Sisipus, Groundhog Day dan Kesia-siaan

gambar diambil dari: fellowsjill.wordpress.com
Oleh: Raja Cahaya Islam

Aku pikir kita hidup layaknya Sisipus. Kita hidup dalam kesia-siaan. Kita hidup dalam ketakbermaknaan. Mengapa aku berpikir demikian? Mula-mula, kita jabarkan terlebih dahulu, bagaimana nasib dari Sisipus. Sosok Sisipus yang kumaksud adalah sosok yang dipakai oleh Albert Camus, untuk mencerminkan kehidupan kita. Nasib Sisipus cukup malang, bahkan sangat malang. Ia dihukum oleh para dewa, karena telah mencuri sesuatu. Ia dihukum untuk mendorong sebuah batu besar ke atas gunung. Naas, upaya yang dilakukan oleh Sisipus selalu sia-sia. Karena, setiap batu besar tersebut sampai di puncak gunung, batu tersebut akan kembali menggelinding ke tempatnya yang semula; bahkan begitu seterusnya, selamanya! Bayangkan betapa Sisipus hidup dalam suatu kesia-siaan.
Aku pikir kita butuh contoh dalam menggambarkan sosok Sisipus. Film Ground Hog Day, merupakan film yang cukup menggambarkan sosok dan nasib Sisipus. Dalam film tersebut, tokoh utama yang bernama Phil Connors, dikutuk untuk menjalani harinya yang berulang-ulang. Jika boleh, aku akan beri contoh seperti ini: Phil melakukan segala aktivitas di hari Rabu, lalu ketika waktu mulai menunjukkan pukul 6 pagi, waktu akan kembali seperti semula, yakni ketika Phil melakukan aktivitas di hari Rabu. Ingatan Phil tetap tertancap di dalam tengkoraknya, namun ingatan orang-orang yang ada di sekitar Phil tidak demikian. Maksudnya, hanya Phil lah yang merasakan dan mengalami pengulangan tersebut. Pengulangan itu ternyata tidak dialami Phil dalam satu hari saja. Pengulangan itu terjadi terus menerus. Tapi, dalam pengulangan tersebut, Phil dapat merubah aktivitasnya atau melakukan hal yang berbeda dari hari ‘kemarin’. Maksudku, ia dapat melakukan suatu hal yang berbeda, di dalam pengulangan tersebut. Ditambah, pola ‘apa-apa’ yang ada di sekitar Phil berjalan secara mekanis. Misalnya, orang-orang yang ada di sekitar Phil, akan tetap melakukan hal yang sama terus menerus. Bagiku, Phil seperti sosok Sisipus.
Baik Phil maupun Sisipus—yang digambarkan oleh Camus, menurutku sangat mencerminkan kehidupan kita yang ‘nyata’. Mungkin, cerita dari Phil lebih mudah digunakan dalam penjelasan ini. Kita mesti menyadari, bahwa kita hidup dalam pengulangan yang tak terhingga. Kita menjalani hidup kita di dalam pola yang sama. Mungkin, jika kita melihat nasib Phil yang malang, kita akan melihat pengulangan tersebut terjadi dalam satu hari saja. Sedangkan kita, mengalami pengulangan tersebut, tidak terjadi dalam satu hari. Contohnya, aku sebagai seorang muslim, selalu melakukan ritual di bulan Ramadhan, yakni puasa. Puasa Ramadhan, dilakukan hanya di bulan Ramadhan saja. Dan bulan Ramadhan, terjadi satu tahun sekali. Aku menjalani puasa di setiap bulannya sekitar satu bulan di setiap tahunnya. Jadi, aku mesti melakukan pengulangan setiap tahun. Mungkin, kita tak akan begitu merasakan pengulangan ini, karena terjadi dalam jeda waktu yang cukup panjang—dimana Phil mengalami pengulangan setiap harinya. Namun, jika kita telisik lebih jauh, kita akan mendapati kondisi kita sebagaimana yang Phil alami. Yang ada hanya pengulangan-pengulangan, meskipun dalam pola pengulangan ini, kita melakukan suatu hal yang berbeda dengan waktu-waktu yang pernah kita alami sebelumnya. Tapi, bukankah kondisi inilah yang dialami Phil? Memang mesti diakui bahwa, bukan hanya ‘aku’ sendiri saja, sebagaimana Phil, yang merasakan pengulangan ini, karena toh terdapat ‘aku-aku’ yang lain, yang mengalami hal serupa. Mungkin, inilah penyebab kita melupakan dan tidak merasakan pengulangan tersebut, karena yang mengalami pengulanan tak terhingga tersebut bukan hanya ‘aku’ sendiri, tapi bersama ‘aku-aku’ yang lain pun ikut merasakannya.
Aku menyarankan, coba saja kita bayangkan, bahwa hanya ada ‘aku’ sendiri saja yang mengalami pengulangan tersebut, sebagaimana yang dialami oleh Phil. Cobalah kita singkirkan konsepsi bahwa orang lain pun mengalami hal yang serupa dengan kita, sehingga kita merasa memiliki kawan senasib. Singkirkan konsepsi itu, sampai kita hanya merasakan bahwa hanya ‘aku’ sendiri sajalah yang mengalami pengulangan tersebut. Bayangkan, kita berada dalam posisi Phil. Aku pernah mencoba membayangkan hal ini. Dan bagiku, ini cukup mengerikan dan sangat menakutkan. Bagaimana tidak, pada saat itu juga, aku merasakan kesendirian dan kesepian yang mencekik; meskipun aku menyadari ada orang lain yang berada di sekelilingku. Tapi, orang-orang disekelilingku, sama sekali tidak membuatku merasakan kehangatan, dalam artian aku tidak merasakan keberadaan orang lain. Aku kesepian di dalam keramaian.
Ketika aku menyadari hal tersebut. Satu-satunya hal yang terbersit di kepalaku adalah, apa yang mesti aku lakukan di tengah kehidupan yang sia-sia ini? Sebelumnya, aku ingatkan terlebih dahulu, bahwa bagiku pengulangan yang tak terhingga ini, merupakan suatu kesia-siaan. Karena, toh tidak membuahkan suatu ‘hasil’, jika hasil memang ada. Untuk mempermudah apa yang aku maksud, aku akan memberi contoh: kita menyadari bahwa kita ini hidup, pun kita mesti menyadari bahwa kita akan mati. Tak ada mahluk hidup yang tak akan pernah mati. Semua yang bernafas akan mati. Kita pun menyadari, bahwa kita tak memilih apakah kita mau hidup atau tidak, sewaktu kita dilahirkan. Kita tiba-tiba saja dilahirkan tanpa ada ‘sebab’ (di luar sebab-sebab biologis) apapun. Kita  berada dalam situasi keterlemparan. Mengerikannya, kita terlempar, dan kita ditakdirkan untuk mati. Kita hidup untuk tidak hidup. Menurutku ini sangat mengerikan. Karena, hidup kita benar sia-sia. Apa yang kita capai selama kita hidup, toh akan lenyap dalam beberapa detik, ketika kita mati! Butuh bermilyar-milyar tahun untuk menciptakan manusia, namun cukup waktu beberapa detik saja untuk menghilangkan manusia, begitu kata Jostein Gaarder. Singkat kata, kita melakukan hal yang sia-sia ketika kita hidup, karena pada akhirnya kita akan mati, tanpa membawa apa-apa yang telah kita capai dan lalui ketika kita hidup. Nah, seluruh manusia yang ada di alam semesta ini, hidup dalam pengulangan ini. Pengulangan tersebut, terjadi dalam siklus kehidupan dan kematian. Pola manusia adalah—bahkan mahluk lainnya—hidup lalu mati, titik! Plot manusia hanya itu. Dan tidak ada manusia yang tidak memiliki plot yang seperti itu. Takdir manusia selalu berulang, yaitu berakhir mati.
Bahkan, sebagaimana aku sebutkan sebelumnya, bahwa kehidupan kita terjadi dalam pengulangan, oleh karena itu apapun capaian yang ktia lakukan, hanyalah menghasilkan kesia-siaan, karena tidak merubah apapun dalam rutinitas dan pengulangan kita sehari-hari. Aku ingatkan lagi, memang jika dilihat sekilas, nampak bahwa selalu ada yang berubah, namun aku coba mengajak untuk berpikir bahwa, pada dasarnya kita hidup dalam pengulangan! Coba saja ingat Phil Connor.
Kembali lagi ke pertanyaan kita. Aku pikir, yang hanya bisa kita lakukan hanyalah, menegaskan pengulangan serta kesia-siaan tersebut. Jadi, aku sarankan untuk tidak mengharapkan hasil—karena toh sia-sia juga akhirnya. Jadi cukuplah kita memfokuskan diri pada cara menjalani kehidupan saja. Karena setiap orang memiliki caranya masing-masing, dan inilah yang merupakan prestasi kita. Maksudku, satu hal yang dapat kita unggulkan bukanlah apa yang kita dapat atau hasil, namun, apa yang kita lakukan. Itu saja. Di tengah pengulangan ini, kita dapat memberontak dengan cara selalu merubah cara kita menghadapi pengulangan yang abadi tersebut. Sikap ini, bagiku, berefek pada masa bodoh terhadap hasil yang kita dapat. Atau dalam bahasa lain, kita menjadi masa bodoh terhadap kesia-siaan, karena semua orang tahu bahwa kita hidup dalam kesia-siaan. Oleh karena itu, aku tekankan, sadarilah bahwa sebenarnya kita hidup hanya untuk ‘cara’ menjalani hidup, bukan ‘apa’ dan mendapat ‘apa’ di dalam hidup.

27 Juni 2016

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra