Teori Kepercayaan-kepercayaan Agama, Problem serta Solusinya: Studi kritis terhadap teori evolusi kepercayaan E. B. Taylor dan relevansi teori ragam konsep kepercayaan dengan ajaran Islam

Gambar diambil dari: en.wikipedia.org

Oleh: Raja Cahaya Islam

Pengantar
Berbicara hal-hal yang berkaitan dengan agama, merupakan tema pembicaraan yang rumit. Karena pemahaman setiap orang terhadap agama itu berbeda-beda, tergantung pengalaman spiritual yang dialami oleh seseorang. Namun, perlu digaris bawahi bahwa agama, merupakan entitas fundamental bagi kehidupan manusia, karena sebagaimana yang disebutkan oleh Will Durant, ”Agama memiliki seratus jiwa. Segala sesuatu jika telah dibunuh pada kali pertama itu pun ia sudah mati untuk selama-lamanya, kecuali agama. Sekiranya ia sertaus kali dibunuh, ia akan muncul lagi dan kembali hidup setelah itu” (Mutahhari, 2007: 47). Ungkapan Will Durant itu menunjukan, bahwa agama tak akan pernah hilang dari muka bumi ini selama manusia masih hidup. Barangkali dalam bahasa lain kita bisa sebut, bahwa agama itu seumur dengan manusia.
Dalam kajian filsafat agama, kita akan menemukan beberapa konsep ketuhanan. Konsep ini konon didasarkan atas perkembangan pemikiran manusia atas kepercayaannya, dari fase kepercayaan yang primitif hingga dewasa ini. Fase perkembangan itu dimulai dari: dinamisme, animisme, panteisme, panenteisme dan monoteisme. Lalu suatu pertanyaan muncul, apakah kepercayaan manusia itu berkembang sebagaimana digambarkan teori itu? atau justru konsep ketuhanan manusia yang paling primitif sekalipun, memiliki bermacam-macam konsep ketuhanan, atau dalam bahasa lain, kita tidak bisa menyebutnya sebagai fase melainkan tipologi yang terlepas dari fase perkembangan? Berangkat dari kenyataan itu, serta di dalam perkuliahan dan di dalam silabus, dalam tulisan ini penulis akan fokuskan bahasan pada konsep ketuhanan beserta problemnya—pertanyaan yang disebutkan di atas, dan relevansi teori ragam konsep kepercayaan dengan Islam.
Tipologi konsep ketuhanan
            Menurut Harun Nasution awal mula manusia beragama itu, bermula dari ketakutan dirinya terhadap kekuatan alam yang seringkali mengancam hidupnya, serta kesadaran bahwa dirinya adalah mahluk yang lemah. Lalu manusia mencari ‘tempat’ berlindung untuk melindungi dirinya. Dalam hal ini, lalu manusia berpaling kepada agama. Agamalah yang memberikan manusia petunjuk untuk keselamatan dirinya (Nasution, 1995: 80).
            Berdasarkan hal itu, manusia dalam beragama pun memiliki konsep ketuhanan yang berbeda-beda. Konsep-konsep itu antara lain: dinamisme, animisme, politeisme, monoteisme. Untuk lebih jelasnya, kita akan jabarkan keempat istilah itu. Pertama, dinamisme merupakan kepercayaan yang meyakini bahwa di dalam benda, terdapat kekuatan supranatural. Kekuatan ini biasa disebut sebagai mana. Mana ini memiliki dampak yang signifikan, dalam kepercayaan masyarakat ini, mereka meyakini bahwa jika kita memakai atau memakan suatu benda yang memiliki kekuatan maka akan berefek pada diri kita. Misalnya, pakaian yang memberikan keberanian di dalam perang (Nasution, 2013: 4).
Kedua, animisme adalah agama yang mengajarkan bahwa setiap ‘benda’ yang ada itu memiliki roh, baik ‘benda’ itu bernyawa atau tidak. Roh ini dalam pandangan orang primitif digambarkan sebagaimana manusia pada umumnya, berbeda halnya dengan paham roh orang-orang modern. Maksudnya mereka meyakini bahwa roh itu memerlukan kepada makanan, memiliki anggota badan dan kadang-kadang bisa terlihat oleh manusia. Pertanyaannya, zat apakah roh itu? menurut keyakinan masyarakat ini, roh itu terdiri dari zat material halus. Roh dalam kepercayaan animisme, memiliki andil dalam kehidupan manusia. Salah satunya yaitu, bahwa roh-roh dari benda ini, menimbulkan efek tertentu psikologis, seperti perasaan dahsyat seperti hutan yang lebat, gua yang gelap, sungai yang deras dll. Roh-roh ini—termasuk roh nenek moyang—musti diberi sesajen agar ada hubungan baik antara manusia dan mereka (baca: roh), baik bagi roh yang ditakuti atau roh yang dihormati (Nasution, 2013: 5).
            Ketiga, Politeisme merupakan kepercayaan dimana di alam ini terdapat berbagai dewa yang mengatur alam ini. Berbagai tempat di alam ini dikuasai oleh dewa-dewa. Seperti matahari itu diatur oleh dewa matahari, lautan diatur oleh dewa laut dan seterusnya. Dewa-dewa ini pun berdampak pada kehidupan manusia, maka dari itu harus ada kontak antar manusia dan dewa demi terciptanya kesejahteraan bagi manusia itu sendiri. Maka dari itu, manusia harus menyembah mereka dan berdoa kepada para dewa (Nasution, 1995: 82). Jika ada pertanyaan, apa perbedaannya dengan paham animisme? Roh dan dewa musti dipahami secara berbeda, roh dalam masyarakat animisme belum dipersonifikasikan, berbeda halnya dalam kepercayaan politeisme. Para dewa sudah dibuat sebagai ‘suatu’ yang personal.
            Keempat, monoteisme adalah kepercayaan terhadap Tuhan yang Satu. Dan monoteisme, dianggap sebagai puncak ‘kedewasaan’ konsep manusia dalam kepercayaan. Tuhan yang satu ini dipercayai sebagai Sang pencipta alam semesta, dan tempat manusia kembali kepadanya. Perbedaan mendasar antara monoteisme dengan konsep kepercayaan yang disebutkan sebelumnya adalah, bahwa dalam monoteisme manusia sudah tak lagi ‘menyogok’ Tuhan untuk kepentingan manusia—dalam artian agar tunduk kepada kemauan manusia, namun Tuhan memang layak untuk disembah, bahkan wajib untuk disembah. Doktrin dasar dari monoteisme adalah, karena Tuhan itu suci dan manusia akan kembali kepada-Nya, maka manusia harus menyucikan dirinya (Nasution, 2013: 8-9).
Problem teori E. B. Taylor beserta solusinya (relevansi teori ragam kepercayaan dengan Islam)
            Sebagaimana telah dijabarkan panjang lebar, mengenai beragam konsep ketuhanan, maka kita akan membahas teori E. B. Taylor dalam kaitannya dengan tipologi tersebut. Taylor meyakini bahwa beragam konsep itu berevolusi seiring dengan perkembangan pengetahuan manusia. Konsep kepercayaan itu dimulai dengan fase: dinamisme, animisme, politeisme dan monoteisme. Teori ini mirip dengan teori evolusi Darwin (Bakhtiar, 1997: 56).
            Namun paham Taylor ini memiliki problem ketika dihadapkan dengan perspektif Islam. Islam adalah agama monoteis, yang meyakini Satu Tuhan Sang pencipta alam raya ini (Nasution, 1995: 82). Agama Islam meyakini, bahwa agama monoteisme sesungguhnya sudah ada sejak zaman purba, yang dimulai dari nabi Adam hingga nabi Muhammad S.A.W. sang penutup para nabi. Hal ini secara implisit tercantum dalam surat al-Hajj: 67, “Bagi tiap-tiap umat, Kami adakan satu syariat yang tertentu untuk mereka ikuti dan jalankan, maka janganlah ahli-ahli syariat yang lain membantahmu dalam urusan syariatmu; dan serulah (wahai Muhammad) umat manusia kepada agama Tuhanmu, karena sesungguhnya engkau adalah berada di atas jalan yang lurus”.
            Sebelum menjawab persoalan ini, kita mesti mengetahui bahwa penjabaran Taylor itu didasarkan atas ‘keyakinan’ bahwa agama pada dasarnya adalah ‘sama’ dan pada dasarnya merupakan gejala sosial yang terdapat dalam suatu masyarakat (Rasjidi, 1434 H: 20). Agama dalam paham Taylor ini hanyalah gejala suatu kebudayaan dalam masyarakat[1]. Maka dari itu tak aneh jika Taylor meyakini bahwa kepercayaan manusia itu berkembang seiring dengan perkembangan pengetahuan manusia.
            Untuk menjawab permasalahan ini, kiranya penulis akan mengutip pendapat dari Amsal Bakhtiar. Bakhtiar menyebutkan bahwa teori Taylor ini memiliki kelemahan. Kelemahan itu nampak jika kita mengajukan pertanyaan: Jika memang demikian, bahwa kepercayaan manusia itu berevolusi, maka bagaimana kita menjelaskan, bahwa di masa modern ini masih terdapat kepercayaan animisme dan dinamisme? Padahal, jika kita dasarkan atas teori evolusi kepercayaan Taylor ini, maka sudah menjadi konsekuensi logis bahwa di masa modern ini, seharusnya kepercayaan dinamisme, animisme atau politeisme sudah musnah di muka bumi (Bakhtiar, 1997: 56-57).
            Maka dari itu, teori yang relevan dengan ajaran Islam adalah teori yang mirip dengan termodinamika dalam fisika. Menurut teori termodinamika, alam itu bermula dalam keadaan yang utuh dan sempurna, namun seiring dengan berjalannya waktu alam itu mengalami kehancuran. Sedangkan teori perkembangan yang ditawarkan oleh Bakhtiar ialah, agama pada mulanya itu monoteisme murni, namun seiring dengan perkembangan zaman, agamapun ada yang ‘ternodai’ sehingga terdapat pergeseran konsep (Bakhtiar, 1997: 56).
            Teori ‘termodinamika agama’ (ini merupajan penyebutan penulis) ini pun memiliki dalil legitimasi dari Islam, bahwa agama-agama itu telah diubah-ubah oleh beberapa kelompok manusia. Hal ini tercantum secara implisit di dalam surat al-Baqarah: 79, “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “ini dari Allah, (dengan maksud) untuk memeroleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan”. Di dalam dalil ini dijelaskan, bahwa manusa kadangkala merubah-rubah ajaran ‘Islam’ yang diwariskan oleh setiap Nabi, karena sebagaimana jelas disebutkan dalam surat al-Hajj: 67, bahwa setiap kelompok itu terdapat seorang utusan yang bertugas menyebarkan agama Islam. Kalimat “tiap-tiap umat” menunjukan bahwa manusia zaman ‘purba’pun atau Nabi Adam—dalam ajaran Islam—sudah memeluk Islam[2].
Daftar pustaka
            Bakhtiar, Amsal. (1997). Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Muthahhari, Murtadha. (2007). Membumikan kitab suci: Manusia dan Agama. Bandung: Mizan.
Nasution, Harun. (2013). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya: jilid 1. Jakarta: UI-Press.
____________. (1995). Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution. Bandung: Mizan.
Rasjidi, H M. (1434 H). Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution: Tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”. Depok: Kalam Ilmu Indonesia.




[1] Jika kita menilik pada teori tujuh unsur kebudayaannya Koentjoroningrat, kita akan menemukan bahwa agama merupakan salah satu unsur dalam suatu kebudayaan tertentu. Namun dalam tulisan ini, kita tak akan menjabarkannya lebih jauh, berhubung kajian kita yang singkat sekaligus fokus bahasannya yang dikhawatirkan akan melebar.
[2] Di dalam penyebutan Islam ini, kita tidak merujuk secara langsung kepada Islam sebagaimana yang dibawa oleh Rasul Muhammad, tapi yang dimaksud dengan Islam pada zaman sebelum Nabi Muhammad adalah Islam secara substansi.

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra