Pura-pura mengabdi

gambar diambil dari: theyouideology.com

Oleh: Raja Cahaya Islam

Purwakarta memang panas. Apalagi di hari jum’at—hari terpanas dalam seminggu, makin terasa saja kulit ini terbakar. Belum lagi, pabrik-pabrik yang berjajar di sekitar daerah X pun ikut andil dalam peningkatan suhu daerah Purwakarta. Bagi orang Bandung sepertiku, hawa seperti ini tidak membuatku betah. Namun apa daya, aku tak bisa meninggalkan tempat ini untuk sementara waktu. Ya, kurang lebih satu bulan aku mesti menetap di daerah ini, demi syarat kelulusan studiku di universitas. Benar, Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa namanya, atau disingkat KKNM. KKNM adalah ajang pengabdian seorang mahasiswa kepada masyarakat. Tahun ini, aku diutus menjadi salah seorang pengabdi.
Pada hari kedua KKNM, yang masih tetap panas. Kami—para mahasiswa—dikumpulkan di bale Purwakarta. Bale tersebut bertempat di pusat kota—sekaligus tempat dimana Bupati bekerja. Bale tersebut ialah semacam rumah panggung, yang dibawahnya terdapat kolam ikan. Di sekitar bale, terdapat rumput hijau, tanaman-tanaman, dan patung-patung wayang berwarna putih. Di dalam bale, terhampar karpet beludru berwarna coklat yang lembut, dimana kami duduk bersila. Di setiap sudut karpet, berdiri kipas angin besar, sebesar ban truk.
Di bale ini, kami disambut dengan hangat oleh Bupati Purwakarta. Selain sambutan, kami pun diberi informasi terkait budaya masyarakat purwakarta sekaligus beberapa nasihat oleh beliau. Masih teringat olehku, ucapan beliau yang cukup ‘menampar’ kami, selaku sebagai pengabdi. Ucapannya kurang lebih seperti ini:
“Saya dulu pernah melakukan tugas yang sama dengan adik-adik. Maka dari itu saya sangat paham apa yang dialami dan dirasakan oleh kalian sekarang. Perlu adik-adik ketahui, saya pernah berpikir seperti ini: sebagaimana diketahui bersama, pengabdian memang merupakan tugas dari seorang mahasiswa. Namun, saya bertanya-tanya apakah benar setiap mahasiswa yang melakukan KKNM benar-benar telah melakukan pengabdian kepada masyarakat? Saya pikir, lebih cocok jika saya menyebutnya pura-pura mengabdi. Mengapa saya berkata demikian? Bayangkan saja, apakah mungkin dan masuk akal, dalam satu bulan kita dituntut untuk memberikan kontribusi—sesuai dengan apa yang kita dapatkan di universitas—kepada masyarakat, dengan tujuan untuk menyejahterakan dan menyelesaikan masalah-masalah yang ada di antara mereka—yakni masyarakat; yang konon tempat kita mengabdi adalah desa-desa tertinggal? Bagi saya, KKNM sangat tidak efektif untuk melakukan tujuan-tujuan tersebut. Oleh karena itu, alangkah lebih baiknya jika para mahasiswa diberi tugas yang lain selain KKNM. Tugas yang saya kira lebih bermanfaat dan lebih efektif. Tapi terlepas dari itu semua saya, ucapkan selamat berpura-pura teman-teman.”
Aku pikir pernyataan bapak Bupati Purwakarta ada benarnya, karena toh tidak rasional menurutku, ‘membangun’ suatu masyarakat tertinggal hanya dalam satu bulan. Bahkan sepertinya butuh beberapa tahun untuk menyelesaikan tugas tersebut.
***
Hampir dua minggu berlalu dan aku sudah cukup akrab dengan para tetangga. Terkhusus dengan pak Mamat. Tempat tinggalku bersebrangan dengan rumahnya, yang kurang lebih berjarak 1 meter. Setiap malam, aku sering menyempatkan diri untuk mengobrol di teras rumah beliau, begitupun hari ini—tepat pada hari ke-18. Di samping teras rumah, biasanya istri pak Mamat membakar sampah-sampah plastik serta dedaunan yang berserakan yang ada di sebelah rumah. Hari ini pun, ia melakukan hal yang sama. Pak Mamat memiliki waktu luang pada pukul 19.30 selepas sholat isya. Dan pada jam-jam itulah kami mengobrol hingga larut malam.
Kami biasanya membicarakan kebiasaan sehari-hari pak Mamat, yakni mulai dari pekerjaan, rumah tangga, anak-anaknya, hingga keluhan-keluhan pak Mamat. Entah mengapa, ia begitu terbuka kepadaku. Obrolan kami biasanya ditemani dengan kepulan asap rokok yang sesekali berhembus disela-sela pembicaraan. Begitu pula dengan kopi hitam hangat yang senantiasa dihidangkan oleh istri pak Mamat di setiap obrolan kami. Pak Mamat selalu merokok rokok kretek, sedangkan aku merokok rokok filter.
Malam ini langit sedang cerah. Awan di langit nampaknya sedang singgah ke tempat lain, sehingga kami dapat melihat bulan yang telanjang. Di sekitar tempat babakaran, anak pak Mamat, yang berumur 7 tahun, sedang berjongkok mengamati api yang melahap sampah dan dedaunan. Tak hanya mengamati, Imong—yakni nama dari anak tersebut—seringkali melemparkan sesuatu ke dalam api, mulai dari daun, kayu bahkan batu, mungkin ia mengira batu dapat terbakar.
“Imong jangan terlalu dekat dengan api” ucap istri pak Mamat memperingati.
Si Imong malah tak menggubris peringatan dari ibunya, karena ia masih tetap diam di tempat ia berjongkok. Ketika ia diperingati untuk kedua kalinya, si Imong malah kabur ke entah kemana. Lalu beberapa menit kemudian ia kembali membawa air dan mengguyur kobaran api.
Euh budak teh aya-aya wae!” bentak ibu dari anak tersebut.
Bukannya menyesal, anak tersebut malah berlari-lari sambil bernyanyi. Lirik nyanyiannya kurang lebih seperti ini:
Geusan-geusan, aya ucing kapanasan, aya nini dagang ketan, aya aki disunatan”.
Tak jauh dari rumah pak Mamat, tepat di sebelah barat terdapat warung. Warung tersebut biasa dijadikan tempat berkumpul oleh para pemuda warga desa X. Tak hanya anak muda, ibu-ibu dan bapak-bapak pun seringkali berkumpul di warung tersebut.
Menariknya, warung tersebut hanya ramai pada malam hari. Karena pagi hingga sore adalah waktu mereka bekerja di pabrik, sawah dan perkebunan. Perlu kuberi tahu, mayoritas warga sekitar berprofesi sebagai buruh pabrik, dan sebagian lainnya adalah petani, namun hanya sedikit. Para petani yang ‘tersisa’ pun hanyalah petani-petani yang telah berumur, alias para orang tua. Jarang sekali terdapat para pemuda, yang meneruskan pekerjaan orang tua-orang tua mereka. Kemungkinan besar, mereka lebih tertarik dengan gaji yang ditawarkan oleh pihak pabrik.
***
“Memangnya bapak digaji berapa?” tanyaku sambil menyeruput kopi.
“Cuma 400 ribu aja dek” jawab pak Mamat sambil menghembuskan asap dari mulutnya.
“Memangnya, gaji itu cukup untuk membiayai segala keperluan bapak? Terlebih bapak punya empat anak” tanyaku lagi.
“Mau bagaimana lagi dek,” keluh pak Mamat. “Gaji segitu mesti cukup buat biaya sehari-hari.”
“Reza, ini ada telfon!” Temanku berteriak dari dalam rumah kontrakan kami.
“Abaikan saja, aku sedang mengobrol!” jawabku.
“Nama kontaknya My Couple, bahaya nih kalau tidak diangkat!” temanku memperingati. Tapi aku tak menjawab peringatan itu.
“Maaf ya pak ada gangguan,” ucapku dengan memasang raut wajah malu. “Mari lanjut lagi”.
Pak Mamat tersenyum, mengerti.
“Ya kalau dipikir-pikir, gaji segitu memang tidak cukup. Makannya kadang bapak suka nyari kerjaan tambahan, seperti jadi kuli panggul, itu pun jika ada waktu senggang dan tenaga masih cukup kuat.” Pak Mamat mulai meminum kopinya, lalu ia melanjutkan. “Bapak juga tak bisa berhenti dan mencari pekerjaan lain selain jadi buruh di pabrik Y. Karena, cukup sulit untuk diterima di pabrik lain.”
“Kenapa bisa begitu pak?” tanyaku heran.
“Katanya, kalau orang sini diterima di pabrik tertentu, mereka akan bekerja seenaknya. Tapi, lain halnya dengan orang non-pribumi, mereka cenderung lebih mudah diterima. Biasanya dek, orang Jawa yang mudah diterima di pabrik-pabrik daerah Purwakarta. Makannya, bapak pikir, supaya anak perempuan bapak nggak susah mencari pekerjaan, bapak siasati nama anak bapak dengan nama yang agak kejawa-jawaan. Makannya bapak kasih nama anak pertama bapak Nuni. He-he-he…” Pak Mamat tertawa kecil.
Lalu ia melanjutkan. “Soalnya bapak khawatir ia susah dapat pekerjaan dek. Sudah banyak kejadian soalnya. Misalnya, saudara bapak saja sampai sekarang belum diterima di pabrik manapun.”
“Reza, ini HP-mu bunyi lagi! Cepat angkat!” Temanku keluar dari kontrakan sambil membawa handphoneku. Lalu ia menganggukan kepalanya pada si bapak.
“Maaf ya pak, sepertinya aku harus mengangkat telfon terlebih dahulu” ucapku memohon izin kepada si bapak, lalu aku kembali ke kontrakanku.
Usai menjawab telfon, aku merebahkan badanku di karpet yang ada di ruang tengah kontrakan. Kedua tanganku kuletakan sebagai penyangga kepalaku. Aku pejamkan mataku dan mulai berpikir: Apa yang seharusnya aku lakukan, setelah aku melihat kondisi si bapak? Atau mungkin, aku tak bisa melakukan apa-apa? Jujur, sekarang aku tak bisa melakukan apa-apa. Miris memang. Tapi, ya memang begitu keadaannya. Aku pikir, aku benar-benar harus mengamini apa yang dikatakan oleh bapak Bupati Purwakarta; bahwa KKNM ialah bentuk pengabdian seorang mahasiswa kepada masyarakat, namun pura-pura.


TAMAT
22 Juli 2016

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra