Teori Kepercayaan-kepercayaan Agama, Problem serta Solusinya: Studi kritis terhadap teori evolusi kepercayaan E. B. Taylor dan relevansi teori ragam konsep kepercayaan dengan ajaran Islam
Pengantar
Berbicara
hal-hal yang berkaitan dengan agama, merupakan tema pembicaraan yang rumit.
Karena pemahaman setiap orang terhadap agama itu berbeda-beda, tergantung pengalaman
spiritual yang dialami oleh seseorang. Namun, perlu digaris bawahi bahwa agama,
merupakan entitas fundamental bagi kehidupan manusia, karena sebagaimana yang
disebutkan oleh Will Durant, ”Agama memiliki seratus jiwa. Segala sesuatu jika
telah dibunuh pada kali pertama itu pun ia sudah mati untuk selama-lamanya,
kecuali agama. Sekiranya ia sertaus kali dibunuh, ia akan muncul lagi dan
kembali hidup setelah itu” (Mutahhari, 2007: 47). Ungkapan Will Durant itu
menunjukan, bahwa agama tak akan pernah hilang dari muka bumi ini selama
manusia masih hidup. Barangkali dalam bahasa lain kita bisa sebut, bahwa agama
itu seumur dengan manusia.
Dalam
kajian filsafat agama, kita akan menemukan beberapa konsep ketuhanan. Konsep
ini konon didasarkan atas perkembangan pemikiran manusia atas kepercayaannya,
dari fase kepercayaan yang primitif hingga dewasa ini. Fase perkembangan itu
dimulai dari: dinamisme, animisme, panteisme, panenteisme dan monoteisme. Lalu
suatu pertanyaan muncul, apakah kepercayaan manusia itu berkembang sebagaimana
digambarkan teori itu? atau justru konsep ketuhanan manusia yang paling
primitif sekalipun, memiliki bermacam-macam konsep ketuhanan, atau dalam bahasa
lain, kita tidak bisa menyebutnya sebagai fase melainkan tipologi yang terlepas
dari fase perkembangan? Berangkat dari kenyataan itu, serta di dalam
perkuliahan dan di dalam silabus, dalam tulisan ini penulis akan fokuskan
bahasan pada konsep ketuhanan beserta problemnya—pertanyaan yang disebutkan di
atas, dan relevansi teori ragam konsep kepercayaan dengan Islam.
Tipologi
konsep ketuhanan
Menurut
Harun Nasution awal mula manusia beragama itu, bermula dari ketakutan dirinya
terhadap kekuatan alam yang seringkali mengancam hidupnya, serta kesadaran
bahwa dirinya adalah mahluk yang lemah. Lalu manusia mencari ‘tempat’
berlindung untuk melindungi dirinya. Dalam hal ini, lalu manusia berpaling
kepada agama. Agamalah yang memberikan manusia petunjuk untuk keselamatan
dirinya (Nasution, 1995: 80).
Berdasarkan
hal itu, manusia dalam beragama pun memiliki konsep ketuhanan yang
berbeda-beda. Konsep-konsep itu antara lain: dinamisme, animisme, politeisme,
monoteisme. Untuk lebih jelasnya, kita akan jabarkan keempat istilah itu. Pertama, dinamisme merupakan kepercayaan
yang meyakini bahwa di dalam benda, terdapat kekuatan supranatural. Kekuatan
ini biasa disebut sebagai mana. Mana ini memiliki dampak yang
signifikan, dalam kepercayaan masyarakat ini, mereka meyakini bahwa jika kita
memakai atau memakan suatu benda yang memiliki kekuatan maka akan berefek pada
diri kita. Misalnya, pakaian yang memberikan keberanian di dalam perang
(Nasution, 2013: 4).
Kedua, animisme
adalah agama yang mengajarkan bahwa setiap ‘benda’ yang ada itu memiliki roh,
baik ‘benda’ itu bernyawa atau tidak. Roh ini dalam pandangan orang primitif
digambarkan sebagaimana manusia pada umumnya, berbeda halnya dengan paham roh
orang-orang modern. Maksudnya mereka meyakini bahwa roh itu memerlukan kepada
makanan, memiliki anggota badan dan kadang-kadang bisa terlihat oleh manusia.
Pertanyaannya, zat apakah roh itu? menurut keyakinan masyarakat ini, roh itu
terdiri dari zat material halus. Roh dalam kepercayaan animisme, memiliki andil
dalam kehidupan manusia. Salah satunya yaitu, bahwa roh-roh dari benda ini,
menimbulkan efek tertentu psikologis, seperti perasaan dahsyat seperti hutan
yang lebat, gua yang gelap, sungai yang deras dll. Roh-roh ini—termasuk roh
nenek moyang—musti diberi sesajen agar ada hubungan baik antara manusia dan
mereka (baca: roh), baik bagi roh yang ditakuti atau roh yang dihormati
(Nasution, 2013: 5).
Ketiga, Politeisme merupakan kepercayaan
dimana di alam ini terdapat berbagai dewa yang mengatur alam ini. Berbagai
tempat di alam ini dikuasai oleh dewa-dewa. Seperti matahari itu diatur oleh
dewa matahari, lautan diatur oleh dewa laut dan seterusnya. Dewa-dewa ini pun
berdampak pada kehidupan manusia, maka dari itu harus ada kontak antar manusia
dan dewa demi terciptanya kesejahteraan bagi manusia itu sendiri. Maka dari
itu, manusia harus menyembah mereka dan berdoa kepada para dewa (Nasution,
1995: 82). Jika ada pertanyaan, apa perbedaannya dengan paham animisme? Roh dan
dewa musti dipahami secara berbeda, roh dalam masyarakat animisme belum
dipersonifikasikan, berbeda halnya dalam kepercayaan politeisme. Para dewa
sudah dibuat sebagai ‘suatu’ yang personal.
Keempat, monoteisme adalah kepercayaan
terhadap Tuhan yang Satu. Dan monoteisme, dianggap sebagai puncak ‘kedewasaan’
konsep manusia dalam kepercayaan. Tuhan yang satu ini dipercayai sebagai Sang
pencipta alam semesta, dan tempat manusia kembali kepadanya. Perbedaan mendasar
antara monoteisme dengan konsep kepercayaan yang disebutkan sebelumnya adalah,
bahwa dalam monoteisme manusia sudah tak lagi ‘menyogok’ Tuhan untuk
kepentingan manusia—dalam artian agar tunduk kepada kemauan manusia, namun
Tuhan memang layak untuk disembah, bahkan wajib untuk disembah. Doktrin dasar
dari monoteisme adalah, karena Tuhan itu suci dan manusia akan kembali
kepada-Nya, maka manusia harus menyucikan dirinya (Nasution, 2013: 8-9).
Problem
teori E. B. Taylor beserta solusinya (relevansi teori ragam kepercayaan dengan
Islam)
Sebagaimana
telah dijabarkan panjang lebar, mengenai beragam konsep ketuhanan, maka kita
akan membahas teori E. B. Taylor dalam kaitannya dengan tipologi tersebut.
Taylor meyakini bahwa beragam konsep itu berevolusi seiring dengan perkembangan
pengetahuan manusia. Konsep kepercayaan itu dimulai dengan fase: dinamisme,
animisme, politeisme dan monoteisme. Teori ini mirip dengan teori evolusi
Darwin (Bakhtiar, 1997: 56).
Namun
paham Taylor ini memiliki problem ketika dihadapkan dengan perspektif Islam.
Islam adalah agama monoteis, yang meyakini Satu Tuhan Sang pencipta alam raya
ini (Nasution, 1995: 82). Agama Islam meyakini, bahwa agama monoteisme
sesungguhnya sudah ada sejak zaman purba, yang dimulai dari nabi Adam hingga
nabi Muhammad S.A.W. sang penutup para nabi. Hal ini secara implisit tercantum
dalam surat al-Hajj: 67, “Bagi tiap-tiap
umat, Kami adakan satu syariat yang tertentu untuk mereka ikuti dan jalankan,
maka janganlah ahli-ahli syariat yang lain membantahmu dalam urusan syariatmu;
dan serulah (wahai Muhammad) umat manusia kepada agama Tuhanmu, karena
sesungguhnya engkau adalah berada di atas jalan yang lurus”.
Sebelum
menjawab persoalan ini, kita mesti mengetahui bahwa penjabaran Taylor itu
didasarkan atas ‘keyakinan’ bahwa agama pada dasarnya adalah ‘sama’ dan pada
dasarnya merupakan gejala sosial yang terdapat dalam suatu masyarakat (Rasjidi,
1434 H: 20). Agama dalam paham Taylor ini hanyalah gejala suatu kebudayaan
dalam masyarakat[1]. Maka
dari itu tak aneh jika Taylor meyakini bahwa kepercayaan manusia itu berkembang
seiring dengan perkembangan pengetahuan manusia.
Untuk
menjawab permasalahan ini, kiranya penulis akan mengutip pendapat dari Amsal
Bakhtiar. Bakhtiar menyebutkan bahwa teori Taylor ini memiliki kelemahan.
Kelemahan itu nampak jika kita mengajukan pertanyaan: Jika memang demikian,
bahwa kepercayaan manusia itu berevolusi, maka bagaimana kita menjelaskan,
bahwa di masa modern ini masih terdapat kepercayaan animisme dan dinamisme?
Padahal, jika kita dasarkan atas teori evolusi kepercayaan Taylor ini, maka
sudah menjadi konsekuensi logis bahwa di masa modern ini, seharusnya
kepercayaan dinamisme, animisme atau politeisme sudah musnah di muka bumi
(Bakhtiar, 1997: 56-57).
Maka
dari itu, teori yang relevan dengan ajaran Islam adalah teori yang mirip dengan
termodinamika dalam fisika. Menurut teori termodinamika, alam itu bermula dalam
keadaan yang utuh dan sempurna, namun seiring dengan berjalannya waktu alam itu
mengalami kehancuran. Sedangkan teori perkembangan yang ditawarkan oleh
Bakhtiar ialah, agama pada mulanya itu monoteisme murni, namun seiring dengan
perkembangan zaman, agamapun ada yang ‘ternodai’ sehingga terdapat pergeseran
konsep (Bakhtiar, 1997: 56).
Teori
‘termodinamika agama’ (ini merupajan penyebutan penulis) ini pun memiliki dalil
legitimasi dari Islam, bahwa agama-agama itu telah diubah-ubah oleh beberapa
kelompok manusia. Hal ini tercantum secara implisit di dalam surat al-Baqarah:
79, “Maka kecelakaan yang besarlah bagi
orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu
dikatakannya: “ini dari Allah, (dengan maksud) untuk memeroleh keuntungan yang
sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat
apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi
mereka, akibat apa yang mereka kerjakan”. Di dalam dalil ini dijelaskan,
bahwa manusa kadangkala merubah-rubah ajaran ‘Islam’ yang diwariskan oleh
setiap Nabi, karena sebagaimana jelas disebutkan dalam surat al-Hajj: 67, bahwa
setiap kelompok itu terdapat seorang utusan yang bertugas menyebarkan agama
Islam. Kalimat “tiap-tiap umat”
menunjukan bahwa manusia zaman ‘purba’pun atau Nabi Adam—dalam ajaran
Islam—sudah memeluk Islam[2].
Daftar
pustaka
Bakhtiar,
Amsal. (1997). Filsafat Agama.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Muthahhari,
Murtadha. (2007). Membumikan kitab suci:
Manusia dan Agama. Bandung: Mizan.
Nasution,
Harun. (2013). Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya: jilid 1. Jakarta: UI-Press.
____________.
(1995). Islam Rasional: Gagasan dan
Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution. Bandung: Mizan.
Rasjidi,
H M. (1434 H). Koreksi Terhadap Dr. Harun
Nasution: Tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”. Depok: Kalam
Ilmu Indonesia.
[1]
Jika kita menilik pada teori tujuh unsur kebudayaannya Koentjoroningrat, kita
akan menemukan bahwa agama merupakan salah satu unsur dalam suatu kebudayaan
tertentu. Namun dalam tulisan ini, kita tak akan menjabarkannya lebih jauh,
berhubung kajian kita yang singkat sekaligus fokus bahasannya yang dikhawatirkan
akan melebar.
[2] Di
dalam penyebutan Islam ini, kita tidak merujuk secara langsung kepada Islam
sebagaimana yang dibawa oleh Rasul Muhammad, tapi yang dimaksud dengan Islam
pada zaman sebelum Nabi Muhammad adalah Islam secara substansi.
Comments
Post a Comment