Percik Pemikiran Hegel

Gambar diambil dari: Google.com

Oleh: Raja Cahaya Islam

Riwayat Hegel
George Wilhelm Friedrich Hegel lahir di Stuttgart, Jerman, tahun 1770. Ia belajar teologi dan filsafat di Tubingen. Selama beberapa tahun, Hegel bekerja sebagai dosen pribadi, tapi berkat mendapatkan suatu warisan ia menlanjutkan studinya di Jena, dimana ia menjadi dosen Filsafat. Waktu Jena dikuasai oleh Napoleon pada tahun 1806, Hegel melarikan diri ke Nurnberg, dimana ia menjadi rektor Gymnasium. Tahun 1817 Hegel diundang untuk menjadi guru besar di Heidelberg dan di Berlin di tahun berikutnya. Hegel bahkan dijuluki sebagai “professor professorum” karena ia begitu terkenal. Mahasiswa dari berbagai tempat datang untuk mendengarkan kuliahnya. Pada tahun 1831 ia meninggal di Berlin (Harmesma, 1992: 39-40).
Karya-karya Hegel
1801: Differenz des Fichteschen und Schellingschen Systems der Philosophie (Hardiman, 2007: 173); 1807: Phanomenologie des Geistes (Fenomenologi Roh); 1812-1816: Wissenschafr der Logik (Ilmu Logika); 1817: Enzyklopaedie der philosophischen Wissenschaften; 1821: Grundlinien der Philosophie des Rechts (Garis-garis dasar filsafat hukum) (Hamersma, 1992: 40).
Pemikiran Hegel
A.     Idealisme Mutlak
Jika kita menengok ke dalam pemikiran Immanuel Kant, kita akan mendapati bahwa pengetahuan manusia itu terbatas. Dalam artian manusia hanya bisa menangkap fenomena-fenomena, sedangkan objek an sich tak akan dapat diketahui. Karena manusia (baca: subjek) memiliki kategori-kategori yang terdapat di dalam akal-budi untuk mengorganisir hasil dari cerapan indra (Hamersma, 1992: 40).
Lain halnya dengan Kant, Hegel berpendapat bahwa objek an sich dapat diatasi. Segala sesuatu dapat diketahui. Hamersma menyebutkan, sesudah Hegel filsafat tidak lagi dipahami sebagai philosophia, dalam arti cinta kebijaksanaan, namun filsafat telah dipahami sebagai sophia, yaitu kebijaksanaan atau pengetahuan. karena tujuan filsafat telah dicapai oleh Hegel, sebagaimana dari klaim Hegel sendiri yang menyatakan bahwa sistem filsafatnya merupakan puncak akhir dari filsafat Barat, ia meyakini bahwa semua pertanyaan dari semua zaman telah dijawab olehnya. Sistem Hegel merupakan sebuah sintesis sejarah filsafat, dan secara khusus sebagai sintesis dari kedua filosof sebelum Hegel, yaitu Schelling dan Fichte. Pemikrian Schelling disebut idealisme objektif, sedangkan pemikiran Fichte disebut sebagai idealisme subjektif, dan kedua pemikiran filsafat itu disatukan di idealisme mutlak, yaitu filsafat Hegel (Hamersma, 1992: 40).
B.     Yang Absolut
Titik tolak dari filsafat Hegel adalah Yang Absolut, ia memahami Yang Absolut sebagai sebuah totalitas dari seluruh kenyataan, dan kenyataan dipahami Hegel sebagai suatu proses. Yang Absolut tidak hanya dipahami sebagai suatu proses, namun Ia merupakan tujuan itu sendiri. Hegel memberitahu, bahwa Yang Absolut merupakan subjek, jika Ia berstatus subjek maka mesti ada objeknya, maka dari itu yang menjadi objeknya adalah dirinya sendiri. dengan kata lain Yang Absolut itu adalah Roh. Karena ia menyadari dirinya sendiri, oleh karena itu Hegel memahami realitas sebagai proses refleks diri, dimana Yang Absolut menyadari dirinya sendiri (Hardiman, 2007: 178-179).
Proses menemukan diri ini terjadi di dalam kesadaran manusia. Kesadaran membutuhkan yang lainya, agar ia dapat menyadari dirinya sendiri, oleh karena itu Yang Absolut mengalienasi diri atau mengobjektifikasi diri di dalam Alam. Di dalam kesadaran manusia tersebut Yang Absolut mengatasi alienasi dirinya sehingga ia mengenal dirinya kembali. Dengan begitu, seluruh refleksi filosofis atau pengetahuan manusia merupakan proses Yang Absolut menyadari dirinya. Hegel pun menyebut Yang Absolut itu sebagai Idea, Logos dan Rasio. Namun ketiga sebutan itu jangan dipahami sebagai pikiran individual, tapi mesti dipahami sebagai realitas yang menyadari dirinya sendiri, dalam rumusannya ini terkenal suatu adagium dari Hegel yaitu: “Semua yang rasional itu riil dan yang riil itu rasional” (Hardiman, 2007: 178-180).
C.     Dialektika Hegel
 Bagi Hegel tak ada dari setiap bidang realitas yang bersifat eksklusif, namun semuanya saling terkait. Keterkaitan itu termanifestasi dari penyangkalan dan pembenaran, dan inilah yang dimaksud dengan Dialektika Hegel. Dialektika terdiri dari tesis, antitesis dan sintesis. Namun ketiga elemen dialektika tersebut jangan dipahami hanya sebatas rangkaian yang terpisah, namun ketiganya merupakan suatu kesatuan. Perlu diketahui pula, bahwa setiap penyangkalan bukan berarti menghilangkannya sehingga lenyap, namun mesti dipahami sebagai penegasian terhadap sesuatu yang salah, sehingga sisi-sisi yang benar—dari yang salah tersebut—diakomodir menuju suatu kesatuan yang ‘lebih benar’, dalam artian dipertahankan. Hegel menyebut penyangkalan tersebut sebagai aufheben. Kata ini menurut Franz Magnis Suseno bermakna: penyangkalan, penyimpanan dan mengangkat. Franz menambahkan, struktur dari dialektika ini tidak bisa dipahami secara triadik: tesis-antitesis-sintesis, namun mesti dipahami berstruktur dua: tesis-antitesis-antitesis antitesisnya dan begitu seterusnya. Kesadaran akan dialektika total yang menyatu di puncak filsafat itulah yang disebut sebagai pengetahuan Absolut (Suseno, 2000: 60-62).
Bisa dibilang dialektika Hegel ini merupakan suatu metode dari bangunan filsafat Hegel, karena disetiap pemikiran filsafatnya—yang akan dijabarkan selanjutnya—berciri dialektis. Perlu digaris bawahi bahwa Hegel tidak membatasi dialetika ini hanya pada wilayah pengetahuan, namun realitas bagi Hegel pun berdialektika, dalam artian realitas senantiasa saling menyangkal demi menuju sesuatu yang lebih tinggi derajatnya.
D.     Fenomenologi Roh
Dalam buku Phanomenologie des Geistes, Hegel menjabarkan mengenai kesadaran manusia yang bermula dari tahap paling rendah ke tahap yang paling tinggi. Mesti diingat bahwa kesadaran manusia bagi Hegel merupakan pengenalan diri dari Yang Absolut. Pengetahuan manusia ini dimulai dari pengetahuan yang terbatas menuju pengetahuan Absolut. Hegel menjabarkannya melalui tiga tahap: Pertama, pada tahap pertama kesadaran Hegel berdasar pada apa yang disebutnya sebagai ‘kepastian indrawi’. Pada tahap ini objek-objek indrawi berdiri di luar subjek sehingga menciptakan kesadaran. Bagi Hegel pengetahuan ini meskipun tahap paling rendah, namun memberikan suatu pengetahuan yang kaya. Untuk mencapai suatu pengetahuan Absolut, seorang subjek mesti melampui pengetahuan terindra menuju pengetahuan yang mendasarkan diri pada hal yang berada dibelakang fenomena, Hegel menyebutnya metafenomena. Dan sesuatu yang berada di balik fenomena inilah yang disebut Hegel sebagai kesadaran diri (Hardiman, 2007: 182-183).
Kedua, pada tahap ini Hegel bertolak dari apa yang ia sebut sebagai ‘hasrat’. Maksudnya, objek kesadaran mulai disadari sebagai objek, karena subjek menguasai dan menikmatinya demi kepentingannya. Bagi Hegel, pada tahap ini kesadaran tersebut dibatasi oleh kesadaran yang lain. Perkembangan kesadaran terjadi disini, karena kesadaran tidak hanya mengenal dirinya namun ia mengenal dirinya di dalam kesadaran yang lain. Bahkan kesadaran atas yang lain inilah yang dapat menimbulkan kesadaran diri manusiawi. Hegel menggambarkan tahap kedua kesadaran ini dengan gambaran tuan dan budak. Tuan mengenal dirinya dan mengukuhkan ‘dirinya’ dengan melaksanakan keinginannya kepada seorang budak, namun ia sebenarnya kesadarannya telah merosot kepada kesadaran non-manusiawi karena ia berpijak pada apa yang Hegel sebut sebagai ‘hasrat’. Namun berbeda kondisinya dengan budak, seorang budak mengenali dirinya melalui kesadaran yang lain (baca: tuan), dengan mengerjakan kehendak tuan dari hasil kerjanya, sehingga ia menjadi tuan bagi alam. Disinilah terdapat kontradiksi (Hardiman, 2007: 183-184).
Ketiga, dari kontradiksi pada tahap kedua, maka keduanya didamaikan pada Rasio sebagai kesadaran tahap ketiga. Disini kontradiksi tadi terjadilah sintesis antara keduanya. Sehingga muncullah kesadaran akan universalitas, yang mengatasi kesadaran dengan kesadaran yang lain. Kesaran universalitas ini tak lain dari Roh yang menyadari dirinya sendiri (Hardiman, 2007: 185).
E.     Logika
Logika yang dimaksud oleh Hegel, tidak bisa hanya dipahami sebagai asas-asas dari berpikir benar, namun yang dimaksud oleh Hegel adalah metafisika. Mengapa? Karena Hegel mendasarkan diri bahwa Yang Absolut merupakan Pikiran Absolut, maka ilmu tentang pikiran merupakan ilmu tentang ralitas atau Yang Absolut. Pada bagian pertama Hegel berbicara tentang kategori realitas, bagian ini disebut pula sebagai logika ada. Bagi Hegel realitas adalah ada yang Absolut. Ada baru bisa dipahami jika terdapat ketiadaan, pikiran akan bergerak menuju ada ke ketiadaan, lalu kembali kepada ada, sehingga munculah menjadi. Bagi Hegel, Yang Absolut merupakan ada sebagai menjadi, dengan kata lain realitas adalah kemenjadian; pada bagian kedua, Hegel berbicara mengenai logika hakikat, yang dimaksud oleh Hegel adalah kategori kesadaran (Roh Absolut yang menyadari dirinya) yang melampaui penampakan indrawi. Seperti: kategori hakikat (sesuatu dibalik penampakan), daya (ekspresi dari realitas), substansi, sebab, akibat, aksi, reaksi dll. Kategori-kategori ini bersifat kontradiksi. Lanjut Hegel, semua ini merupakan kesadaran akan Yang Absolut sebagai substansi dan sebab satu-satunya dari realitas (Hardiman, 2007: 186-187).
Dalam bagian ketiga, Hegel berbicara sintesis dari kedua kategori sebelumnya. Bagi Hegel ada atau tidak adanya realitas dapat ditangkap secara langsung, dalam artian ditangkan dengan intuisi langsung. Namun disisi lain, kategori kesadaran bersifat immediasi karena mesti diantarai oleh pikiran, misalnya sebab dan akibat dll. Sintesis yang dilakukan Hegel membuahkan hasil: kesadaran yang bersifat langsung. Maksudnya adalah kenyataan yang memikirkan dirinya sendiri, jadi kenyataan memediasai dirinya sendiri, dan hal ini disebut Hegel sebagai ‘konsep’. Perlu menjadi catatan, bahwa yang dmaksud dengan konsep dalam konteks ini bukanlah sebuah pikiran subjektif, namun konsep merupakan suatu kenyataan atau Yang Absolut itu sendiri. Untuk menjelaskan konsep ia menempuh tiga tahap: pertama, tahap subjektif dimana konsep merupakan kategori pikiran atau asas logika pikiran; kedua, konsep mengobjektifikasi dalam Alam, dan disini konsep berada pada tahap objektif, dimana di dalam alam terdapat asas-asas logis, seperti mekanisme (hubungan kausal mekanis), chemisme (pertukaran zat), dan teleologi (tujuan organis alam). Terakhir, sintesis antara keduanya disebut oleh Hegel sebagai Idea atau Logos. Dimana Yang Absolut menyadari dirinya (Hardiman, 2007: 187-188).
F.      Filsafat Alam
Perlu dipahami bahwa Idea sebagaimana yang dijelaskan di bagian logika itu tidak terlepas dari realitas. Dalam artian ia (baca: idea) tidak melampaui realitas dan terlepas dari realitas itu sendiri, namun ia adalah Idea atau Yang Absolut yang mengobjektifikasi atau mewujudkan diri dalam Alam. Menurut Budi Hardiman, Idea itu dengan kebebasannya mematerialisasi dirinya menjadi alam, atau bisa disebut bahwa Alam merupakan alienasi dari dari Yang Absolut. Namun mesti dicermati bahwa yang dimaksud oleh Hegel bukanlah: Alam = Yang Absolut. Tapi Alam merupakan Yang Absolut yang belum menyadari dirinya, maka tak ada kebebasan dalam alam melainkan kepastian kausal. Tapi disisi lain Alam, bagi Hegel, tak dapat dilepaskan dari Yang Absolut (dari sudut pandang idealistis) sekaligus bukan Yang Absolut itu sendiri. Mengutip dari Budi Hardiman, Alam mesti dipahami secara idealistis bukan material, berdasarkan pada adagium Hegel bahwa yang rasional itu riil dan yang riil itu rasional (Hardiman, 188-189).
G.    Filsafat Roh
Kita akhirnya masuk dalam pembahasan terakhir. Filsafat roh merupakan mempelajari bagaimana Yang Absolut mengenali dirinya. Seperti biasa dalam pembahasan ini Hegel membagi kepada tiga bagian: pertama, pada bagian ini Hegel memulainya dari Roh Subjektif. Roh subjektif ini dibagi 3: tahap paling awal adalah suatu peralihan dari Alam menuju Roh, peralihan ini terjadi dari jiwa manusia, dalam artian jiwa yang mengindrai; tahap kedua adalah kesadaran diri; tahap ketiga adalah pikiran subjektif. Kedua, pada bagian ini terdapat Roh Objektif. Roh ini mengobjektifikasinya di dalam kehidupan sosial. Lalu Hegel membaginya ke dalam tiga bagian: pada tahap pertama Hegel berbicara mengenai hak; kedua hak itu mengalienasi diri menjadi kontrak; dan pada tahap terakhir ia berbicara mengenai moralitas sebagai kesatuan dari dua kesadaran sebelumnya—hak sebagai kesadaran subjektif dan kontrak sebagai kesadaran objektif. Yang dimaksud oleh moralitas disini bukanlah kesadaran akan kewajiban konkret belaka, namun kehendak bebas yang sadar akan dirinya. Keseluruhan kehidupan etis manusia yang bersifat subjektif sekaligus objektif. Kesatuan ini disebut Hegel sebagai kesusilaan (Hardiman, 2007: 190).
Dalam tahap kedua atau Roh objektif, pembicaraan mengenai filsafat hak berubah menjadi filsafat politik. Perlu diketahui bahwa kehidupan moral tampil dalam substansi etis: yakni keluarga, masyarakat sipil dan negara. Ketiganya merupakan kesatuan dari subjektifitas dan objektifitas. Substansi etis ini menurut Hegel terbagi ke dalam tiga tahap institusional: Keluarga adalah tahap terendah, ia merupakan sifat sosial roh manusia yang mengobjektifikasi diri. Mengapa tahap ini disebut tahap paling rendah? Karena para anggotanya diikat oleh emosi. Kekuatan ini hancur jika anak-anak menjad dewasa, dalam artian menjadi rasional. Karena itu muncul tahap kedua yang disebut masyarakat sipil, sebagai tahap yang mengantisipasi kehancuran tahap pertama. Disini setiap individu memiliki tujuannya sendiri, sehingga terjadi pembagian kerja dll. Di tahap ini tak terjadi kehancuran, sebagaimana yang dialami oleh tahap pertama, karena dipayungi oleh institusi hukum yang dibentuk oleh masyarakat. Dan tahap inilah yang disebut Hegel sebagai Negara. Negara merupakan substansi etis yang sadar diri. Sebelum melangkah pada tahap Roh Absolut, perlu dipahami bahwa dua tahap institusional itu tak dapat dipahami secara otonom, namun mesti dipahami sebagai kesatuan dalam artian sebuah momen-momen dalam Negara. Selanjutnya, karena Negara itu banyak, maka diadakanlah perjanjian, jika perjanjian dilanggar maka akan terjadi perang. Tapi Hegel memosisikan diri sebagai orang yang memandang positif perang, karena bagi Hegel perang merupakan perkembangan dari proses dialektika menuju Roh yang menyadari dirinya (Hardiman, 2007: 191).
Akhirnya kita berakhir di tahap Roh Absolut. Yang Absolut adalah Yang Ada, dan Yang ada itu adalah Roh. Bagi Hegel Yang Absolut pun merupakan pengetahuan Absolut. Karena pengetahuan Absolut disadari oleh manusia, oleh karena itu pengetahuan manusia mengenai Yang Absolut merupakan pengetahuan Yang Absolut mengenai dirinya. Jadi Yang Absolut menyadari dirinya melalui roh manusia. Yang dimaksud oleh Hegel adalah: mula-mula Individu memiliki kesadaran diri yang berbeda dengan kesadaran yang lain. Kesadaran subjektif ini berada dalam Yang Absolut, selama kesadaran subjektif hanya menyadari dirinya berbeda dengan kesadaran lain, ia belum memiliki pengetahuan Absolut. Ketika ia menyadari realitas sebagai suatu totalitas barulah ia memiliki pengetahuan Absolut. Proses pengetahuan Absolut itu dicapai melalui sejarah pemikiran manusia. Sejarah pemikiran merupakan proses Roh menyadari dirinya, melalui kontradiksi-kontradiksi (Hardiman, 2007: 192-193).
Hegel menyatakan bahwa Yang Absolut dapat dipahami dalam bentuk tiga pengetahuan: pertama, pengetahuan tentang keindahan (filsafat seni); kedua, pengetahuan tentang Yang kudus (filsafat agama); ketiga, di dalam pengetahuan spekulatif (filsafat tentang filsafat). Filsafat spekulatif, ungkap Hegel, dipahami sebagai filsafat tentang sejarah filsafat, dan hal ini merupakan proses Roh yang menyadari dirinya. Disini Hegel mengklaim dirinya sebagai puncak dari rangkaian proses sistem filsafat yang berkontradiksi, dalam artian filsafat Hegel merupakan puncak dari segala sistem filsafat (Hardiman, 2007: 194).
Pesan untuk dosenku tercinta: bukan pembahasan Hegel
Kepada pak Radea, maaf bila penulis lebih banyak mengutip dari buku Budi Hardiman, karena kelangkaan buku yang membahas Hegel, dalam artian sulit mencari buku yang membahas Hegel, atau buku Hegel itu sendiri. Penulis pernah menemukan buku Filsafat Sejarah Hegel yang diterbitkan oleh penerbit Pustaka Pelajar, namun sayang, terjemahannya sulit untuk dipahami. Pernah pula penulis mencari rujukan di perpustakaan UIN, namun ‘kemalangan’ menimpa penulis kembali, dikarenakan penulis tidak menemukan buku mengenai Hegel. Bahkan parahnya, jangan dulu mencari buku Hegel, buku filsafat pun sulit dicari. Kemudian penulis menyusuri perpustakaan Fakultas Ushuluddin, bagaikan jatuh tertimpa tangga, di sana pun tidak terdapat buku mengenai Hegel, kelangkaan barangkali menimpa perpustakaan Ushuluddin. Atau mungkin mereka mendiskreditkan para mahasiswa Aqidah Filsafat, yang sekarang berubah menjadi jurusan Filsafat Agama.
Saya berpendapat pak, daripada para mahasiswa mengemis buku atau membiarkan para mahasiswa Aqidah Filsafat kelaparan karena mesti membeli buku dari uang sakunya. Lebih baik kita membuat kelas Filsafat diluar lingkup perkuliahan formal, barangkali bapak berkenan untuk sharing ilmu kepada kami. Karena bagi kami bapak begitu representatif dalam menjelaskan filsafat. Tak ada andalan lagi bagi kami selain potensi bapak dalam mengajarkan filsafat. Satu lagi pak, kami pun mencoba untuk mencari e-book di internet—dengan bermodalkan Wifi gratisan—untuk mengunduh buku filsafat, terkhusus Hegel yang berbahasa Inggris, namun kami sulit mendapatkannya. Terlebih bahasa Inggris kami barangkali masih terbata-bata. Semoga pak Radea memaklumi dan memahami (Verstehen), terimakasih pak. Salam cinta Mahasiswa Aqidah Filsafat (yang kini mengganti nama menjadi Filsafat Agama, tanpa upacara bubur merah bubur putih).
Daftar pustaka
            Hamersma, Harry. (1992). Tokoh-tokoh filsafat barat modern. Jakarta: Gramedia pustaka utama.
            Hardiman, F. Budi. (2007). Filsafat modern: dari Machiavelli sampai Nietzche. Jakarta: Gramedia pustaka utama.
            Suseno, Franz Magnis. (2000). Pemikiran Karl Marx: dari sosialisme utopis ke perselisihan revisionisme. Jakarta: Gramedia pustaka utama.

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra