Penegak yang Belum Tegak
Baru saja umat Muslim dibahagiakan oleh
ritual tahunan yang senantiasa Tuhan berikan, yaitu Idul Fitri. Setelah satu
bulan menjalankan ibadah puasa, seluruh umat muslim pada hari itu dibersihkan dari
dosanya. Bahkan dikatakan sebersih kertas putih, atau sesuci bayi yang baru
lahir. Namun, kaget bukan kepalang ketika perayaan suci itu dinodai kerusuhan
yang terjadi di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua. Disebutkan di beberapa
media, insiden itu mengakibatkan terbakarnya sejumlah kios warga serta rumah
ibadah umat Muslim.
Terkait peristiwa itu, staf khusus Presiden
Indonesia, Lenis Kogoya, berpendapat bahwa di Papua jarang sekali terjadi
konflik berlatarbelakang agama. Bahkan ia menyebutkan tak pernah ada masalah
konflik agama (CNN Indonesia, 18/07/2015). Pernyataan itu mengindikasikan bahwa
masyarakat Papua selama ini dapat dikatakan toleran dalam hal beragama. Namun, mengapa
akhirnya peristiwa itu bisa teradi?
Surat Pemicu Konflik dan
Perda yang Diskriminatif
Salah satu jawaban yang sempat populer di
media adalah bahwa pemicu konflik di Tolikara ialah beredarnya surat edaran dari Sinode Gereja Injili di Indonesia
(GIDI), yang cenderung mendiskriminasi umat Muslim sebagai minoritas di sana. Surat
edaran itu berisi pembatasan dalam melaksanakan solat Idul Fitri (CNN
Indonesia, 18/07/2015). Tentunya, isi surat edaran itu pantas kita sebut salah,
karena melanggar hak asasi manusia dalam memilih dan mejalankan ibadah sesuai
kepercayaannya. Dan dalam bentuk apapun pembatasan terhadap ekspresi
keberagamaan harus dihilangkan, terlepas dari pembelaan penulis sebagai seorang
Muslim.
Ada suatu hal yang mesti kita ketahui
perihal rumah ibadah umat muslim. Sebagaimana pengakuan Bupati Tolikara Usman
G. Wanimbo (Majalah Tempo, 02/08/2015), bahwa di Tolikara terdapat Perda pelarangan
pembangunan masjid diwilayahnya. Perda ini sudah pernah disahkan oleh DPRD, tapi
masih belum selesai dalam mekanisme pengesahannya dari wilayah Menteri Dalam
Negeri. Sampai saat ia memberi pengakuan pada Tempo, belum ada proses lebih
lanjut terkait pengesahan Perda itu. Satu hal lagi yang mengagetkan adalah, bupati
Tolikara mengaku baru mengetahui keberadaan masjid di daerah tersebut pada sesaat
setelah terjadi insiden berdarah tersebut. Karena sebagaimana disebutkan
sebelumnya, di daerah ini berlaku Perda pelarangan pembangunan masjid.
Problem lain: Media dan
Aparat
Made Supriatma, dalam tulisannya yang berjudul
“Tolikara: licence to kill?”, menilai bahwa media-media yang memberitakan
insiden Tolikara hanya menyebutkan pembakaran rumah ibadah umat Muslim, yang tentu
berpotensi menyulut emosi umat Muslim dalam skala yang lebih luas (Indoprogress.com,
21/07/2015). Padahal, sebelum insiden pembakaran kios itu, ada peristiwa lain
yang mendahuluinya. Yakni meletusnya tembakan dari polisi ke arah para pemuda
GIDI yang hendak memperingatkan jamaah solat Id agar tidak menggunakan pengeras
suara. Insiden penembakan itu memakan satu korban jiwa. Jika memang demikian, pemberitaan
media turut menjadi faktor tersulutnya emosi umat Muslim.
Selain persoalan media, rasanya peran
aparat perlu kita bahas juga. Dalam surat edaran itu, jika kita cermati, di
pojok bawahnya tertuang tembusan ke pihak kepolisian. Menanggapi surat edaran
itu, pihak aparat lantas mengetahui apa dampak (kerusuhan) yang yang akan
terjadi. Umat Islam Tolikara pun menemui Kapolres Tolikara terkait surat yang
meresahkan itu, lalu kapolres menghubungi bupati, lalu bupati menghubungi
Presiden GIDI untuk meralat surat edaran tersebut. Usulan itu pun diterima
disusul dengan perintah Bupati kepada Kapolres, agar pelaksanaan solat Id
dilakukan di musala. Menanggapi keresahan umat Muslim, Bupati Tolikara dan
Presiden GIDI memberi jaminan bahwa umat Islam dapat melalaksanakan solat Id,
dengan catatan mesti dilaksanakan di musala dan tidak menggunakan pengeras
suara. Sebagai bentuk kesepahaman antara Muslim dan Kristen, lalu dipotong dua
ekor sapi untuk kedua belah pihak. Kembali kepada pembahasan surat. Ternyata,
surat yang diminta untuk diralat itu tiba kepada pihak Kapolres dan Bupati
dalam waktu yang lambat, bahkan Bupati menerima surat itu sehari setelah
insiden terjadi (Majalah Tempo, 02/08/2015).
Patut digarisbawahi bahwa kepolisian
dalam hal ini terhitung lalai dalam mengantisipasi terjadinya kerusuhan. Pertama, Bupati Tolikara telah
menyarankan kepada pihak aparat, agar solat Id dilaksanakan di musala, namun
pihak aparat tidak melaksanakan usulan tersebut. Kedua, sebagaimana disebutkan dalam paragraf sebelumnya, pihak
aparat sudah ‘semena-mena’ melepaskan tembakan pada para pemuda GIDI, meskipun tidak
menutup kemungkinan tembakan tersebut merupakan tembakan peringatan. Namun,
bagaimana mungkin tembakan peringatan melesat kepada para demonstran? Atau
tembakan itu merupakan ketidaksengajaan? Jika memang tak disengaja, bagaimana
mungkin ketaksengajaan itu berhasil merobohkan sebelas orang?
Jangan-jangan, penembakan terhadap para
pemuda GIDI yang hendak menegur penggunaan speaker itu, disengaja oleh pihak
kepolisian. Karena menurut Made Supriatma, dalam artikel yang sama, Karubaga
dan seluruh daerah Pegunungan Tengah Papua adalah wilayah gerilyawan kemerdekaan
Papua paling aktif. Di sana kerap terjadi permbunuhan ekstra-yudisial oleh
aparat kepolisian dan tentara. Fakta demikian, menjadi sedikit gambaran
mengenai pendekatan militerisktik yang diterapkan di kebanyakan wilayah Papua.
Penembakan terhadap pemuda GIDI yang
dilakukan aparat waktu itu, menurut Made Supriatma, dapat membawa kita pada
kesimpulan bahwa kerusuhan di Karubaga, Kabupaten Tolikara, bukan murni semata-mata
berlatar belakang agama. Bisa jadi, kerusuhan itu merupakan bagian dari bentuk
kekecewaan sekelompok masyarakat setempat atas tindakan militeristik Polres
Karubaga.
Menguatkan pendapat Made Supriatma, Zely
Ariane, Koordinator National Papua Solidarity (NAPAS), turut berkomentar
mengenai insiden di karubaga itu. Dalam tulisan di bawah judul Pasca Drama Tolikara (Indoprogress.com,
27/07/2015), Zely menulis bahwa di
Papua perlakuan brutal oleh aparat keamanan seperti penembakan dan penyiksaan
‘dianggap wajar’. Misalnya, insiden
Jerry Nawipa yang ditembak di dada oleh polisi, hanya karena cekcok saat makan
bakso. Atau kejadian yang menimpa Roby Erik Pekey yang ditembak tiga kali di
kaki hanya karena ‘nampak’ seperti pencuri, dan beberapa insiden-insiden lain.
Menyemai Harapan, Menuju
Solusi
Di tengah kontradiksi peran aparat
keamanan—yang mestinya melindungi masyarakat, tapi di Tolikara kenyataannya
lain—sebagai warga negara kita diharuskan tetap bisa menyemai harapan di ladang
ketidakpercayaan. Kita masih bisa berharap agar aparat dapat menjamin hak-hak
minoritas (di mana pun) sekaligus menghentikan pendekatan militeristik di tanah
Papua.
Konstitusi negara kita sudah jelas
menjamin setiap penduduknya untuk memilih dan menjalankan ibadah sesuai
keyakinnya serta terhindar dari tindakan diskriminatif. Untuk yang pertama kita
dapat membaca UUD 1945, pasal 28 E ayat 1. Di sana tertulis: “Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Untuk yang kedua, jaminan itu terdapat
dalam undang-undang yang sama (UUD 1945), pasal 28 I ayat 2: “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan
yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Terkait Perda pelarangan pembangunan
rumah ibadah, serta surat yang menyebutkan mengenai pembatasan ekspresi
beragama, peraturan tersebut jelas sudah melanggar UUD 1945, pasal 29 ayat (2)
yang berbunyi: “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Penulis berharap, kita umat Muslim tidak mudah
tersulut emosi ketika menangapi suatu insiden atau peristiwa. Kita mesti bisa
melihat suatu peristiwa dengan pandangan jernih dan pikiran yang sehat. Nilai
kemanusiaan yang universal mesti dikedepankan. Bersikap empati terhadap umat
Muslim di Tolikara, tidaklah salah. Tapi, kita tidak boleh menutup mata ketika
saudara-saudara kita di tempat lain, mengalami tindakan diskriminatif, atau
terenggut haknya untuk bebas memilih keyakinan dan menjalankan ibadahnya. Bagaimana
sikap kita terhadap peristiwa penyegelan rumah ibadah umat Kristen dan
Ahmadiyyah yang banyak diberitakan? Apakah kita peduli atau malah membiarkan?
Kepedulian terhadap kemanusiaan kita patut dipertanyakan.
[1]
Penulis adalah mahasiswa Aqidah Filsafat Semester 4, aktif di UKM LPIK
sekaligus manajer II bisnis busana KlugClothes. Dan penulis tidak senang
menyebutkan mengenai tulisan-tulisannya yang dimuat di media, karena penulis
tidak sombong.
Comments
Post a Comment