Filsafat, Pentingkah? Bagian 1

Oleh: Raja Cahaya Islam[1]

“Hidup yang tak ditinjau ulang, tak layak dijalani
-Socrates

Budi Hardiman di dalam bukunya yang berjudul Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, membagi realitas—yang terhampar di hadapan manusia—menjadi tiga macam: pertama, realitas common sense (akal sehat); kedua, realitas objek-objek ilmu alam; ketiga, realitas objek-objek ilmu sosial.

Realitas akal sehat, merupakan realitas pra-reflektif; yakni realitas dimana kita menghayati hidup, contohnya pemenuhan kebutuhan biologis, and so on. Pada tataran ini, kita belum mengkonstitusikan realitas tersebut di dalam suatu kerangka pengetahuan yang sistematis. Dalam artian, kita belum merefleksikannya. Realitas ini disebut Lebenswelt (dunia kehidupan) oleh Edmund Husserl. Di dalam Lebenswelt, manusia pada umumnya tak begitu mempersoalkan dengan “serius” realitas tersebut. Di dalam kesadaran inilah, filsafat maupun ilmu pengetahuan belum muncul, tapi di sisi lain dari kesadaran inilah filsafat maupun ilmu pengetahuan memulai start-nya. Untuk realitas kedua dan ketiga tak akan dibicarakan di dalam tulisan ini, karena konteks pembicaraannya berbeda. Penulis sengaja memasukan penjelasan realitas pertama, untuk menggambarkan dimana sesungguhnya filsafat bekerja.

Mari kita persoalkan realitas common sense. Bagi orang-orang yang terlalu sibuk dengan rutinitas yang menjemukan, atau orang-orang yang terlena dengan hiruk pikuk—meminjam istilah Yasraf Amir Piliang—ekstasi kenikmatan semu di zaman kapitalisme lanjut ini, orang tak akan begitu mempedulikan atau mempersoalkan realitas yang hadir begitu saja dihadapannya. Karena, mungkin saja, ada asumsi bahwa aktivitas mempersoalkan realitas, merupakan pekerjaan yang sia-sia, sekaligus tak memiliki nilai pragmatis. Atau bisa jadi, ada anggapan bahwa realitas yang hadir di depan kita, merupakan realitas yang mengalir begitu saja, atau dalam bahasa lain: tak ada persoalan.

Namun, perlu diketahui, bahwa aktivitas tersebut (mempersoalkan realitas) merupakan aktivitas filsafat. Berfilsafat merupakan kegiatan mempersoalkan—begitulah kira-kira ungkapan Budi Hardiman. Tindakan mempersoalkan, dimulai dengan pertanyaan (pertanyaan filosofis). Dan pertanyaan yang muncul—di dalam konteks filsafat—sering disebut dengan pertanyaan filosofis, seperti apakah pertanyaan itu?

Pertanyaan-pertanyaan filosofis pernah membingungkan seorang tokoh di dalam novel Dunia Sophie karya Jostein Gaarder, yakni Sophie Amundsen. Pertanyaan apa yang diajukan oleh filsafat? Suatu ketika Sophie—diceritakan—mendapatkan surat misterius. Isi surat tersebut adalah suatu pertanyaan: “Siapa kamu?” Disana Sophie terheran-heran, karena pertanyaan itu begitu aneh. Lagi pula—bagi Sophie—jawabannya sudah jelas, ia adalah Sophie Amundsen, seorang anak perempuan berusia 10 tahun. Namun jawaban atas pertanyaan tersebut tak sesederhana itu. Lalu, surat lain datang lagi. Surat yang kedua berisi pertanyaan: “Dari mana asal dunia ini?”.

Orang yang dihadapkan pada pertanyaan filosofis selain Sophie adalah, Bryan Magee. Ia menulis buku yang berjudul Memoar Seorang Filosof. Magee menceritakan, pernah suatu ketika ia mempertanyakan: “Apakah waktu dan ruang itu benar-benar eksis?” dan “Apakah waktu itu memiliki permulaan?”. Dan kedua pertanyaan ini, benar-benar membingungkan dirinya. Bahkan diceritakan, ia pernah lari ketakutan karena pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Kedua contoh pertanyaan tersebut sepertinya sudah mewakili corak pertanyaan dari filsafat. Dan tentu saja, pertanyaan itu merupakan pertanyaan yang jarang sekali dipersoalkan dan—konon—tak memiliki nilai pragmatis. Tapi, memang demikian corak dari berfilsafat. Filsafat mempersoalkan Lebenswelt, dengan mempertanyakan realitas yang dianggap biasa; lalu para filosof mencoba mengajukan jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut. Kita sebut pertanyaan tersebut sebagai pertanyaan fundamental. Ketika pertanyaan fundamental dijawab, bukan berarti permasalahan telah selesai. Karena seringkali pertanyaan yang sama, memunculkan jawaban yang beragam dari masing-masing filosof. Keberagaman jawaban tersebut, bisa berupa jawaban mendukung atau pun menolak jawaban sebelumnya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena jawaban filsafat merupakan jawaban yang spekulatif—apakah sains dan agama tidak spekulatif?

Karakter berpikir filsafat I: Perenungan dan problem masyarakat kontemporer
Bambang Sugiharto di dalam video kuliah umum Filsafat Ilmu menjelaskan: bahwa filsafat merupakan kegiatan perenungan yang merefleksikan realitas secara radikal. Untuk istilah perenungan, sepertinya tak ada masalah; adapun istilah refleksi secara implisit sudah dijabarkan panjang lebar di atas. Tapi mari kita eksplisitkan: Lebenswelt merupakan realitas taken for granted, atau dalam bahasa lain pra-reflektif. Dan para filosof atau orang-orang yang menyibukan dirinya dengan realitas, mencoba merefleksikan realitas tersebut. Untuk istilah radikal pun, kita telah menjabarkannya secara implisit. Maksudnya, pertanyaan-pertanyaan filosofis bisa dibilang merupakan pertanyaan radikal. Radikal berasal dari bahasa latin, yaitu radix yang berarti akar. Maksudnya, seorang filosof akan mempersoalkan atau mempertanyakan realitas sedalam-dalamnya.

Untuk lebih “memahami” pengertian yang diungkapkan oleh Bambang Sugiharto, alangkah lebih baik jika kita elaborasi lagi istilah perenungan serta radikal. Setelah itu, kita coba alihkan pandangan kita pada pengalaman konkret kita, terkait kedua masalah tersebut.

Bagi Yasraf Amir Piliang, di dalam bukunya yang berjudul Dunia yang Dilipat, aktivitas perenungan atas kedalaman makna serta spiritualitas untuk masyarakat kontemporer (masyarakat yang dipayungi oleh kapitalisme lanjut), terbilang sangat jarang ditemukan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Yasraf dengan mengutip pendapat Paulo Virillo, menyebut istilah paradigma percepatan. Maksudnya, di dalam ruang masyarakat yang telah terkerangkeng oleh logika kapitalisme lanjut, serta ruang virtualisasi pada zaman ini, waktu jeda—untuk melakukan perenungan—sangat jarang ditemukan.

Di dalam ruang kapitalisme, yang di dalamnya paradigme percepatan bekerja, segala sesuatu mesti bergerak dengan cepat. Maksud dari segala sesuatu adalah komoditas. Komoditas pada zaman ini, ditandai dengan cepatnya pergantian gaya atau tampilan suatu komoditas. Contohnya: model fashion, iklan-iklan, menu makanan dll; konkretnya, kita bisa lihat ini di dalam iklan. Iklan yang ada di televisi, dengan begitu cepatnya menayangkan beragam komoditas yang baru atau update. Pertanyaan muncul, mengapa pergantian gaya mesti bergerak cepat? Karena, makin cepat segala sesuatu (baca: komoditas) bergerak maka semakin cepat lah perputaran modal yang dibarengi dengan keuntungan. Selain itu, demi persaingan pasar, maka “siapa saja” yang dapat “berinovasi” dengan cepat, maka ia akan menguasai pasar. Ironisnya, paradigma ini telah menyatu di dalam setiap tengkorak masyarakat kapitalisme lanjut, sehingga kita sering mendengar istilah: “kamu gk up to date”. Ungkapan itu secara implisit menyindir orang-orang yang kalah berganti gaya hidup, atau dalam bahasa lain, kurang cepat mengganti gayanya—atau mungkin kurang cepat dalam menghabiskan uangnya?

 Ternyata, paradigma percepatan tak berhenti di ruang komoditas. Tapi, menjamah pula ruang virtual. Pada zaman ini, segala sesuatu hampir divirtualkan, seperti: komunikasi atau seks (teledildonik), dll. Efek dari virtualisasi ini adalah, meminjam bahasa Yasraf, dunia yang dilipat. Dalam artian, ruang telah dikalahkan oleh waktu. Misalnya: untuk mengakses informasi di negara sebrang, kita tak perlu lagi mengunjungi negara yang dimaksud, tapi cukup membuka handphone lalu mengakses google untuk mendapatkan informasi; untuk memesan makanan tak perlu lagi mengunjungi kedai atau kios makanan, karena ada delivery service yang dapat diakses menggunakan handphone; untuk mencari transportasi, kita tak perlu lagi mengunjungi pangkalan ojek, atau menunggu taksi di jalan raya, karena smartphone kita telah menyediakan aplikasi yang dapat secara instan memanggil ojek serta taksi. Dengan contoh-contoh itu, kita tak perlu bergerak sedikitpun—kecuali menggerakan jari—dari tempat kita berdiri.

Sekarang kita kembali kepada pembicaraan mengenai diagnosa yang dilakukan oleh Yasraf. Semua itu, terkhusus paradigma percepatan, telah memengaruhi kita. Terkhusus menghilangkan waktu jeda. Karena segala sesuatu mesti bergerak dengan cepat. Tak ada waktu untuk merenung! Karena membuang-buang waktu! Ternyata dibalik paradigma ini, sebagaimana kita bahas di atas, kita menemukan oknum yakni, kapitalisme lanjut. Lalu disini timbul pertanyaan: memangnya kenapa dan ada apa dengan paradigma percepatan? Lalu apa masalahnya dengan kapitalisme lanjut, yang berada di balik paradigma tersebut sebagaimana Yasraf gambarkan?

Jika kita memosisikan diri sebagai orang yang afirmatif terhadap realitas tersebut, maka hal ini tak akan bermasalah. Mungkin, Herbert Marcuse sebagaimana dikutip oleh Budi Hardiman di dalam bukunya yang berjudul Kritik Ideologi, akan menyebut kita sebagai masyarakat satu dimensi (One Dimentional Man[2]). Namun, disini kita akan mencoba memosisikan diri kita, sebarisan dengan Yasraf. Efek dari paradigma kapitalisme lanjut adalah hilangnya kedalaman makna dan spiritualitas, karena tak ada waktu lagi untuk melakukan aktivitas perenungan. Implikasi dari paradigma ini adalah, kedangkalan makna. Masyarakat pada hari ini, lebih mementingkan cangkang daripada isi, gaya dibanding makna, tampilan dibanding kedalaman. Contoh konkretnya adalah, masyarakat hari ini (tidak semua, mungkin) lebih mementingkan busana yang akan dikenakan hari ini, dibanding apa yang telah dibaca hari ini, atau pengetahuan apa yang mesti dicari hari ini. Singkatnya, kita dibentuk menjadi manusia dangkal!

Perenungan, merupakan aktivitas berfilsafat. Maka dari itu, aktivitas perenungan tak akan pernah cocok bagi masyarakat kontemporer, yang mengafirmasi ketenggelamannya di dalam pasir penghisap kapitalisme. Nah, filosof adalah orang-orang yang menolak mainstream dari kondisi tersebut. Aktivitas perenungan membutuhkan ruang dan waktu khusus untuk memikirkan apa-apa yang terhampar (baca: realitas) di hadapan kita. Seorang filosof mencari kedalaman makna dari kehidupan, bukan kedangkalan. Mereka adalah orang-orang yang sibuk di tengah orang-orang yang sibuk. Jika filosof adalah orang yang sibuk menjadi manusia, maka orang-orang yang afirmatif terhadap kapitalisme adalah orang yang sibuk menjadi manusia tanpa ruh, atau zombie. Zombie yang sibuk mengonsumsi komoditas yang tak terbatas. 

Karakter berpikir filsafat II: Berpikir radikal dan problem masyarakat kontemporer
Untuk karakter berpikir filsafat yang kedua, sebagaimana pengertian dari Bambang Sugiharto, adalah radikal. Sebagaimana disebutkan di paragraf sebelumnya, radikal berarti mengakar. Dalam artian, berpikir sedalam-dalamnya, hingga mencapai persoalan fundamental. Bambang Sugiharto di dalam video kuliah umumnya menyebutkan suatu problem dari masyarakat kita hari ini. Problem ini berkaitan erat dengan karakter radikal.
Seorang anak kecil, dalam usia golden age (mungkin, jika salah betulkan), mengalami fase dimana ia sering bertanya. Pertanyaan yang diajukan oleh seorang anak yang memasuki fase ini, terkadang tak pernah berhenti pada suatu jawaban. Seorang anak kecil, akan selalu beratanya dan bertanya. Nah, ini semua mirip dengan karakter seorang filosof. Seorang filosof tak akan pernah berhenti bertanya mengenai “realitas”, ia akan menanyakan sedalam-dalamnya problem yang dihadapinya. Jadi, filosof dengan seorang anak kecil memiliki kemiripan, yaitu cara bertanya yang radikal.

Tapi, jika kita melihat kondisi kita pada hari ini, terdapat suatu permasalahan penting menyangkut hal ini. Bambang Sugiharto menyebutkan, bahwa kadangkala fase bertanya yang dialami oleh seorang anak kecil, kadang terhenti ketika ia mulai memasuki ruang pendidikan. Dalam artian, kita tiba-tiba berhenti bertanya secara bertubi-tubi. Bambang Sugiharto menjawab, mungkin problemnya adalah pendidikan yang salah.

Seorang filosof dalam hal ini, merupakan orang yang melanjutkan fase bertanyanya ini. Jika orang dewasa kebanyakan (tidak semua) telah berhenti untuk bertanya, karena dianggap membuang-buang waktu dan tak memiliki nilai pragmatis. Maka filosoflah yang meneruskan fase ini. Filosoflah yang membuang waktunya untuk mencari kedalaman makna dengan cara berpikir radikal. Filosoflah yang berusaha melepaskan diri dari ruang kedangkalan. Filosoflah yang berusaha memuliakan dirinya sebagai manusia. Filosoflah yang memilih menjadi manusia yang memiliki ruh dibanding zombie. Filosof adalah orang yang menolak mainstream gaya hidup masyarakat kontemporer—yang negatif. Untuk menutup tulisan, penulis menemukan kata-kata yang sepertinya menyindir dan menusuk hati kita, sebagai manusia kontemporer, ungkapan ini dijabarkan secara metaforis:

Hanya ikan mati yang terbawa oleh arus” -Anonim

#Disampaikan dalam diskusi Filsafat di SUAKA


[1] Mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat. Penikmat Filsafat dan Sastra. Tulisan-tulisannya belum pernah dimuat diberbagai media, seandainya dimuat tak akan pernah dituliskan di keterangan penulis, karena ia tidak sombong. Selain itu, ia sedang sibuk. Sibuk untuk bingung.
[2] Penulis tak akan menjabarkan arti dari istilah ini

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra