Pandangan Hidup Orang Sunda Sebagai Alternatif dari Modernisme

Gambar diambil dari: www.effectsdatabase.com
Oleh: Raja Cahaya Islam[1]

Ketika kita berbicara kebudayaan Sunda, mungkin kita langsung teringat pada istilah tradisional, setelah itu mungkin nalar kita akan mengantarkan pada kepurbaan. Terkait apakah hal ini perlu diwajarkan atau tidak, penulis tak bisa pastikan. Namun, asumsi-asumsi itu perlu disikapi dengan bijak. Bisa jadi, asumsi itu muncul disebabkan oleh anggapan bahwa kita adalah orang yang ‘baru’ dalam arti modern, atau barangkali karena perkembangan teknologi informasi yang menyebabkan asimilasi budaya, sehingga terbentuk suatu kebudayaan global, lalu anggapan muncul bahwa kebudayaan lokal itu sudah ketinggalan zaman.
Dalam posisi ini, penulis barangkali adalah orang yang menolak asumsi-asumsi itu, karena kita tak bisa semena-mena mengklaim bahwa kebudayaan yang dianggap ‘tradisional’ itu sudah tak relevan lagi dengan zaman yang serba maju ini. Karena kita harus akui dengan lapang dada, bahwa setiap gerak kebudayaan memiliki hal yang positif dan negatif. Meskipun label positif dan negatif itu hadir setelah kita mengalami fase kebudayaan tertentu.
Penulis dalam hal ini, memiliki anggapan yang positif terhadap kebudayaan Sunda. Apalagi jika kita konfrontasikan kebudayaan Sunda dengan zaman modern ini. Mengapa? Penulis percaya bahwa kearifan-kearifan yang ada pada kesundaan itu dapat menjawab problem-problem yang ada pada modernitas. Karena perlu diakui modernisme telah menimbulkan berbagai problem yang harus ditangani, demi kesejahteraan manusia itu sendiri, sebagai pelaku kebudayaan.
Karakter kemodernan
Alangkah perlunya jika kita mengenal terlebih dahulu kemodernan. Emanuel Wora menguraikan karakteristik ini dalam beberapa bagian: kecenderungan materialistik, binner oposisi (manusia sebagai pusat), dan kemenjadian (Wora, 2006: 83-92). Pertama, Benih-benih materialisme dalam tradisi modern, bermula dari pandangan hylemorfisme Aristoteles. Berbeda dengan Platon yang menganggap idea segabai realitas, Aristoteles hanya meyakini dunia material sebagai realitas yang ‘benar’. Pada fase selanjutnya, konsep yang materialis ini kian kentara pada pemikiran Rene Descartes, yang biasa dijuluki bapak filsafat Modern. Hal ini tercermin dari konsep Cogito Ergo Sumnya yang mendikotomi realitas, yaitu realitas pikiran (res cogitan) dan realitas materi (res extensa). Subjek adalah pikiran dan objek adalah materi, kedua entitas ini terpisah. Jadi sesuatu yang tak rasional mesti tidak ada. Menurut Wora, dengan kerangka rasionalis-materialis ini, Descartes mencoba mengaitkan bidang matematika dalam filsafatnya itu. Bapak filsafat modern ini meyakini bahwa matematika dapat menjelaskan alam semesta, sehingga jika kita ingin memahami alam semesta maka cukuplah menggunakan rumusan matematis, sehingga kebenaran alam semesta ini dapat tersingkap oleh matematika. Dari rumusan semacam inilah sains modern berkembang (Wora, 2006: 40-41).
Mulyadhi Kartanegara menyebutkan beberapa pemikir yang mengemuka dengan pandangan materialismenya—sebagai kelanjutan kerangka Cartesian, misalnya Simone D Laplace dan Sigmund Freud. Simone D Laplace ketika menulis bukunya Celestial Mechanics. Ketika ia ditanya mengenai, mengapa ia tidak menyertakan Tuhan dalam bukunya, lantas ia menjawab bahwa ia tak memerlukan hipotesa itu. Dalam hal ini nampak jelas implikasi dari materialisme yaitu, hal yang berbau metafisis ditolak, atau dalam bahasa lain keberadaan Yang Kudus ditolak (Kartanegara, 2007: 45). Bahkan Freud mengatakan bahwa hal-hal yang metafisis adalah proyeksi manusia atas ketakutannya atau ketidak mampuannya berhadapan dengan alam secara rasional, sehingga ia menciptakan suatu zat yang bisa membuat dirinya aman, yaitu Yang Kudus. (Kartanegara, 2007: 47). Dalam hal ini paradigma saintifik telah mereduksi realitas hanya kepada entitas material. Dengan materialisme, fakta dianggap hanya sebagai fakta saja tak lebih dari itu. Tak ada apapun dibalik realitas, yang ada hanyalah realitas material. Implikasinya adalah hilangnya makna dan spiritualitas (Humaidi, 2015: 35).
Kedua, Dalam ‘tradisi’ modern, manusia merupakan pusat dari realitas. Kita bisa melacak awal dari konsepsi ini pada pemikiran Descartes dalam adagium: Cogito Ergo Sum (aku berpikir maka aku ada). Pikiran (res cogitan) menjadi pusat realitas sedangkan sesuatu yang bukan-aku (res extensa) hanyalah perluasan dari aku (Hardiman, 2007: 3-4). Dengan berpijak pada konsepsi ini, maka realitas itu bersifat biner oposisi. Dalam relasi manusia dengan alam, alam dianggap rendah dibanding manusia, karena manusia menjadi pusat di dalam realitas. Eksploitasi terhadap alam pun menjadi sangat mungkin[2] (Kartanegara, 2007: 155).  Buktinya—mengutip ungkapan K. Bertens—bisa dilihat dari munculnya kesadaran yang muncul pada tahun 1960-an, yaitu kesadaran mengenai kerusakan ekologi dan lingkungan hidup. Hal ini muncul sebagai dampak dari—salah satunya—teknologi yang digunakan secara memababi buta di dalam industri modern (Bertens, 2011: 304).
Ketiga, kemenjadian menjadi karakter khas modern, hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa realitas itu berevolusi. Jadi dalam modernisme tak ada kata kepastian atau finalitas, semua serba menjadi. Implikasnya adalah kebingungan dari masyarakat modern, dan seringkali menyebabkan disorientasi (Wora, 2006: 88). Dan Sains yang selama ini digadangkan oleh modernisme pun ternyata tidak memberikan kepastian, sebagaimana ungkapan Karl Popper yang menyatakan bahwa sains berada di atas pasir yang bergeser  (Wora, 2006: 50).
Filsafat Sunda sebagai alternatif modernisme
a.      Pengakuan terhadap hal yang metafisis
Jika di dalam modernisme, kecenderungan terhadap materialisme sangat kentara, namun lain halnya dengan filsafat Sunda.  Di dalam Babad pakuan: Guru Gantangan, kita akan melihat kepercayaan-kepercayaan kepada hal-hal yang metafisis, seperti pengakuan kepada Yang Kudus sebagai entitas yang tertinggi. Hal ini nampak ketika Guru Gantangan diceritakan, telah dikhianati oleh rekan seperjalanannya Bramanasakti. Lalu Guru Gantangan diberi nasihat oleh Nagaraja, bahwa kepayahan yang menimpanya harus diterima sebagai kehendak Yang Maha Kuasa, dan mesti dijadikan suatu pelajaran baginya (Sumardjo, 2004: 19). Keberadaan Yang Kudus dalam babad ini, tidak hanya dipahami sebagai suatu Zat yang cukup dipercayai saja, namun sebagai tujuan hidup bagi manusia. Tujuan yang dimaksud adalah kesempurnaan. Manusia dapat menjadi sempurna, hanya jika ia dapat menyatu dengan Tuhan melalui perbuatan[3] (Sumardjo, 2004: 35).
            Dalam hal ini, berpijak pada pandangan Jakob, terdapat paham dualistik dalam memandang manusia[4] (penjabaran ini perlu, karena dualistas dalam tubuh manusia merupakan instrumen dalam mencapai tujuan tertinggi manusia). Tubuh manusia itu terstruktur secara horizontal dan vertikal. Struktur horizontal itu adalah tubuh (jasmani), sedangkan struktur vertikal adalah ruh[5]. Jika kita lihat kembali cerita Guru Gantangan, di dalamnya diceritakan bahwa tangan dan kaki Guru Gantangan di potong atas perintah ayahnya sendiri, Prabu siliwangi. Dan hal ini merupakan hambatan bagi proses penyempurnaan diri Guru Gantangan, karena ia tak akan bisa lagi melakukan suatu perbuatan. Namun dalam cerita ini, lanjut Jakob, bahwa struktur vertikal manusia itu lebih penting, manusia tanpa struktur vertikalnya, ia hanyalah seekor binatang. Selain itu struktur vertikal manusia merupakan fungsi transenden, yang menghubungkan manusia dengan Tuhan sehingga ia menjadi sempurna (Sumardjo, 2004: 37-39).
            Selain dalam babad Guru Gantangan, Warnaen dkk, menyebutkan bahwa orang-orang Sunda dari ‘dahulu’ sudah memiliki keyakinan terhadap Zat Yang Maha Tinggi. Sebagaimana tercantum dalam lakon Lutung Kasarung[6], Tuhan digambarkan sebagai Zat yang berada di atas segala-galanya. Selain di dalam lakon Lutung Kasarung, di dalam Sanghyang Siksa Kandang Karesian[7], dijelaskan bahwa Tuhan selalu melihat perilaku manusia di dunia, meskipun manusia tak bisa melihat-Nya. Dan manusia yang menyadari Tuhan digambarkan seperti kebenaran bersatu dengan kebenaran, namun bila manusia tak menyadari-Nya, ia bagaikan kesesatan bersatu dengan kesesatan (Warnaen dkk, 1987: 187). Keyakinan terhadap Yang Maha Tinggi ini, menjadi dasar atau landasan bagi pandangan hidup orang Sunda yang lain, sebagaimana akan dijelaskan selanjutnya.
b.      Pandangan non-oposisi biner, dan implikasinya terhadap alam
Menurut Jakob Sumardjo, di dalam pandangan Sunda lama, terdapat asas kesatuan tiga, atau biasa disebut Tritangtu. Konsep tritangtu ini bisa dibilang, sangat berbeda dengan konsep oposisi binernya Cartesian. Mengapa demikian? Sebelumnya harus dipahami terlebih dahulu, bahwa orang Sunda meyakini bahwa semua eksistensi itu dualistik dan bersifat biner, dalam artian saling bertentangan. Pertentangan ini tak boleh dibiarkan begitu saja, namun harus terdapat harmoni diantara keduanya. Bentuk dari harmoni itu adalah munculnya eksistensi yang ketiga, sebagai integrasi dari dua eksistensi yang konflik (Sumardjo, 2011: 31).
Pandangan tritangtu ini bisa dilihat dari pandangan kosmologi Sunda, yakni Dunia Atas (Buana Nyungcung), Dunia Bawah (Buana Larang), dan Dunia Tengah (Buana Panca Tengah). Atau dalam ungkapan yang terkenal: silih asah, silih asih, silih asuh; ucap, tekad, lampah; dan masih banyak lagi. Perlu diketahui bahwa asas tritangtu ini merupakan ciri khas dari masyarakat ladang, yang merupakan masyarakat produktif. Maksudnya masyarakat ini tidak terlalu bergantung kepada alam. Menurut Jakob, mereka sangat menghargai kehidupan. Maka dari itu segala hal yang biner-dualistik, mesti diharmonikan. Implikasi dari konsep ini adalah, akrabnya masyarakat Sunda dengan alam, mereka mengharmonikan diri dengan alam atau dalam bahasa lain tidak memusuhinya (Sumardjo, 2011: 31-32). Bahkan, seringkali alam dijadikan sebagai sumber makna dalam kehidupan.
Dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian, sebagaimana dikutip oleh Suwarsih Warnaen dkk, dijelaskan bahwa manusia dapat mengolah atau memanfaatkan alam dengan bertanggung jawab. Tak bisa dilupakan pula, bahwa segala yang ada di alam semesta ini didiami oleh sosok yang gaib. Pandangan orang Sunda[8] terhadap alam sangat berbeda dengan pandangan kaum materialis. Dimana kaum materialis menganggap bahwa realitas eksternal (baca: alam) hanya materi dan tak lebih dari itu. Sedangkan orang Sunda menganggap bahwa ada ‘sesuatu’ dibalik fakta material ini, yaitu dewa-dewa (Warnaen dkk, 1987: 180).
Bahkan, Warnaen menambahkan, bahwa benda-benda dan tempat-tempat konkret merupakan manifestasi dari kekuatan Tuhan. Hal ini dibuktikan di dalam Sanghyang Siksa Kandang Karesian, disebutkan bahwa di dalam keempat mata angin dan titik tengahnya dikuasai oleh dewa atau para hyang (Warnaen dkk, 1987: 198). Konsekuensi dari pandangan ini adalah, pengolahan alam yang terkontrol dalam artian dihormati. Hal ini bisa kita lihat dalam bait lakon pantun Sunda Lutung Kasarung yang berbunyi: “bisina nerus nurutus, bisina narajang alas; palias nerus nurutus, palias narajang alas” (jangan sampai terus saja, jangan sampai menerjang hutan; janganlah terus saja, hindarkanlah menerjang hutan[9]). Hal ini menunjukan bahwa pengolahan terhadap alam harus disikapi dengan bijak (Warnaen dkk, 1987: 178). Karena di semesta ini terdapat dua alam, yaitu alam yang nampak dan yang tak nampak (yang memengaruhi proses kehidupan manusia[10]).  
Alam pun dalam pandangan Orang Sunda, sebagaimana sempat disindir di paragraf sebelumnya, tak hanya dianggap sebagai sarana atau alat—dalam pengertian negatif—untuk memenuhi keinginan manusia, dalam artian bisa dieksploitasi semena-mena, atau menganggap alam hanya ‘entitas mati’.  Namun, orang-orang Sunda menganggap bahwa alam itu sarat akan makna, atau dalam bahasa lain alam dapat menjadi ‘guru’. Hal ini nampak dalam peribahasa sunda yang seringkali menjadikan alam sebagai metafora untuk mencerminkan sesuatu. Misalnya, di dalam novel Rasiah Nu Goreng Patut (Karnadi Anemer Bangkong)[11] yang dikutip oleh Warnaen dkk, terdapat peribahasa: “muncang labuh ka puhu” (Kemiri jatuh lagi ke pangkal)[12] yang bermakna orang yang kembali ke kampung halamannya, tapi dalam konteks ini menjelaskan tentang Karnadi yang pada mulanya miskin dan kembali lagi menjadi miskin, setelah menjadi seorang jendral palsu yang beristri cantik, dan kesenangan yang didapat hanyalah sementara. Dan ungkapan “kemiri” ini menjelaskan kesenangan sementara tersebut (Warnaen dkk tahap II, 1987: 212).
Selain dari Novel Rasiah Nu Goreng Patut, novel Mayit Dina Dahan Jengkol[13] terdapat ungkapan: “saha bae nu ngasongkeun talen, talenden waeh (siapa saja yang menyodorkan uang setali, segera didekatinya)[14]. Ungkapan ini bermakna, Nok Sari yang digambarkan sebagai orang yang langsung tertarik, dengan laki-laki yang memiliki banyak uang. Kata “talenden” biasa dipakai untuk ayam, maksudnya ketika ayam disodorkan makanan ia langsung lari menghampiri makanan itu. Nok Sari diserupakan dengan seekor ayam (Warnaen dkk tahap II, 1987: 213). Dalam cerita rakyat, Pariboga, Sunan Burung Baok[15] terdapat ungkapan: “Sagalak-galakna macan, moalnya daekeun nyatu anak, sok komo teuing jelema (sebuas-buasnya macan, tidak mungkin memakan anaknya, apalagi manusia). Di dalam cerita ini, manusia diserupakan dengan sifat macan, dimana seekor macan ‘tak mungkin’ (baca: tega) memakan anaknya sendiri, apalagi seorang manusia (Warnaen dkk tahap II, 1987: 211).
c.       Kepastian tujuan hidup orang Sunda
Sebagaimana disebutkan dimuka, bahwa Tuhan menjadi dasar dari berbagai aspek pandangan hidup orang Sunda. Dalam bab terakhir ini, kita akan membicarakan orientasi orang Sunda dalam memandang hidup, berangkat dari kenyataan bahwa di dalam dunia modern, pengetahuan itu senantiasa berubah dalam artian tidak pasti. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena pengetahuan di dalam sains modern, didasarkan atas ‘kepercayaan’ materialisme. Pandangan ini berlainan dengan pandangan hidup orang Sunda. Mereka meyakini bahwa alam semesta ini ditopang oleh Tuhan—sebagaimana disebutkan di dalam pembahasan sebelumnya. Konsekuensinya adalah menyempurnakan diri (jiwa) dan memperoleh kesatuan dengan-Nya merupakan tujuan dari manusia, seperti tercantum dalam babad Guru Gantangan.
Mengapa kesatuan itu diperlukan? Berangkat dari tujuan orang Sunda sendiri, yaitu meraih kemuliaan, kebahagiaan, ketentraman, hidup, kesejahteraan dll. Langkah pertama untuk mencapai beberapa tujuan itu adalah, mengutip pendapat Warnaen dkk, dengan terlebih dahulu meyakini Tuhan sebagai sesuatu yang tetap dan tidak berubah, sebagaimana tercantum dalam lakon Lutung Kasarung, dalam ungkapan Purbasari terhadap Purbararang:  “mana hoerip koe goestina, mana waras koe Alahna, waloeja ti koedratna, teu beunang dipake kahajang, dipake kaemboeng” (makanya hidup karena Tuhan, makanya sehat karena Allah, selamat dari kudrat-Nya, tak bisa jadi kehendak, jadi keengganan[16]). Masih menurut Warnaen dkk, setelah memercayai Tuhan, lalu hal yang mesti ditempuh adalah langkah-langkah etis. Seperti: percaya diri, berpikir dinamis, semangat pengabdian, patuh, sabar, tabah dan toleran, setelah itu barulah seorang manusia mendapatkan kemuliaan (Warnaen dkk, 1987: 166-167).
Pertanyaan muncul: mengapa hal-hal seperti itu yang mesti ditempuh dalam mencapai kesempurnaan? Pertama, perlu diketahui, bahwa dalam tradisi masyarakat mitis (dalam hal ini masyarakat Sunda), pengetahuan sejati itu lebih bersifat ontologis-eksistensial (Bagir, 2011: 147). Kedua, Menurut Jakob, filsafat (pandangan hidup) orang Indonesia—seperti halnya Cina—tidak hanya memusatkan pada hal yang bersifat teoritik sebagaimana di Barat, namun mesti termanifestasi dalam perbuatan, hal ini nampak dalam ungkapan Fung Yu-lan: “filsafat bukan untuk menambah pengetahuan positif, tetapi untuk meningkatkan taraf jiwa; suatu upaya untuk mencapai apa yang berada di luar dunia nyata ini, untuk mencapai nilai-nilai yang lebih tinggi dari nilai-nilai moral”, serta dalam ungkapan Mangkunegara IV: “Ilmu (filsafat) itu terwujudnya lewat laku”. Maka dari itu, masih menurut Jakob, produk filsafat di Indonesia tidak usah njelimet tapi cukup diungkapkan dalam pepatah pendek. Misalnya: silih asah, silih asih, silih asuh (Jakob, 2011: 28-29).
Semoga Tuhan menyingkapkan pengetahuan-Nya kepada kita, Aamiin…
Daftar Pustaka
Bagir, Haidar. (2011). Perolehan Pengetahuan Sebagai Pengalaman Eksistensial “Subjektif”. Dalam Ihsan Ali-Fauzi dkk (Ed). Dari Kosmologi ke Dialog: Mengenal batas pengetahuan, menentang fanatisme. Jakarta Selatan: Mizan Publika.
            Bertens, K. (2011). Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hardiman, F. Budi. (2007). Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Humaidi, (2015). Paradigma sains integratif al-Farabi. Jakarta Selatan: Shadra Press.
Kartanegara, Mulyadhi. (2007). Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons Terhadap Modenitas. Jakarta: Erlangga.
Sumardjo, Jakob. (2004). Hermeneutika Sunda: Simbol-simbol Babad Pakuan/Guru Gantangan. Kabupaten Bandung: Kelir.
______________. (2011). Sunda: Pola Rasionalitas Budaya. Kabupaten Bandung: Kelir
Wora, Emanuel. (2006). Perenialisme: Kritik atas Modernisme dan Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius.
Wamaen, Suwarsih dkk. (1987). Pandangan Hidup Orang Sunda: seperti tercermin dalam tradisi lisan dan sastra sunda. Bandung: Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung.
__________________. (1987). Pandangan Hidup Orang Sunda: seperti tercermin dalam tradisi lisan dan sastra sunda (Tahap II). Bandung: Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung.





[1] Mahasiswa Jurusan yang jarang diminati: Aqidah Filsafat, penyuka dan penikmat filsafat. Si Aku pun sedang merintis bisnis bersama dua orang manusia yang dikenalnya sewaktu Tsanawiyyah dan Muallimien.
[2] Sebetulnya hal ini merupakan kelanjutan dari paham materialisme. Mengapa bisa begitu? Karena, yang pada mulanya menjadi pusat realitas adalah Tuhan, digantikan posisinya oleh manusia. Alam tak lagi dipandang sebagai suatu anugrah yang diberikan oleh Tuhan, atau bukan manifestasi dari Tuhan yang patut untuk dijaga.
[3] Menurut Jakob, jalan menuju Tuhan dalam babad ini adalah melalui perbuatan, karena yang dilakukan oleh Guru Gantangan itu semacam karma yoga (yoga melalui perbuatan).
[4] Penulis maksudkan bahwa paham dualistik ini adalah sebagai indikasi pengakuan terhadap hal yang metafisis.
[5] Masih menurut Jakob, dengan struktur ini manusia berpikir, merasa dan berhasrat. Atau bisa kita katakan bahwa dalam struktur ini terdapat akal, rasa dan keputusan.
[6] Menurut Suwarsih Warnaen dkk, Lutung Kasarung merupakan lakon Sunda yang dianggap terkenal dan kuno. Teks asli tertulis dengan huruf Jawa oleh Argasasmita, yang disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Terkait waktu terciptanya karya ini tidak jelas, Warnaen dkk menyebutkan: “….dari isi cerita yang menyebutkan negara Pasir Batang anu girang (yang di hulu), dapat diperkirakan bahwa asal waktunya adalah sebelum agama Islam masuk ke Jawa barat. Karena itu masa Pajajaran, atau masa-masa sebelumnya adalah waktu dari penciptaan lakon Lutung Kasarung tersebut.”.
[7] Menurut Warnaen dkk, Sanghyang Siksa Kandang Karesian merupakan naskah berhuruf dan berbahasa Sunda kuno, tahun 1518 M. Terkait asal muasal teks, tidak ada keterangan yang menjelaskannya.
[8] Orang Sunda yang merujuk kepada naskah Sanghyang Siksa Kandang Keresian.
[9] Hasil terjemahan Suwarsih Warnaen dkk.
[10] Pandangan bahwa alam ini terbagi kepada alam fisik dan non-fisik tercantum pada roman Pangeran Kornel dan Mantri Jero, yang ditulis oleh R. Memed Sastrahadiprawira (Berdasarkan data yang diambil oleh Warnaen dkk).
[11] Rasiah Nu Goreng Patut (Karnadi Anemer Bangkong), oleh Yuhana berdasarkan cerita yang disampaikan oleh Sukria. Diterbitkan pertama kali oleh Dahlan Bekti, Bandung, 1928.  Sumber data yang diambil oleh Suwarsih Warnaen dkk diambil dari terbitan Rahmat Cijulang, Bandung, 1983.
[12] Hasil terjemahan Suwarsih Warnaen dkk.
[13] Mayit Dina Dahan Jengkol, data yang diambil oleh Warnaen dkk, ditulis oleh Ahmad Bakri, Pustaka Karsa Sunda, Bandung, 1986.
[14] Opcit.
[15] Cerita rakyat, yang dikutip Warnaen dkk, ini diambil dari Jilid I, yang ditulis oleh C.M. Pleyte, berisi kumpulan dongeng sebanyak 25 cerita. Cerita rakyat ini diterbitkan oleh Landsdrukkerij di Batavia, pada tahun 1911.
[16] Terjemahan Warnaen dkk.

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra