Problem filsafat posmodernisme dan penyelesaiannya, Dalam Kerangka Martin Suryajaya

Oleh: Raja Cahaya Islam

Jika kita mendengar kata posmodernisme, maka beragam konsepsi muncul. Misalnya, kematian subjek, tumbangnya narasi besar, munculnya fisika baru, dekonstruksi, relativisme, matinya filsafat, dll. Semua konsep itu disinyalir, merupakan bentuk perlawanan terhadap konsep-konsep yang ada pada modernisme. Modernisme dianggap, bagi para penganut postmodernisme, telah gagal dalam membangun dan melaksanakan proyek-proyek besarnya. Misalnya, sains. Sains yang—konon—digadang-gadangkan dapat menyingkap misteri-misteri yang ada—bagi manusia—malah memberikan dampak yang buruk bagi manusia itu sendiri (Sugiharto, 2016: 29).

Penggerusan nilai-nilai kemanusiaan pun tak dapat dibendung, sebagai efek dari sains. Kita bisa melihat bagaimana Perang Dunia II telah menggerogoti nilai-nilai kemanusiaan. Semua itu akibat teknologi yang dilahirkan oleh rahim sains. Selain itu, habitat tempat manusia hidup pun menjadi kena dampaknya pula. Kita bisa melihat bagaimana kerusakan alam telah terjadi dimana-mana. Lagi-lagi sains yang menjadi pelaku kerusakan tersebut.

Narasi besar yang diagung-agungkan oleh modernisme pun, ternyata merupakan kata lain dari kolonialisme. Klaim mengenai kebenaran absolut dan universal, yang selalu diteriakkan oleh filosof atau intelektual modernisme, tak lain merupakan suatu bentuk peringkusan terhadap kebenaran-kebenaran yang kecil. Atau klaim kebenaran yang tak lulus sensor terhadap syarat ‘kebenaran absolut’ akan disingkirkan, karena dianggap sebagai suatu kesalahan dan mengganggu proyek pembangunan modernisme (Sugiharto, 2016: 28).

Dampak dari klaim tersebut ternyata dapat melahirkan, salah satu contohnya, etnosentrisme. Kita bisa melihat bagaimana Nazi dengan klaim ras unggul, yakni ras Aria; membabat habis kaum Yahudi, yang dianggap sebagai benalu bagi bangsa Jerman. Kita bisa saksikan, bagaimana tragis dan kejinya pembantaian yang terjadi oleh kaum Nazi. Bukankah kekejian ini lahir dari klaim absolut dan universal yang menjadi ciri khas atau zet geist modernisme? (Sugiharto, 2016: 28-30).

Selain itu, kita pun bisa menemukan pola oposisi biner yang sangat kentara dalam ‘tradisi’ modernisme. Doktrin oposisi biner ini pun, ternyata merupakan bentuk pengkerdilan sang liyan. Oposisi biner pun tak lepas dari konteks klaim kebenaran absolut dan universal. Tak dapat disangsikan, doktrin ini merupakan suatu bentuk kepongahan modernisme (Sugiharto, 2016: 29). Kita bisa lihat fenomena feminisme. Feminisme merupakan suatu bentuk reaksi atas superioritas laki-laki atas perempuan. Secara implisit kita bisa paham bahwa, feminisme merupakan bentuk perlawan atas pola oposisi biner; dan sebagai bentuk pemunculan narasi-narasi kecil. Contoh lain adalah gerakan Lesbian Gay Biseksual dan Transjender (LGBT). Gerakan ini pun merupakan bentuk reaksi atas subordinasi atas kaum—misalnya—homoseksual, yang mana kaum homoseksual dianggap sebagai suatu bentuk penyakit dan abnormalitas. Singkatnya, oposisi biner telah menginjak-injak ‘yang lain’ (Sugiharto, 2016: 58).

Postmodernisme, merupakan suatu bentuk alternatif atas krisis yang terjadi pada modernisme. Sang Lain yang dianggap sebagai benalu, kini mulai diakui dalam arus postmodernisme. Narasi-narasi kecil mulai muncul ke permukaan. Klaim kebenaran absolut dan universal kini diolok-olok sebagai suatu ilusi. Klaim objektivitas yang ada pada sains pun tak lepas dari olok-olok dan cemoohan, bahkan objektifitas dianggap sebagai mimpi di siang bolong (Sugiharto, 2016: 39).

Pertanyaannya, apakah postmodernisme benar-benar berhasil menyapu bersih penyakit-penyakit yang ada di modernisme? Apakah postmodernisme benar-benar telah memberikan alternatif yang dibutuhkan oleh manusia? Pertanyaan inilah yang menggelisahkan penulis. Dalam tulisan ini kita akan mencoba untuk memproblematisasi postmodernisme dan mencoba memberikan alternatif lain bagi postmodernisme. Tulisan ini dikerangkai oleh buku Materialisme Dialektis: Kajian Tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer (2012) yang ditulis oleh Martin Suryajaya. Agar pembicaraan tidak terlalu melebar, maka kita akan membatasi pembicaraan dalam tulisan ini hanya pada wilayah pembicaraan realisme dan anti-realisme. Kedua istilah ini diasumsikan sebagai suatu yang sangat penting untuk dibicarakan, karena kita akan menemukan suatu jawaban yang menarik dalam menjawab problem yang ada dalam postmodernisme.

Anti-realisme
Problem yang mengemuka dalam pembicaraan kita kali ini adalah, apakah kebenaran dapat diakses atau tidak? Lebih jauh, apakah kebenaran itu ada? Apakah ada kebenaran absolut yang dapat direngkuh? Problem ini lah yang diperdebatkan di dalam kedua tradisi—kalau boleh disebut demikian, yakni modernisme dan postmodernisme. Kedua tradisi ini memiliki jawaban tersendiri untuk menjawabnya. Namun pemilahan ini tentunya terlalu simplistis, maka dari itu kita akan kerucutkan lagi. Kedua problem itu, dijawab oleh dua aliran besar dalam filsafat, yakni aliran realis dan anti-realis. Pihak pertama akan menjawab, bahwa kebenaran dapat diakses (lingkup epistemologi), dan kebenaran atau objek yang akan diakses itu bersifat terpisah dari subjek. Sedangkan pihak kedua akan menjawab sebaliknya, karena kebenaran tak dapat diakses, maka kebenaran atau objek yang akan diakses mesti berelasi dengan subjek, bahkan tak ada “dunia” kebenaran disana, yang ada hanyalah dunia-aku sebagai subjek yang mengakses kebenaran.

Namun, pertama-tama kita mesti menjabarkan terlebih dahulu corak filsafat yang ada di dalam modernisme, yang mengandung doktrin anti-realis. Kita akan menjabarkan filsafat Immanuel Kant sebagai suatu bentuk representasi anti-realisme pada zaman modern. Kedua, kita akan menjabarkan filsafat Jacques Derrida—yang merupakan lanjutan dari anti-realisme Kantian—sebagai bentuk anti-realisme pada zaman postmodernisme; yang konon merupakan filsafat yang ikut membidani karakter-karakter yang ada pada zaman postmodernisme, sebagaimana disebutkan di awal tulisan.

      Kritisisme Immanuel Kant
Immanuel Kant membangun proyek filosofisnya berdasarkan kecemasannya atas aliran rasionalisme dan empirisme, terkait pembicaraan mengenai epistemologi. Posisi rasionalisme berada di pihak yang mengklaim bahwa pengetahuan sejati adalah yang bersifat a priori, sedangkan posisi empirisme berada di pihak yang mengklaim bahwa pengetahuan sejati bersifat a posteriori. Posisi Kant adalah menggabungkan kedua aliran tersebut.

Mengutip T. Z. Lavine (2002), pertama-tama Kant ingin menjelaskan bahwa instrumen pengetahuan kita bersifat a priori pada satu sisi, dan bersifat a posteriori disisi lain. Dalam konsep yang a priori Kant ingin mengemukakan bahwa dalam fakultas “kepala” kita terdapat suatu konsep Murni. Konsep Murni tersebut ialah: pertama, konsep tersebut mendahului pengalaman; kedua, konsep tersebut tidak terikat pada pengalaman; ketiga, konsep tersebut bersifat universal; dan yang keempat, konsep itu merupakan suatu kemestian bagi pengalaman (h. 188).

Untuk memahami apa yang dimaksud oleh Kant, kita akan mengikuti penjabarannya lebih lanjut. Pertama-tama, mengutip pendapat Budi Hardiman (2007), Kant menjabarkan bahwa pengetahuan kita didasarkan pada pengalaman—pada posisi ini ia setuju dengan kaum empiris, namun ia menolak empirisme naif. Maksudnya, ia menolak pandangan yang mereduksi seluruh sumber pengetahuan kita, hanya pada pengalaman indrawi saja. Mengapa demikian? Karena bagi Kant, ada suatu landasan yang melampaui pengalaman yang memungkinkan pengetahuan kita. Apa landasan itu? Yakni konsep yang bersifat a priori—disinilah letak adopsi Kant atas doktrin rasionalisme (h. 137).

Bagi Kant ada suatu konsep a priori—di dalam pembahasan estetika transendental—yang mengkonstitusikan pengalaman kita. Jadi ketika kita mengindrai sesuatu, ada suatu konsep yang mesti ada dalam proses mengetahui atau dalam bahasa lain disebut—meminjam istilah Budi—sebagai forma murni pengindraan; terdiri dari apa saja forma murni tersebut? Forma tersebut terbagi dua, yaitu ruang dan waktu. Konsekuensi dari sintesis ini (biasanya disebut sebagai sintesis a priori) adalah, terdapat suatu das Ding an sich, atau benda pada dirinya yang tak dapat diketahui. Maksud dari kata “terdapat” tidak berarti: karena pengetahuan kita bersifat sintesis, maka benda pada dirinya menjadi hadir. Namun maksudnya ialah, karena pengetahuan kita bersifat sintesis a priori, dalam artian objek selalu dikonstitusikan oleh subjek, maka benda pada dirinya menjadi dimensi tersendiri. Mengapa demikian? Karena, benda pada dirinya tak dilingkupi oleh struktur subjek, yakni fakultas a priori (Hardiman, 2007: 137-139).

Selain konsep ruang dan waktu, dalam pembahasan analitika transendental, Kant menghimbau bahwa ada konsep a priori lain yang ikut mengkonstitusikan objek penampakan[1] (Hardiman, 2007: 139). Konsep tersebut adalah kategori-kategori yang ada di dalam fakultas pemahaman kita. Kategori-kategori tersebut, menurut Lavine (2002), terdiri dari 4 cabang, yang masing-masingnya terdiri dari 3 sub-bagian: kuantitas (kuantitas, pluralitas, totalitas), kualitas (pembenaran, sangkalan, batasan), hubungan (zat-kejadian, sebab-akibat, timbal balik kausal), dan modalitas (kemungkinan, aktualitas, keharusan) (h. 187).

Terkahir, mengutip pendapat Martin Suryajaya (2012), Kant memberi suatu pertanyaan, apakah yang memungkinkan segala sintesis pengetahuan itu terjadi sehingga melahirkan suatu putusan? Atau dalam bahasa lain, apa yang melandasi dari segala proses pengetahuan tersebut? Kant menjawab Apersepsi Transendental. Menurut Martin, Apersepsi transendental atau kesatuan subjektif adalah “sebuah sisntesis a priori yang mengkonstitusikan subjek sehingga ia mampu mengolah berbagai representasi sebagai representasi yang ia miliki (sebagai representasinya) untuk lantas mensintesakannya ke dalam putusan” (h. 36).

Apersepsi transendental diniscayakan sebagai fondasi, karena jika tidak ada apersepsi transendental maka pengetahuan kita akan kabur, bahkan kita tak dapat mengetahui “sesuatu” sebagai sesuatu yang utuh[2]. Misalnya, ketika saya mempersepsi kopi yang dingin, maka konsep “kopi” dan “dingin” akan selalu dalam kesatuannya menjadi putusan “kopi yang dingin”, jika terdapat apersepsi transendental; atau ada yang menjamin bahwa subjek yang mempersepsi “kopi” dengan yang mempersepsi “dingin” adalah subjek yang sama.

      Derrida dan differance
Jacques Derrida dikenal sebagai sosok filosof posmodernisme; yang dikategorikan sebagai sosok filosof pasca strukturalisme. Ia terkenal dengan konsepnya tentang dekonstruksi. Namun, kita tak akan menjabarkan dekonstruksi secara luas. Kita akan membicarakan mengenai konsep differance. Kita akan mengikuti paparan dari Muhammad al-Fayyadl (2011) tentang differance Derrida. Konsep differance, pertama kali diperkenalkan oleh Derrida pada ceramahnya di Societe francaise de philosophie pada 27 Januari 1968. Differance menurut Derrida bermakna penundaan yang tidak memungkinkan sesuatu hadir (h. 110).

Sebenarnya konsep differance merupakan reaksi atas strukturalisme Ferdinand de Saussure. Kritik Derrida atas Saussure, terletak pada konsep Saussure tentang kehadiran makna pada proses pembedaan. Bagi Saussure, bahasa merupakan sistem diferensial yang dibentuk oleh perbedaan dari tanda[3] yang bersifat arbitrer (al-Fayyadl, 2011: 116). Misalnya, kata “meja” selalu berelasi dengan non-meja, misalnya kursi. Sumber kebermaknaan meja adalah perbedaannya dengan kursi (Suryajaya, 2012: 4-5).

Kritik Derrida adalah, bahwa Saussure masih menginginkan kehadiran makna. Bagi Derrida, mengutip perkataan al-Fayyadl (2011): “fungsi tanda hanya sebatas membedakan sistem bahasa dan tidak mempunyai jangkauan lebih jauh selain menjadi sistem komplementer dari wicara”. Maksudnya, Saussure kurang radikal dalam mengonsepsi tanda sebagai proses penundaan yang tak memungkinkan suatu “kehadiran”—yang bersifat utuh (h. 116).

Apa yang diupayakan Derrida dalam differancenya adalah membebaskan tanda dari pengaruh referensi langsung atau kehadiran makna; dan mengaktualkan potensi tanda sebagai bentuk pencarian kemungkinan (ketakhadiran) yang paling paradoksal dari suatu bahasa. Jadi bahasa, tidak lagi dianggap sebagai suatu “representasi” akan tetapi suatu bentuk penundaan makna yang bersifat tak terbatas (ketakhadiran dan kekurangan) (al-Fayyadl, 2011: 117). Misalnya, ketika kita dihadapkan pada kata “meja” maka makna kata tersebut selalu “ditunda” oleh penanda “meja” dengan relasi dengan penanda lain yang “non-meja”. Disinilah letak dari sisi “ketidakhadiran” sebagai bentuk kritik atas tendensi “kehadiran” makna yang ada di dalam tradisi Saussurian.

      Kant, Derrida, dan anti-realisme yang problematis
Apa yang menjadi problem dalam filsafat Immanuel Kant dan Jacques Derrida adalah sisi anti-realisme. Bangunan filsafat Kant adalah Korelasionisme (Suryajaya, 2012: 83), sedangkan Derrida adalah turunan dari Idealisme Hegel. Bahkan tidak hanya Derrida, namun para filosof—tidak semua—pasca modern atau lebih akrab disebut dengan filsafat postmodern tak lain dari derivasi idealisme Hegel. Sisi idealisme dari Derrida adalah dari konsep differancenya. Differance Derrida secara implisit “agak” ekuivalen dengan doktrin dari idealisme yakni, doktrin relasi internal. Doktrin relasi internal merupakan jantung dari filsafat Hegel, jika kita berpijak pada paparan Martin Suryajaya (2012) (h. 4).

Sisi korelasionisme Kant bagi Quentin Meillassoux, sebagaimana dikutip oleh Martin (2012), dapat dijelaskan seperti ini: dalam kerangka Kantian tak ada suatu kecocokan antara representasi subjektif dengan objek. Oleh karena itu, apa yang diketahui oleh subjek hanyalah fenomena saja, sedangkan nomena tak dapat diketahui, tak dapat diakses, tak dapat direngkuh. Maka dari itu, problem sesungguhnya adalah problem representasi subjektif yang berimplikasi pada dua distingsi representasi. Dua distingsi itu adalah: representasi subjektif yang dapat diuniversalkan (disebut sebagai ilmiah), dengan representasi subjektif yang tak dapat diuniversalkan (tak ilmiah). Misalnya, kopi ini terasa manis. Ini merupakan representasi yang tak dapat diuniversalkan; sedangkan yang contoh yang kedua adalah, kopi dipanaskan oleh air mendidih sekian derajat. Reduksi yang dilakukan oleh Kant sebenarnya, telah dilakukan oleh George Berkeley. Berdasarkan anggapan bahwa sebenarnya tidak ada sifat imanen yang ada di dalam objek, sebagaimana dikira oleh para filosof dogmatis semacam Rene Descartes dan John Locke[4]. Kant merupakan filosof yang meradikalkan rumusan Berkeley. Singkat kata Korelasionisme adalah “doktrin” yang menyatakan bahwa objek tak terlepas dari subjek. Dalam artian, kita tak bisa melepaskan dua entitas tersebut. Kedua entitas tersebut mesti terjalin satu sama lain (h. 82-84).

Lanjut Martin (2012) tanpa mengutip Meillassoux, sedangkan doktrin relasi internal yang “tersembunyi” dalam differance Derrida dapat dijelaskan seperti ini: sebagaimana diketahui, bahwa idealisme Hegel berpangkal pada doktrin relasi internal. Relasi internal adalah doktrin yang menyatakan bahwa identitas sesuatu dikonstitusikan oleh yang-lain, dan ini bersifat universal. Relasi bersifat internal di dalamnya. Misalnya, menyatakan bahwa “garpu adalah bukan sendok”, berarti menyatakan bahwa “sendok” merupakan negasi internal yang ada dalam diri “garpu”, plus disyaratkan oleh “garpu”. Dalam positivitas terdapat negativitas (h. 3).

Differance Derrida berpangkal dalam asumsi relasi internal. Hal ini terlihat ketika—misalnya—makna kata “garpu” selalu dikonstitusikan oleh penanda “sendok”. Maka dari itu, “garpu” selalu mesyaratkan makna “sendok”, negativitas internal yang menunda positivitas makna. Jika dalam Saussure, negativitas itu ditampik dan mengandaikan kehadiran yang penuh dalam makna, maka dalam konstruksi differance negativitas itulah yang ditegaskan. Dalam artian, bahwa yang negatif inilah yang selalu disyaratkan oleh positivitas. Selalu ada jejak (trace) dalam suatu “kata X”, dan “kata X” itu dimungkinkan karena selalu meniscayakan relasinya dengan kata negativitas (non-X). Trace ini tidak bersifat aksidental, tapi internal dalam suatu “kata” (Suryajaya, 2012: 6), karena ia adalah syarat dari suatu makna “kata”.

Implikasi anti-realisme
Sebelum menjabarkan kritik atas anti-realisme, penulis akan menjabarkan terlebih dahulu implikasi dari anti-realisme. Doktrin anti-realisme yang ada pada postmodernisme menurut Quentin Meillassoux, sebagaimana dikutip oleh Martin (2012), yang didalamnya juga terdiri dari korelasionisme, berimplikasi pada delegitimasi filsafat. Implikasi dari delegitimiasi filsafat—yang mana berposisi sebagai aparat penentu dan pencari kebenaran dalam dunia—adalah ia (baca: filsafat) menjabarkan dunia yang sebenarnya tidak benar-benar dijabarkan. Maksudnya, dunia yang ia jabarkan sama sekali lain dengan dunia yang sebenarnya. Dalam artian ini filsafat sudah tak lagi memiliki taring untuk membuktikan benar-salah nya suatu dogma-dogma religius, karena perannya benar-benar dibatasi. Meillassoux menyebut kondisi ini sebagai agamaisasi rasio (enreligement de la raison) (h. 97-100).

Di satu pihak memang benar narasi-narasi kecil yang muncul pada zaman postmodernisme, menjadi mengemuka dalam doktrin ini (korelasionisme). Tapi pihak lain, semangat postmodernisme ini pun ternyata menyemai pula narasi kecil lain yang tak bertanggung jawab. Misalnya fundamentalisme religius. Maka benar apa yang dilakukan oleh FPI ketika membubarkan acara pentas puisi Tan Malaka di Bandung; benar pula tindakan FPI yang membubarkan kelas Marxisme di ISBI Bandung; benar pula ketika muslim Sunni “radikal dan fundamentalis” membubarkan acara peringatan atas wafatnya Husen Bin Ali yang diadakan oleh muslim Syi’ah di stadion Sidolig Bandung.

Mengapa hal itu atau sikap itu menjadi benar? Karena konsekuensi dari pengakuan das Ding an sich yang tak dapat diakses plus tak benar-benar ada; karena yang ada hanya Ada sejauh berelasi dengan pikiran. Tidak ada Ada yang tidak berelasi dengan pikiran. Inilah doktrin dari korelasionisme yang anti-realis. Kritik terhadap para kaum fundamentalis religius pun tidak dimungkinkan, karena aparat yang ada di dalam diri kita telah ditendang jauh-jauh oleh doktrin anti-realis. Karena bagaimana mungkin kita dapat membuktikan kesalahan-kesalahan mereka jika aparat penentu kebenaran dan kesalahan telah dilucuti? Inilah yang menjadi problem anti-realisme yang ada di dalam filsafat pasca modern atau postmodernisme. Untuk itu, kita mesti membuktikan realisme sebagai kebenaran. Dimana kita tak akan terjatuh pada problem yang dimunculkan oleh anti-realisme.

Realisme sebagai alternatif
Untuk penjabaran dalam bab ini, penulis akan mendasarkan diri pada paparan Meillassoux yang dikutip oleh Martin Suryajaya (2012).

            Kritik atas Korelasionisme
Untuk merobohkan korelasionisme, maka bagi Mellassoux, kita mesti mengajukan argumen “kepurbaan”. Problem ini akan sulit dipecahkan oleh kaum korelasionisme. Misalnya, bagaimana mungkin kaum korelasionisme membuktikan terbentuknya alam semesta yang terjadi sekitar 13,5 milyar tahun yang lalu, dimana manusia belum ada. Bagi kaum realis, hal ini tidak menjadi problem mendasar. Misalnya, tak masuk akal jika kita mengatakan bahwa proses terbentuknya alam semesta sangat menyilaukan dan bagiku (kualitas sekunder). Argumen yang masuk akal adalah argumen yang bersifat matematis (kualitas primer)[5] (Suryajaya, 2012: 103-104).

Disini kaum korelasionis akan menjawab kritik tersebut dengan menyatakan bahwa, Ada memberikan dirinya, sebelum keterberian kepada kesadaran. Oleh karena itu kaum korelasionis menggambarkan kepurbaan itu dalam dua tahap. Tahap pertama, bagi kaum korelasionis, kita berkubang dalam objek dan mengalamiahkan keterberian objek tersebut, dengan menganggap bahwa objek tersebut ada tanpa mensyaratkan kehadiran kita. Tahap kedua, kita menyadari bahwa korelasi Ada dan pikiran memiliki prioritas logis daripada pernyataan empirik tentang objek. Namun, Meillassoux menyatakan bahwa pernyataan kaum korelasionis sebenarnya tidak menafsirkan kepurbaan dalam konteks masa lalu, melainkan mereka menafsirkan dari konteks masa kini. Maksudnya, kaum korelasionis mula-mula mengakui kronologi keterberian dunia mendahului keterberian pada kesadaran. Akan tetapi, secara logis keterberian dunia muncul pada saat yang bersamaan pada keterberian pada kesadaran. Tafsiran ini bagi Meillassoux bukan merupakan tafsiran akan kepurbaan, namun merupakan penolakan atas kepurbaan. Inilah problem korelasionis  (Suryajaya, 2012: 105-106).

Tak sampai disitu, bagi Meillassoux, kaum korelasionisme akan menyerang realisme Meillassoux dalam beberapa bentuk: pertama, kaum korelasionis akan menyatakan—dengan mengutip Martin (2012) secara langsung: “bahwa Meillassoux hanya membahas problem kepurbaan dalam konteks temporal dan tidak pada konteks spasial, padahal inti argumen Meillassoux adalah soal ketiadaan saksi, dan oleh karenanya juga dapat dirumuskan dalam konteks spasial”; kedua, lanjut Martin (2012), jika soalnya karena ketiadaan saksi, maka problem kepurbaan tentang jarak spasial menjadi kabur. Misalnya, kawah bulan akan terasa lebih dekat—karena ada saksi, dibandingkan dengan semut yang ada di tangan kita dimana tak ada yang menyaksikan semut tersebut; ketiga, bagi kaum korelasionis Meillassoux terjatuh dalam problem menyamakan antara yang-terpikirkan dan yang-tersaksikan—argumen Meillassoux diklaim sebagai argumen lama melawan idealisme. Jika demikian, maka bagi Meillasoux, karena kepurbaan tak dapat disaksikan maka kaum korelasionisme tak dapat menjawab hal problem kepurbaan. Namun, kaum korelasionisme akan membantah kembali, mereka akan menyatakan—dengan mengutip Husserl—bahwa problem ini telah terselesaikan dengan argumen mengenai kubus. Kubus yang nampak kepada kita bukan merupakan kubus yang seutuhnya. Hal ini bukan problem, karena kita dapat mengandaikan saksi (non-persepsi) atas sudut kubus yang lain, sehingga kita dapat mengandaikan persepsi tentang kubus yang utuh[6] (h. 108-109).

Seluruh argumen itu bagi Meillassoux telah mengelirukan argumen tentan kepurbaan. Karena persoalan utamanya adalah bukan ketakhadiran dalam yang terberi melainkan ketakhadiran keterberian itu sendiri. Singkatnya, bukan persoalan ada atau tidak adanya saksi dalam jarak spasial, namun persoalannya adalah kemendahuluan yang mendahului segala keterberian pada kesadaran. Inilah argumen bantahan terhadap anti-realisme yang tercantum dalam korelasionisme. Singkat kata inilah realisme ala Meillassoux. Inilah bentuk alternatif dari problem korelasionisme yang tak dapat ditanggulangi, kecuali oleh realisme (Suryajaya, 2012: 109).

      Kritik atas Relasi Internal
Sudah dikemukakan dimuka, bahwa konsep differance dalam filsafat pasca strukturalisme Derrida menganut doktrin relasi internal. Singkatnya konsep penundaan dalam Derrida merupakan relasi internal. Jadi kehadiran merupakan ketakhadiran. Inilah yang disebut dengan kekurangan (lack)[7]. Kehadiran makna X selalu mensyaratkan ketakhadirannya, yakni non-X. Terdapat non-X yang mengonstitusi kekosongan dalam setiap X, yang membuat X senantiasa kurang (Suryajaya, 2012: 8).

Pertanyaannya, apa sebenarnya yang ditandai oleh kekurangan? Kekurangan selalu mensyaratkan kurang-akan-sesuatu. Kekurangan itu adalah materialitas objektif. Misalnya, Garpu objektif adalah kekurangan yang ada dalam penanda Garpu. Disinilah kita mendapati kebuntuan atau batas idealisme. Jika semua berkorelasi satu sama lain—doktrin relasi internal—maka agar korelasi itu bermakna maka ia (korelasi itu sendiri) mesti mengarah pada sesuatu yang a-korelatif. Kita bisa menerjemahkannya seperti ini: idealisme selalu mensyaratkan realisme atau materialitas objektif! Namun, perlu diketahui, bahwa realisme tidak mensyaratkan idealisme. Oleh karena itu realitas eksternal adalah motor penggerak bagi relasi internal, namun tidak sebaliknya (Suryajaya, 2012: 8-10).

Menyadari hal ini, Derrida lantas memistifikasi realitas eksternal tersebut secara ontologis dan tidak secara epistemologis. Konsep ini mengemuka dalam “yang-akan-datang” (a-venir). Maka dari itu ternyata ada dua pilihan yang mengemuka dalam kontradiksi ini: pertama, terjatuh pada solipsisme yang narsistik dan oto-afektif, dalam artian menganggap realitas eksternal sebagai efek dari relasi internal. Sederhananya, kita bisa menyebut sikap ini sebagai mansturbasi, karena mereka sama sekali tak membicarakan apapun kecuali diri mereka sendiri; atau kedua, mengakui materialitas objektif/realitas eksternal sebagai sesuatu yang niscaya. Inilah posisi realisme (Suryajaya, 2012: 10-11).

Dalam pembicaraan dari awal sampai akhir ini, kita menemukan suatu fakta bahwa kebuntuan kontradiksi idealisme dan korelasionisme adalah dengan mengakui realisme. Dengan mengakui realisme berarti kita mengakui materialisme. Materialisme, bagi Martin Suryajaya (2012) “adalah ontologi yang paling konsisten dengan epistemologi realis sejauh materialisme menegaskan realitas material sebagai titik berangkat analisis yang tidak mensyaratkan relasi dengan kesadaran. Dengan materialisme, titik tolaknya bukan lagi kesadaran […] melainkan titik tolaknya adalah materialitas objektif yang untuk ada tidak perlu membutuhkan konfirmasi apapun dari subjek.” (h. 12-13)

Namun ada problem lain dari materialisme, lanjut Martin (2012), yakni materialisme kerap dianggap sebagai (materialisme ala filosof Pencerahan) aliran yang terjebak dalam paham tentang materi sebagai objek yang tetap, yang satu-satunya hubungan dengan subjek adalah hubungan pencerapan indrawi. Konsepsi seperti ini adalah berbahaya terhadap implikasi politis, karena kita tak akan dapat memikirkan emansipasi politik, terdapat anggapan bahwa tatanan sosial yang hadir telah begitu adanya, dan bersifat alamiah. Untuk mengatasi hal ini, maka diperlukan materialisme dialektis. Dimana materi bukan merupakan objek yang tetap dan alamiah, namun materi ini berkaitan dengan proses produksi manusia dalam kehidupannya. Namun mesti dipahami bahwa, materialitas objektif ini selalu mengondisikan manusia, dalam artian membatasi kemungkinan praxis manusia (h. 13-14).

Singkat kata dari tulisan ini adalah: Marxisme merupakan solusi dari kebuntuan filsafat kontemporer atau posmodernisme!

Daftar Pustaka
Al-Fayyadl, Muhammad. (2011). Derrida. Yogyakarta: LKiS.
Hardiman, F. Budi. (2007). Filsafat Modern: dari Machiavelli ke Nietzsche. Jakarta: Gramedia.
Lavine, T. Z. (2002). Petualangan Filsafat: dari Socrates ke Sartre. Yogyakarta: Jendela.
Sugiharto, I. Bambang. (2016). Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Suryajaya, Martin. (2012). Materialisme Dialektis: Kajian Tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer. Yogyakarta: Resist Book.



[1] Ingat bahwa yang dapat kita ketahui hanya penampakan saja. Sedangkan benda pada dirinya tak dapat diketahui. Mungkin kita mengenal istilah ini: fenomena (penampakan) dan nomena (benda pada dirinya).
[2] Utuh dalam pengertian Kantian
[3] Ingat distingsi signifier dan signified
[4] Ingat pemilahan antara kualitas sekunder dan primer
[5] Disini kualitas sekunder tidak direduksikan pada kualitas primer. Bagi kaum realis ada suatu sifat atau kualitas yang imanen pada diri objek, yakni kualitas primer.
[6] Utuh dalam konteks korelasionisme
[7] Inilah yang ingin ditunjukkan dan ditegaskan Derrida, atau dalam bahasa lain Derrida menampik konsep kehadiran.

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra