untuk dijaga.
[3]
Menurut Jakob, jalan menuju Tuhan dalam babad ini adalah melalui perbuatan,
karena yang dilakukan oleh Guru Gantangan itu semacam karma yoga (yoga melalui perbuatan).
[4]
Penulis maksudkan bahwa paham dualistik ini adalah sebagai indikasi pengakuan
terhadap hal yang metafisis.
[5] Masih
menurut Jakob, dengan struktur ini manusia berpikir, merasa dan berhasrat. Atau
bisa kita katakan bahwa dalam struktur ini terdapat akal, rasa dan keputusan.
[6] Menurut
Suwarsih Warnaen dkk, Lutung Kasarung merupakan lakon Sunda yang dianggap
terkenal dan kuno. Teks asli tertulis dengan huruf Jawa oleh Argasasmita, yang
disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Terkait waktu terciptanya karya ini tidak
jelas, Warnaen dkk menyebutkan: “….dari
isi cerita yang menyebutkan negara Pasir Batang anu girang (yang di hulu), dapat diperkirakan bahwa asal waktunya
adalah sebelum agama Islam masuk ke Jawa barat. Karena itu masa Pajajaran, atau
masa-masa sebelumnya adalah waktu dari penciptaan lakon Lutung Kasarung
tersebut.”.
[7]
Menurut Warnaen dkk, Sanghyang Siksa
Kandang Karesian merupakan naskah berhuruf dan berbahasa Sunda kuno, tahun
1518 M. Terkait asal muasal teks, tidak ada keterangan yang menjelaskannya.
[8]
Orang Sunda yang merujuk kepada naskah Sanghyang Siksa Kandang Keresian.
[9]
Hasil terjemahan Suwarsih Warnaen dkk.
[10]
Pandangan bahwa alam ini terbagi kepada alam fisik dan non-fisik tercantum pada
roman Pangeran Kornel dan Mantri Jero, yang ditulis oleh R. Memed Sastrahadiprawira
(Berdasarkan data yang diambil oleh Warnaen dkk).
[11]
Rasiah Nu Goreng Patut (Karnadi Anemer Bangkong), oleh Yuhana berdasarkan
cerita yang disampaikan oleh Sukria. Diterbitkan pertama kali oleh Dahlan
Bekti, Bandung, 1928. Sumber data yang
diambil oleh Suwarsih Warnaen dkk diambil dari terbitan Rahmat Cijulang,
Bandung, 1983.
[12] Hasil
terjemahan Suwarsih Warnaen dkk.
[13] Mayit
Dina Dahan Jengkol, data yang diambil oleh Warnaen dkk, ditulis oleh Ahmad
Bakri, Pustaka Karsa Sunda, Bandung, 1986.
[14]
Opcit.
[15]
Cerita rakyat, yang dikutip Warnaen dkk, ini diambil dari Jilid I, yang ditulis
oleh C.M. Pleyte, berisi kumpulan dongeng sebanyak 25 cerita. Cerita rakyat ini
diterbitkan oleh Landsdrukkerij di Batavia, pada tahun 1911.
[16]
Terjemahan Warnaen dkk.
Comments
Post a Comment