Tangis sang Korban

Oleh: Raja Cahaya Islam

Beberapa waktu yang lalu, aku sedang berjalan menuju hotel. Aku baru saja pulang menyelesaikan beberapa urusan bersama temanku, di sebuah restoran yang tidak jauh dari hotelku. Dalam perjalanan pulang, tepat sekitar pukul 8 malam—tempat dimana peristiwa yang yang menggemparkan itu terjadi—jalan yang aku lewati sedang dalam keadaan ramai. Banyak orang yang berlalu lalang di sekitarku. Mereka terlihat sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Wajar saja, banyak toko berjajar di sekitar sini, mulai dari toko mas, toko pakaian, dan perkakas yang persis berada dijajaran sebelah kananku. Dan di sebrang trotoar—dimana tempatku menyusuri jalan—terdapat beberapa toko roti, toko buah-buahan, dan bermacam-macam toko lainnya.
Di sebrang jalan, aku melihat seorang perempuan, yang kurang lebih berusia 30-an, menggandeng seorang anak perempuan yang menangis, dengan tangan kanannya; sedang tangan kirinya menggenggam beberapa kantong plastik. Leher perempuan itu dililit oleh syal berwarna abu-abu yang cukup kebesaran baginya. Karena udara yang cukup dingin, ia menggunakan baju panjang berwarna putih, disertai jaket berbulu yang cukup tebal, dan sarung tangan yang membungkus kedua tangannya. Anak perempuan yang digandeng ibunya, yang mengenakan pakaian yang cukup mirip dengan ibunya—ditambah sepatu bots berwarna kuning di kedua kakinya—meronta-ronta sambil menunjuk ke arah toko yang baru saja mereka lalui. Sepertinya, anak perempuan itu menginginkan sesuatu, hanya saja si ibu melarangnya.
Tepat ketika aku melewati toko jam dinding, yang terletak setelah toko perkakas, peristiwa itu pun terjadi. Aku tak ingat apapun. Yang jelas tubuhku telah membentur keras aspal jalan raya. Penglihatanku agak kabur. Sepertinya, aku terhempas akibat dari ledakan. Ya, aku cukup yakin, ledakan bom yang telah melemparkanku.
Kerikil serta reruntuhan bangunan berserakan di hadapanku. Pipiku sepertinya lecet serta berdarah, akibat gesekan keras di atas aspal yang cukup kasar. Seluruh tubuhku begitu berat, aku tak kuasa mengangkatnya. Beberapa menit, akhirnya aku berhasil mengangkat kepalaku perlahan, kedua tanganku mencoba mengangkat beban tubuhku—dengan posisi seperti push-up, tapi tak sepenuhnya bisa aku angkat. Kini mataku mulai agak berfungsi, samar-samar, mulai terlihat asap hitam yang mengepul di udara. Aku mencoba bangkit, namun terasa ada sesuatu yang menahan kaki kananku. Ternyata ada pintu mobil yang menindih kakiku. Mula-mula aku tak merasakan apa-apa, namun beberapa saat kemudian, kakiku mulai terasa perih. Genangan darah nampak di sekitar kakiku yang terjepit.
Aku pasrah saja melihatnya. Lama kelamaan aku mulai merasakan sakit yang amat sangat, namun aku tak kuasa untuk berteriak. Kuhempaskan kembali tubuhku. Beberapa saat kemudian, sayup-sayup mulai terdengar suara teriakan dan tangisan. Ternyata—baru kusadari—sedari tadi pendengaranku bermasalah untuk beberapa saat. Mungkin akibat suara dari ledakan yang begitu dahsyat.
Sirine mobil ambulans dan mobil polisi mulai terdengar. Aku mencoba kembali untuk membalikkan tubuhku, agar aku bisa melihat langit. Namun, aku sadar, bahwa usahaku akan sia-sia, karena kakiku terjepit. Jika saja aku bisa memutuskan kaki kananku, niscaya aku akan bisa menelentangkan badanku. Tapi, aku tak mau menerima resiko besar. Aku tak mau berjalan dengan tongkat.

gambar diambil dari: fineartamerica.com

***

“Jauhi tempat ini! Tempat ini tidak aman!” Perintah tersebut berasal dari pengeras suara yang digunakan oleh polisi.
“Hei kau, dilarang memotret” Teriak seorang polisi.
“Tapi aku wartawan pak” Jawab seorang pemuda yang menenteng-nenteng kamera, sedang membela dirinya.
“Tetap tidak bisa,” bentak si polisi. “Daerah ini belum aman!”
“Hei kau,” si polisi tadi menyeru kepada bawahannya yang baru saja keluar dari mobil. “Cepat pasang garis polisi di sekitar sini.”
“Baik Pak” Yang diperintah menjawab, dan bergegas melaksanakan tugasnya.
“Hei kau berhenti!!!” Polisi itu kini meneriaki seorang pria berjubah hitam yang tiba-tiba melompat melewati garis polisi.
Pria berjubah itu berlari menghambur ke tengah-tengah lokasi ledakan. Empat polisi mulai berlarian hendak mengamankan pria tersebut. Salah seorang diantara mereka mulai mengeluarkan senjata dan berteriak: “Berhenti atau ku tembak!!!”. Sedang tiga orang lainnya terus berlari mengejar pria tersebut.
“Jangan dikejar!” Teriak polisi yang meneriaki wartawan tadi, kepada empat polisi yang mengejar pria berjubah. “Pergi dari sini!!!” Kini teriakannya ia tujukan kepada semua orang yang berada di tempat itu.
“Menunduk” Polisi yang memegang pistol mulai menyadari.
Benar saja, beberapa saat kemudian ledakan kedua terjadi. Ternyata, si pria berjubah itu meledakkan dirinya. Tiga polisi yang tadi mengejar terhempas ke beberapa arah. Hanya satu orang yang selamat, namun, ia mesti merelakkan tangan kirinya. Ia memekik dengan pekikan yang sangat memilukkan, karena ia baru saja menyadari bahwa tangan kirinya hilang sampai siku. Darahnya mulai bercucuran dengan deras. Tulang tangannya nampak sedikit. Ia meronta-ronta karena tak tahan dengan rasa sakitnya. Dua petugas ambulas, yang sedari tadi sibuk menyelematkan dan mengevakuasi korban, mulai mengarahkan perhatiannya pada si polisi yang tangan kirinya hilang. Mereka berdua berlari, dan memberikan pertolongan pertama. Lalu petugas ambulans lain datang membawa tandu untuk mengangkat polisi tersebut. Akhirnya polisi itu dilarikan ke rumah sakit menggunakan salah satu dari sepuluh mobil ambulans yang berjejer.
***
Ledakkan kedua lebih mengerikan. Jika saja, pria berjubah hitam itu meledakkan dirinya lebih dekat dari jarakku—mungkin sekitar satu meter lagi—maka aku akan hancur berkeping-keping. Tiba-tiba saja terdengar suara seseorang. Mungkin ia tidak jauh dari tempatku tergeletak. Lalu aku membalikkan arah wajahku ke samping.
“Mamaaa, selamatkan aku.” Seseorang melenguh kesakitan.
Tak kusangka, itu adalah anak kecil tadi, yang beberapa waktu lalu digandeng oleh perempuan yang mengenakan syal berwarna abu-abu. Anak kecil itu telentang menghadap langit. Ia mencoba bergerak, tapi sia-sia. Sepertinya ia belum sadar akan kakinya yang patah. Mungkin, ia hanya menginginkan ibunya. Wajah anak itu begitu mengerikan. Wajahnya dipenuhi debu, dengan bercak merah di sekitar wajahnya. Matanya agak merah karena menangis. Bahkan sampai sekarang pun ia masih menangis.
Aku tak kuasa mendengarnya. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Karena badanku mulai lemas hebat. Mungkin akibat dari darahku yang terkuras. Belum ada yang menghampiri kami berdua (aku dan anak kecil itu), karena letak kami berdua cukup jauh dari para petugas ambulans, ditambah ada sebuah mobil sedan rusak yang membentengi kami, sehingga para petugas tidak melihat kami berdua.
Aku tiba-tiba teringat akan istriku dan kedua anakku. Aku mulai menangis. Aku takut kehilangan mereka. Karena jujur saja, sedari tadi bayangan akan kematian terus menghantuiku. Aku tak tahan dengan bayangan ini, sedang yang hanya bisa aku lakukan hanya menangis. Bagaimana nasib istri dan anakku jika aku mati? Apakah mereka akan menangis dan meratapi kematianku? Lalu, apakah istriku akan menikah dengan orang lain, dan anakku akan menemukkan orang lain yang dapat dipanggil ayah? Sial! Mengapa aku memikirkan hal itu. Aku yakin, mereka tidak akan melakukan itu. Tapi jika dipikir, siapa yang dapat menjamin hal itu? Mungkin pikiranku benar, istriku akan menikah dengan orang lain, dan ia akan segera memiliki anak dari orang lain. Air mataku mulai mengalir deras. Aku mulai menangis seperti anak kecil. Bahkan sepertinya, anak perempuan yang ada di dekatku, lebih dewasa dalam meratapi nasib daripada diriku. Karena nyatanya, ia tak menangis layaknya anak kecil; tapi mungkinkah gara-gara ia telah lelah?
Bangs*t, aku malah memikirkan hal lain. Aku tak dapat melakukan apapun. Badanku sangat lemas, bahkan aku mulai tak bisa menggerakkan jari-jari tanganku sekarang. Yang bisa aku lakukan hanyalah menangis meratapi masa depan yang tak pasti.


5 Juli 2016

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra