Sedikit Tentang Karl Marx
Oleh:
Raja Cahaya Islam
Jika
kita mendengar nama Karl Marx mungkin dalam benak kita terbayang nama lain,
misalnya Komunisme. Mengapa demikian? Karena memang Marx merupakan ‘ibu’ yang
melahirkan Komunisme dan Marxisme. Hal inilah yang mungkin menyebabkan Karl
Marx terkenal di seantero dunia, mengingat paham ini pernah ‘menguasai’ suatu
Negara, yaitu Rusia. Tak hanya itu, pemikiran dari sang ‘Nabi’ ploretariat ini
pernah menjadi tren tersendiri di Indonesia. Namun disisi lain pemikiran dari
Komunisme dan Marxisme sendiri pernah menjadi ‘barang yang diharamkan’ oleh
Rezim Orde Baru, bahkan sepertinya hari ini pun ‘fatwa’ ini masih menapak dalam
benak masyarakat Indonesia.
Meskipun perbincangan mengenai Marx
hari ini dilarang—mungkin—secara implisit dan eksplisit, namun sepertinya
‘fatwa’ ini tak akan berpengaruh di dalam lingkup pengetahuan akademis, maka
dari itu makalah ini kami sajikan demi terciptanya tradisi intelektual yang tak
dogmatis dan demi tugas dari dosen mata kuliah: Filsafat Sosial. Dalam makalah
ini kami akan mencoba untuk membincang ‘sedikit’ mengenai Karl Marx. Mengapa
sedikit? Mengingat kajian mengenai Marx sendiri, merupakan kajian yang sangat
luas, dengan melihat waktu kita yang tak begitu banyak di dalam kelas serta
masih sangat sedikitnya ilmu yang kami miliki, maka kami mencoba untuk mengupas
sedimikian rupa inti-inti dari pemikiran Marx, meskipun kami tak bisa menutup
mata bahwa akan ada inti-inti pemikiran Marx yang terlewatkan dalam makalah
ini, atau dalam bahasa lain luput dari pembahasan.
Biografi singkat
Karl Marx lahir dari lingkungan Yahudi.
Namun dalam usia enam tahun dia dibaptis masuk agama Kristen Protestan. Ia
mengenyam pendidikan dasarnya di daerah kelahirannya, lalu ia melanjutkan
studinya ke Universitas Bonn dan pindang ke Universitas Berlin. Pada mulanya
dia tertarik mempelajari ilmu hukum, namun kegemarannya berubah, ia mulai
mempelajari filsafat khususnya filsafat Hegel. Ia sempat ditegur oleh Ayahnya
dikarenakan ia bergonta-ganti ke berbagai pengetahuan tanpa jelas. Di Berlin ia
mengikuti perkumpulan Doktorclub yang
merupakan kaum Hegelian Muda. Namun, ‘karir’nya dalam Hegelian Kiri tidak
membuatnya bertahan lama, dikarenakan kecenderungan teoritis dari kelompok ini,
alias jauh dari kata praktis Marx melanjutkan Studinya di Universitas Jena dan
meraih gelar doktornya pada usia 23 tahun, dengan judul disertasinya “Perbedaan
Filsafat Alam Demokritos dan Epikurus”. Perhatiannya pada wilayah praktis mulai
tumbuh secara signifikan ketiak ia berada di Koln sebagai editor utama surat
kabar Rheinische Zeitung, karena
kegiatan inilah ia melihat problem-problem sosial, politik dan ekonomi di
Jerman pada waktu itu. Tak lama kemudian ia pindah ke Paris menjadi editor Deutsch-franzosische Jahrbucher
(Hamersma, 2007: 232-233).
Di kota ini ia bertemu seseorang yang kelak
akan menemaninya terus serta memberinya pengaruh, yaitu Friedrick Engels anak
seorang pemilik pabrik tenun. Bersama Engels, ia menulis buku “Keluarga Kudus”.
Oleh perjuangan praktisnya melawan ketimpangan yang ada, dan seringkali
menyerang pemerintahan Jerman. Ia lalu dipindahkan ke Brusel. Di kota ini ia
menulis buku “Manifest der Kommunistisechen
Partei” (Manifesto Komunis). Melalui perjuangan Revolusi 1848 dengan
semangat yang radikal, ia ditahan dikarenakan dianggap membahayakan Negara,
lalu diusir ke Inggris. Di British museum ia mengabdikan hidupnya untuk
menulis, meskipun kondisi keuangannya sedang melarat. Untungnya sahabat
karibnya Engels memberinya tunjangan. Marx selain menulis buku-buku yang
disebutkan dimuka, ia pun melahirkan buku Das
Kapital (Modal), Das Elend der
Philosohpie (Miskinnya filsafat),
Thesen uber Feuerbach (Tesis-tesis tentang Feuerbach) (Hamersma, 2007:
233).
Pemikiran Karl Marx
Perpisahan
dengan Hegel
Sebenarnya Marx merupakan seorang pewaris
Hegel. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa ia pernah mengikuti perkumpulan Hegelian
Sayap Kiri di Berlin. Namun ia tidak membuta kepada Hegel, ia menanggapi
pemikiran Hegel secara kritis. Pemikiran Hegel yang ia ‘gunakan’ ada tiga: pertama, Marx menggunakan metode
dialektika Hegel dalam menjelaskan sejarah dan perubahan masyarakat; kedua, Marx percaya pada asumsi-asumsi
Hegel, bahwa manusia mewujudkan dirinya dalam sejarah dengan tujuan tertentu; ketiga, Marx juga merefleksikan
kenyataan secara “negatif”, yaitu alienasi (Hardiman, 2007: 236).
Marx pun mengkritik Hegel dalam pelukisan
sejarah. Menurutnya, Hegel sudah benar dalam melukiskan sejarah yang dialektis
yang terkandung didalamnya kontradiksi tesis dan antitesis, dan sintesis itu
berakhir dalam pendamaian kontradiksi. Dan sintesis menurut Hegel berakhir
dalam Roh Absolut. Marx menyatakan bahwa sintesis semacam ini hanya terjadi
dalam pikiran Hegel. Karena pada realitas konkret konflik sosial dalam
masyarakat industri itu masih tetap terjadi[1].
Jika demikian maka sintesis itu membenarkan penindasan berlangsung pada
masyarakat (Hardiman, 2007: 237).
Pentingnya
Ilmu Ekonomi
Sebelum menjabarkan lebih jauh tentang
pemikiran Marx. Di sini kita akan menjabarkan asumsi Marx terlebih dahulu,
yakni mengenai pentingnya Ilmu Ekonomi. Pembicaraan ini didasarkan ketika Marx
mulai membaca karya-karaya ahli ekonomi, seperti Adam Smith, David Ricardo dll;
untuk memahami revolusi industri beserta dampaknya. Menurut T. Z. Lavine
(2002), Marx menjelaskan mengenai pentingnya ilmu ekonomi berdasarkan
penggunaannya atas analisa Hegel. Bagi Hegel, ekonomi di dalam masyarakat bak
medan perang. Maksudnya, ekonomi merupakan tempat dimana setiap kepentingan
individu bertemu satu sama lain. Lebih jauh, di sinilah tempat hasrat egoistis
bertemu dan saling mengeksploitasi. Hal ini tercermin dari kondisi masyarakat
yang timpang. Ketimpangan ini nampak dimana terdapat polarisasi kekayaan
beberapa orang dan munculnya kemiskinan massal (h. 261)
Tak sampai disitu—dalam esai Marx yang
berjudul “Pertanyaan Kaum Yahudi”, bagi Hegel[2]
dunia komersial modern merupakan agama yang menyembah uang, dan Hegel
menyamakan penyembahan uang ini dengan ajaran kaum Yahudi. Mengapa demikian?
Karena ajaran Yahudi didasarkan pada suatu keyakinan untuk kebutuhan praktis,
yang bersifat egois. Ajaran ini memungkinkan umat Yahudi untuk mengumpulkan
uang sebanyak-banyaknya dalam ruang kompetitif (masyarakat). Sebagai hasilnya,
mengutip Lavine (2002): “Uang adalah
Tuhan kecemburuan Israel, selain itu tidak ada Tuhan lainnya. Uang menurunkan
tahta semua Tuhan manusia dan mengubahnya menjadi sebuah komoditas. Uang adalah
universal, secara mandiri mewakili semua benda. Oleh sebab itu uang telah
menghilangkan semua dunia, baik dunia manusia dan alam, dengan nilainya
sendiri. Uang merupakan esensi terasing hasil dari pekerjaan seseorang dan
makhluk miliknya. Makhluk ini memerintahnya dan dia menyembah makhluk ini”.
Maka untuk memahami “pertanyaan kaum yahudi” ialah dengan mengenali ajaran kaum
Yahudi sebagai sebuah elemen anti-sosial (h. 262).
Alienasi
Feuerbach serta rekonstruksi Marx atas pemahaman alienasi
Masalah keterasingan merupakan titik
pijak Marx dalam peralihannya dari dunia langit ke dunia bumi. Maksudnya ia,
dengan diktum terkenalnya: “para filosof hanya menginterpretasikan dunia secara
berbeda, yang perlu ialah mengubahnya”. Pernyataan ini berangkat dari hasil
pemahamannya terhadap Ludwig Feuerbach dalam masalah keterasingan (Suseno,
2000: 74). Untuk memahaminya lebih jauh, kami akan menjelaskan secara singkat
apa yang dimaksud keterasingan oleh Feuerbach.
Titik pijak Feuerbach berangkat dari
filsafat Hegel. Ia (Hegel) dalam filsafat rohnya menyebutkan, bahwa dalam
kesadaran manusia Roh mengungkapkan diri. Maksudnya, mungkin kita akan berpikir
bahwa keputusan-keputusan yang muncul dalam diri kita berasal dari kebebasan
kita. Padahal pada kenyataannya, tindakah pelahiran keputusan berasal dari Roh
yang sedang mengungkapkan diri. Namun, manusia tak menyadarinya (Suseno, 2000:
66). Gagasan ini merupakan kritik Feuerbach atas Hegel. Menurut Feuerbach,
Hegel telah memutarbalikan kenyataan, yang semestinya menjadi subjek malah
menjadi objek, dan objek malah dijadikan subjek. Roh dianggap sebagai subjek. Padahal
menurut Feuerbach, subjek (yang nyata) adalah manusia konkret dalam alam indrawi,
bukan roh yang bersifat spekulatif. Konsekuensinya, rohlah yang dibayangkan
oleh Hegel merupakan—sekedar—proyeksi manusia (Suseno, 2000: 68).
Kritik Feuerbach ini menandaskan bahwa
bukan Tuhan yang menciptakan manusia, namun sebaliknya, manusialah yang
menciptakan Tuhan. Lanjutnya, Tuhan hanyalah proyeksi manusia mengenai dirinya
sendiri. Konsep ini merupakan gagasan yang ia dapat dari Hegel—mengenai
objektifikasi manusia untuk mengenal dirinya. Nah hal ini terjadi pada agama.
Manusia mengobjekkan dirinya sendiri. Tindakan ini merupakan suatu hal yang
‘positif’. Namun, mirisnya menurut Feuerbach, manusia lupa mengenai aktifitas
pengobjektifannya. Maksudnya, ia lupa akan proyeksi dirinya sendiri, sehingga
ia menganggap real proyeksi dirinya, sehingga proyeksi tersebut menggantikan
dirinya. Proyeksi Tuhan, seperti Maha bijak, Maha mengetahui, Maha kuasa dll, alih-alih
merealisasikan ‘cerminan’ diri manusia, ia (baca: proyeksi-proyeksi tersebut)
malah menjadi lebih real daripada diri manusia. Keadaan inilah yang disebut sebagai
keterasingan (alienasi) (Suseno, 2000: 69-70).
Anggapan Feuerbach ini kemudian
menginspirasi Marx, yakni dalam teori alienasi. Namun, Marx memberi suatu
catatan kritis atas alienasi Feuerbach. Menurut Marx, Feuerbach berhasil
menjelaskan mengenai keterasingan manusia, namun Feuerbach tidak menjelaskan
‘mengapa’ manusia mengasingkan dirinya ke dalam agama (Hamersma, 1992: 70).
Tambah Marx, selain itu Feuerbach hanya menjelaskan manusia secara abstrak,
bukan manusia secara konkret. Manusia yang konkret adalah manusia dalam
masyarakat. Dan inilah yang menjadi titik pijak kritikan Marx terhadap
Feuerbach, ia mengatakan manusia merealisasikan dirinya secara semu dalam agama,
manusia menciptakan sesuatu yang imajiner untuk dirinya sendiri. Lantas,
pertanyaannya, mengapa manusia melakukan itu? Karena ia (seorang individu)
tidak bisa merealisasikan dirinya dalam masyarakat, ia akan menderita dalam
masyarakat. Lalu ia lari kepada pengharapan ‘dunia khayali’ (agama). Dari dasar
argumentasi ini, Marx menemukan kerangka yang terkenal, yaitu
basis-suprastruktur. Agama merupakan suprastruktur, maka dari itu kita harus mencari
basisnya; yang menyebabkan manusia terasing dalam agama (Suseno, 2000: 72-75).
Dalam menjelaskan permasalahan ini Marx
memulainya dengan pembahasan mengenai kerja. Menurut Marx kerja merupakan
sarana manusia menemukan dirinya (Suseno, 2000: 89). Pekerjaan membuat manusia
bahagia, karena ia merealisasikan dirinya melalui kerja. Kerja merupakan sarana
manusia merealisasikan dirinya. Kerja yang menjadi ciri khas manusia,
bercirikan kebebasan. Dalam artian ini, kerja tidak hanya berarti desakan dari
naluri manusia. Lebih dari itu, manusia memiliki nilai estetis dalam bekerja,
yang berbeda dengan binatang lain. Maksudnya, kerja manusia seringkali
didasarkan atas keinginannya terlepas dari desakan naluri untuk hidup (Suseno,
2000: 89-90).
Namun dalam kenyataan hari ini—menurut
Marx—kerja menjadi tak memberikan kebahagiaan lagi, mengapa? Kerja menjadi
‘negatif’ dan tidak membahagiakan, jika terdapat hak milik pribadi. Maksudnya
seperti ini, Marx menjelaskan bahwa manusia terasing itu disebabkan: ketika
manusia bekerja, dalam hal ini mengobjektifikasi dirinya, akan tetapi ia tak
merasakan atau memiliki hasil dari apa yang ia kerjakan. Hal ini disebabkan
adanya kepemilikan pribadi, seperti di pabrik contohnya. Di pabrik para buruh bekerja,
namun mereka tak merasakan hasil dari pekerjaan mereka[3],
karena hasil buah kerja mereka menjadi milik pabrik (Harmesma, 1992: 70-71).
Maka dari itu seorang buruh bekerja karena terpaksa untuk mempertahankan
hidupnya, karena jika tidak demikian ia bisa saja mati karena tak dapat
menafkahi keluarganya. Jadi dalam hal ini kerja bukan merupakan kehendak bebas
manusia, sebagai ciri khas dibanding mahluk lain. Ia telah terlepas dari
hakikat kerja, dan hal inilah yang disebut sebagai keterasingan (alienasi).
Selain terasing dari dirinya sendiri, ia
pun terasing dari orang lain. Ciri keterasingan itu adalah uang. Manusia tidak
bekerja atas sesuatu yang bernilai bagi dirinya sendiri, namun berdasarkan pada
tindakan yang menghasilkan uang atau tidak. Misalnya, manusia menciptakan
sepatu bukan untuk nilai gunanya, tapi untuk modal. Begitupula dengan kasus
menghadapi orang lain. Ia tidak akan memberi sesuatu, sejauh sesuatu itu tidak
menghasilkan uang. Keterasingan manusia atas orang lain itu menandakan sikap
egois (Suseno, 2000: 98-99).
Materialisme
Sejarah
Yang dimaksud materialisme dalam
pemikiran Marx, bukanlah materialisme metafisis yang nampak dalam pemikiran
Feuerbach. Materialisme dalam pandangan Marx—terkhusus dalam pemikirannnya
mengenai materialisme sejarah—adalah kegiatan dasar manusia, yakni kerja sosial
bukan pemikirannya. Ia sepakat dengan Feuerbach ketika berbicara kenyataan,
bahnya yang real itu adalah objek indrawi, namun Marx menambahkan bahwa objek
indrawi disini harus dipahami sebagai kerja atau produksi. Lalu apa yang
dimaksud dengan sejarah dalam pemikirannya ini? Marx mengacu pada Hegel ketika
berbicara sejarah, namun Marx mengingkari roh sebagaimana dalam pengertian
Hegel. Menurut Marx sejarah bukanlah perwujudan roh, namun perjuangan kelas[4].
Metode Hegel pun dipakai, yaitu dialektika. Namun dalam pengertian Marxian, dialektika
menjadi lain. Jika dalam Hegel, tesis itu adalah Roh Subjektif, dan antitesis
itu adalah Roh Objektif, maka di dalam Marx tesis itu adalah pemodal dan
antitesis itu adalah buruh. Singkat kata, entitas-entias yang berdialektika, dalam
realitas, adalah kontradiksi dalam masyarakat, dan sintesis adalah masyarakat
tanpa kelas (Hardiman, 2007: 240).
Dalam paragraf awal, kita telah
menjabarkan sedikit tentang: kondisi material yang merujuk pada kerja sosial
dan corak produksi. Marx menganggap bahwa corak produksilah (basis) yang
mengkondisikan pikiran[5]
(suprastruktur). Menurut Marx, dalam kenyataan terdapat basis dan suprastruktur
(seperti yang sudah disingguh bab alienasi). Basis mencakup kekuatan produktif:
alat-alat kerja, pekerjaan, pengalaman atau teknologi; dan hubungan produksi:
buruh dan pemilik modal. Sedangkan suprastruktur adalah: filsafat, agama,
politik, seni dll. Basis dalam hal ini mengondisikan superstruktur. Di dalam
basis terdapat kontradiksi. Kontradiksi itu adalah, di satu pihak pemodal bersifat
konservatif dan di pihak lain corak produksi bersifat dinamis. Kontradiksi ini
lama kelamaan sulit diatasi, sehingga akhirnya melahirkan revolusi proletariat
(Hardiman, 2000: 241).
Perlu digaris bawahi dalam hal ini, bahwa
Marx bukan mendasarkan teorinya pada analisis etis. Misalnya, jangan dipahami
bahwa pemodal itu bersifat kejam, dan para buruh jadi membencinya. Namun yang
dimaksudkan oleh Marx merupakan analisa objektif terhadap perubahan sosial.
Kedua pihak (pemodal dan buruh) berada dalam kondisi asimetris dalam corak
produksi. Kondisi ini diyakini sebagai keniscayaan objektif dalam realitas,
sehingga revolusi pun niscaya pula meletup. Namun perlu diketahui ajaran ini
berbeda jika dibandingkan dengan karya Marx yang berjudul “Manifest der kommunistischen Partei”. Letak perbedaannya itu sangat
kentara ketika Marx berbicara peranan manusia sebagai penggerak revolusi (voluntarisme)
(Hardiman, 2007: 241-242).
Teori
Nilai Lebih
Dalam teori ini kita akan menemukan
eksploitasi yang dilakukan oleh pemodal, namun perlu diingatkan kembali,
eksploitasi ini tidak berada dalam wilayah etik, melainkan dari realitas
objektif. Sebelum melangkah lebih jauh, perlu diketahui kedua istilah ini:
nilai pakai dan nilai tukar. Nilai pakai adalah sejauh mana barang tersebut
bermanfaat bagi kebutuhan masyarakat. Sedangkan nilai tukar adalah nilai barang
ketika dijual-belikan di pasar. HP dan TV bisa saja harganya sama meskipun
nilai pakainya berbeda. Normalnya, pembeli itu membeli nilai pakainya, namun
bagi pemodal yang dibeli adalah nilai tukarnya. Maksudnya, para pemodal membeli
suatu komoditas untuk dijual kembali, sehingga mendapatkan laba. Lalu
pertanyannya, bagaimana nilai tukar itu ditentukan? Sebagaimana contoh HP dan
TV; memiliki nilai tukar yang sama, bagaimana ini bisa terjadi? Marx
berpendapat bahwa yang menentukan nilai tukar adalah waktu kerja yang dibutuhkan
untuk menciptakan komoditas. Tapi yang dimaksudkan di sini bukanlah waktu kerja
individual konkret, namun waktu rata-rata produksi dalam suatu masyarakat dalam
membuat suatu barang (Suseno, 2000: 184).
Nilai tenaga kerja adalah jumlah nilai
komoditas yang perlu dibeli oleh seorang buruh, untuk ‘memulihkan’ dirinya
sesuai dengan tingkat sosial dan kultural masyarakat yang bersangkutan. Dalam
artian, upah seorang buruh untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga dll,
untuk dapat bekerja lagi. Setelah memahami nilai tenaga kerja, mari kita lanjut
pada pembahasan inti kita, yaitu tentang teori nilai lebih. Untuk mempermudah
pemahaman mengenai teori nilai lebih, alangkah baiknya jika kita perhatikan
ilustrasi ini. Misalnya seorang buruh diberi upah 20.000 perhari. Dan upah itu
sesuai dengan kebutuhannya. Jadi— sebenarnya—seorang buruh menjual tenaga
kerjanya kepada si majikan, dan majikan pada dasarnya menguasai seluruh tenaga
kerja seorang buruh. Upah 20.000 yang didapat oleh seorang buruh misalnya,
dihasilkan atas penjualan tenaga kerjanya selama 8 jam. Lalu, misalnya, dalam
sehari seorang pekerja dapat menghasilkan barang produksi yang bernilai 40.000
sehari. Maka sebetulnya jika kita hitung secara ekuivalen, maka seorang buruh
cukup bekerja 4 jam sehari saja. Namun pada kenyataannya seorang buruh tetap
bekerja 8 jam dengan upah 20.000 sehari, padahal barang produksi yang
dihasilkan adalah 40.000. Nah, inilah yang dimaksud sebagai nilai lebih. Dan
hal ini merupakan keniscayaan bagi pemodal, karena laba/keuntungan perusahaan
itu tergantung pada nilai lebih. Hal inilah yang kita dapati dalam sistem
kapitalisme (Suseno, 2000: 186).
Untuk rincian dalam sistem tukar dalam
kapitalisme, kita pakai ilustrasi dari Franz Magnis Suseno (2000). Pada logika
sistem pra-kapitalis I prinsip pertukaran barang lebih sederhana. Misal barang
A (B1) senilai dengan barang B (B2): jadi B1 = B2. Dalam sistem pra-kapitalis
II, menggunakan uang sebagai perantara, namun nilai masih tetap sama. Misal, B1
– U – B2. Sedangkan dalam sistem kapitalisme hal ini menjadi lain, dalam
kondisi ini kita ganti kata uang dengan modal. Misal, M1 – K (Komoditas) – M2.
Pada dasarnya nilai tukarnya sama, lalu timbul pertanyaan, mengapa pemodal
tertarik pada M2? Jawabannya, karena M2 lebih besar. Hal ini bisa dirinci lagi
sebagai berikut: M1 (modal awal), terdiri dari, (1) teknologi, perawatan mesin,
gedung dll; (2) bahan baku (3) tenaga kerja buruh, atau waktu kerja. Kita sebut
poin 1 dan 2 dengan Biaya konstan (BK 1 dan BK 2), sedang poin 3 disebut dengan
Biaya Visual (BV). Dalam sistem kapitalisme, modal awal digunakan untuk
keperluan pabrik, yaitu ketiga unsur yang disebut sebelumnya, yang nanti akan
dijadikan komoditas (K), yang kemudia dijual dan akan menghasilkan M2. Jadi
ilustrasinya begini: M1 – K (BK1 + BK2 + BV) – M2. Dari rincian ini kita
dapatkan bahwa, penjualan nilai komoditi hanya dapat mengembalikan modal
sebagai pemeliharaan dan pembelian bahan baku (BK1 dan BK 2), namun pertambahan
modal dalam sistem kapitalis itu sendiri, atau yang menjadi keuntungan/laba
kapitalis adalah terdapat dalam BV, yang disebut dengan nilai lebih. Terakhir
sebagai penumpas, yang menjadi permasalahan adalah bukan dari nilai lebihnya.
Namun permasalahannya adalah sifat eksploitasi dari pemodal. Maksudnya,
meskipun suatu negara bersistem sosialis, tetap saja terdapat nilai lebih,
namun nilai lebih itu dinikmati oleh sang pekerja. Tidak demikian dalam sistem
kapitalis, nilai lebih itu diambil oleh pemodal bagi keperluan dirinya (h. 188
– 192).
Krisis
Kapitalisme
Marx meyakini bahwa krisis kapitalisme
merupakan suatu keniscayaan logis. Pahamnya ini bersifat deterministik, dan
pahamnya ini disebut sebagai ekonomisme. Artinya, perkembangan sejarah ditentukan
oleh hukum ekonomi yang bersifat niscaya. Ia meyakini bahwa keruntuhan
kapitalisme itu disebabkan oleh krisis-krisis ekonomi yang disebabkan oleh
kapitalisme itu sendiri, yang pada akhirnya akan menimbulkan revolusi
proletariat (Hardiman, 2007: 243).
Hukum pasar adalah persaingan. Para
pemodal dalam persaingannya di pasar, berusaha menekan harga komoditas mereka
serendah mungkin agar dapat bersaing dengan para pemodal lain. Penekanan harga
komoditi ini, dibarengi oleh produksi besar-besaran dari barang komoditas.
Sehingga laba tidak akan berkurang namun tetap sama, misalnya menjual 100 mobil
itu mendapat laba 10%, atau 1000 mobil mendapat laba 1%. Untuk menjalankan
strategi seperti ini, para pemodal membeli alat-alat produksi mereka untuk
menurunkan harga komoditi. Namun permasalahannya, para pemodal bukan mengambil
keuntungan dari alat-alat produksi yang baru, karena, misalnya modal akan
kembali untuk menutupi ‘kebutuhan’ dari alat produksi, semacam perawatan dan
penggantian dari pembelian alat produksi. Jadi keuntungan para kapitalis itu
didapat dari tenaga buruh, lebih tepatnya dari nilai lebih (Suseno, 2007:
197-199). Contohnya, dengan diperbanyaknya alat produksi maka komoditas akan
lebih banyak diproduksi, dan nilai lebih dari seorang buruh akan lebih banyak.
Untuk lebih mempermudah bisa diilustrasikan sebagai berikut: buruh diberi upah
20.000 dalam delapan jam, lalu seorang buruh dapat menghasilkan barang produksi
senilai 40.000 (nilai lebihnya disini), dengan pengembangan alat produksi maka
nilai lebih akan bertambah, misal, seorang buruh dapat menghasilkan barang
produksi senilai 60.000 (nilai lebih bertambah).
Jadi pemodal yang memiliki modal yang
besar akan menang dibanding dengan para pemodal kecil, sehingga pemodal yang
hanya memiliki modal kecil akan bangkrut, karena kalah di dalam pasar. Mengapa
demikian? Karena para konsumen tentunya akan lebih memilih harga yang murah
(Suseno, 2007: 201). Maka dari itu para pemodal semakin sedikit, dan hal inilah
yang disebut akumulasi modal—para pemodal yang bertahan. Namun hal ini
mengantarkan menuju krisis kelebihan produksi di pasar, sekaligus membuat daya
beli masyarakat menurun. Berkurangnya daya beli masyarakat, memaksa kaum
kapitalis untuk menjual barang produksi mereka semakin murah, konsekuensinya
mereka mengurangi laba dan mereka menambah produksi barang produksi sekaligus
menekan upah kaum buruh, sehingga masyarakat buruh semakin miskin. Kemiskinan
kaum buruh ini menyebabkan mereka sulit untuk membeli barang kebutuhannya,
disamping barang produksi kian menumpuk dipasar. Inilah yang menurut Marx
merupakan irasionalitas sistem kapitalisme. Karena barang komoditi tak dapat
dijual, maka produksi harus dihentikan, dan pada saat yang sama progresifitas
kaum buruh semakin meningkat sehingga menimbulkan revolusi (Suseno, 2000:
201-202).
Marx
dan Negara
Di akan dijabarkan sedikit paham Marx
tentang Negara. Pada mulanya, Marx menginginkan suatu negara yang berpihak
kepada rakyat. Namun, pada tahap selanjutnya Marx tidak berpikir seperti itu.
Bagi Marx, negara merupakan perpanjangan tangan dari kapitalisme. Maksudnya,
negara hanyalah institusi legitimatif bagi para pemodal. Disini, negara berarti
sebagai bentuk pelanggengan para pemilik modal yang eksploitatif, atau sebagai
penjamin hak bagi kepemilikan pribadi[6]
(Fink, 2010: 144).
Lanjut Marx, sebagaimana disebutkan
sebelumnya, bahwa krisis kapitalisme bagi Marx merupakan suatu keniscayaan yang
bersifat objektif. Pertanyaannya, bagaimana peran negara dalam menghadapi
krisis tersebut? Bagi Marx, negara tak akan pernah berkutik melawan atau
menanggulangi krisis kapitalisme. Kontradiksi kapitalisme yang membawa krisis
kapitalisme akan berujung pada kehancuran negara. Oleh karena itu, dapat
dipahami bahwa revolusi yang akan dilakukan oleh kaum buruh terhadap
kapitalisme, akan berdampak pula pada revolusi negara (Fink, 2010: 145).
Maka, bagi Marx, tugas filsafat sosial
bukanlah menjabarkan mengenai suatu bentuk negara mana yang baik. Tapi,
filsafat sosial mesti berfungsi sebagai penyingkap dan pengkritik
hubungan-hubungan produksi kapitalisme yang bersifat menindas. Lebih jauh, filsafat
sosial mesti dapat mengungkap karakter-karakter filsafat sosial yang cenderung
menciptakan kelas-kelas (Fink, 2010: 146). Karena, jika kita pakai analisa Marx
yang ada dalam materialisme historis, filsafat merupakan suatu suprastruktur
yang dikondisikan oleh basis, yakni corak produksi yang muncul. Oleh karena
itu, tak ayak jika filsafat sosial tertentu, misalnya filsafat sosial Thomas
Aquinas, merupakan bentuk manifestasi dari corak produksi yang muncul—dalam hal
ini feodalisme. Filsafat sosial bisa menjadi suatu alat bagi legitimasi atas
corak produksi yang menindas masyarakat. Inilah yang perlu diwaspadai!
Daftar pustaka
Fink,
Hans. (2010). Filsafat Sosial: Dari
Feodalisme hingga Pasar Bebas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hamersma, Harry. (1992). Tokoh-tokoh filsafat barat modern.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hardiman, F. Budi. (2007). Filsafat Modern: dari Marchiavelli sampai
Nietzche. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Lavine, T. Z. (2002). Petualangan Filsafat: dari Socrates ke
Sartre. Yogyakarta: Jendela.
Suseno, Franz Magnis. (2000).
Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme
Utopis ke perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
[1]
Marx berangkat dari realitas negara Prusia
[2]
paragraf ini dikutip dari tulisan T. Z. Lavine (2002)
[3]
dalam artian ini, kami maksudkan bahwa seorang buruh tak merasakan buah hasil
pekerjaannya, namun malah dalam bentuk lain.
[4]
Kami tidak menerapkannya secara eksplisit mengenai pembahasan kelas-kelas.
Sempat disingguh dalam sub-bab alienasi. Keterasingan manusia itu disebabkan
oleh beradanya hak milik pribadi. Hal ini kami maksudkan sebagai, munculnya
kelas sosial. Yaitu pemodal (dalam term hak milik pribadi), dan buruh (dalam
term orang yang teralienasi).
[5]
Dalam penjelasan ini akan nampak kaitannya dengan teori alienasi.
[6]
Hal ini terlihat jelas dalam
pemikiran filsafat sosial John Locke tentang Negara.
Comments
Post a Comment