Mengenai Diri, Organisasi dan Pekerjaan

Oleh: Raja Cahaya Islam[1]
Diri
Pembicaraan mengenai diri merupakan persoalan yang pelik. Tak sedikit filosof yang mencoba menjabarkan apa itu diri di dalam bangunan sistem filsafatnya. Tak sedikit pula yang saling membantah terkait konsep diri. Pertanyaan ihwal: apakah konsep mengenai pernah diselesaikan oleh seorang filosof, menjadi suatu pertanyaan yang sia-sia. Lantas apa yang mesti dilakukan, tak lain dan tak bukan, kita mesti memilih sendiri mana suatu konsep yang cocok dengan kebutuhan diri kita. Lalu jika suatu pertanyaan muncul: apakah demikian tidak akan mengimplikasikan kepada suatu subjektifitas yang radikal? Dalam artian, jika kebutuhan merupakan ukuran utama dari suatu kebenaran konsep, apakah objektifitas menjadi hilang? Untuk mencoba menjawab pertanyaan itu, penulis akan memberikan pertanyaan: pertama, masalahnya apa jika kebenaran itu bersifat subjektif? Kedua, apakah ukuran atau syarat sehingga suatu kebenaran dianggap objektif? Lantas apakah syarat-syarat tersebut telah objektif?

David Hume menyebutkan bahwa diri merupakan sebutan saja bagi entitas yang konon dapat menyadari. Dalam artian, diri merupakan penamaan terhap aku. Mengapa pernyataan ini bisa muncul dari seorang Hume? Karena, diri merupakan proposisi yang tak bisa dijelaskan asal muasalnya. Asal muasal dari mana? Karena Hume merupakan seorang empirisme radikal, ia menyatakan bahwa segala proposisi mesti didasarkan pada persepsi indrawi, karena pengetahuan manusia berasal dari persepsi indrawi. Lalu Hume bertanya, apakah konsep diri, pernah dipersepsi oleh indra? Apakah diri dapat dipersepsi? Hume berkata, tidak demikian.

Terlepas dari skeptisisme Hume yang begitu menggelisahkan, yang pasti kita secara langsung, dalam artian intuitif, menyadari keberadaan diri. Karena, diri mesti hadir ketika diri dihadapkan dengan yang lain. Bahkan kita bisa bertanya kepada Hume: jika diri itu tidak ada, lantas siapa yang sedang meragukan diri?

Namun, pertanyaan yang mesti diajukan disini adalah apakah diri itu? Diri bagi Jean-Paul Sartre adalah kekosongan. Maksudnya, karena diri kita kosong—kontingen, jika kita menggunakan istilah Sartre—maka dari itu, diri berpotensi menjadi apapun secara mana suka. Lebih jauh, tak ada yang bisa menjadi acuan pembentukan makna diri, kecuali diri sendiri. Mengapa ini bisa terjadi? Karena, manusia dikutuk untuk bebas, demikian ujaran Sartre. Lantas, ketika manusia dihadapkan kepada faktisitas, bahwa dirinya bebas; maka dari itu manusia—sebagai konsekuensi dari kebebasan—akan senantiasa dihadapkan kepada pilihan-pilihan. Dengan kebebasannya manusia memilih. Pemilihan inilah yang disebut sebagai pembentukan makna.

Ini semua dapat disederhanakan. Maksudnya, diri sebenarnya penuh dengan potensi. Namun, potensi-potensi yang ada di dalam diri, berseliweran begitu saja tanpa ada ketetapan. Ketetapan muncul jika potensi itu diaktualkan menjadi tindakan. Namun, setelah diaktualkan potensi yang ada di dalam diri, terus berseliweran lagi tanpa henti. Lalu pertanyaannya, apakah tidak ada kepastian di dalam diri? Jawaban Sartre adalah Ya. Karena bagi Sartre, diri kita itu kontingen atau tidak absolute. Bahkan tak hanya diri yang kontingen, relasi diri dengan pengalaman-dunia pun bersifat kontingen. Maka dari itu, tak ada yang dinamakan kepastian. Lebih jauh, satu-satunya yang pasti dan absolute adalah kontingensi itu sendiri.

Disinilah letak keunikan diri. Keunikan dalam artian otentisitas dari diri. Kita bisa ambil kesimpulan bahwa diri merupakan entitas bebas yang konkret. Yang dihadapkan pada pilihan-pilihannya.

Konsekuensi dari itu semua adalah, bahwa diri merupakan sesuatu yang tak bisa direduksikan kepada suatu kelompok. Mengapa? Karena dengan kelompok, diri yang unik dan otentik itu akan menghilang, atau dalam bahasa lain menjadi anonim. Tak jelas lagi mana diri yang otentik. Pertanyaan muncul disini? Apa yang menyebabkan diri menjadi anonim? Biasanya, sistem. Mengapa sistem? Karena sistem bersifat abstrak, jika abstrak maka akan bersifat universal.

Beberapa macam ciri inilah yang akan menjangkit sang diri. Mengapa? Karena, karakter dari diri itu sendiri yang ebrsifat partikular. Mengapa partikular? Karena seorang diri dihadapkan pada fakta bahwa dirinya selalu dihadapakan pada suatu pilihan. Dan pilihan ini tentunya, dipilih oleh diri yang konrket, bukan diri yang lain. Bahkan lebih radikal lagi, jika ada pilihan yang dipilihkan oleh yang liyan, pada dasarnya ketika seorang diri memilih pilihan yang dipilihkan oleh si liyan itu, sebenarnya adalah pilihan dirinya. Inilah karakter primordial dari diri, dan fakta ini tak bisa begitu saja ditampik.

Kebenaran maka dari itu berada di dalam diri subjek (diri). Begitu kira-kira ungkapan dari seorang Soren Kierkegaard. Sang bapak filosof yang melahirkan aliran filsafat eksistensiaisme. Jadi, kerumunan atau kelompok, jika kita teguh dengan definisi dari Kierkegaard, merupakan sumber kekaburan kebenaran. Karena, subjek akan tertelan. Begitu pun dengan sistem. Seringkali ketika diri yang dihadapkan dengan sistem, maka sang diri tak bisa apa-apa kecuali mendasarkan diri pada sistem tersbeut. Bahkan pilihannya yang benar-benar bebas pun terkerangkeng oleh sistem. Disinilah letak alienasi diri atau alienasi subjek. Lantas apa yang mesti dilakukan? Sepertinya pertanyaan ini layak dijawab oleh pembaca sebagai diri yang konrkret, yang memiliki kehendak bebas.

Organisasi
Organisasi kerapkali didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang memiliki tujuan tertentu. Jika muncul pertanyaan, berapakah jumlah minimal anggota, sehingga suatu kumpulan disebut sebagai organisasi? Jawabannya, tak dibatasi batas minimalnya. Apakah suatu kumpulan hanya beranggotakan dua atau tiga orang, asalkan memiliki suatu tujuan bersama yang disepakati dan ingin—atau hendak—dituju bersama maka kumpulan tersebut layak disebut organisasi.

Biasanya suatu organisasi selalu memiliki sistem yang terstruktur. Dalam artian, tujuan suatu organisasi itu mesti jelas, pembagian kerja pun demikian. Bahkan apapun yang dianggap tidak jelas—dalam artian tak terstruktur dengan rapi—akan ditolak oleh organisasi. Mengapa demikian (tak bisa ditampik; mungkin di dalam statement ini, terdapat proposisi yang bermakana Fungsionalisme ala Emile Durkheim)? Pertama, karena demi pencapaian tujuan, dalam artian tidak menyeleweng dari tujuan. Atau, menjadikan jalan atau proses untuk mencapai tujuan dapat tertata dengan rapi, sehingga terhindar dari kesesatan.

Kedua, sebagai lanjutan dari alasan pertama; bagaikan suatu organ di dalam tubuh. Jika terdapat bagian yang mengalami deviasi—tidak terstruktur—maka bagian lainnya akan kena batunya. Maksudnya, dalam suatu organisasi, mesti terdapat suatu harmoni di setiap bagian-bagian organisasi. Karena, jika terdapat suatu kecacatan—ketakterstukturan—dalam suatu bagian maka bagian lain pun akan terkena imbasnya, sehingga pencapaian tujuan di dalam berorganisasi akan sulit dicapai.

Konon berorganisasi merupakan suatu yang inheren dalam kehidupan manusia. Apalagi jika pendapat tersebut disandarkan kepada status manusia sebagai: hewan yang berpolitik (zoon politicon), sebagaimana ungkapan dari Syaikhul Akbar Aristoteles r.a. Dalam artian, karena manusia berpolitik, dan politik meniscayakan orang lain; lalu, dalam politik meniscayakan “sesuatu” yang terstruktur dengan rapi, agar tercapainya suatu tujuan. Maka dari itu, berorganisasi—seolah—meniscayakan diri. Atau dalam bahasa lain, manusia mesti berorganisasi.
Pertanyaan muncul disini, apakah manusia memang mesti berorganisasi? Dalam artian mau tidak mau mesti berorganisasi?

Sebuah organisasi meniscayakan terdapatnya individu-individu, sehingga membentuk kelompok. Dalam artian, subjek yang berdiri sendiri, diniscayakan agar organisasi terbentuk. Jadi organisasi membutuhkan subjek atau individu.

Sebagai konsekuensi dari mesti adanya sistem yang terstruktur dengan rapi. Maka, mau tak mau subjek mesti ditenggelamkan dalam struktur tersebut, sehingga subjek bekerja di bawah naungan organisasi. Apa implikasinya? Subjek konkret menjadi hilang ditengah kerumunan atau kelompok organisasi. Mau tak mau sang subjek mesti bergerak belandaskan suatu sistem yang menaunginya, karena jika tidak demikian, maka ia (baca: subjek) akan dianggap sebagai pengacau sistem, sehingga—dianggap—akan mengganggu struktur organisasi.

Lebih jauh, tujuan organisasi pun berpotensi untuk terselewengkan apabila seorang subjek tidak menundukan atau menghambakan dirinya kepada suatu sistem organisasi—yang disusun agar tercapainya suatu tujuan.

Argumentasi di atas—memang—seolah tak memiliki suatu problem. Apalagi, mungkin, bagi orang yang berkecimpung langsung di dalam suatu organisasi, akan menganggap bahwa memang demikianlah kerja organisasi. Namun, disini mesti diajukan kritik kepada anggapan terhadap organisasi, karena ternyata organisasi mengancam seorang subjek. Mengapa demikian?
Soren Kierkegaard, cukup keras ketika berbicara subjek konkret. Sosok Kierkegaard merupakan, seorang yang menolak penghilangan keunikan subjek. Kierkegaard, menolak sama sekali sistem yang membentuk dan mengerangkeng subjek. Karena baginya, jika subjek ditelan oleh sistem, maka sisi kebertanggung jawaban seorang subjek pun niscaya hilang.

Lagi pula, sistem—sebagaimana diketahui—bersifat abstrak dan universal. Maka dari itu, sistem bisa dibilang, mengalienasi seorang subjek. Mengapa demikian? Karena sosok subjek, bagi Kierkegaard, merupakan sosok yang non-abstrak atau konkret berikut particular. Sehingga, apa-apa yang menyistemkan akan menghilangkan subjek unik tersebut. Lebih lanjut, sistem pun cenderung menganonimkan subjek. Maksudnya, subjek cenderung tenggelam oleh sistem, sehingga tidak aka nada lagi yang disebut dengan subjek.

Maka dari itu, dengan karakter organisasi yang serba sistem. Subjek yang konkret, sebagaimana ungkapan Kierkegaard, akan hilang seiring dengan adanya organisasi; atau bisa dibilang, subjek akan hilang jika subjek tersebut mencelupkan dirinya di dalam organisasi. Mengapa? Karena ini merupakan konsekuensi dari organisasi, yang didalamnya terdapat suatu sistem.

Subjek, tambah Kierkegaard, merupakan pusat kebenaran. Apa yang benar, adalah apa yang dihayati subjek personal. Maka dari itu, sistem bisa disebut sebagai penghilangan kebenaran. Kebenaran apa? Yaitu kebenaran yang dihayati oleh seorang subjek personal konkret. Konsekuensi dari ungkapan Kierkegaard adalah, pengaburan (pengaburan subjek) berasal dari sistem; atau di dalam konteks ini, organisasi merupakan suatu bentuk pengaburan kebenaran. Lantas dengan kenyataan ini, apakah organisasi mesti ada di dalam diri manusia atau kehidupan manusia. Sepertinya, pertanyaan ini mesti dijawab dengan dua jalan: pertama, ya jika individu tidak menyadari dirinya sebagai subjek konkret; kedua, tidak jika seorang individu menyadari bahwa dirinya adalah subjek yang unik (otentik).

Pekerjaan
Kerja di dalam terminologi Karl Marx, merupakan aspek fundamental manusia. Marx menjelaskan, bahwa manusia dihadapan alam adalah pertentangan. Maksudnya, jika binatang dengan instingnya dapat menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya, bahkan mereka—seolah—diberi peralatan untuk bertahan hidup—seperti cakar, taring, tubuh yang pas untuk alamnya, and so on; maka manusia adalah mahluk yang sangat berbeda sekali dengan binatang. Jika binatang bisa disebut sebagai mahluk yang “tenggelam” dihadapan alam, namun manusia cenderung menolak alam.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Manusia dengan daya rasionalnya, beserta tubuh yang tak memungkinkan dirinya untuk bertahan hidup, dalam artian tak seperti binatang yang memiliki peralatan bertahan hidup; yang ada di dalam tubuhnya. Kedua kenyataan inilah yang menyebabkan manusia berkonfrontasi dengan alam. Jadi bukan harmoni yang terjadi, justru pertentangan.

Namun, bukan berarti manusia benar-benar tertolak oleh alam, atau manusia benar-benar menolak alam. Karena, toh manusia sendiri membutuhkan alam. Mengapa demikian? Mau tak mau, mesti diakui, alam merupakan sumber penghidupan manusia.

Perlu digaris bawahi, bahwa manusia memiliki daya rasionalnya. Aristoteles menyatakan: manusia adalah hewan yang berpikir. Dalam artian, manusia adalah binatang yang satu-satunya memiliki rasio, yang dengan rasionya ia berpikir. Pertanyaannya, untuk apa rasio itu ada di dalam diri manusia? Tentunya untuk bertahan hidup. Jika binatang diberi alat yang inheren di dalam tubuhnya, untuk bertahan hidup. Ternyata, manusia pun memiliki suatu alat yang ada di dalam dirinya, namun, bukan tubuhnya yang menjadi alat. Tapi, rasionya atau akalnya.

Di paragraph awal disebutkan, bahwa manusia itu berkonfrontasi dengan alam. Tapi disisi lain, ia tak dapat hidup tanpa alam; dan ternyata manusia memiliki daya rasionya untuk menghadapi alam. Sebenarnya, secara implisit jawaban terhadap persoalan utama telah disindir seiring berjalannya penjelasan di atas; pun jika ada pertanyaan: mengapa kerja merupakan aspek fundamental dari diri manusia telah terjawab. Namun, mari kita eksplisitkan.

Karena pertentangannya dengan alam. Manusia—seolah—mesti menolak alam. Namun, disisi lain, ia dihadapkan pada fakta bahwa manusia tak bisa hidup dengan alam. Maka dari itu, mesti dipahami bahwa, manusia merupakan mahluk yang senantiasa ingin survive di alam. Untuk apa? Jawabannya untuk hidup. Untuk bertahan hidup, manusia mesti melakukan sesuatu terhadap alam. Karena alam mengancam hidupnya. Dengan rasionyalah dia melakukan hal tersebut (survival). Rasio inilah berfungsi untuk menakluklan alam, seperti membuat teknologi, mengolah makanan, membuat sarang, dll. Nah, disinilah dapat dipahami bahwa kerja merupakan karakter fundamental dari diri manusia. Mengapa? Tak lain dari fakta yang menunjukan bahwa alam itu begitu menakutkan manusia, sekaligus mengancam hidup manusia; namun disisi lain, alam merupakan tempat manusia melanggengkan hidupnya. Maka dengan bekerja, ia (baca: manusia) senantiasa menaklukan alam untuk dirinya sendiri, dalam artian, untuk kehidupannya sendiri.




[1] Penulis adalah mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat semester 6. Penikmat sastra dan filsafat. Aktif bergiat di UKM LPIK.

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra