Sisipus, Groundhog Day dan Kesia-siaan
Aku pikir kita hidup layaknya Sisipus. Kita hidup
dalam kesia-siaan. Kita hidup dalam ketakbermaknaan. Mengapa aku berpikir
demikian? Mula-mula, kita jabarkan terlebih dahulu, bagaimana nasib dari
Sisipus. Sosok Sisipus yang kumaksud adalah sosok yang dipakai oleh Albert
Camus, untuk mencerminkan kehidupan kita. Nasib Sisipus cukup malang, bahkan
sangat malang. Ia dihukum oleh para dewa, karena telah mencuri sesuatu. Ia
dihukum untuk mendorong sebuah batu besar ke atas gunung. Naas, upaya yang
dilakukan oleh Sisipus selalu sia-sia. Karena, setiap batu besar tersebut
sampai di puncak gunung, batu tersebut akan kembali menggelinding ke tempatnya
yang semula; bahkan begitu seterusnya, selamanya! Bayangkan betapa Sisipus
hidup dalam suatu kesia-siaan.
Aku pikir kita butuh contoh dalam menggambarkan sosok
Sisipus. Film Ground Hog Day, merupakan film yang cukup menggambarkan sosok dan
nasib Sisipus. Dalam film tersebut, tokoh utama yang bernama Phil Connors,
dikutuk untuk menjalani harinya yang berulang-ulang. Jika boleh, aku akan beri
contoh seperti ini: Phil melakukan segala aktivitas di hari Rabu, lalu ketika
waktu mulai menunjukkan pukul 6 pagi, waktu akan kembali seperti semula, yakni
ketika Phil melakukan aktivitas di hari Rabu. Ingatan Phil tetap tertancap di
dalam tengkoraknya, namun ingatan orang-orang yang ada di sekitar Phil tidak
demikian. Maksudnya, hanya Phil lah yang merasakan dan mengalami pengulangan
tersebut. Pengulangan itu ternyata tidak dialami Phil dalam satu hari saja.
Pengulangan itu terjadi terus menerus. Tapi, dalam pengulangan tersebut, Phil
dapat merubah aktivitasnya atau melakukan hal yang berbeda dari hari ‘kemarin’.
Maksudku, ia dapat melakukan suatu hal yang berbeda, di dalam pengulangan
tersebut. Ditambah, pola ‘apa-apa’ yang ada di sekitar Phil berjalan secara
mekanis. Misalnya, orang-orang yang ada di sekitar Phil, akan tetap melakukan
hal yang sama terus menerus. Bagiku, Phil seperti sosok Sisipus.
Baik Phil maupun Sisipus—yang digambarkan oleh Camus,
menurutku sangat mencerminkan kehidupan kita yang ‘nyata’. Mungkin, cerita dari
Phil lebih mudah digunakan dalam penjelasan ini. Kita mesti menyadari, bahwa
kita hidup dalam pengulangan yang tak terhingga. Kita menjalani hidup kita di
dalam pola yang sama. Mungkin, jika kita melihat nasib Phil yang malang, kita
akan melihat pengulangan tersebut terjadi dalam satu hari saja. Sedangkan kita,
mengalami pengulangan tersebut, tidak terjadi dalam satu hari. Contohnya, aku
sebagai seorang muslim, selalu melakukan ritual di bulan Ramadhan, yakni puasa.
Puasa Ramadhan, dilakukan hanya di bulan Ramadhan saja. Dan bulan Ramadhan,
terjadi satu tahun sekali. Aku menjalani puasa di setiap bulannya sekitar satu
bulan di setiap tahunnya. Jadi, aku mesti melakukan pengulangan setiap tahun.
Mungkin, kita tak akan begitu merasakan pengulangan ini, karena terjadi dalam
jeda waktu yang cukup panjang—dimana Phil mengalami pengulangan setiap harinya.
Namun, jika kita telisik lebih jauh, kita akan mendapati kondisi kita
sebagaimana yang Phil alami. Yang ada hanya pengulangan-pengulangan, meskipun
dalam pola pengulangan ini, kita melakukan suatu hal yang berbeda dengan
waktu-waktu yang pernah kita alami sebelumnya. Tapi, bukankah kondisi inilah
yang dialami Phil? Memang mesti diakui bahwa, bukan hanya ‘aku’ sendiri saja,
sebagaimana Phil, yang merasakan pengulangan ini, karena toh terdapat ‘aku-aku’
yang lain, yang mengalami hal serupa. Mungkin, inilah penyebab kita melupakan
dan tidak merasakan pengulangan tersebut, karena yang mengalami pengulanan tak
terhingga tersebut bukan hanya ‘aku’ sendiri, tapi bersama ‘aku-aku’ yang lain
pun ikut merasakannya.
Aku menyarankan, coba saja kita bayangkan, bahwa hanya
ada ‘aku’ sendiri saja yang mengalami pengulangan tersebut, sebagaimana yang
dialami oleh Phil. Cobalah kita singkirkan konsepsi bahwa orang lain pun
mengalami hal yang serupa dengan kita, sehingga kita merasa memiliki kawan
senasib. Singkirkan konsepsi itu, sampai kita hanya merasakan bahwa hanya ‘aku’
sendiri sajalah yang mengalami pengulangan tersebut. Bayangkan, kita berada
dalam posisi Phil. Aku pernah mencoba membayangkan hal ini. Dan bagiku, ini
cukup mengerikan dan sangat menakutkan. Bagaimana tidak, pada saat itu juga,
aku merasakan kesendirian dan kesepian yang mencekik; meskipun aku menyadari
ada orang lain yang berada di sekelilingku. Tapi, orang-orang disekelilingku,
sama sekali tidak membuatku merasakan kehangatan, dalam artian aku tidak
merasakan keberadaan orang lain. Aku kesepian di dalam keramaian.
Ketika aku menyadari hal tersebut. Satu-satunya hal
yang terbersit di kepalaku adalah, apa yang mesti aku lakukan di tengah
kehidupan yang sia-sia ini? Sebelumnya, aku ingatkan terlebih dahulu, bahwa
bagiku pengulangan yang tak terhingga ini, merupakan suatu kesia-siaan. Karena,
toh tidak membuahkan suatu ‘hasil’, jika hasil memang ada. Untuk mempermudah
apa yang aku maksud, aku akan memberi contoh: kita menyadari bahwa kita ini
hidup, pun kita mesti menyadari bahwa
kita akan mati. Tak ada mahluk hidup yang tak akan pernah mati. Semua yang
bernafas akan mati. Kita pun menyadari, bahwa kita tak memilih apakah kita mau
hidup atau tidak, sewaktu kita dilahirkan. Kita tiba-tiba saja dilahirkan tanpa
ada ‘sebab’ (di luar sebab-sebab biologis) apapun. Kita berada dalam situasi keterlemparan.
Mengerikannya, kita terlempar, dan kita ditakdirkan untuk mati. Kita hidup
untuk tidak hidup. Menurutku ini sangat mengerikan. Karena, hidup kita benar
sia-sia. Apa yang kita capai selama kita hidup, toh akan lenyap dalam beberapa
detik, ketika kita mati! Butuh bermilyar-milyar tahun untuk menciptakan
manusia, namun cukup waktu beberapa detik saja untuk menghilangkan manusia,
begitu kata Jostein Gaarder. Singkat kata, kita melakukan hal yang sia-sia
ketika kita hidup, karena pada akhirnya kita akan mati, tanpa membawa apa-apa
yang telah kita capai dan lalui ketika kita hidup. Nah, seluruh manusia yang
ada di alam semesta ini, hidup dalam pengulangan ini. Pengulangan tersebut,
terjadi dalam siklus kehidupan dan kematian. Pola manusia adalah—bahkan mahluk
lainnya—hidup lalu mati, titik! Plot manusia hanya itu. Dan tidak ada manusia
yang tidak memiliki plot yang seperti itu. Takdir manusia selalu berulang,
yaitu berakhir mati.
Bahkan, sebagaimana aku sebutkan sebelumnya, bahwa
kehidupan kita terjadi dalam pengulangan, oleh karena itu apapun capaian yang
ktia lakukan, hanyalah menghasilkan kesia-siaan, karena tidak merubah apapun
dalam rutinitas dan pengulangan kita sehari-hari. Aku ingatkan lagi, memang
jika dilihat sekilas, nampak bahwa selalu ada yang berubah, namun aku coba
mengajak untuk berpikir bahwa, pada dasarnya kita hidup dalam pengulangan! Coba
saja ingat Phil Connor.
Kembali lagi ke pertanyaan kita. Aku pikir, yang hanya
bisa kita lakukan hanyalah, menegaskan pengulangan serta kesia-siaan tersebut.
Jadi, aku sarankan untuk tidak mengharapkan hasil—karena toh sia-sia juga
akhirnya. Jadi cukuplah kita memfokuskan diri pada cara menjalani kehidupan
saja. Karena setiap orang memiliki caranya masing-masing, dan inilah yang
merupakan prestasi kita. Maksudku, satu hal yang dapat kita unggulkan bukanlah
apa yang kita dapat atau hasil, namun, apa yang kita lakukan. Itu saja. Di
tengah pengulangan ini, kita dapat memberontak dengan cara selalu merubah cara
kita menghadapi pengulangan yang abadi tersebut. Sikap ini, bagiku, berefek
pada masa bodoh terhadap hasil yang kita dapat. Atau dalam bahasa lain, kita
menjadi masa bodoh terhadap kesia-siaan, karena semua orang tahu bahwa kita
hidup dalam kesia-siaan. Oleh karena itu, aku tekankan, sadarilah bahwa
sebenarnya kita hidup hanya untuk ‘cara’ menjalani hidup, bukan ‘apa’ dan
mendapat ‘apa’ di dalam hidup.
27 Juni 2016
Comments
Post a Comment