Melankolia yang menjemukkan
![]() |
gambar diambil dari: |
Oleh: Raja Cahaya Islam
“Aku membenci melankolia” demikian gumamnya dalam
hati. “para melankolia, yang sok
membicarakan cinta, tak lain dari kemalangan dan dekadensi yang paling nyata! Mengapa
mereka tak berani untuk mengafirmasi hidup yang absurd ini?”
Mendung. Semua orang memanggilnya demikian. Karena,
prilakunya yang begitu suram dan menyebalkan bagi setiap orang. Ia adalah sosok
soliter. Ia senantiasa menyendiri, pesimis dan begitu menolak kelemahan. Namun,
ia mencintai manusia. Ia sangat menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan.
Hari Rabu ini, di sore yang deras, air-air jatuh menghujam
aspal hitam yang baru saja tadi siang mengepulkan asap karena dipanggang bola
api yang sangat panas. Tak hanya aspal yang menjadi korban, Mendung pun
demikian. Ia sedang berjalan di samping trotoar jalan raya. Jaket, celana
jeans, sepatu katenya kini basah
kuyub diserang air hujan yang tak memiliki rasa ampun. Tangannya ia masukkan ke
dalam saku jaketnya. Kepalanya agak menunduk, tak begitu memerhatikan jalan
yang terhampar di depannya. Ketika ia hendak menyebrang ke sisi lain, pria
berjas yang mengemudikan mobil sedan hitam meneriakinya:
“Bangs*t! gk punya mata apa?!” Jari tengah tangan kirinya
mengacung di udara.
Mendung, menatap pria tersebut. Lalu, kembali berjalan
tanpa menanggapinya. Si pria berjas malah mengklason kencang-kencang, lalu
pergi dengan mobil sedannya. Mendung, berhenti sejenak. Lengan kanan jaketnya
ia naikkan untuk melirik jam tangannya yang anti air. Jarum jam menunjukkan
pukul 5 sore. Ia menatap langit, sehingga wajahnya dibasahi air hujan.
tiba-tiba pesawat boeing melintasi di atasnya.
Seorang perempuan muda, yang baru saja pulang bekerja
dari kantor—nampak dari tampilannya yang mengenakan jas serta rok pendek yang
berwarna hitam, disertai dengan sepatu hitam berhak tinggi—sedari tadi
memerhatikan Mendung, bahkan ketika Mendung diteriaki pria berjas. Ia kasihan
kepadanya, lalu ia menghampiri Mendung.
“Abaikan saja pria tadi,” ucapnya dengan lembut,
sambil memayungi Mendung. “sepertinya pria tadi telah jemu dengan rutinitasnya.
Tapi apa kau baik-baik saja?”.
Mendung menatapnya dengan aneh. Namun, ia pikir perempuan
ini cukup cantik. Perempuan tersebut memiliki rambut berwarna hitam legam
dengan potongan rambut pendek, yang ujungnya cukup lancip. Mata yang mengenakan
soflens hitam melengkapi wajahnya. Di
bawah mata kirinya terdapat tahi lalat yang kecil. Wajahnya putih, dengan pipi
tirus yang tak memiliki jerawat sedikitpun. Bibirnya yang berwarna merah muda,
yang agak tipis, menambah kesan imutnya eksotisnya.
Mendung menggelengkan kepalanya. Ia menjawab dengan
senyum yang terpaksa, dan mengucapkan terimakasih kepada perempuan tersebut,
lalu ia pergi. Sebenarnya Mendung hendak pergi ke kantor pos, untuk mengirimkan
beberapa catatan yang telah ia tulis beberapa hari yang lalu. Tepatnya, ia
menulis catatan itu hari Sabtu. Setelah sampai di gedung berwarna abu-abu dan
oranye, ia mempercepat langkahnya.
Di dalam gedung tersebut, terpampang lambah merpati
yang sedang membawa tas berisi surat yang berhamburan, dengan kedua cakarnya. Di
bawahnya berjajar teller pos, yang
mengenakan seragam berwarna mirip dengan gedung ini. Kurang lebih sekitar
sepuluh teller yang berjaga pada hari
itu, karena terdapat beberapa tempat teller
yang kosong. Mendung menghampiri teller
bernomor 6, yang kebetulan hampir selesai melayani seorang nenek-nenek yang
meyangga dirinya dengan tongkat.
Setelah nenek-nenek tersebut pergi. Mendung
menghampiri seorang perempuan yang menjadi teller
pos.
“Ada yang bisa saya bantu nak?” Tanya petugas
tersebut.
“Aku hendak mengirimkan surat ini,” Jawab Mendung
dengan datar, sambil menyerahkan amplop yang agak basah di ujungnya. “kira-kira
kapan surat ini akan sampai?”
“Sebentar aku cek terlebih dahulu tujuannya.” Perempuan
tersebut mengambil surat Mendung, dan mengeceknya di komputer.
Mendung melihat-lihat sekelilingnya. Di sampingnya
terdapat seorang pria tua yang sedang komplain dan memarahi seorang teller.
“Kenapa suratku bisa tidak sampai!?” Teriak si pria
tua sambil menggebrak meja dengan kedua tangannya.
“Mohon maaf pak,” jawab seorang teller yang dimarahi itu. “kami mengalami beberapa gangguan yang
tidak kami duga.” Wajahnya menunjukkan ketakutan, lalu ia memalingkan wajahnya
ke satpam yang ada di ujung ruangan tersebut. Ia memberi isyarat minta tolong. Dalam
sekejap satpam tersebut menghampiri si pria tua.
“Kira-kira hari Jum’at pun sampai” ucap teller yang sedang melayani Mendung.
Mendung mengangguk, dan memberkan sejumlah uang
kepadanya. Ia melirik ke atas dinding yang ada di belakang si teller, dan melihat jarum jam yang sedang menunjukkan
pukul 6 sore. Lalu, tanpa berlama-lama ia pulang ke rumahnya. Namun, ia tidak
berjalan kaki seperti sebelumnya. Di persimpangan jalan, yang tidak begitu jauh
dari kantor pos, ia memberhentikan sebuah taksi berwarna biru muda. Dengan perasaan
yang agak ringan, karena telah mengirim beberapa catatannya kepada ‘orang
penting’ beberapa waktu lalu. Ia pulang dengan perasaan yang lenggang.
Catatan yang ditulis oleh Mendung adalah:
Surat Pertama,
Kepada Yth.
Kepala Stasiun TV X
Dengan ini aku mengjukan protes atas tayangan yang telah anda biarkan begitu saja. Mengapa? Anda dengan
begitu saja, merelakkan seseorang yang sangat tak layak untuk berbicara di
hadapan berjuta-juta pemirsa yang tak bersalah. Dengan ini, sekali lagi, aku
mengajukkan protes! Aku harap anda segera menghentikkan penayangan acara
tersebut.
Salam, Mendung.
Surat Kedua,
Kepada Yth.
Pengisi Acara (aku tak sudi menyebutkan nama anda)
Wahai pengisi acara yang sangat buruk, disini aku
mengajukkan kritik terhadap anda. Oleh karena itu, aku harap anda membaca surat
ini dengan teliti dan cermat. Aku pikir, maksud dan niatan anda berbicara dan
menyampaikan beberapa materi di televisi, untuk mencerahkan masyarakat itu
cukup baik. Aku mengapresiasi hal tersebut. Namun, materi yang anda sampaikan
bagiku sangat buruk.
Bagaimana mungkin anda begitu sangat melankolis? Anda dengan
lebainya berbicara mengenai cinta, sehingga membuat masyarakat di kota ini
menjadi gila. Mereka begitu, terpengaruh oleh anda. Hampir semua orang disini
menjadi sering sekali membicarakan cinta, sehingga mereka lupa akan kematian! Remaja—aku
muak mendengarnya—menjadi selalu membicarakan pernikahan, padahal mereka masih
muda. Padahal di usia mereka, mereka lebih baik membicarakan kematian. Karena,
dengan menyadari kematian, yang entah kapan menjemput mereka, mereka akan lebih
produktif dan akan lebih sering mempertanyakan eksistensi mereka; aku yakin
itu. Mereka, lebih jauh, akan lebih bisa mengafirmasi absurditas dunia. Bukannya
merengek mengatas namakan cinta. Mereka lebih sibuk mencari cinta; mereka lebih
sibuk membincang tentang pernikahan, daripada memikirkan dan menghayati tentang
kematian! Oh, begitu malayngnya mereka.
Mengapa aku begitu membenci hal ini? Karena tentu saja,
jika engkau memahami strutur dasar eksistensi manusia adalah keterlemparan.
Maksudnya, kita kahir ke dunia, tanpa tujuan dan sebab apa-apa, kita tiba-tiba
hadir. Lalu, dengan keterlemparan tersebut, kita mesti dihadapkan pada fakta
lain bahwa, kita terlempar untuk mati. Kenyataan ini bukannya dilupakan, dengan
mengalihkan perhatian jadi membicarakan cinta saja! Tapi kenyataan ini mesti
diafirmasi atau mesti ditegaskan dengan tekad yang kuat. Kita mesti sadar, dan
senantiasa sadar, bahwa kita akan mati. Dengan begitu, sebagaimana akau
sebutkan di atas, kita menjadi manusia yang menyadari eksistensi sebenarnya
dari diri kita, atau dalam bahasa lain, kita menjadi otentik. Dan kita tidak
akan menjadi orang dekaden, macam anda!
Alangkah lebih baik jika anda menyadari hal itu. Dan
aku harap, kau menggunakan akal sehatmu, agar masyarakat, terkhusus remaja di
kota ini tidak hanya memikirkan mengenai cinta dan pernikahan di dalam
tengkorak mereka! Terlebih tidak melankolis!
Salam, Mendung.
Mendung menyadari, suratnya tak selalu terbalas. Dalam
artian, segala keinginannya tak selalu terpenuhi. Ia telah berulang kali
mengirim surat ke dua tujuan ini. Namun, sepertinya masyarakat kota ini telah
begitu teracuni oleh tayangan teve tersebut. Atau mungkin saja Mendung terlalu cepat
lahir, sehingga pikirannya melampaui zaman. Atau mungkin juga, seharusnya ia
tak lahir pada zaman dimana ia hidup. Akan tetapi, dengan segala fakta ini,
Mendung tak pernah berhenti, jika kehendaknya belum tercapai. Ia akan
mengirimkan surat-suratnya, sampai ajal menjemput. Karena ia mengafirmasi hidup
yang absurd!
3 Juli 2016
Comments
Post a Comment