Penegak yang Belum Tegak

Gambar diambil dari: sunlightfoundation.com

Oleh: Raja Cahaya Islam[1]

Baru saja umat Muslim dibahagiakan oleh ritual tahunan yang senantiasa Tuhan berikan, yaitu Idul Fitri. Setelah satu bulan menjalankan ibadah puasa, seluruh umat muslim pada hari itu dibersihkan dari dosanya. Bahkan dikatakan sebersih kertas putih, atau sesuci bayi yang baru lahir. Namun, kaget bukan kepalang ketika perayaan suci itu dinodai kerusuhan yang terjadi di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua. Disebutkan di beberapa media, insiden itu mengakibatkan terbakarnya sejumlah kios warga serta rumah ibadah umat Muslim.
Terkait peristiwa itu, staf khusus Presiden Indonesia, Lenis Kogoya, berpendapat bahwa di Papua jarang sekali terjadi konflik berlatarbelakang agama. Bahkan ia menyebutkan tak pernah ada masalah konflik agama (CNN Indonesia, 18/07/2015). Pernyataan itu mengindikasikan bahwa masyarakat Papua selama ini dapat dikatakan toleran dalam hal beragama. Namun, mengapa akhirnya peristiwa itu bisa teradi?
Surat Pemicu Konflik dan Perda yang Diskriminatif
Salah satu jawaban yang sempat populer di media adalah bahwa pemicu konflik di Tolikara ialah beredarnya surat edaran dari Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI), yang cenderung mendiskriminasi umat Muslim sebagai minoritas di sana. Surat edaran itu berisi pembatasan dalam melaksanakan solat Idul Fitri (CNN Indonesia, 18/07/2015). Tentunya, isi surat edaran itu pantas kita sebut salah, karena melanggar hak asasi manusia dalam memilih dan mejalankan ibadah sesuai kepercayaannya. Dan dalam bentuk apapun pembatasan terhadap ekspresi keberagamaan harus dihilangkan, terlepas dari pembelaan penulis sebagai seorang Muslim.
Ada suatu hal yang mesti kita ketahui perihal rumah ibadah umat muslim. Sebagaimana pengakuan Bupati Tolikara Usman G. Wanimbo (Majalah Tempo, 02/08/2015), bahwa di Tolikara terdapat Perda pelarangan pembangunan masjid diwilayahnya. Perda ini sudah pernah disahkan oleh DPRD, tapi masih belum selesai dalam mekanisme pengesahannya dari wilayah Menteri Dalam Negeri. Sampai saat ia memberi pengakuan pada Tempo, belum ada proses lebih lanjut terkait pengesahan Perda itu. Satu hal lagi yang mengagetkan adalah, bupati Tolikara mengaku baru mengetahui keberadaan masjid di daerah tersebut pada sesaat setelah terjadi insiden berdarah tersebut. Karena sebagaimana disebutkan sebelumnya, di daerah ini berlaku Perda pelarangan pembangunan masjid.
Problem lain: Media dan Aparat
Made Supriatma, dalam tulisannya yang berjudul “Tolikara: licence to kill?”, menilai bahwa media-media yang memberitakan insiden Tolikara hanya menyebutkan pembakaran rumah ibadah umat Muslim, yang tentu berpotensi menyulut emosi umat Muslim dalam skala yang lebih luas (Indoprogress.com, 21/07/2015). Padahal, sebelum insiden pembakaran kios itu, ada peristiwa lain yang mendahuluinya. Yakni meletusnya tembakan dari polisi ke arah para pemuda GIDI yang hendak memperingatkan jamaah solat Id agar tidak menggunakan pengeras suara. Insiden penembakan itu memakan satu korban jiwa. Jika memang demikian, pemberitaan media turut menjadi faktor tersulutnya emosi umat Muslim.
Selain persoalan media, rasanya peran aparat perlu kita bahas juga. Dalam surat edaran itu, jika kita cermati, di pojok bawahnya tertuang tembusan ke pihak kepolisian. Menanggapi surat edaran itu, pihak aparat lantas mengetahui apa dampak (kerusuhan) yang yang akan terjadi. Umat Islam Tolikara pun menemui Kapolres Tolikara terkait surat yang meresahkan itu, lalu kapolres menghubungi bupati, lalu bupati menghubungi Presiden GIDI untuk meralat surat edaran tersebut. Usulan itu pun diterima disusul dengan perintah Bupati kepada Kapolres, agar pelaksanaan solat Id dilakukan di musala. Menanggapi keresahan umat Muslim, Bupati Tolikara dan Presiden GIDI memberi jaminan bahwa umat Islam dapat melalaksanakan solat Id, dengan catatan mesti dilaksanakan di musala dan tidak menggunakan pengeras suara. Sebagai bentuk kesepahaman antara Muslim dan Kristen, lalu dipotong dua ekor sapi untuk kedua belah pihak. Kembali kepada pembahasan surat. Ternyata, surat yang diminta untuk diralat itu tiba kepada pihak Kapolres dan Bupati dalam waktu yang lambat, bahkan Bupati menerima surat itu sehari setelah insiden terjadi (Majalah Tempo, 02/08/2015).
Patut digarisbawahi bahwa kepolisian dalam hal ini terhitung lalai dalam mengantisipasi terjadinya kerusuhan. Pertama, Bupati Tolikara telah menyarankan kepada pihak aparat, agar solat Id dilaksanakan di musala, namun pihak aparat tidak melaksanakan usulan tersebut. Kedua, sebagaimana disebutkan dalam paragraf sebelumnya, pihak aparat sudah ‘semena-mena’ melepaskan tembakan pada para pemuda GIDI, meskipun tidak menutup kemungkinan tembakan tersebut merupakan tembakan peringatan. Namun, bagaimana mungkin tembakan peringatan melesat kepada para demonstran? Atau tembakan itu merupakan ketidaksengajaan? Jika memang tak disengaja, bagaimana mungkin ketaksengajaan itu berhasil merobohkan sebelas orang?
Jangan-jangan, penembakan terhadap para pemuda GIDI yang hendak menegur penggunaan speaker itu, disengaja oleh pihak kepolisian. Karena menurut Made Supriatma, dalam artikel yang sama, Karubaga dan seluruh daerah Pegunungan Tengah Papua adalah wilayah gerilyawan kemerdekaan Papua paling aktif. Di sana kerap terjadi permbunuhan ekstra-yudisial oleh aparat kepolisian dan tentara. Fakta demikian, menjadi sedikit gambaran mengenai pendekatan militerisktik yang diterapkan di kebanyakan wilayah Papua.
Penembakan terhadap pemuda GIDI yang dilakukan aparat waktu itu, menurut Made Supriatma, dapat membawa kita pada kesimpulan bahwa kerusuhan di Karubaga, Kabupaten Tolikara, bukan murni semata-mata berlatar belakang agama. Bisa jadi, kerusuhan itu merupakan bagian dari bentuk kekecewaan sekelompok masyarakat setempat atas tindakan militeristik Polres Karubaga.
Menguatkan pendapat Made Supriatma, Zely Ariane, Koordinator National Papua Solidarity (NAPAS), turut berkomentar mengenai insiden di karubaga itu. Dalam tulisan di bawah judul Pasca Drama Tolikara (Indoprogress.com, 27/07/2015), Zely menulis bahwa  di Papua perlakuan brutal oleh aparat keamanan seperti penembakan dan penyiksaan ‘dianggap wajar’.  Misalnya, insiden Jerry Nawipa yang ditembak di dada oleh polisi, hanya karena cekcok saat makan bakso. Atau kejadian yang menimpa Roby Erik Pekey yang ditembak tiga kali di kaki hanya karena ‘nampak’ seperti pencuri, dan beberapa insiden-insiden lain.
Menyemai Harapan, Menuju Solusi
Di tengah kontradiksi peran aparat keamanan—yang mestinya melindungi masyarakat, tapi di Tolikara kenyataannya lain—sebagai warga negara kita diharuskan tetap bisa menyemai harapan di ladang ketidakpercayaan. Kita masih bisa berharap agar aparat dapat menjamin hak-hak minoritas (di mana pun) sekaligus menghentikan pendekatan militeristik di tanah Papua.
Konstitusi negara kita sudah jelas menjamin setiap penduduknya untuk memilih dan menjalankan ibadah sesuai keyakinnya serta terhindar dari tindakan diskriminatif. Untuk yang pertama kita dapat membaca UUD 1945, pasal 28 E ayat 1. Di sana tertulis: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Untuk yang kedua, jaminan itu terdapat dalam undang-undang yang sama (UUD 1945), pasal 28 I ayat 2: “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Terkait Perda pelarangan pembangunan rumah ibadah, serta surat yang menyebutkan mengenai pembatasan ekspresi beragama, peraturan tersebut jelas sudah melanggar UUD 1945, pasal 29 ayat (2) yang berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Penulis berharap, kita umat Muslim tidak mudah tersulut emosi ketika menangapi suatu insiden atau peristiwa. Kita mesti bisa melihat suatu peristiwa dengan pandangan jernih dan pikiran yang sehat. Nilai kemanusiaan yang universal mesti dikedepankan. Bersikap empati terhadap umat Muslim di Tolikara, tidaklah salah. Tapi, kita tidak boleh menutup mata ketika saudara-saudara kita di tempat lain, mengalami tindakan diskriminatif, atau terenggut haknya untuk bebas memilih keyakinan dan menjalankan ibadahnya. Bagaimana sikap kita terhadap peristiwa penyegelan rumah ibadah umat Kristen dan Ahmadiyyah yang banyak diberitakan? Apakah kita peduli atau malah membiarkan? Kepedulian terhadap kemanusiaan kita patut dipertanyakan.




[1] Penulis adalah mahasiswa Aqidah Filsafat Semester 4, aktif di UKM LPIK sekaligus manajer II bisnis busana KlugClothes. Dan penulis tidak senang menyebutkan mengenai tulisan-tulisannya yang dimuat di media, karena penulis tidak sombong.

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra