Filsafat, Pentingkah? Bagian 2

Oleh: Raja Cahaya Islam[1]

Sebagaimana diketahui bersama, filsafat itu membicarakan hal-hal fundamental di dalam kehidupan manusia. Yang dimaksud dengan “membicarakan” dalam konteks ini adalah sebuah aktivitas perenungan terhadap kehidupan  manusia atau realitas itu sendiri. Aktifitas perenungan tersebut, tak berhenti pada “permukaan” realitas, namun aktifitas tersebut mesti mencapai akar permasalahan, atau dalam bahasa lain mesti radikal.

Untuk menyikapi realitas, yang dilanjut dengan aktifitas perenungan, tentunya tidak akan terlepas dari suatu sikap kritis. Kritis secara sederhana ialah, suatu sikap yang selalu curiga terhadap apa yang hadir dihadapan subjek—manusia. Disinilah kita bisa bedakan, mana manusia yang memiliki mental  filsafat, mana yang tidak.

Seorang yang memiliki mental filsafat—jika boleh disebut demikian—yakni seseorang yang memiliki sikap kritis terhadap realitas. Dalam artian, seorang manusia yang “normal” tidak akan “merasakan” suatu problem di dalam realitas; atau dalam bahasa lain, seorang manusia “normal” tidak akan menyoal realitas, karena realitas dianggap sebagai sesuatu yang normal, alias tidak terjadi apa-apa. Lain halnya dengan seorang filosof. Seorang filosof akan senantiasa kritis terhadap realitas yang terhampar dihadapannya.

Realitas yang terhampar dihadapan manusia, akan senantiasa diselidiki oleh seorang filosof. Bahkan tak hanya realitas di luar dirinya, karena realitas di dalam ‘dirinya’ pun diselidiki. Maksudnya, seorang filosof pun akan mempersoalkan dirinya sendiri sebagai manusia. Lebih radikal lagi, aktifitas mengetahui realitas pun dipersoalkan.

Mungkin selama ini, manusia yang ‘mencari pengetahuan’ tidak akan mempersoalkan apapun di dalam aktifitas mengetahuinya. Seolah tidak terjadi apa-apa di dalam aktifitas tersebut. Padahal persoalan untuk mengetahui, tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Apa maksudnya? Biasanya—secara umum—ketika kita melakukan aktifitas mengetahui, mula-mula diawali dengan panca indra kita. Lantas kita menangkap ‘sesuatu’  setelah mempersepsi objek yang kita indrai. Setelah itu selesai.

Disini pertanyaan muncul, apakah aktifitas tersebut telah cukup untuk dikatakan mengetahui? Lalu, apakah yang objek yang kita persepsi tersebut, benar-benar merupakan pengetahuan sejati, dalam artian benar secara absolut? Lantas, apakah yang telah kita ketahui tersebut benar-benar merepresentasikan realitas yang telah kita indrai? Pertanyaan lainnya adalah, apakah indra kita cukup bisa diandalkan untuk melakukan aktifitas mengetahui? Apakah ada daya lain yang ikut melakukan aktifitas mengetahui selain indra? Lalu bagaimana, sebenarnya, proses mengetahui tersebut? Lebih jauh lagi, apakah pengetahuan itu mungkin atau tidak mungkin?

Pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka tersebut merupakan pertanyaan filsafat. Dan semua pertanyaan tersebut, mewakili suatu kajian atau cabang dari filsafat, yakni Epistemologi.

Sebagaimana ‘disindir’ di paragraf sebelumnya, tugas seorang filosof ialah menyoal realitas yang terhampar di hadapan dirinya. Kita biasa bergumul dengan realitas yang terhampar di hadapan kita. Namun, apakah kita pernah mempersoalkan realitas tersebut? Karena jangan-jangan realitas eksternal yang ada di hadapan kita itu tidak pernah ada, karena yang ada hanyalah diri kita saja. Pertanyaan yang muncul dibenak para filosof ketika mengahadapi raelitas eksternal[2], kira-kira seperti ini: apa yang ada itu? Apakah yang ada itu material? Atau non-material? Apakah realitas (yang ada itu sendiri) adalah pikiran? Apakah realitas itu tunggal? Dual? Atau justru plural? Beragam pertanyaan itu, singkatnya, menyoal hakikat dari realitas. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang terangkum di dalam cabang filsafat yang bernama Ontologi.

Apakah kajian filsafat selesai di dalam aspek epistemologi dan ontologi? Jawabannya negatif, karena ada lagi persoalan yang dikaji oleh filsafat. Seringkali, kita dihadapkan pada persoalan mengenai yang baik dan buruk. Misalnya, kita sering dihadapkan pada pertanyaan: apakah perbuatan si “A” itu bernilai baik? Atau buruk? Lantas apa patokan suatu perbuatan atau suatu entitas dikatakan sebagai baik dan buruk? Atau apakah yang baik itu benar-benar eksis? Atau justru hanya konstruksi pikiran kita saja, lebih jauh, hanyalah konvensi suatu masyarakat saja? Lalu, bagaimana dengan keindahan? Apakah keindahan pun persoalannya serupa dengan kebaikan dan keburukan? Apa yang disebut dengan indah? Lalu apa yang disebut dengan tidak indah? Kapan suatu entitas disebut indah dan tidak indah?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut terangkum di dalam kajian Axiologi, yakni—secara simplistis bisa disebut sebagai—kajian mengenai nilai. Axiologi, secara sederhana, dibagi kepada dua macam yaitu: etika dan estetika.

Konon, Immanuel Kant pernah berkata, bahwa kajian filsafat hanya terangkum di ketiga cabang saja, yaitu: Epistemologi, Ontologi, dan Axiologi. Selain dari ketiga cabang ini bukan merupakan pembahasan filsafat.[3] Terlepas dari pembahasan ketiga cabang dan lingkup dari filsafat, mesti diingat bahwa sebenarnya aktifitas filsafat merupakan bentuk penyempurnaan jiwa kita. Lebih jauh, jika meminjam teori dari Kuntowijoyo di dalam buku kumpulan artikel yang berjudul Ecstasy Gaya Hidup, bisa disebut sebagai upaya untuk melampaui budaya Massa. Atau dalam bahasa lain, aktifitas filsafat merupakan suatu upaya untuk menjadikan diri kita berada di dalam pagar Budaya Adiluhung.

#Disampaikan dalam diskusi Filsafat di SUAKA



[1] Mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat. Penikmat Filsafat dan Sastra. Bergiat di UKM LPIK. Tulisan-tulisannya belum pernah dimuat diberbagai media, seandainya dimuat tak akan pernah dituliskan di keterangan penulis, karena ia tidak sombong. Selain itu, ia sedang sibuk. Sibuk untuk bingung.
[2] Istilah ini digunakan untuk membedakan realitas yang ada di dalam diri manusia
[3] Informasi ini di dapatkan ketika penulis mengikuti kuliah filsafat eksistensialisme Albert Camus, yang digelar setiap hari Selasa oleh HMJ Aqidah Filsafat. Tepatnya, yang disampaikan oleh Rosihan Fahmi M.Hum, pada tanggal 12 April 2016.

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra