Unsur-unsur Eksistensialisme Jean-Paul Sartre, Dalam Novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas Karya Eka Kurniawan
Latar Belakang
Eksistensialisme merupakan salah satu aliran besar di dalam filsafat. Aliran
ini dikenal sebagai aliran filsafat yang hadir untuk membela martabat manusia. Manusia,
di dalam kerangka pemikiran eksistensialisme, bukanlah suatu entitas abstrak;
bukan pula entitas yang dijabarkan secara universal. Namun, aliran ini menegaskan
bahwa manusia merupakan individu konkret, yang menghayati hidupnya. Inilah
bentuk pembelaan terhadap manusia yaitu, menghilangkan penjabaran abstrak dan
universal kepada manusia. Karena hal ini dianggap sebagai penghilangan
keotentikan seorang manusia.
Hidup bagi penganut eksistensialisme, merupakan sesuatu yang absurd, tak
rasional, keterlemparan, dan tak bermakna. Suatu kenaifan jika ada yang
menganggap bahwa hidup merupakan sesuatu yang bermakna, rasional, dan bertujuan.
Oleh karena itu, bagi penganut eksistensialisme, pengetahuan, filsafat, maupun
agama, merupakan suatu proses memaknai hidup—hanya sebatas itu. Apakah ketiga aspek
tersebut benar-benar eksis dalam realitas eksternal, merupakan suatu misteri besar.
Dalam artian, sebagai seorang subjek yang mengada—bereksistensi—manusia tak mampu
memastikan apakah kebenaran atau pengetahuan yang ia miliki itu, benar-benar merepresentasikan
realitas atau tidak. Karena, realitas eksternal begitu sulit “ditangkap”
(karena dunia telah, sudah, dan akan senantiasa absurd).
Ada suatu hal, yang dapat “diandalkan” oleh seorang manusia konkret,
yakni kebebasan. Kebebasan merupakan faktisitas. Ia adalah suatu daya yang tak
bias ditawar lagi. Dalam artian, kebebasan itu mutlak ada dalam diri manusia,
atau dalam bahasa lain, kebebasan inheren di dalam diri manusia. Mengapa mesti
kebebasan? Karena kebebasan merupakan motor dalam “membentuk”—bukan menemukan—makna-makna
di dalam kehidupan. Dan kebebasan merupakan ciri dari manusia otentik.
Tokoh yang paling cakap dalam membahas kebebasan adalah Jean-Paul
Sartre. Ia adalah seorang filosof Prancis, yang digandrungi kalangan akademisi dengan
pemikiran eksistensialismenya, terkhusus dalam pembicaraan ihwal kebebasan; ketika
Perang Dunia kedua (PD II) sedang meletus. Bisa dibilang, pemikiran Sartre
menjadi suatu trend dan mainstream di dalam kecamuk PD II, yang
mana pada saat itu nilai-nilai kemanusiaan—konon—diinjak-injak oleh perang.
Maka tak ayal jika pemikiran Sartre begitu ramai dibicarakan. Karena pengusungan akan
kebebasan dianggap sebagai suatu bentuk pembelaan terhadap kemanusiaan. Perang,
dianggap telah merenggut kebebasan manusia. Padahal bagi Sartre, kebebasan sama
sekali, dan tak akan mungkin, terlepas dari diri seorang manusia. Ia adalah
faktisitas.
Pertanyaan muncul, mengapa Sartre mesti meneriakan kebebasan jika toh di dalam pemikirannya, kebebasan dikatakan
sebagai suatu faktisitas? Bukankah maksud dari faktisitas adalah, bahwa kebebasan
merupakan sesuatu yang tak dapat ditawar lagi? Bagi Sartre, meskipun kebebasan merupkan
suatu daya yang menghuni di dalam diri manusia, tak semua manusia menyadari daya
tersebut.
Inilah yang menjadi titik tekan Sartre, di dalam pembahasan kesadaran mengenai
kebebasan. Karena, vonis Sartre, tak semua orang menyadari akan kebebasannya meskipun
pada faktanya ia adalah bebas. Di sinilah Sartre membuat suatu distingsi kesadaran
manusia berdasarkan kebebasannya: pertama,
ada yang menyadari dirinya bebas, disebut Sartre sebagai manusia Otentik,
dengan ciri: menyadari dirinya bebas, menegaskan diri secara absolut, menolak
diobjekkan oleh orang lain, dan selalu mengafirmasi konflik (saling menegasi
satu sama lain); kedua, manusia yang
tak menyadari dirinya bebas, yakni manusia yang berkeyakinan buruk (Mauvaise Foi), dengan ciri: acuan pemaknaan
atau pijakan kehidupan bukan dirinya, sebagaimana yang dilakukan oleh manusia
otentik; dan selalu menghindar dari konflik (saling menegasi satu sama lain).
Pertanyaan selanjutnya: apakah setelah perang dunia selesai, pemikiran
Sartre masih relevan? Tentunya masih relevan, karena kebebasan merupakan bagian
yang ada di dalam diri manusia, maka dari itu perbincangan ihwal kebebasan mesti
selalu diperbincangkan, karena potensi pemerkosaan akan nilai-nilai kemanusiaan
akan senantiasa hadir di muka bumi; selama manusia itu hidup. Bukankah manusia durjana—yang
ingin merampas kebebasan orang lain—masih eksis, dan potensi kedurjanannya itu senantiasa
hadir di dalam diri manusia? Lebih jauh, “doktrin” tentang manusia otentik pun
mesti selalu digaungkan.
Maka dari itu, meskipun kebebasan—dalam lingkup eksistensialisme—tidak diartikulasikan
secara eksplisit di dalam kajian-kajian, maupun tidak dibicarakan di dalam
seminar-seminar besar; terkhusus di zaman kontemporer. Toh, masih ada orang-orang yang dengan sungguh-sungguh selalu mengingatkan
perihal kebebasan. Eka Kurniawan, barangkali bisa disebut sebagai orang yang
merepresentasikan sosok yang selalu mengingatkan kebebasan manusia—kebebasan
dalam kerangka Sartrian. Misalnya di dalam karya sastranya yang berbentuk
Novel. Salah satu novel Eka yang cukup representatif membicarakan kebebasan dan
manusia otentik, termaktub di dalam novelnya yang berjudul Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai upaya pembedahan atas karya Eka. Karena
di dalam bukunya banyak, bahkan sarat, akan jejak-jejak eksistensialisme Sartrian,
terkhusus distingsi Sartre perihal kesadaran akan kebebasan, yakni manusia otentik
dan mauvaise foi.
Ikhisar
Cerita
Novel ini menceritakan
tentang seorang pria yang kemaluannya tak bisa berdiri (ereksi). Nama pria
tersebut adalah Ajo Kawir. Kemaluan Ajo Kawir mulai tak bisa ngaceng, ketika Ajo Kawir bersama
sahabatnya, yang biasa dipanggil Si Tokek, kepergok—yang ketahuan mengintip
hanya Ajo Kawir, sedangkan Si Tokek bersembunyi—mengintip Rona merah sang
wanita gila yang diperkosa oleh dua orang polisi. Kemudian Ajo Kawir dipaksa
untuk ikut memerkosa Rona merah, akan tetapi kemaluannya malah tak bisa
berdiri.
Ajo Kawir menjalani hidupnya
dengan rasa frustasi, karena menurut pikirannya, ia tak bisa lagi membuat
wanita manapun bahagia; atau dalam bahasa lain, tak bisa memberi kepuasan bagi
wanita manapun. Hidupnya, tak lagi mengenal rasa takut. Seringkali ia tiba-tiba
ingin memukuli orang lain tanpa ada sebab yang jelas. Alasannya sederhana, ia
tak takut mati karena kemaluannya tak bisa berdiri, begitulah gambaran dari
Iwan Angsa—ayah dari Si Tokek.
Meskipun Ajo Kawir yakin
bahwa ia tak bisa memberi kepuasan kepada wanita, bukan berarti ia tak dapat
mencintai seorang wanita. Wanita yang dicintai Ajo Kawir bernama Iteung. Tapi
ketika Iteung menyatakan cinta dan menginginkan Ajo Kawir menjadi kekasihnya,
dengan terpaksa ia (baca: Ajo Kawir) menolaknya. Namun, bukan berarti Ajo Kawir
tak cinta kepada Iteung, tapi alasan utamanya adalah karena kemaluannya tak
dapat berdiri. Namun, akhirnya Iteung tetap menerima keadaan Ajo Kawir,
sehingga mereka akhirnya menikah. Problem Ajo Kawir, yang dikiranya ia tak bisa
lagi memberi kepuasan kepada seorang wanita, pun terjawab oleh jari-jari tangan
Ajo Kawir.
Namun, Iteung ternyata
mengecewakan Ajo Kawir, karena ia malah bersetubuh dengan lelaki lain—yakni
temannya sendiri yang bernama Budi Baik, sampai ia (baca: Iteung) hamil.
Akhirnya Ajo Kawir pergi meninggalkan Iteung.
Lalu Ajo Kawir memutuskan
untuk menjadi supir truk, dengan ditemani keneknya yang bernama Mono Ompong.
Mereka berdua lalu terlibat perseteruan dengan Si Kumbang—pemilik truk lain,
namun yang memiliki masalah sebenarnya adalah Mono Ompong, sehingga mereka
berdua berduel; yang akhirnya dimenangkan oleh Mono Ompong.
Pada perjalanan kehidupannya
menjadi sopir truk, Ajo Kawir akhirnya bertemu dengan gadis buruk rupa, bernama
Jelita, yang tiba-tiba saja ada di dalam truknya. Ternyata wanita tersebut
kabur dari suaminya, dan menyelundup ke dalam truk Ajo Kawir. Akhirnya, setelah
Mono Ompong pulang ke kampung halamannya—setelah memenangkan duel dengan hadiah
uang yang banyak, berikut cedera yang parah—dalam perjalanan selanjutnya Ajo
Kawir hanya ditemani Jelita.
Anehnya, Ajo Kawir selalu
bermimpi melakukan adegan seks dengan Jelita, yang seringkali membuatnya mimpi
basah. Di hadapan Jelita lah kemaluan Ajo Kawir kembali seperti semula, yaitu
dapat ngaceng kembali. Bahkan
akhirnya mereka melakukan hubungan seks dikamar mandi pom bensin. Namun,
setelah adegan seks, Jelita tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Akhirnya Ajo
Kawir pulang ke kampung halamannya untuk kembali kepada istri dan anak dari
istrinya. Tapi, Istrinya terpaksa harus mendekam di penjara, lantaran telah
membunuh dua orang polisi yang dulu pernah memerkosa Rona Merah; sebagai bentuk
pembalasan dendam, karena dua orang polisi itu dianggap telah membuat kemaluan
Ajo Kawir tak bisa berdiri.
Teori
Cikal
bakal eksistensialisme
Berbicara eksistensialisme Jean-Paul
Sartre, maka sosok Soren Aabye Kierkegaard tak bisa tidak dibicarakan terlebih
dahulu. Karena, sosok Kierkeegaard, bisa dibilang merupakan bapak dari filsafat
eksistensialisme. Dimana segala asumsi dasar dari eksistensialisme, memang
lahir dari Kierkegaard.
Menurut Budi
Hardiman (2007), Eksistensialisme Kierkegaard lahir dari keresahannya terhadap
filsafat yang sedang marak pada saat itu, yaitu sekitar abad ke-19—ketika
Kierkegaard hidup. Filsafat tersebut adalah Idealisme Hegel. Sebagaimana
diketahui, corak dari Idealisme Hegel adalah, selalu berbicara entitas
kolektif. Kalau pun Hegel berbicara subjek, maka hanya menganggap entitas
tersebut (baca: subjek) sebagai salah satu fase dalam perkembangan roh Absolut.
Pembicaraan mengenai subjek yang konkret, hampir ditiadakan atau
disubordinatkan (h. 247-248).
Kierkegaard memulai
filsafatnya dari titik ini. Namun, mesti diketahui, kritik Kierkegaard terhadap
Idealisme Hegel, didasarkan pada pengalaman konkretnya—inilah corak filsafat
eksistensialisme. Kierkegaard melihat, bahwa cara beragama di Denmark pada saat
itu (agama Kristen Lutheranisme), jauh dari penghayatan. Mengapa? Karena cara
beragama pada saat itu, hanya menitik beratkan persoalan objektif dan lahiriah
saja. Sedangkan persoalan
penghayatan subjektif ditiadakan. Relasi subjek dengan Tuhan seolah-olah
dinihilkan (Hardiman, 2007: 247).
Diagnosa Kierkegaard menyatakan, bahwa
penyebab ini semua tak lain dari Idealisme Hegel. Untuk itu, proyek Kierkegaard
adalah mengembalikan peran subjek. Maksudnya, peran otentisitas subjek yang
pada mulanya tidak “digaris bawahi” oleh Idealisme Hegel, maka Kierkegaard
berupaya mengembalikan peran subjek yang otentik. Konsekuensinya, subjek mesti
dianggap sebagai entitas yang berkehendak bebas, dan sangat bersifat personal,
dan membuat komitmen yang bermakna dalam setiap tindakannya. Dengan filsafatnya
ini, cara beragama atau beriman pun mesti berubah. Karena, relasi subjek yang
personal dengan Tuhan, kembali ditegaskan (Hardiman, 2007: 248).
Implikasi lainnya dari filsafat
Kierkegaard adalah, penegasian kolektivisme. Maksudnya, bagi Kierkegaard
kolektivisme hanya mereduksi sang subjek otentik kedalam kerumunan yang anonim.
Selain itu, pola kolektivisme, menghilangkan tanggung jawab dari seorang subjek
yang bebas. Padahal, eksistensi bagi Kierkegaard, merupakan subjek personal
yang otentik, sedangkan kerumunan tidak bisa dikatakan bereksistensi. Lebih
jauh, bagi Kierkegaard, kebenaran adalah individu yang bereksistensi (Hardiman,
2007: 248-249).
Enam
karakter Eksistensialisme
Sebelum menjelaskan pemikiran Jean-Paul
Sartre, alangkah lebih baiknya jika dibahas terlebih dahulu karakter dari
eksistensialisme. Menurut T. Z. Lavine (2002), kurang lebih terdapat enam
karakter dari eksistensialisme: Pertama,
eksistensi melebihi esensi. Manusia dianggap sebagai subjek berkesadaran.
Manusia ada sebagai mahluk yang memiliki kesadaran, maka dari itu manusia
bukanlah suatu esensi, generalisasai, atau suatu sistem. Lebih dari itu,
manusia bukanlah apapun selain dari eksistensi yang berkesadaran; kedua, kegelisahan. Kondisi eksistensi
manusia pada dasarnya—bagi kaum eksistensialis—berada dalam kegelisahan.
Maksudnya, dimana manusia dihadapkan pada suatu kondisi kehampaan eksistensi,
disinilah manusia merasa gelisah. Konsepsi-konsepsi seperti: kebahagiaan,
optimism, kedamaian, tak lain dari konsepsi naif, dalam artian, ketiga konsep
tersebut merupakan suatu sikap ketidak jujuran terhadap kondisi mendasar dari
eksistensi manusia (h. 318).
Ketiga, irrasionalitas. Bagi kaum eksistensialis, manusia berada
atau bereksistensi tanpa adanya kemasuk akalan. Mengapa? Karena kita bereksistensi
dalam keadaan keterlemparan. Maksudnya, manusia hadir di dalam ruang dan waktu
tanpa ada alasan apapun. Pertanyaan yang mengemuka adalah, mengapa manusia
bereksistensi? Mengapa mesti disini? Mengapa mesti sekarang, tidak nanti? Keempat, kekosongan. Karena esensi di
dalam diri manusia (subjek) tidak ada; dimana tak ada yang dapat menstrukturkan
diri subjek seperti: sains, filsafat, agama, dll. Maka yang tersisa di dalam
diri subjek adalah eksistensi. Namun, eksistensi ini merupakan suatu
kekosongan. Seorang manusia dihadapkan pada suatu fakta bahwa ia (baca:
manusia), berada di dalam kondisi kekosongan, sekaligus tak ada esensi (Lavine,
2002: 318-319).
Kelima,
kematian. Orang-orang
awam berusaha menegasi hal fundamental dalam struktur eksistensinya. Apakah
itu? Yaitu kematian. Bagi kaum eksistensialis, manusia sebenarnya sedang
bergerak menuju suatu kehampaan total, yaitu kematian. Dan kematian merupakan
suatu hal yang tak dapat dinegasikan. Namun, bagi Jean-Paul Sartre, nilai
kematian sama halnya dengan keterlemparan (saat dimana manusia tiba-tiba
bereksistensi). Kematian hanyalah saksi lain atas ketidak masuk akalan
eksistensi manusa; keenam, Alienasi.
Manusia terasing dari segala hal yang melingkupi dirinya. Bahkan terhadap orang
lain. Orang lain bisa disebut sebagai sumber dari keterasingan, dimana setiap
orang saling menegasikan satu sama lainnya (Lavine, 2002: 319-320).
Radikalisasi
atas Fenomenologi Hussrel: Awal mula eksistensialisme Sartre
Mau tidak mau perlu diakui, bahwa Sartre
mendasarkan filsafat eksistensialismenya pada fenomenologi Edmund Husserl.
Bahkan, bagi Sartre, eksistensialismenya merupakan radikalisasi dari
fenomenologi. Maka dari itu, penjabaran pemikiran Sartre, mesti diawali dengan
kritiknya terhadap fenomenologi. Disini, dalam penjabaran kritik atas
fenomenologi, penulis mendasarkan diri pada pendapat Ito Prajna-Nugroho (2011).
Ciri khas dari
fenomenologi adalah berbicara tentang kesadaran. Kesadaran dimaknai oleh
Husserl bersifat intensional, atau dalam bahasa lain: kesadaran selalu
mengarahkan dirinya pada sesuatu atau dunia-pengalaman. Intensionalitas inilah
yang menentukan isi kesadaran. Kesadaran, lanjut Sartre, di hadapan
dunia-pengalaman bersifat minimal. Lalu, karena intensionalitas merupakan
karakter fundamental dari kesadaran, maka dari itu kesadaran mestilah bersifat
pra-reflektif. Jika
kesadaran bersifat pra-reflektif, maka kesadaran sudah merupakan pasivitas.
Maksudnya, kesadaran—selalu—telah berada di dalam suatu perspektif tertentu dan
berada di dalam dunia tertentu (Wibowo, dkk, 2011: 202).
Setiap refleksi dari kesadaran, selalu
mensyaratkan pra-refleksivitasnya, karena pra-refleksi merupakan syarat
mendasar dari suatu kesadaran. Oleh karena itu, setiap refleksi merupakan aktivitas
tematisasi dari pra-refleksi. Konsekuensi dari kondisi tersebut adalah: setiap
refleksi mesti bersifat partikular, atau dalam bahasa lain, setiap refleksi tak
mungkin dapat menemukan objektivitas absolutnya—tak dapat menangkap realitas.
Maka, konsep-konsep metafisis, totalitas, Ego-transendental, maupun roh
Absolut; merupakan suatu ilusi belaka. Ketidak mungkinan konsep metafisis
inilah, yang mau tidak mau melahirkan kontingensi dunia-pengalaman. Karena
dimensi pra-reflektif dari kesadaran sudah selalu mengandaikan
dunia-pengalaman, maka dari itu segala yang pra-reflektif mesti bersifat
kontingen. Lalu, karena refleksi kesadaran mesti berangkat dari dimensi
pra-relfektifnya, maka dari itu refleksi kesadaran pun mesti bersifat kontingen
(Wibowo, dkk, 2011: 203).
Bangunan kritik Sartre atas fenomenologi Hussrel, termanifestasi ke dalam
dua bentuk kenyataan faktual yang “mesti”, sebagai konsekuensi dari
radikalisasi atas fenomenologi Hussrel—terkhusus di wilayah konsepsi atas
kontingensi. Pertama, Sartre
menegaskan bahwa terdapat jurang pemisah antara kesadaran dan realitas. Dengan
menunjukan kontingensi dari kesadaran (sebagaimana dikemukakan dalam paragraph
sebelumnya), Sartre hendak memerlihatkan bahwa dunia-pengalaman selalu memiliki
horizon yang tak akan pernah direngkuh oleh kesadaran. Segala refleksi
kesadaran atas dunia-pengalaman tak lain dari pemaksaan atas dunia-pengalaman,
dan inilah struktur primordial dari pengetahuan manusia. Kenyataan ini membawa
konsekuensi, bahwa realitas dunia-pengalam tak dapat dicari alasan
keberadaannya. Oleh karena itu, realitas sama sekali tak bermakna dan bersifat
kontingen; atau dalam bahasa lain, dunia-pengalaman bersifat ilusif dihadapan
refleksi kesadaran. Penjelasan mengenai adanya sesuatu, maka dari itu, tak
dapat dijelaskan oleh dirinya sendiri; pun
tidak bisa dijelaskan berdasarkan kesadaran yang refleksif. Maka, segala
sesuatu itu hadir begitu saja atau tanpa alasan—irrasional; tidak bermakna;
atau dalam bahasa lain Absurd. Ke-absurd-an dunia yang tak bermakna inilah yang
nantinya memunculkan istilah etre-en-soi (ada-pada-dirinya)
(Wibowo, dkk, 2011: 204-206).
Kedua,
kebebasan mutlak
manusia. Dengan menggambarkan struktur pengetahuan manusia yang bersifat
kontingen. Serta ketidak mungkinan kesadaran untuk merengkuh realitas, maka
disini hendak diperlihatkan bahwa Sartre menunjukan sisi kerelatifan kesadaran
terhadap refleksinya atas dunia-pengalaman. Dunia merupakan tempat kesadaran
mengarahkan diri. Kesadaran menyadari ketenggelamannya di dalam dunia totalitas
objek yang tidak bermakna sekaligus absurd. Karena, kesadaran tak pernah dapat
mendapatkan totalitas dunia, maka satu-satunya cara adalah menegaskan kesadaran
itu sendiri, atau dalam bahasa lain, menegaskan ketidak mungkinan mendapatkan
totalitas dunia. Upaya penegasan ini, bagi Sartre, berbentuk penegasian
(Wibowo, dkk, 2011: 206).
Kesadaran yang terarah kepada
dunia, secara implisit mengindikasikan keberjarakan kesadaran—di dalam
keterarahannya—terhadap dunia. Disinilah, sebenarnya kesadaran “menyadari”
ketidak bermaknaan dunia. Bisa disebut pula bahwa, hanya melalui kesadaranlah
ketidak bermaknaan dunia disadari. Lebih jauh, kesadaran “menyadari” dirinya
ketika ia (baca: kesadaran) menegasi di depan realitas. Negativitas kesadaran
reflektif yang mampu menegasi inilah yang disebut sebagai, di dalam peristilahan
Sartre, ketiadaan. Melalui refleksi kesadaran yang menyadari dirinya dapat
menidak dunia yang tak bermakna inilah, ia dapat memberikan makna di tengah
dunia yang tak bermakna ini. Kondisi inilah yang nantinya bagi Sartre disebut etre-pour-soi (ada-bagi-dirinya)
(Wibowo, dkk, 2011: 207-208).
Keterarahan kesadaran yang total kepada dunia, sudah berarti bahwa
intensionalitas itu bersifat tak terbatas. Dari ketidak terbatasan
intensionalitas ini membawa konsekuensi bahwa manusia membuka dirinya kepada
berbagai kemungkinan yang tidak terbatas pula. Disinilah bisa dijabarkan bahwa,
konsep intensionalitas itu memberikan beberapa konsepsi mendasar, yakni:
ketidak bermaknaan dunia, kontingensi kesadaran, serta keterbukaan manusia
terhadap ketidak terbatasan berbagai kemungkinan cara beradanya. Dan titik
inilah, dimana manusia menegaskan dirinya. Penegasan ini bersifat mutlak,
karena hanya satu-satunya dan melalui dirinya saja dunia menjadi berarti. Ketidak terbatasan penegasian inilah yang
menjadikan manusia itu bebas secara mutlak. Kebebasan yang mutlak inilah
merupakan cara berada manusia. Cara berada manusia memiliki konsekuensi, bahwa
manusia selalu dihadapkan pilihan-pilihan serta putusan-putusan yang tak
terbatas, dan inilah manusia yang eksis. Manusia telah terlebih dahulu eksis
(pra-reflektif) sebelum ia merefleksikannya, dan disinilah muncul rumusan
eksistensialisme yang terkenal, yakni: eksistensi mendahului esensi (Wibowo,
dkk, 2011: 209-210).
Satu hal yang mutlak ada
kebebasan manusia—mutlak di dalam kontingensi. Tidak ada lagi selain itu. Maka
Tuhan pun, yang dianggap sebagai entitas mutlak, mesti tiada. Menariknya, ini
semua bukan persoalan pembuktian eksistensi Tuhan an sich, tapi ini semua menyangkut konsekuensi atas kontingensi
dunia-kehidupan, dimana kesadaran tak mampu memenuhi kediriannya. Sebelumnya,
pernah dijabarkan mengenai penolakan Sartre atas kesia-siaan konsep seperti:
Ego-transendental, Roh Absolut atau yang lainnya. Dan ketiadaan Tuhan yang
mesti ini pun, memiliki alasan yang sama atas penolakan konsep-konsep yang
metafisis Wibowo, dkk, 2011: 210).
Kepenuhan kesadaran itu tidak
mungkin. Karena jika memang kesadaran atas totalitas itu mungkin, maka
kebearadaan manusia di dalam dunia itu mesti di atasi. Dalam artian, kesadaran
dapat menjadi penentu atas dunia-kehidupan. Konsekuensinya dunia-pengalaman
mesti tidak bersifat absurd. Namun, itu semua bertolak belakang dengan suatu
faktisitas manusia, yaitu manusia—dengan intensionalitasnya—berada dalam
keterlemparan di dalam suatu horizon dan perspektif tertentu atas
dunia-kehidupan, sekaligus bersifat kontingen; dan tak terlepas dari penegasan
diri secara tak terbatas. Maka dari itu, konsekuensi dari ketiadaan kesadaran
absolut, mengantarkan pada kesimpulan bahwa Tuhan yang absolut pun mesti tidak
ada. Bahkan tidak boleh ada. Karena bertentangan dengan fakta mengenai
kontingensi dan ketidak bermaknaan dunia-kehidupan. Oleh karenanya, Tuhan tak
lain dari konsepsi yang “memaksa” atas dunia-kehidupan yang bersifat ilusif
(Wibowo, dkk, 2011: 210-211).
Sebagai penutup bisa
dijabarkan bahwa, perpanjangan tangan fenomenologi—bisa disebut
sebagai—pembicaraan mengenai cara berada manusia, yaitu eksistensialisme. Dari
sinilah Sartre, mengembangkan filsafat eksistensialismenya.
Kebebasan
dan tanggung jawab
“[…]
Saat kau menatap dirimu sendiri, kau membayangkan bahwa kau bukanlah apa yang
kau tahu, kau membayangkan bahwa kau bukanlah siapa-siapa. Itu idealmu: kau
ingin menjadi nihil”
“Menjadi nihil?” Ulang Mathieu perlahan. “Tidak,
bukan. Dengar. Aku tak mengenal kesetiaan selain terhadap diriku sendiri”
“Ya—kau
ingin bebas. Bebas secara mutlak. Itulah sifat burukmu.”
“Bukan
sifat buruk,” ujar Mathieu. “Itu—ah, apa lagi yang bisa dilakukan oleh seorang
lelaki? [...] Jika aku tak mencoba mengambil tanggung jawab atas eksistensiku,
absurd rasanya untuk terus ada” (Sartre, 2002: 13).
Kurang lebih itulah cuplikan dari dialog
novel Sartre (2002), yang berjudul The
Age of Reason. Disana secara implisit dijelaskan mengenai kontingensi atau
ketidak bermaknaan dunia-pengalaman; hal ini nampak dalam dialog paragraf
pertama. Konsekuensi dari kontingensi ini adalah, penegasan diri secara tak
terbatas yang termanifestasi dalam bentuk kebebasan secara tak terbatas atau
mutlak; sedangkan kondisi ini nampak di dalam paragraf tiga dan empat.
Menurut Wahyu Budi Nugroho (2013),
manusia merupakan entitas yang bebas, ia memaknai diri dengan mendasarkan diri
pada “dirinya”. Ia—sebagai manusia bebas—tak mencari-cari tumpuan atau
kepercayaan lain untuk membentuk eksistensi dirinya. Eksistensinya, tidak pula
dimaknai oleh entitas non-aku. Ini semua tak lain dari konsekuensi, bahwa di dalam
“diri” manusia tak ada esensi. Eksistensi sebagai kontingensi, bisa diartikan
pula sebagai kekosongan. Kekosongan inilah yang mesti diisi (h. 65).
Ketidak bergantungan
diri—di hadapan dunia-pengalaman yang absurd—pada entitas non-aku tampak di
dalam cerpen Sartre (2000) yang berjudul Dinding.
Disana sosok Pablo Ibietta
diceritakan sedang diintrograsi oleh seorang sipir penjara. Pablo ditanya soal
keberadaan kawannya yang bernama Ramon Gris, namun Pablo tidak ingin jujur
kepada sipir tersebut, padahal ia terancam akan mati jika tak mengatakannya.
Ketidak jujurannya bukan berarti ia ingin menyelamatkan Ramon, tapi itu semua
karena keputusannya sendiri, hal ini terlihat dari ungkapan Pablo:
[…]
Aku tak lagi menyukai Ramon Gris. Persahabatanku dengannya sudah mati sebelum
dini hari tadi […] tetapi ini bukan merupakan alasan kenapa aku menyetujui mati
menggantikannya; hidupnya tidak mempunyai arti lebih daripada aku; tak satu pun
hidup mempunyai arti [...] aku dapat membebaskan diriku dengan menyerahkan Gris
dan aku menolak untuk melakukannya, aku merasa hal itu sangat rumit: Ini karena
sikap keras kepalaku […] (h. 26)
Sebagaimana pernah disebutkan di bab
sebelumnya, konsekuensi dari kebebasan mutlak ini adalah, ketidak boleh
beradaannya Tuhan. Tuhan mesti tidak ada. Konsekuensinya, manusia dengan segala
kapasitasnya (tidak ada yang tidak mungkin, karena manusia itu bebas) dipaksa
untuk membentuk suatu tatanan nilai, sebagai konsekuensi dari ditampiknya
segala yang ada (non-diri), termasuk Tuhan. Namun, tetap saja, manusia tak
dapat mencapai kepenuhan kesadarannya, meskipun ia dituntut untuk membangun
suatu tatanan nilai. Kondisi ini disebut Sartre sebagai Nausea (memuakkan) (Nugroho, 2013: 65). Konsekuensi lain dari
ketiadaan Tuhan adalah, tanggung jawab yang senantiasa diseret oleh manusia
(Wibowo, dkk, 129).
Bagaikan dua sisi mata koin, kebebasan
dan tanggung jawab saling terikat satu sama lain. Dalam artian, yang satu pasti
mengandaikan yang lain. Lebih radikal lagi, bahkan jika seorang manusia hendak
lari atau kabur dari tanggung jawab atas kebebasannya, ia sebenarnya telah
mengemban tanggung jawab atas perlariannya.
Etre-En-Soi dan Etre-Pour Soi
Menurut Wahyu (2013)
Di dalam pemikiran Sartre, ada yang disebut dengan Etre-En-Soi (ada-pada-dirinya) dan Etre-Pour-Soi (ada-bagi-dirinya). Pemilahan ini merupakan
konsekuensi dari ketakbermaknaan dunia-pengalaman dan kontingensi kesadaran
yang senantiasa menegaskan kontingensi reflektif; serta menegasi
dunia-pengalaman yang tak bermakna (h. 66).
Etre-En-Soi merupkan segala sesuatu yang tak
memiliki kesadaran. Etre-En-Soi, “ada”
telah mencapai kesempurnaan, atau dalam bahasa lain telah mencapai
kepenuhannya. Etre-En-Soi bisa
dicontohkan seperti benda-benda tak hidup: meja, kursi, pintu, dll. Etre-En-Soi
tak memiliki kekosongan
yang memunculkan keinginan atau keputusan layaknya manusia (Nugroho, 2013:
66-67).
Etre-Pour-Soi merupakan kebalikan dari Etre-En-Soi. Etre-Pour-Soi segala sesuatu yang memiliki kesadaran. Manusia
merupakan Etre-Pour-Soi. Karakter
dari Etre-Pour-Soi adalah
kekosongan—ingat pembahasan di dalam bab radikalisasi atas fenomenologi.
Manusia, maka dari itu tak memiliki tujuan dan belum mencapai kepenuhannya;
bahkan lebih jauh tak akan mencapai kepenuhannya. Makna tidak hadir di dalam
dirinya, namun ia (baca: manusia) sendiri yang memaknai dirinya sendiri, bahkan
non-diri pun dimaknai olehnya. Di dalam posisi ini, manusia ingin mencapai
kepenuhannya, namun terhalang oleh faktisitas bahwa dirinya memiliki kesadaran
yang kontingen, sehingga kepenuhannya tak pernah tercapai (Nugroho, 2013: 67).
Other is Hell
Sebagai mahluk yang berkesadaran,
manusia, berada bersama jajaran-jajaran kesadaran yang lain. Dalam artian,
manusia dihadapkan dengan kehadiran manusia lainnya. Disinilah letak konflik
dari masing-masing kesadaran.
Ketika setiap manusia dihadapkan pada
manusia lainnya, maka aku[1]
sebagai yang berkesadaran, kerapkali dihadapkan pada fakta bahwa aku dibendakan
oleh orang lain yang memiliki kesadaran yang serupa. Dalam bahasa lain, aku
menjadi objek bagi non-aku. Disinilah aku menjadi sadar akan “kepenuhannya”
karena ia dipersepsikan oleh orang lain. Aku sadar sedang dipersepsi (Lavine,
2002: 368).
Sartre memberikan suatu contoh dalam
menggambarkan pandangannya. Sartre, membuat perumpamaan seseorang yang sedang
mengintip suatu ruangan. Orang yang mengintip ini, memiliki kesadaran yang
mengarah kepada objek yang ada di dalam ruangan, ia memfokuskan kesadarannya
hanya kepada objek yang hadir di hadapannya. Disini, aku belum memiliki
kesadaran atas diriku, ketika mengintip. Namun, tiba-tiba datanglah seseorang,
sehingga si pengintip ini merasa malu, karena ia dipergoki sedang mengintip.
Disinilah kesadaran akan diri terbentuk, melalui kesadaran bahwa aku sedang
dijadikan objek oleh orang lain. Aku adalah sebagaimana dipersepsikan oleh
orang lain. Aku berada di dalam dunia orang lain. Singkatnya orang lain adalah
neraka! (Lavine, 2002: 369).
Konsekuensi dari kehadiran orang lain
yang sedang mengobjekan diriku adalah fakta, bahwa relasiku dengan orang lain
atau non-aku adalah konflik. Maksudnya, ketika aku sadar sedang diobjekkan oleh
orang lain, lantas aku tidak bisa begitu saja diam dan seterusnya dijadikan
objek. Akan tetapi, aku akan membela diriku dengan menghentikan orang lain.
Caranya menghentikannya, tak lain dari membalas mengobjekkan orang lain. Namun,
perlu diketahui bahwa usaha untuk mengobjekkan orang lain, tidak lantas mesti
meniadakan orang lain, karena jika orang lain tidak ada, maka sang aku akan
kehilangan cerimanan dirinya (sadar akan dirinya sendiri); sekaligus akan kehilangan
kepuasan membuat orang lain menjadi objek. Lantas apa
solusinya? Sang aku akan selalu mengobjekkan orang lain, dan jangan sampai
orang lain itu tiada. Disinilah
letak konflik abadi yang hadir diantara relasi manusia-manusia yang
berkesadaran (Lavine, 2002: 369-371).
Sebagai penutup, di dalam cerpen Sartre
(2000) yang berjudul Kamar, Sartre
menggambarkan mengenai orang lain yang senantiasa menegasi orang lain. Tokoh
Eve diceritakan memiliki seorang suami yang gila. Eve memiliki orang tua yang
begitu perhatian padanya, bahkan mereka berdua sangat menghkawatirkan Eve.
Karena, rasa khawatir yang tak tertahankan ayah Eve, yaitu Tuan Darbedat,
berniat untuk mengajak Eve kembali ke rumah orang tuanya, dan meninggalkan
suaminya yang gila. Singkat cerita, Eve tak mau jika ia mesti kembali ke rumah
orang tuanya, ia hanya ingin mengikuti kemauannya untuk mengurus suaminya yang
gila. Upaya saling menegasi ini nampak di dalam plot:
“[…] Seharusnya, kalau kami mengirim
Pierre (pen. suami Eve yang gila) ke klinik Franchot maka kamu akan
meninggalkan apartemen yang hanya membuatmu menerima banyak kemalangan, dan
kamu akan kembali ke rumah kami. Jika kamu punya keinginan untuk melakukan
sesuatu dan meringankan penderitaan orang lain, maka kamu mendapatkan kembali
Mamamu […]”
“[…] Pierre tetap tinggal denganku,” kata
Eve dengan halus, “aku rukun dengannya.”
“[…] Seharusnya […] aku mengirim dua
laki-laki kuat yang membawa—dengan kekuatan mereka—sampah sial itu (pen. Pierre) dan
menaruhnya di bawah pancuran tanpa banyak tanya.”
“Ia sudah pergi
(pen. Tuan Darbedat pulang)”. Pintu Keluar menutup disertai hempasan keras, Eve
sendirian di ruang tamu: “Aku ingin ia (pen. Tuan Darbedat) mati.” (h. 49-51).
Dari plot itu jelas
bahwa dua tokoh itu saling menegasi. Pihak pertama, Tuan Darbedat yang ingin
agar tetap putrinya pulang, bahkan dengan mengancam akan menyeret Pierre—karena
khawatir akan putrinya. Pihak kedua adalah Eve, yang tetap tak mau menuruti
kehendak ayahnya, bahkan ia (baca: Eve) berharap agar ayahnya mati saja. Sosok
Eve disini mencoba untuk dijadikan objek, namun ia tetap keras kepala dengan
keinginannya untuk tetap bersama Pierre.
Otentisitas
dan Mauvaise Foi
Apakah setiap manusia menyadari dirinya
bebas? Jawaban Sartre negatif. Mengapa? Ini semua didasarkan pada pemikiran
utama Sartre, yakni kebebasan mutlak. Bagi Sartre, seorang manusia yang
menyadari dirinya bebas, dan tidak menyandarkan dirinya pada sang liyan dalam proses memaknai; dalam
kontingensi—di dalam absurditas dunia,
merupakan manusia yang otentik. Sedangkan orang yang menyangkal dirinya bebas,
atau tak menyadari dirinya bebas, sehingga ia “melarikan diri kepada non-diri dan
menganggap bahwa dunia itu tidak absurd,
Sartre menyebutnya sebagai Mauvaise Foi (keyakinan
buruk) (Nugroho, 2013: 68).
Mengapa kedua
tipologi ini muncul? Itu semua muncul dari konsekuensi atas radikalisasi
fenomenologi Husserl, yang meniscayakan kebebasan mutlak; sebagai bentuk
penegasan atas kontingensi dan absurditas pengalaman. Dengan kondisi tersebut,
seorang manusia yang bebas tidak mendasarkan diri pada yang lain. Dalam proses
pemaknaan, subjek akan senantiasa mendasarkan diri pada “diri”. Meskipun tak
dipungkiri bahwa pemaknaan itu bersifat kontingen. Karena, jika diri tidak
dijadikan acuan sebagai proses pemaknaan, maka dirinya sama sekali tidak
mengafirmasi kebebasan. Karena, toh
ia (subjek yang mencari acuan dari yang lain) menginginkan agar dirinya
dideterminasi oleh orang lain. Maksud dari determinasi ialah, menginginkan agar
non-diri membentuk diri.
Karena subjek diri
bebas, dan pada faktanya subjek tidak tunggal, dalam artian subjek bebas
tersebar dimana-mana, maka—sebagaimana pernah disingguh di beberapa bab
sebelumnya—konflik kesadaran menjadi niscaya. Mengapa demikian? Karena seorang
subjek yang berkehendak bebas, dalam arti ia akan senantiasa menegasi sebagai
bentuk penegasan akan absurditas, akan senantiasa berada di dalam suatu konflik
saling menegasi satu sama lain. Karena subjek yang lain pun menegasi dirinya.
Singkatnya, konflik menjadi niscaya.
Namun sayangnya,
meskipun fakta eksistensial ini begitu kentara, masih ada saja subjek yang
berusaha mengingkari fakta tersebut. Dan inilah yang disebut Sartre sebagai
sosok mauvaise foi. Ia adalah sosok
yang yang berbanding terbalik dengan sosok manusia otentik. Ciri-cirinya
seperti: ia mengingkari dirinya bebas, menghindari konflik kesadaran, mencari
acuan selain non-diri, menolak absuditas dunia; dalam artian senantiasa
“menghibur” diri bahwa dunia itu pada faktanya tidak absurd.
Pembahasan
A.
Ajo
Kawir dan Manusia Otentik
1. Absurditas
Karakter (kecenderungan) manusia
otentik[2]
Sartrian yang ada di dalam novel Eka Kurniawan, terepresentasi dari tokoh yang
bernama Ajo Kawir. Manusia otentik, di dalam penjelasan Sartre, mula-mula mesti
menyadari absurditas dunia. Ajo Kawir, merupakan sesosok manusia yang menyadari
absurditas tersebut, namun kesadaran akan realitas yang absurd ini, belum
disebutkan secara eksplisit di awal-awal cerita, namun di bagian akhir
ceritalah, seorang Ajo Kawir mengeksplisitkan absurditas kehidupannya,
sebagaimana tercermin di dalam narasi:
Banyak hal telah terjadi dalam
hidupnya, tapi ia tak tahu apa di belakang semua ini. Ia sering bertanya,
kenapa Paman Gembul menginginkan Si Macan mati? Kenapa Agus Klobot harus mati
dan Rona Merah harus gila? Adakah sesuatu dibelakang semua ini, sesuatu yang
membuat kemaluannya tak mau bangun? Ia tak tahu apa-apa soal itu. Ia tak pernah
mendengar serba sedikit penjelasan mengenai hal itu, tapi ia bahkan tetap tak
bisa mengerti walau sedikit. Ia barangkali bisa bertanya kepada paman Gembul,
tapi ia akhirnya memutuskan untuk tidak bertanya (h. 238).
Lalu dalam dialog:
“Mengetahui lebih banyak, hanya akan
memberimu masalah lebih banyak,” kata Si Tokek sekali waktu (h. 239).
Teks-teks inilah yang mencerminkan sikap Ajo Kawir di hadapan kehidupannya,
atau dalam bahasa lain di depan realitasnya. Banyak peristiwa-peristiwa yang
tak bisa ia tebak apa alasannya dan sebabnya yang jelas. Lebih lanjut, sisi
absurditas dunia atau kehidupan, diungkapkan oleh Si Tokek, yang dikutip oleh
Ajo Kawir sebagai tanda afirmasi terhadap realitas yang absurd. Ungkapan
tersebut menunjukan bahwa pengetahuan, hanya memberikan suatu masalah kepada
seorang manusia. Hal ini senada dengan ungkapan Sartre yang menyebutkan bahwa
pengetahuan manusia tak lain dari proses pemaknaannya, dan pemaknaan ini
bersifat kontingen—sebagai implikasi dari absurditas dunia.
Kontingensi dunia ini
lebih jauh, mengindikasikan ketidakmampuan manusia untuk mendapatkan
pengetahuan akan realitas
an sich. Ketika Si Tokek berkata bahwa pengetahuan akan memberi
suatu masalah yang lebih banyak, ini menunjukan bahwa pengetahuan tidak lantas
memberikan suatu kebahagiaan, sebagaimana dibayangkan oleh sebagian filosof
(Contoh: Aristoteles). Tapi, malah memberikan suatu kemalangan saja. Mengapa?
Karena pengetahuan manusia tak dapat merengkuh realitas—karena kontingensi
kesadaran dan absurditas dunia—sehingga hal ini menyebabkan ketidak bahagiaan.
Absurditas dunia berimplikasi pada subordinasi terhadap rasio atau
kesadaran. Karena “di dalam” rasiolah rasionalitas bekerja, dan—konon—rasio dianggap
sebagai penggali makna absolut yang ada di dalam realitas. Fakta bahwa Ajo Kawir
menampik keberadaan-keberadaan alasan yang ada dibalik pertanyaannya menunjukan
bahwa, Ajo Kawir, senada dengan Sartre, menyadari kontingensi—kesulitan rasio
menangkap realitas secara absolut atau utuh—dari rasio, pun secara tidak langsung mensubordinatkan rasio.
Manusia yang konon disebut sebagai mahluk yang rasional; yang mampu
menangkap realitas secara absolut, sama sekali tidak diindahkan oleh sosok Ajo
Kawir. Mengapa? Karena rasionalitas “tak berfungsi” sebagai pembantu manusia
dalam menjalani hidupnya; rasio manusia bersifat kontingen, oleh karena itu
hanya memberi masalah pada kehidupan manusia.
Sisi keabsurdan dari sosok
Ajo Kawir pun nampak di dalam sikapnya, yang seringkali bertindak tanpa ada
suatu alasan yang jelas, seperti di dalam narasi ini:
“Mereka berjalan di trotoar,
masing-masing dengan kretek di antara jari mereka. Yang satu mengisap Djarum,
yang lain tak pernah berpaling dari Gudang Garam. Si Tokek meletakan kretek di
mulutnya [...] Ajo Kawir
menengadah dan mengembuskan asap kretek ke udara lalu menoleh ke arah Si Tokek.
“Aku ingin menghajar orang,” katanya.
“Dua bocah yang duduk di tembok pagar
itu boleh juga” (h. 3).
Lalu di dalam dialog lainnya yang berbunyi:
[...] Di kejauhan terdengar tiang listrik diketuk tiga kali. Biasanya petugas
ronda yang melakukan itu, pertanda keadaan aman dan orang bisa terus tidur
dengan tenang.
“Aku ingin menghajar orang.”
“Kurasa ini waktu yang buruk untuk
menghajar orang. Tak ada bocah-bocah sialan berkeliaran di waktu seperti ini.”
[...]
“Aku mencarimu kemana-mana, kupikir
kamu tak ingin kembali ke rumahmu. Ayahku mengirimku ke sini. Kamu bilang kamu ingin menghajar
orang. Ini ada tawaran bagus. Ayahku bilang, akan lebih baik jika kamu tak
menerimanya. Menurutku, kamu tak perlu menerimanya juga. Tapi aku harus
menyampaikan kepadamu, dan ayahku juga bilang begitu. Kamu bisa menghajar
seseorang, dan kamu bisa memperoleh duit karena itu. Tapi kurasa kamu tak perlu
menerimanya.” tersebut (64-65).
Dilanjut dengan dialog ini:
[...] ”Kamu hanya perlu melenyapkannya tanpa jejak, seolah-olah Si Macan tercebur
ke kawah Anak Krakatau dan tak berminat untuk kembali lagi. Tahu di mana Anak
Krakatau?”
“Aku tak sedungu itu.”
Paman Gembul tertawa. “Ada banyak duit
jika kamu bisa mengirimnya ke kawah Anak Krakatau.”
[...]
“Aku Ambil pekerjaan ini. Tapi aku
ingin lihat duitnya, Jenderal.”
“Ternyata kau tolol. Panggil aku Paman
Gembul.”
[...] Kamu tak butuh duit apa pun. Bahkan duitmu sering kamu simpan karena kamu
tak tahu untuk apa duit. Kamu tak perlu mengambil pekerjaan ini dan membunuh Si
Macan. Aku membutuhkan pekerjaan ini. Aku butuh sesuatu untuk melupakan gadis
itu [...](h. 69-70)
Lalu yang terakhir:
“Kau tak perlu tahu apa yang ia
kerjakan, juga tak perlu tahu apa urusan antara aku dan Si Macan,” kata Paman
Gembul.
“Aku juga tak peduli,” kata Ajo
Kawir. “Aku hanya
butuh duitmu, dan terutama aku hanya butuh seseorang yang mau berkelahi
denganku.” (70-71).
Bukankah ini merupakan
penegasan akan absurditas? Hasrat ingin memukuli orang lain yang tiba-tiba saja
muncul inilah, indikasi dari absurditas Ajo Kawir. Karena, tak ada penggerak
apapun atau tak ada sebab yang jelas mengapa Ajo Kawir ingin menghajar orang
lain.
Muncul persoalan disini, bukankah
ketika Paman Gembul menyodorkan iming-iming imbalan atau bayaran, Ajo Kawir
menerima iming-iming tersebut; bahkan ia menagih bayaran tersebut? Disini,
mesti dipahami, bahwa sikap Ajo Kawir, yang meminta imbalan, bukanlah penyebab keinginannya
untuk memukuli orang. Dalam artian teks ini tak dapat dipahami bahwa, Ajo Kawir
ingin menghajar orang karena dibayar. Penafsiran tersebut tidak tepat.
Keinginan Ajo Kawir untuk dibayar oleh Paman Gembul itu muncul setelah tawaran
terhadap Ajo Kawir datang. Dan tawaran untuk menghabisi Si Macan—target dari
Paman Gembul—disampaikan kepada Ajo Kawir oleh Iwan Angsa, setelah ia Iwan
Angsa mengetahui bahwa Ajo Kawir pada saat itu ingin sekali memukuli orang. Dan
keinginan untuk memukuli orang ini, sebagaimana nampak di dalam dialog di atas,
tak memiliki alasan yang jelas. Inilah konsistensi dari absurditas Ajo Kawir.
Lebih lanjut, kesadaran akan
yang absurd ini, terlihat pula ketika Ajo Kawir yang mencintai Iteung, namun
tak bisa memilikinya, lantaran kemaluannya tak bisa berdiri; atau dalam bahasa
lain tak dapat memuaskan Iteung sebagai wanita. Karena bagi Ajo Kawir, tak akan
ada wanita di dunia ini yang tak ingin ditiduri oleh seorang lelaki. Disinilah
letak kegamangan Ajo Kawir. Di satu posisi ia mencintai sosok Iteung, namun, ia
mesti menolak cintanya. Kesia-siaan lah yang didapat oleh Ajo Kawir; keabsurdan
yang ia terima:
“Enggak bisa. Aku enggak bisa menjadi
kekasihmu. Kamu seperti cahaya dan aku gelap gulita, sesuatu yang kamu tak akan
mengerti.” Tentu saja ia ingin mengatakan sesuatu yang tak terucapkan mulutnya:
aku tak bisa ngaceng (hl 59-60).
[...] Ajo Kawir sudah bilang berkali-kali, tak mungkin baginya untuk jatuh cinta kepada
perempuan. Bukan ia tak berminat kepada perempuan, tapi ia tak tahu apa yang
bisa diberikannya kepada perempuan. Lelaki yang tak bisa menyetubuhi
perempuannya, katanya kemudian, dengan lagak sok bijak, sok tua dan sok
menghibur diri sendiri, seperti belati berkarat. Tak bisa dipakai untuk
memotong apa pun. Kita bahkan tak layak untuk membicarakannya (h. 62)
2. Kehendak
bebas
Kesadaran akan absurditas dunia ini, berimplikasi kepada kehendak bebas,
yang tak mengindahkan apapun—dalam artian tidak terkerangkeng oleh norma—selain
dirinya sendiri. Sosok Ajo Kawir yang menyadari akan hal ini, nampak di dalam
narasi:
Tahun-tahun berlalu dan tak pernah ada
peristiwa apa pun lagi yang berhubungan dengan kemaluan Ajo Kawir. Mereka tetap
pergi sekolah. Mereka membuat keributan. Mereka berkelahi di trotoar jalan, di
bioskop, di kolam renang, di lapangan sepak bola.
Mereka dikeluarkan dari sekolah.
Dimasukkan sekolah lain, oleh Iwan Angsa, dan nyaris dikeluarkan lagi. Mereka
menjalani hidup. Jauh di dasar kehidupan mereka, keduanya menjalani hidup yang
sedih, tapi mereka bahagia. Atau pura-pura bahagia. Setidaknya mereka belajar
untuk menjadi bahagia (h. 42)
Sangsi sebenarnya telah
terpampang jelas di muka Ajo Kawir, setiap kali ia melakukan suatu perbuatan
bejad. Misalnya, berkelahi. Sangsi tersebut, sebagaimana disebutkan, adalah drop out, atau dalam bahasa lain,
dikeluarkan dari sekolah tempat Ajo Kawir belajar. Meskipun sangsi tersebut
sering menimpa Ajo Kawir, sangsi tersebut tak sedikitpun meredupkan kehendak
bebas Ajo Kawir. Dalam artian, ia senantiasa tak dibebani oleh sangsi tersebut.
Ia senantiasa melepaskan hasrat akan kehendak bebasnya, yakni dengan berkelahi
dan membuat keributan.
Dalam peristiwa lain, kehendak bebas yang tak memerdulikan segalanya
tercermin ketika Ajo
Kawir memiliki suatu kemauan. Ia tak peduli dengan peringatan dari tokoh
lain, seperti Rani. Bahkan ketika Ajo Kawir diperingati bahwa Pak Lebe[3]—yakni
orang yang menzalimi seorang janda bernasib malang, karena ditinggal mati
suaminya—memiliki pengawal atau preman yang menemaninya setiap saat.
Peringatan dari Rani, sama
sekali tak menghalangi kemauan Ajo Kawir untuk menghajar Pak Lebe. Bahkan
keberaniannya pun tak padam begitu mendengar informasi—peringatan—tersebut.
Disinilah ciri dari kehendak bebas, ia bebas melakukan apa saja yang ia
kehendaki, meskipun resiko besar akan menghadangnya. Sikap ini nampak dalam
dialog:
“Sialan,” Ajo
Kawir mengumpat.
“Aku tak pernah suka jenis lelaki macam begini. Lelaki macam begini mestinya
digantung dan mayatnya diseret sepanjang jalan. Dan burungnya dicincang.”
“Kurasa itu ide yang bagus,” kata Rani.
“Tapi tak seorang pun berani mengusik Pak Lebe. Ia teman dekat bupati. Ia
banyak dilindungi para preman.”
“Kurasa aku harus membunuh bangsat satu
ini. Siapa namanya? Pak Lebe? Ia akan menjadi korban pembunuhan pertamaku. Aku
suka berkelahi, aku rindu berkelahi. Aku dengan senang hati ingin mencabut
nyawanya,” kata Ajo Kawir.
“Jangan dungu,” kata Rani.
[…]
“Iwan Angsa pernah bilang dunia memang
tidak adil,” kata Ajo Kawir kepada Si Tokek. “Dan jika kita tahu ada cara untuk
membuatnya adil, kita layak untuk membuatnya jadi adil.”
[...]
”Mereka bisa menusukmu dari belakang
ketika kamu berjalan seorang diri di trotoar.”
“Aku enggak takut mereka.” (h. 46-49)
Selain peristiwa menghabisi
Pak Lebe. Ajo Kawir dengan kehendak bebasnya—yang sama sekali tak menuruti
suatu norma atau keyakinan tertentu—rela melawan seorang wanita. Padahal Ajo
Kawir sama sekali belum pernah memukul seorang wanita pun seumur hidupnya.
Karena ia memiliki kehendak bebas, maka pengalaman (bahwa ia tak pernah memukul
wanita) hidupnya pun tak menghalanginya untuk menghajar seorang wanita.
[...] Ia tak pernah memukul perempuan, maka ia hanya mendorong Iteung ke samping.
Di luar dugaannya, gadis itu memiting tangannya, mendorongnya, dan dengan
sedikit gerakan, membantungnya ke tanah. Punggungnya terasa seperti kena
dihajar.
[...] Ia hanya tahu memukul dan menendang jika ada kesempatan, mengelak jika
mungkin. Jika tak bisa mengelak, biarkan tubuh menerima serangan, tinggal
mencari cara untuk membalasnya.
“Baiklah,” kata Ajo Kawir.
“Kadang-kadang perlu juga menghajar perempuan.” (h. 49-50).
3.
Kedirian yang “absolut” dan menolak diobjekkan
Meskipun kehendak bebas itu termanifestasi ke dalam sikap yang tak
memerdulikan batasan-batasan, seperti norma sosial atau hukum; bukan berarti
bahwa tak ada suatu pijakan apapun dalam melakukan suatu aktifitas. Karena mau
tidak mau, kehendak bebas mesti mendasarkan diri pada pijakan tertentu. Karena
norma dan hukum, merupakan hal yang perlu dinegasi bagi orang yang memiliki
kehendak bebas, maka yang tersisa hanyalah diri sendiri.
Kedirian inilah yang menjadi titik pijak dari kehendak bebas, maka dari
itu, dua hal ini tak dapat dipisahkan begitu saja. Lalu setelah, kedirian
ditegaskan, sebagai patokan utama, acuan, atau titik pijak; maka implikasinya
sang “diri” mesti tak mau diobjekkan oleh orang lain, atau sesuatu yang ada di
luar dirinya. Mengapa? Jika seorang subjek menerima diobjekkan oleh sesuatu
yang ada di luar dirinya, maka secara tidak langsung, si subjek telah
menghilangkan kediriannya; pun dengan
begitu menghilangkan kehendak bebas.
Sikap Ajo Kawir, dalam artian
memiliki kesadaran akan kedirian yang absolut dan menolak untuk diobjekkan,
tercermin di dalam dialog:
“Tutup mulutmu. Aku tak mau mendengar
kamu merengek-rengek membicarakan semua kesalahanmu. Tak ada yang salah. Jika
ada yang salah, akulah yang salah. Aku yang salah dan aku yang menanggung
kesalahanku. Aku yang berhak merengek-rengek, bukan kau. Jalani saja hidupmu.
Tiduri sebanyak mungkin perempuan, dan lakukan itu sambil mengingatku, jika
kamu mau. Tapi kubilang kepadamu, jangan sia-siakan apa yang kamu miliki.
Tiduri gadis-gadis selama kemaluanmu bisa berdiri. Mereka membutuhkannya. Tak
ada perempuan di dunia ini yang tak ingin ditiduri.” (h. 5)
Di dalam dialog tersebut, Ajo
Kawir menolak untuk dikasihani oleh sahabatnya. Disini, posisi sahabatnya
merasa bahwa ia telah melakukan suatu kesalahan kepada Ajo Kawir. Si Sahabat
(baca: Si Tokek) merasa bahwa dirinyalah penyebab “tidurnya” kemaluan Ajo
Kawir. Sehingga ia berusaha untuk simpati kepada Ajo Kawir. Namun, posisi Ajo
Kawir, yang memiliki kesadaran akan kedirian; pada saat Si Tokek menunjukkan
kepeduliannya, Ajo Kawir langsung menolak untuk dipedulkan, atau dalam konteks
ini lebih cocok disebut, menolak untuk dikasihani—menolak diobjekkan—oleh Si
Tokek. Bahkan Ajo Kawir menegaskan, bahwa yang salah bukanlah Si Tokek, namun
dirinya sendiri. Dalam artian, dia yang menanggung atas segala yang telah
dilakukannya, sehingga—yang menyebabkan—kemaluannya tak bisa berdiri lagi.
Bahkan Ajo Kawir pun, menolak
suatu imajinasi yang dikarang oleh Si Tokek, yang mana Si Tokek membayangkan
dapat memberikan kemaluannya kepada Ajo Kawir. Penegasan kedirian ini bisa
dibilang sangat radikal, karena tak hanya realitas konkret yang dinafikan oleh
Ajo Kawir—ia menegaskan kedirian, pada saat kediriannya terancam oleh
godaan-godaan dan “kepedulian”—begitu juga realitas imajiner pun ia nafikan.
Sebagaimana terlihat di dalam teks:
“Jika aku bisa berikan kuntulku
kepadamu, akan kuberikan sekarang juga,” katanya sekali waktu.
“Sialan, aku tak butuh burungmu”
“Aku tahu, meskipun bisa kujamin
kuntulku bagus.” (h. 5).
Penegasan bahwa tak ada “pihak lain” yang mendorong Ajo Kawir untuk
menghajar Pak Lebe, terlihat di dalam dialog ini—dalam artian, acuan
satu-satunya dari keputusan Ajo Kawir adalah hanya dirinya sendiri, sebagai
bentuk penegasan kediriannya—nampak di dalam dialog ini:
“Lupakan saja. Lebih baik kamu pulang.
Siapa yang suruh? Enggak seharusnya kamu ikut campur urusan orang-orang macam
begitu.”
“Aku nggak disuruh siapa-siapa. Aku
datang sendiri.”
“Terserahmu. Aku datang karena
mendengar cerita tentang perempuan itu.” (h. 51)
Dialog lainnya yang
menunjukan kedirian yang teguh, dan tak mau diobjekkan oleh orang lain adalah
ketika Ajo Kawir dihadapkan pada situasi yang sempit. Situasi tersebut ialah
ketika ia dihampiri oleh Iteung. Yakni seorang wanita yang mencintai Ajo Kawir,
dan Ajo Kawir pun mencintai Iteung[4],
namun Ajo Kawir menolak tawaran Iteung untuk menjadi kekasihnya. Lalu, Iteung
pun pergi karena mendengar ucapan yang tak diharapkannya itu.
Disini, Si Tokek memaksa Ajo Kawir untuk mengejar Iteung. Namun, Ajo Kawir
tak mendengar ujaran si Tokek. Bahkan umpatan pun tak membuat Ajo Kawir
bergerak sejengkal pun. Mungkin, jika tokohnya bukan Ajo Kawir, dan tokoh
tersebut melihat seorang perempuan berlari karena kecewa di tengah hujan yang
cukup lebat, maka tokoh tersebut akan menghampiri wanita itu. Namun, berbeda
dengan Ajo Kawir. Ia tetap menuruti kemauan dirinya sebagai Ajo Kawir, yang
memiliki pendirian tak bisa mencintai dan menjadi kekasih Iteung.
Adapun mengapa ia sempat berdiri di tengah hujan, bukanlah disebabkan pada
mulanya ia hendak mengejar Iteung. Tapi,
disebabkan oleh Si Tokek yang mendorong dirinya ditengah hujan. Adapun lebih
jelasnya seperti ini:
Ia berdiri di dalam hujan. Ia hanya
diam saja memandang ke arah gadis itu menghilang. Hujan perlahan-lahan semakin
besar, dan ia masih berdiri di tempatnya. Pakaiannya lekat ke tubuhnya.
“Kejar gadis itu, Goblok!” teriak Si
Tokek kepadanya. “Tolol, Goblok, sialan kamu!”
Ia tetap berdiri di sana, dengan
tatapan yang masih menuju arah yang sama. Kulitnya mulai memucat. Badannya
mulai menggigil. Ia tetap tak beranjak. (h. 61)
Ketiga dialog dibawah ini, kembali menegaskan mengenai kedirian dan menolak
untuk diobjekkan orang lain. Bahkan dengan jelas ia menegasi sang liyan. Bentuk penegasian ini[5] merupakan
satu-satunya jalan yang dapat ditempuh, ketika berhadapan dengan realitas yang
absurd atau kontingen. Ketika sang subjek menegasi, maka diperlukanlah “diri”
yang menegasi. Namun, mula-mula “diri” mesti menegaskan dirinya terlebih
dahulu. Karena Ajo Kawir telah menegaskan dirinya berulang kali dan setiap
saat, sebagaimana tampak di dalam dialog-dialog sebelumnya, maka tak aneh jika
ia menegasi orang lain. Sebagaimana nampak di bawah ini:
[...] Ayahnya sudah menyerah dengan semua kelakuan Ajo Kawir, hingga satu hari ia
datang menemui Iwan Angsa dan berkata kepadanya, “Aku tak tahu apa lagi yang
harus kulakukan. Ia tak mau mendengarkanku.” (h. 73)
Dan ini:
[...] Sebenarnya Iwan Angsa menyuruhnya mencari Si Macan secara diam-diam, tapi
Ajo Kawir memutuskan untuk menantangnya duel secara terang-terangan
[...] (h. 77)
Lalu ini:
[...] “Paling tidak hal baiknya kamu tak berkelahi. Sebab jika kamu berkelahi,
selalu ada kemungkinan kamu babak belur dan luka parah. Kamu harus menjaga
dirimu cukup kuat. Kamu tak tahu sesulit apa mengalahkan Si Macan, belum lagi
harus membunuhnya.”
“Tutup mulutmu, aku tak perlu nasihat
seperti itu.” (h. 80)
Dan yang terakhir di dalam dialog ini. Penegasian ini sangat kentara di
dalam kalimat yang menyatakan pemaksaan terhadap Si Macan untuk bertarung
dengan dirinya; padahal Si Macan—menurut pernyataan rekannya—enggan untuk
bertarung dengan Ajo Kawir:
“Kita pernah bertemu, di pemotongan
kayu, di Ci Jaro. Seperti yang aku janjikan, aku datang untuk membawa kabar
tentang Si Macan. Si Macan bilang, ia tak ingin melakukan duel denganmu. Ia
sudah lama tak lagi berkelahi. Ia telah mundur dari dunia seperti itu.”
Mata Ajo Kawir memandang lelaki itu.
Mata yang kemerahan. Dan giginya bergemeletuk. “Aku tak peduli. Aku ingin
berkelahi dengannya bilang kepada Si Macan, ia harus mau berduel denganku.” (h. 119)
Dalam kisah lain, diceritakan bahwa Ajo Kawir memiliki seorang kenek truk
yang bernama Mono Ompong. Diceritkan pula bahwa Mono, mencari gara-gara dengan
seorang pemilik truk lain yang bernama Si Kumbang. Akibat ulah Mono, Si Kumbang
geram dan mengajak berduel dengannya. Hingga akhirnya Mono terpaksa menerima
duel tersebut, meskipun ia tak pernah memiliki pengalaman duel dan rasa takut
yang menghantuinya setiap saat—takut mati. Duel tersebut akhirnya digelar. Dan
di dalam duel tersebut, orang-orang yang menonton melakukan taruhan. Mono,
meminta Ajo Kawir untuk bertaruh kepada Si Kumbang, karena Mono yakin bahwa ia
akan kalah telak oleh Si Kumbang. Namun, Ajo Kawir tak menggubris sama sekali
permintaan Mono. Meskipun Ajo Kawir tidak yakin akan kemenangan si Mono Ompong.
Disinilah letak aktivitas penegasan dan penegasian Ajo Kawir[6]:
“Ini uang gajimu, yang selama ini kau
simpan padaku. Sebaiknya kau pulang kampung dan beristirahat di sana.” Ajo
Kawir meletakkan
amplop cokelat di meja kecil di samping ranjang. “Dan ini uang lebih banyak.
Kau memenangkan taruhan di kebun karet itu.” Ajo Kawir meletakkan amplop cokelat lain yang lebih gemuk.
“Apa, taruhan?”
“Aku tak mengikuti perintahmu.
Kupertaruhkan uangmu untuk kemenanganmu.”
[...]
‘Ngomong-ngomong, apakah kau yakin aku
akan memenangkan perkelahian itu, hingga kau mempertaruhkan uangku untuk
kemenanganku?”
“Tidak,” kata Ajo Kawir. “Aku bertaruh
kemenanganmu, karena semua orang bertaruh untuk Si Kumbang.” (h. 220-221)
4. Menerima
konflik Kesadaran
Ada satu hal yang mesti disyaratkan, ketika penegasan diri dan penegasian
diri dilakukan. Apakah itu? Yakni, menerima konflik kesadaran. Sebagaimana
diketahui, bagi Sartre kebebasan—beserta keniscayaan penegasan diri dan
penegasian sebagai bentuk kebebasan—ada di dalam setiap individu. Dan karakter
dari kebebasan adalah penegasian terhadap the
other. Karena setiap individu memiliki kehendak bebas, maka setiap individu
berarti saling menegasi satu sama lain. Manusia
otentik adalah orang yang menerima konflik tersebut—saling menegasi. Sosok Ajo
Kawir, adalah sosok yang mengafirmasi konflik tersebut. Sebagaimana tercantum
di dalam dialog:
“Tinggalkan Iteung. Jangan pernah
mencoba menikahinya, dan jangan pernah mencoba mengaku sebagai kekasihnya. Hal
terbaik untuk hidupmu adalah meninggalkan Iteung sekarang juga,” demikian kata
Budi Baik ketika ia selesai memperkenalkan diri, sesaat setelah ia
menghadangnya di trotoar jalan. Empat orang temannya berdiri di belakang Budi
Baik, membuka dan mengatupkan kepalan tangan mereka seolah bersiap untuk satu
perkelahian.
“Dan siapa kamu berani melarangku
menikahi kekasihku sendiri?”
[...] Ajo kawir kembali melihat Budi Baik dan keempat temannya. Kembali ia ingin
tertawa dengan semua lelucon mereka. Ia tak takut. Jika mereka ingin berkelahi,
ia akan meladeninya. Jika mereka ingin memisahkannya dari Iteung, ia bisa
memisahkan mereka dari kehidupan. Itu perkara yang serius, ia akan menanggapinya
dengan cara yang sangat serius. (h. 110)
Di dalam dialog ini nampak
bahwa Ajo Kawir dihadapkan pada situasi yang sulit. Mengapa? Karena ada lima
orang yang menghadang dirinya. Dan mereka berniat untuk menghabisi Ajo Kawir.
Salah seorang diantara lima orang tersebut, ada yang bernama Budi Baik. Budi
merupakan seorang yang cemburu kepada Iteung; karena Iteung telah menjadi
kekasih Ajo Kawir. Niat utama Budi Baik adalah, untuk memisahkan Ajo Kawir dari
Iteung.
Ajo Kawir, yang hanya seorang
diri, tak lari dari situasi tersebut, meskipun ia dihadang oleh lima orang yang
akan menghabisinya. Bahkan disebutkan, nyali dan keberaniannya tak padam. Meskipun
diakhir peristiwa tersebut. Ajo Kawir kalah telak karena dihajar oleh lima
orang. Namun, bukan itu masalah utamanya. Permasalahannya adalah, Ajo Kawir
tetap berani menghadapi konflik tersebut, meskipun ia menyadari akan
kekalahannya, sebagaimana disebutkan di halaman 108:
[…]
Ia tak keberatan harus berkelahi dengan mereka, tapi lima orang tetaplah lima
orang. Hanya di cerita silat seorang pendekar dengan mudah mengalahkan lima
orang lawan.
Posisi Ajo Kawir adalah orang
yang berani melawan pertentangan diantara kedua belah pihak. Pertentangan apa?
Yakni, saling menegasi satu sama lain. Yang mana, di satu pihak Budi ingin
kehendaknya dituruti oleh Ajo Kawir (menegasi Ajo Kawir), di pihak lain Ajo
Kawir enggan untuk menuruti perintah tersebut (menegasi Budi Baik).
B.
Si Tokek dan
Mauvaise Foi
1. Pegangan
hidup adalah yang lain
(orang lain, agama, sains, dll)
Berbeda dengan sosok Ajo
Kawir, sahabatnya yang biasa dipanggil dengan sebutan Si Tokek, tak memiliki
“mental” yang sama dengan Ajo Kawir. Dimana Ajo Kawir cenderung memilih menjadi
manusia otentik, lain halnya dengan Si Tokek. Si Tokek malah
cenderung merepresentasikan manusia mauvaise
foi[7]. Ciri dari mauvaise foi nampak di dalam beberapa
dialog di bawah ini:
Wa Sami, yang sering
putus asa melihat kelakuan mereka, hanya akan berseru sambil menjewer mereka,
“Masya Allah, bisakah sekali waktu kalian berhenti menjadi makhluk sia-sia?”
“Tuhan bilang, tak ada yang sia-sia di
dunia ini,” kata si Tokek.
“Jangan sok tahu. Kau tak tahu apa-apa
tentang apa yang dikatakan Tuhan.” (h. 5)
Ketika ditegur oleh Wa Sami,
sikap Si Tokek malah berdalih. Bahkan ia berdalih dengan membawa-bawa Tuhan.
Jika dibandingkan dengan sosok Ajo Kawir, maka Si Tokek jelas merupakan manusia
mauvaise foi. Mengapa? Seorang Ajo Kawir
dalam setiap perbuatannya—bahkan ketika ia selalu kena imbas buruk dari
perbuatannya seperti teguran dan semacamnya—tak pernah memberikan apologi
sebagaimana yang dilakukan oleh Si Tokek. Ia (baca: Ajo Kawir) selalu mengembalikan
segala sesuatu kepada dirinya sendiri, atau menegaskan acuannya, yakni dirinya
sendiri. Apa yang dilakukan oleh Ajo Kawir, jelas berbeda dengan apa yang
dilakukan Si Tokek. Si Tokek malah mencari acuan selain dirinya.
Bahkan tak hanya kepada Tuhan. Bahkan kemauan dan keputusan Si Tokek, atau
hak pribadinya sendiri, yakni menikah; disandarkan kepada orang lain, yaitu Ajo
Kawir. Sebagaimana tercantum di dalam dialog ini:
“Baiklah,” kata Ajo Kawir. “Ada
satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepadamu. Kapan kau kawin?”
Pertanyaan itu membuat Si Tokek
tertawa. “Aku tidak tahu. Aku selalu tak berhasil dengan perempuan. Aku
mencintai orang yang tak mencintaiku, atau ada perempuan yang menyukaiku tapi
tak bisa bikin aku nafsu. Aku akan memberitahumu, tentu saja, jika aku punya
kartu undangan kawin.”
Si Tokek tak pernah mengatakan ini
kepada Ajo Kawir, tidak kepada siapa pun, bahwa ia berjanji untuk tidak pernah
menyentuh perempuan. Berjanji tak akan mempergunakan kemaluannya, untuk
menerobos kemaluan perempuan, hingga ia tahu, AjoKawir bisa ngaceng kembali.
Hanya itulah yang bisa ia lakukan, untuk menghukum dirinya, untuk semua
ketololan yang ia lakukan di umur awal belasan tahun. (h. 215)
Jika ada pertanyaan, bukankah
apa yang dilakukan Si Tokek merupakan suatu bentuk penebusan kesalahan atas apa
yang ia perbuat, yakni mengajak Ajo Kawir mengintip Rona Merah sehingga
kemaluan Ajo Kawir tak lagi bisa berdiri? Pertama-tama mesti dipahami, bahwa
Ajo Kawir pernah menegaskan—sebagaimana tergambar di halaman 5—bahwa Si Tokek
tak perlu menyalahkan dirinya. Lalu, jika ditelisik lebih jauh, ajakan Si Tokek
pun, tak lantas berarti bahwa Ajo Kawir tak memiliki kehendak bebas untuk
menolak ajakan tersebut; dalam artian ketika Ajo Kawir diajak oleh Si Tokek,
dan Ajo Kawir menuruti ajakannya, disana (di dalam diri Ajo Kawir) telah
terjadi proses pemilihan keputusan. Dan proses pemilihan keputusan ini
didasarkan atas dirinya sendiri yang berkehendak bebas. Disinilah letak mauvaise foi dari sosok Si Tokek.
2. Menghindari
konflik (saling menegasi)
Ciri lain dari karakter mauvaise foi Si
Tokek, nampak di dalam dialog ini:
“Iwan
Angsa pernah bilang dunia memang tidak adil,” kata Ajo Kawir kepada Si Tokek.
“Dan jika kita tahu ada cara untuk membuatnya adil, kita layak untuk membuatnya
jadi adil.”
“Aku hanya tak mau kau babak-belur dan
sekarat konyol,” kata Si Tokek. “Kudengar, pengusaha-pengusaha ini
membayar anak-anak Tangan Kosong.” (h.
48)
Di dalam dialog ini—sebagaimana
sempat dibahas di paragraf-paragraf sebelumnya—diceritakan bahwa Ajo Kawir
ingin menghabisi Pak Lebe. Si Tokek disini malah mencegah Ajo Kawir untuk
melakukan hal tersebut. Padahal Ajo Kawir sudah tak memedulikan apapun. Bahkan
ketika Ajo Kawir diperingati dan ditakut-takuti oleh Si Tokek bahwa ia akan
babak belur, semangat Ajo Kawir sama sekali tak hilang. Lebih jauh, Si Tokek
sama sekali tidak membantu Ajo Kawir untuk menghabisi Pak Lebe. Dan pada
akhirnya Ajo Kawir pun berhasil menghabisi Pak Lebe seorang diri. Bukankah ini
mencirikan bahwa Si Tokek menghindari konflik—saling menegasi? Bahkan berusaha
membujuk agar Ajo Kawir melakukan hal yang sama, yakni lari dari konflik?
Tak hanya peristiwa
penghajaran Pak Lebe, Si Tokek pun “berulah” kembali, dalam artian menunjukan
sikap mauvaise foinya dalam peristiwa
lain, yakni ketika Ajo Kawir hendak membunuh Si Macan. Cegahan Si Tokek,
lagi-lagi tak digubris oleh Ajo Kawir. Bahkan diceritakan—di halaman 120—bahwa
Ajo Kawir berhasil membunuh Si Macan. Dan lagi-lagi ramalan Si Tokek pun benar-benar
salah. Hal ini nampak di dalam dialog:
Kamu tak perlu mengambil pekerjaan ini,
kata Si Tokek. Ya, aku butuh pekerjaan ini, kata Ajo Kawir. Tidak, kamu tak
membutuhkannya. Kamu tak butuh duit apa pun. Bahkan duitmu sering kamu simpan
karena kamu tak tahu untuk apa duit. Kamu tak perlu mengambil pekerjaan ini dan
membunuh Si Macan. (h. 70)
Dan dialog ini:
[...]“Paling tidak hal baiknya kamu tak berkelahi. Sebab jika kamu berkelahi,
selalu ada kemungkinan kamu babak belur dan luka parah. Kamu harus menjaga
dirimu cukup kuat. Kamu tak tahu sesulit apa mengalahkan Si Macan, belum lagi
harus membunuhnya.”
“Tutup mulutmu, aku tak perlu nasihat
seperti itu.” (h. 80)
C.
Kontingensi dan tipologi manusia Sartrian
Apakah tipologi mentalitas[8]
Sartre bersifat absolut? Pertanyaan ini mesti diungkapkan, mengingat bahwa ada
sisi yang perlu dicermati dalam
pemikiran Sartre. “Hal” yang perlu—dan mesti—dicermati itu sejauh berkaitan dengan konsistensi dari
kontingensi Sartre. Karena, jika diteliti lebih lanjut, pemikiran Sartre yang
mengafirmasi kontingensi, toh mengafirmasi
pula yang absolut. Jadi, kontingensi—sebagaimana dibayangkan oleh
Sartre—berpijak di atas yang absolut. Atau dalam bahasa lain, satu-satunya yang
absolut dalam pemikiran Sartre adalah kontingensi. Konsekuensinya, jika Sartre
konsisten dengan kontingensinya, maka tipologi
mentalitas Sartre pun bersifat kontingen.
Maksudnya, manusia otentik
dan manusia mauvaise foi pun bersifat
kontingen. Maksudnya, pada suatu waktu seorang individu bisa saja otentik,
namun pada waktu yang lain ia bisa menjadi mauvaise
foi. Begitu pula sebaliknya.
Konsekuensi ini pun nampak di dalam kedua tokoh novel Eka, yakni Ajo Kawir dan
Si Tokek. Hal ini nampak di dalam dialog dan plot di bawah ini:
“Astagfirullah,
bisakah kita cari mainan lain?” Tanya Ajo Kawir. “Aku tak mau masuk neraka dan
kemaluanku digigit memek bergigi.”
Si
Tokek tak tahu memek memiliki gigi, tapi ia tak mau memedulikan hal itu
sekarang. Si Tokek membujuknya. Mengatakan bahwa jika ia melakukannya
sendirian, itu tak bakal mengasyikkan. Bahwa dosa akan diampuni asal kamu mau
tobat (ia mendengar hal ini dari kimereka di surau). Jika itu memang lebih
hebat, kata Ajo Kawir ragu-ragu, mari kita lihat. (h. 9.)
Di dalam dialog ini, sosok
Ajo Kawir yang di dalam sub bab sebelumnya digambarkan sebagai manusia otentik,
malah merepresentasikan manusia mauvaise
foi. Dan sebaluknya, Si Tokek malah menggambarkan sosok manusia otentik.
Kedua hal ini nampak ketika Ajo Kawir menyandarkan diri pada nilai-nilai agama,
yakni neraka; dan sosok Si Tokek yang tidak memedulukan ancaman yang
disampaikan oleh Ajo Kawir.
Selain dialog tersebut ada
pula narasi lain yang menggambarkan kontingensi tipologi mental Sartre, hal ini
nampak di dalam plot ini:
[…]
Ajo Kawir segera bilang bahwa Wa Sami berkali-kali sudah mengatakan agar tidak
mengganggu perempuan itu (pen.
Rona Merah si wanita sinting) […]
Bawa
ini ke rumah Rona Merah, kata Wa Sami kepada Si Tokek. Ia menyodorkan tas besar
berisi beras, mie instan, beberapa potong peda, kentang, buncis dan entah apa
lagi. Si Tokek menerimanya, dan Wa Sami kembali mengingatkan, Letakkan ini di
depan pintu rumahnya. Tak perlu mengetuk pintu. Tak perlu bicara dengannya.
Rona Merah tak suka bicara dengan siapa pun.
[…]
Tapi hari itu Si TOkek memutuskan untuk tak langsung pergi […] Tak beberapa
lama ia menemukan sesuatu yang menarik dan tak lagi peduli dengan larangan Wa
Sami. (h. 10-12).
Di dalam dialog ini, Ajo
Kawir meleburkan dirinya kepada orang lain. Maksudnya, acuan keputusannya bukan
pada dirinya lagi, tapi kepada sesuatu yang-lain. Disini ia tak menyadari
kebebasannya sekaligus dijadikan objek oleh orang lain, yakni Wa Sami. Di lain
pihak, Si Tokek menegasi ucapan Wa Sami, dan ia mendasarkan keputusannya hanya
pada dirinya sendiri. Posisi Si Tokek pun bisa dibilang menegasi ucapan Wa
Sami, atau dalam bahasa lain ia menolak untuk diobjekkan oleh Wa Sami.
Singkatnya Si Tokek menyadari kehendak bebasnya.
Dalam dialog lain pun, Si
Tokek kembali menunjukan kehendak bebasnya, ketika ia menolak perintah Iwan
Angsa:
Ketika
Iwan Angsa memutuskan untuk membawa pergi Ajo Kawir, Si Tokek minta ikut. Iwan
Angsa melarangnya, sambil berkata, ini urusan orang dewasa. Tapi Ajo Kawir
masih reamaja. Si Tokek mendebat, dan aku seumur dengannya. Iwan Angsa tetap
tak mengizinkannya ikut. Ajo Kawir dan Si Tokek berbeda. Perbedaannya seperti
hidup dan mati. Perbedaan antara kemaluan yang bisa berdiri dan tak bisa
berdiri. Tunggu di rumah dan jangan keluar, kata Iwan Angsa.
Tapi
diam-diam Si Tokek mengikuti mereka […] (h. 39)
Sisi ketidak otentikan sosok Ajo Kawir tampak dari sikapnya ketika
berhadapan dengan kemaluannya. Namun, bukankah ini menjadi kontradiksi?
Bukankah kemaluan pun merupakan bagian dari diri Ajo Kawir? Jawabannya tidak
demikian, karena kemaluan Ajo Kawir dianggapnya sebagai sosok personal. Ketika
kemaluan dianggap sebagai sesuatu yang personal, maka secara tidak langsung Ajo
Kawir dideterminasi oleh sesuatu yang—seolah—berada diliuar dirinya, yakni
kemaluannya. Hal ini tampak di dalam beberapa dialog ini dialog:
“Aku mulai mengerti apa yang diinginkan
kemaluanku.”
“Apa yang diinginkan kuntulmu?”
“Ia menempuh jalan para pencari
ketenangan. Para sufi. Para mahaguru. Si Burung menempuh jalan sunyi. Tidur
lelap dalam damai, dan aku belajar darinya.” (h. 123)
Lalu:
“Kemaluan bisa menggerakan orang dengan
biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur
kita daripada yang bisa dilakukan kepala. Itu yang kupelajari dari milikku
selama bertahun-tahun ini.”
Si bocah tak mengatakan apa pun. Matanya
sedikit berkaca-kaca.
“Tapi kemaluan juga bisa memberimu
kebijaksanaan. Itu juga kupelajari dari milikku.” (h. 126)
Dan:
“Si Kumbang hanya ingin mencari
keributan denganmu.” Kata Mono Ompong. Giginya bergemelutuk.
“Aku tahu, dan ia tak akan
memperolehnya.”
“Cepat atau lambat, ia akan mengajakmu
berduel. Entah apa alasannya. Ia tak suka kamu, sesederhana itu. Ia tak suka
orang bicara tentangmu sebagai pembunuh Si Macan.”
“Ia tak akan memperoleh alasan apa pun,
dan aku tak ingin berduel dengannya. Tidak dengan siapapun. Demi kemaluanku!” (h. 131).
Lalu dialog inilah yang secara ekspilisit menunjuka ketidak otentikan Ajo
Kawir:
“Kehidupan
manusia ini hanyalah impian kemaluan kita. Manusia hanya menjalaninya saja.”
Si Tokek akan mengatakan, itu filsafat.
(h. 189)
Dialog ini menunjukan, diri Ajo
Kawir yang tenggelam oleh sesuatu yang-lain-sekaligus-dirinya, yakni
kemaluannya. Karena pada faktanya, sesuatu “yang lain” yang
menggerakkan diri, bukan “diri”. Sebenarnya persoalan utamanya tak hanya
menyoal kemaluan an sich, tapi apa
yang mendeterminasi oleh seorang subjek. Hal inilah yang merepresentasikan
sosok subjek yang tidak otentik. Oleh karenanya, mesti dipahami bahwa manusia
otentik adalah yang tidak dideterminasi oleh apapun, bahkan bagian dari dirinya
sendiri; yang menyebabkan dirinya tenggelam dan lebur oleh sesuatu
diri-yang-lain. Kehendak bebas didasarkan pada kehendak “diri”, bukan pada
nafsu yang mendeterminasi “diri” (sejauh kemaluan manusia dianggap sebagai
simbol nafsu); sejauh konsisten dengan kehendak bebas Sartre yang tidak tunduk
pada apapun—dan sejauh term “tunduk” diartikan sebagai yang mendeterminasi
kepada “diri”. Singkatnya kehendak bebas adalah diri yang tidak dideterminasi
oleh apapun, tidak menyerahkan diri pada apapun, tidak menjadikan “yang lain”
sebagai acuan, dan tidak tunduk pada apapun.
Daftar
Pustaka
Hardiman, F. Budi. (2007). Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai
Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kurniawan, Eka.
(2015). Seperti Dendam Rindu Harus
Dibayar Tuntas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lavine, T. Z.
(2002). Petualangan Filsafat dari
Socrates ke Sartre. Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Nugroho, Wahyu Budi.
(2013). Orang Lain Adalah Neraka:
Sosiologi Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sartre, Jean-Paul.
(2000). Dinding. Yogyakarta: Penerbit
Jendela.
_____________, (2002). The Age of Reason. Yogyakarta: Penerbit
Jendela.
Wibowo, A. Setyo,
dkk. (2011). Filsafat Eksistensialisme
Jean-Paul SARTRE. Yogyakarta:
Kanisius.
[1]
Penulis menggunakan kata ini agar memudahkan pemahaman
[2]
Manusia otentik di dalam terminologi Sartre, mencakup sikap: menyadari
Absurditas, kehendak bebas, penegasan diri yang absolut, menolak untuk
dijadikan objek atau dalam bahasa lain menolak untuk dinegasi oleh orang lain;
dan menerima konflik kesadaran.
[3]
Mengapa Pak Lebe ingin dihabisi oleh Ajo
Kawir? Sebenarnya pemicu utama Ajo Kawir adalah cerita mengenai seorang janda
yang ditinggal suaminya dari Rani. Menurut kesaksian Rani, setelah ditinggal
mati oleh suaminya, si janda tak dapat melakukan suatu usaha, atau dalam bahasa
lain tak mampu mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan hariannya. Si janda,
hanya mengandalkan apa-apa yang tersisa sepeninggalan suaminya, seperti
perabotan rumah tangga dan sebagainya. Bahkan si janda sampai tak mampu
membayar kontrakan rumah. Pak Lebe adalah orang yang memiliki kontrakan
tersebut. Karena si janda tak mampu membayar, maka Pak Lebe menawarkan
pilihan—untuk membuat si janda tetap tinggal. Pilihan tersebut adalah, si janda
mesti mau melakukan hubungan seks dengan Pak Lebe. Akhirnya si janda terpaksa
melakukan hal tersebut, demi dirinya dan anak-anaknya.
Naas, si
janda dituduh telah memfitnah Pak Lebe. Sang penuduh adalah Pak Lebe
sendiri. Oleh karena itu, si janda
pun terusir dari kontrakannya. Dan ia akhirnya ditampung oleh Rani.
Inilah yang
menyebabkan Ajo Kawir marah besar, dan hendak menghabisi Pak Lebe sampai
mampus. Namun, Ajo Kawir tidak membuatnya mati. Ajo Kawir hanya memperingati
Pak Lebe, setelah ia (baca: Pak Lebe) dihajar habis-habisan dan telinganya
diiris oleh Ajo Kawir.
[4] Baca di bab mengenai Absurditas,
bagaimana Ajo Kawir mencintai Iteung namun terpaksa menolaknya karena
kemaluannya tak bisa berdiri.
[5] Sebagai bentuk penjelasan kembali, dalam
rangka mengingatkan pada aktivitas penegasan atas kontingensi dunia, yang
berimplikasi pada penegasan diri dan senantiasa menegasi selain-diri; dalam
kerangka eksistensialisme Sartre.
[6] Keputusan hanya didasarkan kepada dirinya
sendiri, lalu Ajo Kawir menegasi pemintaan Mono Ompong
[7]
Ciri dari mouvaise foi diantaranya
adalah, menghindari konflik kesadaran atau dalam bahasa lain menolak saling
menegasi satu sama lain; dan mencari-cari—yang lain sebagai—pijakan atau
pegangan dalam menjalani kehidupan, seperti Tuhan, norma, orang lain, dsbg.
Comments
Post a Comment