Urgensi Etika dalam Sains

Oleh: Raja Cahaya Islam
Gambar diambil dari: Google.com
Perbedaan manusia dengan mahluk lainnya adalah daya rasionalnya, dengan rasionya ini manusia dapat bertahan hidup, karena perlu diakui bahwa manusia merupakan mahluk yang lemah dari segi fisiknya.[1] Bagaimana manusia bertahan hidup dengan rasionya? Rasio berfungsi untuk menangkap pengetahuan. Dan dengan pengetahuanlah manusia bertahan hidup sekaligus membangun suatu peradaban. Maka tak dapat disangsikan, bahwa pengetahuan merupakan inti dari kehidupan manusia itu sendiri.
Paradigma ilmu pengetahuan dewasa ini, didominasi oleh sains. Bahkan, manusia memiliki hutang budi yang besar terhadap sains—sebagai suatu paradigma ilmu pengetahuan, karena sains itu sendiri telah memberikan sumbangsih yang besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Namun, disisi lain bukan berarti sains itu sendiri tak memiliki sisi gelapnya. Dampak buruk ini bisa dilihat salah satunya dari eksploitasi alam dan manusia. Dengan teknologi industri, sebagai manifestasi dari sains, telah memberikan resiko yang serius bagi alam. Tak sampai disitu, bahkan industrialisasi telah mengeksploitasi manusia. Misalnya, eksploitasi terhadap para buruh pabrik yang dilakukan oleh sistem kapitalisme, sebagai kepanjangan tangan dari industri.[2] Hal ini bisa dilihat pasca revolusi industri. Selain itu, manusia-manusia modern, sebagaimana dikatakan oleh Martin Heidegger yang dikutip oleh K. Bertens, benar-benar terasing bagi dirinya sendiri, karena ia sendiri termakan oleh sistem yang mereka buat, dalam artian mereka terkerangkeng oleh sistem.[3] Sehingga nilai-nilai kemanusiaan dibuang dari lingkup sains. Maka dari itu, pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana cara menanggulangi dampak negatif dari sains itu sendiri?
Positivisme sebagai paradigma ilmu pengetahuan modern
            Ketika kita berbicara sains, mungkin kita akan teringat kepada positivisme. Karena positivisme diyakini sebagai model yang bisa merepresentasikan sains. Ketika kita berbicara positivisme, maka pikiran akan tertuju kepada August Comte, sang bapak positivisme. Comte lahir di Montpellier, tahun 1798. Ia diyakini sebagai perumus positivisme yang komperhensif, hal ini bisa dilihat dari adikaryanya yang berjudul Cours de Philosophie Positive sebanyak enak jilid[4].
            Sebelum berbicara positivisme an sich, alangkah baiknya kita meninjau penjabaran Comte mengenai perkembangan ilmu pengetahuan manusia. Mengutip Hamesrma, Comte membagi tiga tahap perkembangan pengetahuan manusia: pertama, tahap teologis. Yang dimaksud dengan tahap teologis adalah, dimana manusia menyandarkan pengetahuannya kepada hal-hal yang adiduniawi. Comte membagi tahap ini menjadi tiga bagian: animisne, politeisme, dan monoteisme. Pada paham animisme, manusia meyakini bahwa di dalam benda-benda terdapat jiwa; pada tahap politeisme, manusia mulai meyakini eksistensi dewa-dewa; dan terakhir pada monoteisme, manusia mengalihkan kepercayaannya kepada suatu Yang Tunggal.[5]
            Kedua, tahap metafisis. Pada tahap ini, manusia mulai mengalihkan perhatiannya pada hal-hal yang abstrak, seperti: substansi, ether, causa dll. Ketiga, yaitu tahap positif. Dimana manusia mulai tidak mencari asal-usul dari segala sesuatu, sebagaimana terdapat di dalam dua tahap sebelumnya (teologis dan metafisis). Namun, manusia hanya mencari suatu hukum alam yang mendasarkan dirinya pada alam secara empiris, ditambah dengan daya dari rasio manusia. Dan tahap positif bagi Comte, merupakan tahap kedewasaan pengetahuan manusia.[6]
Kata positif, menyitir ungkapan Budi Hardiman, yang dimaksud oleh Comte, bermakna teori yang menyusun fakta-fakta empiris. Sehingga pengetahuan manusia yang sah, menurut Comte adalah pengetahuan yang didasarkan pada observasi ilmiah dan terverifikasi secara empiris. Apa yang dilakukan Comte, merupakan suatu pemberontakan terhadap hal-hal metafisis, terkhusus—bisa dibilang—pemberontakan atas paradigma Kantian. Di dalam proyek filosofis Immanuel Kant, filosof beraliran kritisisme itu masih menyisakan dimensi metafisis dari pengetahuan, yaitu apa yang disebut olehnya Das ding an Sich (benda pada dirinya). Lalu apakah Comte bisa dikategorikan sebagai pemikir aliran empirisme? Hardiman menyebutkan, tidak juga. Karena di aliran empirisme, dimensi rohani masih diakomodir sebagaimana di dalam pemikiran Berkeley, sedangkan positivisme tidak demikian. Jadi positivisme, barangkali, hanya bisa disebut sebagai pewaris empirisme.[7]
Sains sebagai kuburan Etika
Apa yang diupayakan Come bukan tak memiliki dampak negatif sama sekali. Karena implikasi dari paradigma positivisme, yang menolak fakta-fakta yang tak teramati atau dalam bahasa lain metafisika, adalah tersingkirnya pengetahuan: etika, teologi, dan seni, karena ketiganya dianggap tidak memiliki dasar empiris—tak teramati.[8]
Sebagaimana di awal tulisan ini, kita telah menyebutkan bahwa pengetahuan modern (baca: sains) telah memberikan dampak negatif bagi manusia dan alam. Oleh karena itu terdapat ambivalensi di dalam sains itu sendiri, karena disamping ia—sains—memberi kontribusi yang besar bagi manusia, namun disisi lain sains memiliki sisi gelap yang memberikan dampak yang cukup serius. Hal ini bisa dilihat dari kerusakan pada habitat manusia sekaligus manusia itu sendiri.
            Tak dapat dimungkiri, kita yang hidup pada zaman modern ini melihat berbagai eksploitasi alam, misalnya polusi oleh kendaraan bermotor. Perlu diakui bahwa kendaraan telah memberikan aspek positif bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai alat transportasi yang cepat dibanding dewan hewan, namun disisi lain memiliki dampak negatif. Kerusakan lapisan ozon di bumi, yang diakibatkan oleh polusi dari kendaraan bermotor, telah memberikan efek yang cukup serius, seperti pemanasan global. Efek buruk itu pun merambah kepada manusia itu sendiri. Sejarah telah membuktikan dampak negatif dari sains, yaitu jatuhnya bom atom di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945, dan tiga hari kemudian di kota Nagasaki.[9] Pertanyaan yang muncul adalah: apa yang menyebabkan dampak buruk itu terjadi? Dampak ini terjadi karena, mengutip pendapat Haidar Bagir, pelepasan sains dari etika.[10] Haidar menyebutkan:
“Hal ini belakang telah menimbulkan persoalan etika dalam pengembangan dan penerapan sains modern, sehubungan dengan munculnya kemungkinan pengembangan dan penerapan sains yang menabrak persoalan nilai-nilai (values) kemanusiaan yang telah diterima luas selama ini. Persoalan cloning dan eugenika, sehubungan dengan dikembangkannya proyek genome manusia (human genome project) yang membuka kemungkinan manipulasi genetik, hanyalah salah satu contohnya.”
            Mengutip pendapat K. Bertens, sebetulnya permasalahan dari sains bisa kita lihat dari klaim utama dari sains itu sendiri, yaitu klaim bebas nilai. Klaim itu sendiri bagi Bertens, didasarkan kepada apologi para ilmuan yang mengatakan: jika sains itu tidak bebas nilai, maka sains akan kehilangan otonominya. Klaim ini memang perlu diterima, sains memang tidak boleh direcoki oleh “pihak-pihak yang lain”. Karena implikasi dari direcokinya sains bisa berakibat buruk. Misalnya, peristiwa Galileo Galilei yang dipaksa untuk menarik kembali penemuan ilmiahnya oleh pihak Gereja pada tahun 1633, dikarenakan tidak sesuai dengan doktrin kitab suci Kristen. Atau kejadian yang terjadi pada N.L. Vavilov pada abad ke-20. Pada saat Stalin berkuasa di Uni Soviet, T.D. Lysenko berhasil meyakinkan Stalin bahwa teori tradisional dari genetika Mendel itu bersifat anti-Marxis, sedangkan teorinya (baca: Lysenko) sendiri sesuai dengan ajaran komunis, dan dipercaya memberikan kemajuan di bidang pertanian. Dikemudian hari teori Lysenko ini terbukti keliru, berdasarkan pendapat umum dari kalangan ilmuan. Namun, Stalin tetap bertendensi kepada Lysenko. Bahkan, seorang ahli genetika Vavilov yang mengkritik teori tersebut mati di dalam kamp konsentrasi.[11]

            Berdasarkan kedua peristiwa tersebut, otonomi dari sains mesti diakui. Tapi disisi lain mesti diakui pula bahwa otonomi sains, bukan berarti terlepas dari dimensi etis. Dalam bahasa Bertens, sains itu dikuasai oleh suatu “imperatif teknologis”. Maksudnya, apa yang bisa dilakukan, mesti dilakukan.[12] Imperatif teknologis inilah yang sebenarnya menjadi masalah dari sains, karena sains itu sendiri tak boleh melupakan suatu pertanyaan: “Apakah yang bisa dilakukan, mesti dilakukan?”. Tentunya pertanyaan ini wajib menjadi pertimbangan bagi ilmuan sains. Lebih lanjut, pertanyaan ini merupakan masalah etika.[13] Menurut S. Pfurtner yang dikutip oleh Bertens, kemajuan ilmu pengetahuan modern, tidak disertai perkembangan tanggung jawab manusia. Buktinya, lembaga-lembaga pendidikan menganggap bahwa etika merupakan suatu urusan periferal dalam pengajaran dan penelitian. Setidaknya hal ini nampak di Eropa Barat, khususnya di universitas-universitas Jerman Barat yang menyimpan mata kuliah etika hanya di fakultas teologi.[14] Maka dari itu disiplin etika mesti menjadi sorotan utama dalam lingkup saintifik.
Kloning, sebuah contoh kasus
            Kloning merupakan suatu perkembangan yang maju dibidang sains. Fenomena ini akan kita bicarakan sebagai contoh dari pentingnya kaitan antara etika dan sains, sekaligus sebagai penutup dari tulisan ini. Disini penulis akan menyajikan perspektif dari K. Bertens terhadap kloning.
            Dalam pembicaraannya mengenai kloning, Bertens membagi kloning kepada dua bentuk: pertama, kloning reproduktif. Yang dimaksud dengan kloning reproduktif adalah prosedur memperoleh keturunan dengan teknologi biomedis. Hal ini sebenarnya pernah dilakukan terhadap seekor domba oleh ilmuan Skotlandia IanWilmut pada tahun 1997, yang diberitakan oleh majalah Nature. Majalah tersebut memberitakan bahwa di Roslin Institute, Edinburgh, Skotlandia, telah lahir seekor anak domba yang diklon dari sel kambing domba dewasa, dan domba itu diberi nama Dolly. Sebenarnya domba Dolly adalah kembaran dari induknya, namun hanya berbeda umurnya. Lalu disinilah timbul suatu pertanyaan: apakah hal tersebut bisa dilakukan kepada manusia? Karena toh teknologi yang sama bisa diterapkan pada semua mamalia.[15]
            Bagi Bertens, perbuatan ini sangat tidak etis. Karena kloning terhadap manusia akan mengacaukan identitas seorang anak dan hubungannya dengan orang lain. Sebab anak yang diklon itu adalah kembaran yang berbeda generasi dari induknya, yaitu ayah atau ibunya (inti sel dewasa berasal dari satu orang tuanya saja).
            Kedua, kloning terapeutik. Jenis kloning ini adalah diklonnya sel-sel embrio yang disebut steam cells atau sel-sel induk. Sel ini belum mempunya diferensiasi, sehingga dapat berkembang menjadi sel semua organ tubuh. Tujuan dari para ilmuan adalah memanfaatkan sel-sel induk ini untuk terapi-terapi bagi penyakit yang belum ditemukan obatnya, seperti Alzheimer, Parkinson, Leukemia dll. Jadi steam cells ini kemungkinan dapat mengganti sel-sel yang rusak dalam otak atau jantung.[16] Menurut Bertens:
“Kesulitan etis dengan kloning terapeutik adalah bahwa steam cells ini merupakan sel-sel embrio (bukan sel-sel somatis: berkaitan dengan jasad; berkaitan dengan fisik[17]). Jadi sel-sel embrional ini adalah kehidupan manusiawi yang baru dan—jika perkembangannya berlangsung secara normal—akan lahir sebagai manusia (bayi) baru, yang secara genetik berbeda dari ayah dan ibunya. Karena itu tentu tidak etis bila kehidupan manusiawi yang satu dikorbankan demi menyelamatkan kehidupan manusiawi yang lain.”[18]
            Masalah utama dari kloning terapeutik ini adalah tuntutan untuk menghormati kehidupan manusia. Tentunya, kloning jenis ini kurang menghargai kehidupan seseorang, karena sel-sel embrio ini harus diakui sebagai kehidupan manusiawi yang baru. Oleh karena itu—menegaskan pendapat Bertens—sangat tidak etis apabila mengorbankan kehidupan manusiawi yang satu, demi menyelamatkan manusia yang lain. Selain itu kita mesti mengingat, bahwa profesi kedokteran mesti berpegang pada prinsip menghormati manusia.[19]
Daftar Pustaka
            Bagir, Haidar. (2006). Buku Saku Filsafat Islam. Bandung: Mizan.
Hamersma, Harry. (1992). Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hardiman, F. Budi. (2007). Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bertens, K. (2001). Perspektif Etika: Esai-esai tentang Masalah Aktual. Yogyakarta: Kanisius.
_________. (2004). Sketsa-sketsa Moral: 50 Esai tentang Masalah Aktual. Yogyakarta: Kanisius.
_________. (2011). Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
KBBI Offline 1.5




[1] Hewan bertahan hidup mengandalkan fisiknya.
[2] Perlu diketahui, bahwa logika ini tidak bisa dibalik. Maksudnya, industri pada faktanya dinaungi oleh sistem kapitalisme, namun disisi lain industri itu sendiri bisa jadi tak menggunakan sistem kapitalisme, jika kepemilikan alat produksi oleh tuan tanah dihilangkan.
[3] K. Bertens, Etika, Jakarta, 2011, hlm. 308.
[4] Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta, 1992, hlm. 54.
[5] Ibid, hlm. 55.
[6] Ibid.
[7] Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzche, Jakarta, 2007, hlm. 204-205.
[8] Ibid, hlm. 205
[9] K. Bertens, Etika, Jakarta, hlm. 304.
[10] Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, Bandung, 2006, hlm. 51.
[11] K. Bertens, Etika, Jakarta, hlm. 305-306.
[12] K. Bertens, Perspektif Etika: Esai-esai tentang Masalah Aktual, Yogyakarta, hlm. 120.
[13] Opcit, hlm. 305.
[14] Ibid, hlm. 310.
[15] K. Bertens, Sketsa-sketsa moral: 50 Esai tentang Masalah Aktual, Yogyakarta, hlm. 107.
[16] Ibid, hlm. 108.
[17] KBBI Offline 1.5
[18] Ibid.
[19] Ibid, hlm. 109.

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra