Libur tiga bulan, Kuburan Cinaa dan Kegiatan
Sudah satu minggu berlalu. Begitu juga Ujian Akhir Semester (UAS). Setelah minggu ini berakhir, sepertinya libur akan menghampiri. Bahkan bukan "sepertinya" tapi "niscaya" akan menghampiri. Libur kali ini berdurasi kurang lebih tiga bulan. Tak seperti semester yang lalu. Semester yang lalu kita diberi jatah satu bulan. Pertanyaan pun muncul: "Mun libur tilu bulan maneh rek naon wae?" (Apa yang akan kamu lakukan dalam libur tiga bulan ini?)
Mendengar pertanyaan ini, sejenak otak berpikir. Hingga akhirnya jawaban muncul, bak bohlam yang tiba-tiba saja muncul seperti di film-film kartun. "jigana urang rek balik ka lembur" (sepertinya aku akan pulang ke kampung halaman). Jawaban ini begitu memilukan hatiku, mengapa? karena setiap hari aku dapat pulang ke rumah. Tak ada bedanya antara libur tiga bulan dan tidak libur tiga bulan, maksudnya ketika kuliah.
Sejenak aku berpikir, ditengah terpaan fakta yang menyayat hati ini. Akhirnya bohlam lain pun tiba-tiba muncul. Bagaimana kalu kita mengadakan kegiatan? Semacam diskusi, mengadakan kelas filsafat, atau inkubasi membaca. Tapi setelah dipikir-pikir, sepertinya aku egois. Karena, kegiatan tersebut bisa menghalangi teman-teman AF yang lain untuk pulang kampung. Tapi sejenak aku teringat akan perkataan pak Asep Samuh. Ia adalah salah seorang dosen di fakultas Dakwah & Komunikasi. Ia mengatakan bahwa UIN tak lama lagi akan menjadi pengganti kuburan Cina, sebab jika kampus libur maka mahasiswa pun pergi entah kemana. Seperti debu yang ditiup oleh angin. Bedanya para mahasiswa ingin ditiup angin. Lanjut pak Samuh, seharusnya ketika libur maupun tidak libur kegiatan di kampus mesti selalu ada.
Apakah perkataan beliau benar? Aku tidak tahu. Karena jika aku menyetujuinya, aku akan dianggap mahasiswa egois. Mungkin akan ada temanku yang berkata: "situ sih enak, bisa pulang tiap hari". Ketika mendengar pernyataan ini, aku hanya dapat menganggukkan kepala. Tapi, tiba-tiba saja aku kerasukan pernyataan balasan. Tiba-tiba saja aku ingin mengatakan ini: "situ sih enak, bisa gk dikekan tiap hari. Aku gk bisa seenaknya di rumah. Trus situ pasti lebih bebas" Tapi aku mengurungkan untuk membalas ucapan itu. Karena, bisa saja mereka membalas berkata: "iya tapi ini masalah kangen sama mamah". Aku takut dibalas seperti itu, karena aku bisa setiap hari bertemu dengan mamah.
Akhirnya otakku terkulai letih di hadapan liburan yang kian terbit dengan perlahan. Aku bergumam pada diriku sendiri, sepertinya aku harus menyetujui perubahan kampus menjadi kuburan Cina. Dan aku juga harus mengamini bahwa liburan tiga bulan berarti: tiga bulan tanpa kegiatan produktif di kampus. Oh malangnya diriku sebagai warga lokal, yang setiap hari pulang kampung.
22 Mei 2016
Comments
Post a Comment