Urgensi Etika dalam Sains
Oleh:
Raja Cahaya Islam
![]() |
Gambar diambil dari: Google.com |
Paradigma
ilmu pengetahuan dewasa ini, didominasi oleh sains. Bahkan, manusia memiliki
hutang budi yang besar terhadap sains—sebagai suatu paradigma ilmu pengetahuan,
karena sains itu sendiri telah memberikan sumbangsih yang besar bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Namun, disisi lain bukan
berarti sains itu sendiri tak memiliki sisi gelapnya. Dampak buruk ini bisa
dilihat salah satunya dari eksploitasi alam dan manusia. Dengan teknologi
industri, sebagai manifestasi dari sains, telah memberikan resiko yang serius
bagi alam. Tak sampai disitu, bahkan industrialisasi telah mengeksploitasi
manusia. Misalnya, eksploitasi terhadap para buruh pabrik yang dilakukan oleh
sistem kapitalisme, sebagai kepanjangan tangan dari industri.[2]
Hal ini bisa dilihat pasca revolusi industri. Selain itu, manusia-manusia
modern, sebagaimana dikatakan oleh Martin Heidegger yang dikutip oleh K.
Bertens, benar-benar terasing bagi dirinya sendiri, karena ia sendiri termakan
oleh sistem yang mereka buat, dalam artian mereka terkerangkeng oleh sistem.[3]
Sehingga nilai-nilai kemanusiaan dibuang dari lingkup sains. Maka dari itu,
pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana cara menanggulangi dampak negatif dari
sains itu sendiri?
Positivisme sebagai paradigma ilmu
pengetahuan modern
Ketika
kita berbicara sains, mungkin kita akan teringat kepada positivisme. Karena
positivisme diyakini sebagai model yang bisa merepresentasikan sains. Ketika
kita berbicara positivisme, maka pikiran akan tertuju kepada August Comte, sang
bapak positivisme. Comte lahir di Montpellier, tahun 1798. Ia diyakini sebagai
perumus positivisme yang komperhensif, hal ini bisa dilihat dari adikaryanya
yang berjudul Cours de Philosophie
Positive sebanyak enak jilid[4].
Sebelum berbicara positivisme an sich, alangkah baiknya kita meninjau
penjabaran Comte mengenai perkembangan ilmu pengetahuan manusia. Mengutip
Hamesrma, Comte membagi tiga tahap perkembangan pengetahuan manusia: pertama, tahap teologis. Yang dimaksud
dengan tahap teologis adalah, dimana manusia menyandarkan pengetahuannya kepada
hal-hal yang adiduniawi. Comte membagi tahap ini menjadi tiga bagian: animisne,
politeisme, dan monoteisme. Pada paham animisme, manusia meyakini bahwa di
dalam benda-benda terdapat jiwa; pada tahap politeisme, manusia mulai meyakini
eksistensi dewa-dewa; dan terakhir pada monoteisme, manusia mengalihkan
kepercayaannya kepada suatu Yang Tunggal.[5]
Kedua,
tahap metafisis. Pada tahap ini, manusia mulai mengalihkan perhatiannya pada
hal-hal yang abstrak, seperti: substansi, ether,
causa dll. Ketiga, yaitu tahap
positif. Dimana manusia mulai tidak mencari asal-usul dari segala sesuatu,
sebagaimana terdapat di dalam dua tahap sebelumnya (teologis dan metafisis).
Namun, manusia hanya mencari suatu hukum alam yang mendasarkan dirinya pada
alam secara empiris, ditambah dengan daya dari rasio manusia. Dan tahap positif
bagi Comte, merupakan tahap kedewasaan pengetahuan manusia.[6]
Kata
positif, menyitir ungkapan Budi Hardiman, yang dimaksud oleh Comte, bermakna
teori yang menyusun fakta-fakta empiris. Sehingga pengetahuan manusia yang sah,
menurut Comte adalah pengetahuan yang didasarkan pada observasi ilmiah dan terverifikasi
secara empiris. Apa yang dilakukan Comte, merupakan suatu pemberontakan terhadap
hal-hal metafisis, terkhusus—bisa dibilang—pemberontakan atas paradigma
Kantian. Di dalam proyek filosofis Immanuel Kant, filosof beraliran kritisisme
itu masih menyisakan dimensi metafisis dari pengetahuan, yaitu apa yang disebut
olehnya Das ding an Sich (benda pada
dirinya). Lalu apakah Comte bisa dikategorikan sebagai pemikir aliran
empirisme? Hardiman menyebutkan, tidak juga. Karena di aliran empirisme,
dimensi rohani masih diakomodir sebagaimana di dalam pemikiran Berkeley,
sedangkan positivisme tidak demikian. Jadi positivisme, barangkali, hanya bisa
disebut sebagai pewaris empirisme.[7]
Sains sebagai kuburan Etika
Apa
yang diupayakan Come bukan tak memiliki dampak negatif sama sekali. Karena
implikasi dari paradigma positivisme, yang menolak fakta-fakta yang tak
teramati atau dalam bahasa lain metafisika, adalah tersingkirnya pengetahuan:
etika, teologi, dan seni, karena ketiganya dianggap tidak memiliki dasar
empiris—tak teramati.[8]
Sebagaimana
di awal tulisan ini, kita telah menyebutkan bahwa pengetahuan modern (baca:
sains) telah memberikan dampak negatif bagi manusia dan alam. Oleh karena itu
terdapat ambivalensi di dalam sains itu sendiri, karena disamping
ia—sains—memberi kontribusi yang besar bagi manusia, namun disisi lain sains
memiliki sisi gelap yang memberikan dampak yang cukup serius. Hal ini bisa
dilihat dari kerusakan pada habitat manusia sekaligus manusia itu sendiri.
Tak dapat dimungkiri, kita yang
hidup pada zaman modern ini melihat berbagai eksploitasi alam, misalnya polusi
oleh kendaraan bermotor. Perlu diakui bahwa kendaraan telah memberikan aspek
positif bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai alat transportasi yang cepat
dibanding dewan hewan, namun disisi lain memiliki dampak negatif. Kerusakan
lapisan ozon di bumi, yang diakibatkan oleh polusi dari kendaraan bermotor, telah
memberikan efek yang cukup serius, seperti pemanasan global. Efek buruk itu pun
merambah kepada manusia itu sendiri. Sejarah telah membuktikan dampak negatif
dari sains, yaitu jatuhnya bom atom di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus
1945, dan tiga hari kemudian di kota Nagasaki.[9]
Pertanyaan yang muncul adalah: apa yang menyebabkan dampak buruk itu terjadi?
Dampak ini terjadi karena, mengutip pendapat Haidar Bagir, pelepasan sains dari
etika.[10]
Haidar menyebutkan:
“Hal
ini belakang telah menimbulkan persoalan etika dalam pengembangan dan penerapan
sains modern, sehubungan dengan munculnya kemungkinan pengembangan dan
penerapan sains yang menabrak persoalan nilai-nilai (values) kemanusiaan yang telah diterima luas selama ini. Persoalan
cloning dan eugenika, sehubungan
dengan dikembangkannya proyek genome manusia (human genome project) yang membuka kemungkinan manipulasi genetik,
hanyalah salah satu contohnya.”
Mengutip pendapat K. Bertens,
sebetulnya permasalahan dari sains bisa kita lihat dari klaim utama dari sains
itu sendiri, yaitu klaim bebas nilai. Klaim itu sendiri bagi Bertens,
didasarkan kepada apologi para ilmuan yang mengatakan: jika sains itu tidak
bebas nilai, maka sains akan kehilangan otonominya. Klaim ini memang perlu
diterima, sains memang tidak boleh direcoki oleh “pihak-pihak yang lain”.
Karena implikasi dari direcokinya sains bisa berakibat buruk. Misalnya,
peristiwa Galileo Galilei yang dipaksa untuk menarik kembali penemuan ilmiahnya
oleh pihak Gereja pada tahun 1633, dikarenakan tidak sesuai dengan doktrin
kitab suci Kristen. Atau kejadian yang terjadi pada N.L. Vavilov pada abad
ke-20. Pada saat Stalin berkuasa di Uni Soviet, T.D. Lysenko berhasil
meyakinkan Stalin bahwa teori tradisional dari genetika Mendel itu bersifat
anti-Marxis, sedangkan teorinya (baca: Lysenko) sendiri sesuai dengan ajaran
komunis, dan dipercaya memberikan kemajuan di bidang pertanian. Dikemudian hari
teori Lysenko ini terbukti keliru, berdasarkan pendapat umum dari kalangan
ilmuan. Namun, Stalin tetap bertendensi kepada Lysenko. Bahkan, seorang ahli
genetika Vavilov yang mengkritik teori tersebut mati di dalam kamp konsentrasi.[11]
Kloning, sebuah contoh kasus
Kloning merupakan suatu perkembangan
yang maju dibidang sains. Fenomena ini akan kita bicarakan sebagai contoh dari
pentingnya kaitan antara etika dan sains, sekaligus sebagai penutup dari
tulisan ini. Disini penulis akan menyajikan perspektif dari K. Bertens terhadap
kloning.
Dalam pembicaraannya mengenai
kloning, Bertens membagi kloning kepada dua bentuk: pertama, kloning reproduktif. Yang dimaksud dengan kloning
reproduktif adalah prosedur memperoleh keturunan dengan teknologi biomedis. Hal
ini sebenarnya pernah dilakukan terhadap seekor domba oleh ilmuan Skotlandia
IanWilmut pada tahun 1997, yang diberitakan oleh majalah Nature. Majalah tersebut memberitakan bahwa di Roslin Institute, Edinburgh, Skotlandia, telah lahir seekor anak
domba yang diklon dari sel kambing domba dewasa, dan domba itu diberi nama
Dolly. Sebenarnya domba Dolly adalah kembaran dari induknya, namun hanya
berbeda umurnya. Lalu disinilah timbul suatu pertanyaan: apakah hal tersebut
bisa dilakukan kepada manusia? Karena toh
teknologi yang sama bisa diterapkan pada semua mamalia.[15]
Bagi Bertens, perbuatan ini sangat
tidak etis. Karena kloning terhadap manusia akan mengacaukan identitas seorang
anak dan hubungannya dengan orang lain. Sebab anak yang diklon itu adalah
kembaran yang berbeda generasi dari induknya, yaitu ayah atau ibunya (inti sel
dewasa berasal dari satu orang tuanya saja).
Kedua,
kloning terapeutik. Jenis kloning ini adalah diklonnya
sel-sel embrio yang disebut steam cells atau
sel-sel induk. Sel ini belum mempunya diferensiasi, sehingga dapat berkembang
menjadi sel semua organ tubuh. Tujuan dari para ilmuan adalah memanfaatkan
sel-sel induk ini untuk terapi-terapi bagi penyakit yang belum ditemukan
obatnya, seperti Alzheimer, Parkinson, Leukemia dll. Jadi steam cells ini kemungkinan dapat mengganti sel-sel yang rusak
dalam otak atau jantung.[16]
Menurut Bertens:
“Kesulitan
etis dengan kloning terapeutik adalah bahwa steam
cells ini merupakan sel-sel embrio (bukan sel-sel somatis: berkaitan dengan
jasad; berkaitan dengan fisik[17]).
Jadi sel-sel embrional ini adalah kehidupan manusiawi yang baru dan—jika
perkembangannya berlangsung secara normal—akan lahir sebagai manusia (bayi) baru,
yang secara genetik berbeda dari ayah dan ibunya. Karena itu tentu tidak etis
bila kehidupan manusiawi yang satu dikorbankan demi menyelamatkan kehidupan
manusiawi yang lain.”[18]
Masalah utama dari kloning
terapeutik ini adalah tuntutan untuk menghormati kehidupan manusia. Tentunya,
kloning jenis ini kurang menghargai kehidupan seseorang, karena sel-sel embrio
ini harus diakui sebagai kehidupan manusiawi yang baru. Oleh karena itu—menegaskan
pendapat Bertens—sangat tidak etis apabila mengorbankan kehidupan manusiawi
yang satu, demi menyelamatkan manusia yang lain. Selain itu kita mesti
mengingat, bahwa profesi kedokteran mesti berpegang pada prinsip menghormati
manusia.[19]
Daftar Pustaka
Bagir, Haidar. (2006). Buku Saku Filsafat Islam. Bandung:
Mizan.
Hamersma,
Harry. (1992). Tokoh-tokoh Filsafat Barat
Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hardiman,
F. Budi. (2007). Filsafat Modern: dari
Machiavelli sampai Nietzche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bertens,
K. (2001). Perspektif Etika: Esai-esai
tentang Masalah Aktual. Yogyakarta: Kanisius.
_________.
(2004). Sketsa-sketsa Moral: 50 Esai
tentang Masalah Aktual. Yogyakarta: Kanisius.
_________.
(2011). Etika. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
KBBI
Offline 1.5
[1]
Hewan bertahan hidup mengandalkan fisiknya.
[2]
Perlu diketahui, bahwa logika ini tidak bisa dibalik. Maksudnya, industri pada
faktanya dinaungi oleh sistem kapitalisme, namun disisi lain industri itu
sendiri bisa jadi tak menggunakan sistem kapitalisme, jika kepemilikan alat
produksi oleh tuan tanah dihilangkan.
[3] K.
Bertens, Etika, Jakarta, 2011, hlm. 308.
[4]
Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta, 1992, hlm. 54.
[5]
Ibid, hlm. 55.
[6]
Ibid.
[7]
Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzche, Jakarta,
2007, hlm. 204-205.
[8]
Ibid, hlm. 205
[9] K.
Bertens, Etika, Jakarta, hlm. 304.
[10]
Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, Bandung, 2006, hlm. 51.
[11]
K. Bertens, Etika, Jakarta, hlm. 305-306.
[12]
K. Bertens, Perspektif Etika: Esai-esai tentang Masalah Aktual, Yogyakarta,
hlm. 120.
[13] Opcit,
hlm. 305.
[14]
Ibid, hlm. 310.
[15]
K. Bertens, Sketsa-sketsa moral: 50 Esai tentang Masalah Aktual, Yogyakarta,
hlm. 107.
[16]
Ibid, hlm. 108.
[17]
KBBI Offline 1.5
[18]
Ibid.
Comments
Post a Comment