Pengendali Kepercayaan

Oleh: Raja Cahaya Islam
Gambar diambil dari: understandingrelationships.com
“Apa kau pernah memiliki seorang musuh?” ucap seorang pria sambil memegang janggutnya yang putih.
“Tentu saja” jawab seorang pria yang mengenakan sweater.
“Apakah kau pernah berpikir untuk menghilangkannya dari muka bumi?” pria tua itu berjalan menuju bangku taman.
“Apa maksudmu?”
“Maksudku, apakah kau pernah berniat untuk mengalahkannya?”
Jarak antara pria tua itu hanya berjarak 1 meter dari Jean. Ia tidak bergerak sama sekali dari tempat ia berdiri. Taman begitu sepi di sore hari. Mobil terlihat lalu lalang dari tempatnya berdiri. Gedung-gedung memantulkan cahaya berwarna jingga. Burung merpati terbang ke arah Barat, bergerombol di atas kepala dua orang pria yang bercakap-cakap mengenai musuh.
“Tunggu, apakah musuh diciptakan untuk dikalahkan?” Jean menyandarkan tubuhnya di pohon. Memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana jeansnya.
Pria tua itu menyilangkan kedua kakinya, sambil menyerengeh.
“Apakah kau mencoba mengujiku nak?”
“Tidak, maksudku, apakah mereka diciptakan untuk dihilangkan? Lalu, apakah musuh itu bisa untuk ditiadakan?”
“Aku tahu maksudmu nak, aku benar-benar paham apa maksudmu”
***
“Dasar berengsek” hardik Jean pada musuhnya.
Hari ini, terik matahari begitu menusuk kulit Jean. Aspal hitam pun terlihat bergelombang. Biasanya kami menyebutnya, efek fatamorgana. Lapangan basket begitu panas, tak ada yang memayungi mereka berdua, bahkan awan pun sepertinya tak sudi memayungi mereka.
Entah mengapa, Jean begitu marah kepada musuhnya. Tepatnya, teman sekelasnya di kampus. Mereka baru saja bertaruh mengenai siapa sebenarnya Dewa yang paling berkuasa di dunia ini. Dunia yang ditinggali oleh Fred dan musuhnya, adalah tempat para Dewa berkuasa. Para Dewa itu muncul, berkat sekelompok orang yang memikirkannya. Jadi ketika seseorang memikirkan seorang Dewa, maka Dewa itu akan muncul. Apakah Dewa itu jahat atau tidak, tergantung dari manusia yang memikirkannya. Manusia lah yang menciptakan para Dewa, sehingga rupa dan kekuatan mereka tergantung pada siapa yang memikirkan Dewa tersebut. Para Dewa akan bertempur dan saling membunuh jika pencipta mereka menghendakinya. Namun, para Dewa tak pernah mengganggu umat manusia. Hanya manusialah yang saling bertempur, demi membela Dewa-dewa mereka. Kemenangan seorang Dewa merupakan kebanggaan bagi sang pencipta, dan kebanggaan itulah yang diinginkan seorang manusia.
“Memang kenyataannya dewa Arkhe lah yang paling berkuasa” Dewa Arkhe merupakan pujaan bangsa Z, pentiptanya adalah Kronos. Mulanya dewa Arkhe merupakan yang biasa-biasa saja, hingga Kronos memenangkan setiap pertarungan dengan para pencipta dewa lainnya.  Kemenangan merupakan tanda datangnya pemujaan dari masyarakat. Musuh dari Jean merupakan penganut dewa Arkhe.
“Apa kau buta? Dewa Zara merupakan dewa yang lebih berkuasa dan lebih benar. Ia lah sang Maha Benar, tak ada dewa lain yang mampu menyamainya, Ia tak ada duanya.” Begitupun dewa yang dianut oleh Jean ini. Dewa Jean diciptakan oleh Levine, nasibnya pun mirip dengan dewa Arkhe.
“Justru kau yang buta” teriak musuh Jean.
Tinju pun melayang di rahang musuh Jean. Musuh Jean tersungkur tak berdaya. Jean menatapnya dengan geram, ia melihat gigi musuhnya berdarah. Tangan Jean masih mengeapal. Kepalanya seolah terbakar tersulut api matahari yang menyorot. Pesawat terbang melayang di atas mereka, memberi sedikit keteduhan akibat bayangnnya. Amarahnya agak reda ketika, Jean melihat temannya terseok-seok. Mungkin tak tega. Lantas Jean pergi.
***
“Pembunuhan terjadi di negara L, korban diduga dibunuh oleh sekelompok orang yang hendak ingin mendirikan negara dewa Laras. Mereka mengancam akan memperbanyak korban, sebagai tuntutan kepada pemerintah negara L untuk menurunkan dewa Proton. Kelompok ini menamakan dirinya sebagai penegak negara dewa Laras. Mereka ingin menegakkan hukum-hukum dari dewa Laras sebagai landasan seluruh negara. Invasi mereka tak akan berhenti jika kota L dikuasai, mereka akan melebarkan sayap mereka ke berbagai negara…” reporter TV Dua, sedang melaporkan kembali pemberontakan golongan separatis. Tak sengaja Jean menyimak berita ketika ia sedang menyeduh secangkir kopi. Volume TV sengaja ia keraskan agar terdengar sampai ke dapur.
Jean berjalan ke kamarnya, duduk di depan laptonya, sambil mengambil beberapa batang rokok di laci meja. Asap mengepul ke langit-langit kamarnya dan melesat menuju jendela yang terbuka. Gorden jendela berwarna merah bergoyang-goyang terkena angin. Langit selalu cerah di hari sabtu, awan putih terlihat jelas hari ini. Handphone Jean berdering.
“Siapa?”
Tak ada suara yang menjawab. Ia langsung menutup telfonnya, dan mulai membaca artikel di Internet yang baru saja ia buka. Foto dewa Laras terpampang di layar laptopnya. Ia tampak seperti pria tua. Tak ada rambut sehelaipun di kepalanya. Sorot matanya tajam, garis keriput sangat kentara di jidatnya. Janggut putihnya menjuntai panjang, kurang lebih 7cm. Kumisnya menyatu dengan janggutnya. Jean langsung teringat dengan Leo Tolstoy, perawakannya mirip dengan sastrawan terkenal itu. Ia mengenakan sehelai kain berwarna putih yang menutupi seluruh tubuhnya.
Di dalam artikel itu disebutkan, pencipta dewa Laras tak pernah diketahui. Konon, penciptanya dibunuh olehnya. Terlintas dipikiran Jean, bagaimana mungkin seorang dewa lepas dari penciptanya, ia baru mendengarnya. Ia merupakan dewa yang banyak dipuja oleh banyak orang, terkhusus oleh kalangan separatis yang baru saja Jean dengar di berita televisi.
Sayangnya, artikel pertama yang dibaca oleh Jean, tak begitu jelas menggambarkan sesosok dewa Laras. Lantas ia mencari artikel lainnya, karena penasaran dengan dewa pujaan para pemberontak itu. Setelah 3 menit mencari, ia menemukan artikel lainnya yang menyebutkan, bahwa pencipta dewa Laras memang ada. Jadi, berita yang menyebutkan dewa Laras terlepas dari tangan penciptanya merupakan berita palsu. Penciptanya bernama Thomas. Menurut kesaksiannya, ia ingin membebaskan seluruh manusia di dunia ini, dari dewa-dewa yang menguasai setiap negara. Karena baginya, dewa-dewa itu tak pantas menguasai berbagai negara. Dia lah sang utusan kebenaran yang pantas meduduki seluruh dunia. Hukum-hukum yang ditegakkan oleh para dewa lainnya merupakan hukum yang menyimpang. Maka dari itu mesti diperangi.
Jean menutup layar laptopnya, lalu bergegas pergi ke taman kota untuk menikmati sore yang cerah. Ia hendak melepaskan penat dari segala berita yang ia lahap barusan. Di dalam taksi, ia melihat layar handphonenya. Berita terbaru muncul. Terjadi ledakan bom bunuh diri di negara B. Pelakunya diduga merupakan anggota dari penegak negara dewa Laras. Letak ledakan terjadi di lima tempat. Evakuasi sedang dilancarkan untuk membawa para korban luka-luka ke rumah sakit. Terdapat lima puluh korban jiwa yang raib ditelan keganasan ledakan tersebut. Jean langsung menyimpan handphonenya ke dalam saku celananya.
Taman begitu sepi hari ini. Ia berjalan menyusuri taman yang ditumbuhi oleh banyak rumut hijau disekitarnya, pohon-pohon tinggi yang rindang memayungi jalan setapak yang dilewati Jean. Di kejauhan ia melihat seorang pria tua yang sedang berdiri di dekat patung batu tentara. Jean tidak menghampirinya, ia terus berjalan dan bersandar di bawah pohon yang bersebelahan dengan kursi taman, yang tak jauh dari patung tersebut.
Ia melihat layar handphonenya kembali. Tak lama kemudian, pria tua itu menghampirinya dan berbasa-basi dengannya. Mereka berbincang mengenai suasana taman, kondisi kota, dan terakhir berbicara mengenai musuh, terkhusus dewa yang bermusuhan.
“Aku tahu maksudmu nak, aku benar-benar paham apa maksudmu”
Mereka diam sejenak, lalu pria tua itu melanjutkan.
“Apakah kau percaya permusuhan yang sedang terjadi disebabkan oleh para dewa yang kita puja?”
“Aku tak bisa memutuskan” jawab Jean nanar.
“Bagiku, para dewa sebenarnya tidak berhasrat ingin membunuh satu sama lain. Karena mereka hanya mainan bagi manusia. Kebanggaan, itu yang dicari oleh manusia, lewat para dewa. Atau jangan-jangan, manusia sama sekali tak memiliki motivasi yang begitu signifikan, tapi mereka hanya ingin memusnahkan perbedaan.”
“Lalu apa hubungannya dengan musuh yang mesti dihilangkan?”
“Kau terlalu poros nak” pria tua itu berdiri dari kursinya. Ia mendekati Jean, dan memagang pundak kanannya.
“Bukan pujaan atau kepercayaan yang mesti mengendalikan kita. Tapi kita yang mesti mengendalikan kepercayaan.” pria tua itu pun pergi. Jean pun duduk di kursi yang diduduki oleh pria tua tersebut, memikirkan apa yang dikatakannya.

“Rasanya ia mirip Leo Tolstoy” gumamnya dalam hati.

TAMAT

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra