Tentara yang malang
![]() |
gambar diambil dari: fineartamerica.com |
Oleh: Raja Cahaya
Islam
Suara burung hantu terdengar jelas di tempat Fred
berdiri. Bagaimana mungkin ia tak mendengarnya, Fred sedang berada di dalam hutan
ketika binatang nokturnal mulai melakukan aktifitasnya. Ia terpaksa memasuki
hutan karena perintah komandannya. Gemuruh sesekali terdengar. Malam ini, bulan
sama sekali tak tampak, karena awan gelap sedang menyelimuti seluruh langit. Tapi
kondisi ini tak mengherankan bagi Fred, karena ia baru saja paham mengapa hutan
ini diberi predikat ‘hujan’ oleh masyarakat.
Malam ini, Fred seolah-olah buta. Hutan ini begitu
gelap. Bahkan ia tak bisa melihat ibu jari tangannya. Menyalakan senter pun merupakan
upaya bunuh diri, karena musuh akan menemukan Fred dengan mudah. Fred hanya
bisa mengandalkan kilatan cahaya petir. Jadi, ketika gemuruh dan kilatan petir
datang, maka itulah saatnya bagi Fred untuk bergerak dari persembunyiannya—seperti
semak-semak, batu-batu besar atau batang pohon.
Malangnya, malam ini bukanlah malam keberuntungan
Fred. Pertama, senjatanya kemasukan air dan lumpur sehingga tak berfungsi,
sehingga ia terpaksa membuangnya. Kedua, ia sedang menggendong seorang kawannya—yang
baru ia kenal di medan perang—yang tak sadarkan diri. Yang bisa dilakukannya
sekarang adalah, mengandalkan pisau dan menggendong pria tersebut—karena ia
tidak tega meninggalkannya tak berdaya di dalam hutan yang gelap. Ia
mengikatkan pria itu di punggungnya, sehingga Fred tak begitu repot untuk
menahan tubuh tersebut dengan kedua tangannya.
Kilatan cahaya mulai muncul, Fred langsung berdiri dan
berlari. Tapi naas, ketika ia berlari, ia tersungkur karena kakinya tersandung
ranting pohon yang cukup besar. Kedua telapak tangannya kini lecet, namun
sepertinya tidak terlalu parah. Apakah tangannya berdarah atau tidak, ia tak
bisa memastikannya karena gelap, tapi satu yang pasti: sakit. Celana di bagian
lutut kanannya terasa robek, karena lututnya terasa lebih dingin dari
sebelumnya. Wajahnya terasa berlumuran lumpur. Ia mengerang kesakitan, karena
kaki kanannya terkilir. Lalu Fred menyeret tubuhnya ke arah kiri, karena sebelum
itu, yakni ketika kilatan petir muncul, ia sempat melihat batang pohon yang
tumbang. Namun, sebelum menyeret tubuhnya, Fred terpaksa harus meletakkan pria yang
ia gendong, karena tak kuasa menyeret dua tubuh sekaligus.
Fred menyandarkan tubuhnya di batang tersebut. Pria yang
malang itu persis tergeletak di hadapannya. Fred terengah-engah karena butuh
energi ekstra setelah ia menyeret tubuhnya, karena siapa sangka, ternyata batang
pohon tersebut cukup jauh dari tempatnya terjatuh. Padahal ia rasa, batang
tersebut cukup dekat dengan dirinya. Sepertinya ia telah tertipu oleh gelap
malam.
Setelah beberapa menit beristirahat, sekaligus
melewatkan beberapa kilatan cahaya petir, tiba-tiba bulatan cahaya muncul.
Cahaya itu bergerak-gerak ke berbagai arah. Fred mulai takut. Tubuhnya gemetar
hebat, karena ia yakin itu adalah sorotan senter musuhnya. Ketakutannya
bertambah, karena ia tersadar akan kawannya. Ia khawatir kawannya akan terkena
sorotan cahaya, karena tak ada sesuatu yang melingkupi dirinya. Tempat dimana
kawannya telentang menghadap langit adalah tempat dimana pohon-pohon agak
jarang, dan semak-semak kebetulan tak setinggi biasanya. Singkat kata, tempat
itu agak lapang. Tempat Fred menyadarkan diri dan kawannya berjarak sekitar 1
meter lebih. Meskipun jarak ini cukup aman, tapi bagi musuh-musuh Fred yang teliti,
jarak tersebut tak membuat mereka mustahil untuk menemukannya.
“Suara apa itu?!” Teriak seseorang.
“Coba kita periksa ke sebelah sana” Jawab seseorang.
Percakapan itu terdengar dengan jelas oleh Fred.
Tubuhnya begitu lemas karena ketakutan. Keringat dingin mulai mengalir di
sekitar pelipisnya. Ia memejamkan matanya. Lalu ia berpikir dengan keras.
“Pilihanku hanya dua, meninggalkan dia (kawannya) dan
selamat, tapi berkhianat kepadanya; atau mempertahankan kesetiaan, yakni menggendongnya
kembali dengan kemungkinan besar ditemukan” Gumam Fred dalam hati.
Suara gemerisik mulai terdengar. Sorotan senter mulai
terlihat di sekitarnya. Kali ini tak ada lagi waktu untuk berpikir, karena jika
ia tak memutuskan dengan cepat, maka ia dan kawannya akan ditemukan, lalu
dibunuh; dan hal tersebut bukan termasuk dalam pilihan yang telah ia pikiran. Lalu, ia langsung bergerak dengan tiarap
sambil menahan rasa sakit di kakinya. Ternyata, ia memutuskan untuk mempertahankan
kesetiaan, meskipun nyawa taruhannya.
Ketika ia rasa hampir dekat di tempat kawannya
berbaring. Kilatan petir muncul. Kiamat baginya, karena ia pasti akan ditemukan
dengan segera.
“Hei kau, jangan bergerak!” Teriakan mulai terdengar.
Karena ketakutan, ia menutupi kepalanya dengan kedua
lengannya. Air matanya mulai melintasi pipinya dengan deras. Ia mulai menangis layaknya
anak kecil.
“Bodoh, mengapa aku memilih pilihan ini?!” Ia menyesali
pilihannya.
Badan Fred bergetar lebih hebat dari sebelumnya. Bahkan
ia mengompol di celana saking takutnya. Detik-detik kematiannya ia habiskan
untuk meratapi keputusannya. Suara orang-orang yang berlari menerjang semak-semak
terdengar semakin jelas, ditambah suara patahan-patahan ranting yang
berderak-derak dengan cepat, karena terinjak-injak.
Telah beberapa menit berlalu. Namun, Fred belum mati.
Ia heran, dan mulai mengangkat kepalanya. Helm tentaranya ia betulkan sedikit.
Ia mulai mencoba melihat sekitar, dan mencoba mencari sorotan cahaya yang baru
saja membuatnya mengompol. Ternyata sorotan senter itu sekarang cukup jauh dari
tempatnya. Ia berpikir, sepertinya ada tentara lain selain dirinya, dan
sepertinya tentara itu terkena sial; karena tak lama kemudian terdengar suara
tembakan dibarengi teriakan seseorang. Fred mulai menghembuskan nafas lega,
karena bukan dia yang ditembak. Tanpa berlama-lama, ia langsung bergerak menuju
tempat kawannya. Setelah sampai di tempat, Fred mulai mengangkat tubuh yang telentang
tak berdaya itu. Fred mencoba memaksakan berdiri, meskipun kakinya terasa
begitu sakit tak terkira. Lalu ia berhasil mengangkat kawannya, dan mulai
berjalan perlahan.
Fred memutuskan untuk berjalan melalui jalan yang baru
saja ia lalui, sehingga ia tak perlu menunggu kilat petir dari langit untuk
menerangi jalan.
“Semoga aku tak tersandung” ucapnya dengan nada yang
pelan.
Kilatan petir mulai muncul, dan ia baru saja melihat
batang pohon tempat ia beristirahat sebelumnya. Ketika ia mulai menurunkan
tubuhnya, untuk meletakkan kawannya. Tiba-tiba, serasa ada sesuatu yang menerobos
punggungnya. Lalu, tubuhnya terasa mengeluarkan cairan dengan deras. Bagai
kilatan cahaya, rasa sakit datang begitu cepat, ia mengerang dengan keras.
Lalu, ia menjatuhkan tubuhnya ke tanah, sambil tangannya meraba berusaha
mencari tahu apa yang menusuk punggungnya. Pisau. Ia yakin itu.
Ternyata keyakinannya terbukti, karena ia baru saja
merasakan pegangan pisau. Ia terheran, bagaimana mungkin benda itu tertusuk di
punggungnya. Belum sempat ia berpikir, terdengar tawa yang mengerikan diiringi
ejekan yang begitu menusuk hati.
“Sepertinya kau tidak mengenali mana kawan mana lawan,”
Ucap seseorang di dekatnya. “Tapi, terimakasih telah menggendongku selama ini.”
Wajah pria itu tak terlihat, bahkan ketika kilatan
petir muncul, wajahnya tertutup oleh bayangan. Lalu, pria yang telah menusuknya
mulai terdengar mendekat. Lalu ia mencabut pisau dari tubuh Fred. Fred berteriak
dengan kencang karena rasa sakit yang mengerikan.
“Berisik!” Teriak pria itu. “Dasar tak berguna.” Pria
itu menendang perut Fred dengan keras. Fred kembali berteriak, lalu tendangan
demi tendangan mulai menghujani tubuhnya.
“Baiklah, aku mulai kasihan mendengarmu berteriak.”
Pria tersebut berhenti menendangnya.
Fred mulai tak mampu mengerang dan berteriak, karena
darah yang ia keluarkan cukup banyak.
“Aku memuji atas apa yang kau lakukan selama ini. Terkhusus
aku memuji kesetiaanmu.” Pria tersebut berbisik di telinga Fred. “Karena aku
baik hati, aku tak akan menusukmu lagi, dan tak akan menendangmu lagi. Selamat
tinggal.”
Terdengar langkah pria tersebut yang mulai menjauh
meninggalkannya. Lalu Fred memejamkan matanya karena kesakitan. Tak ia sangka,
ternyata malaikat pencabut nyawa akhirnya menjemputnya. Ia akhirnya memasrahkan
diri pada nasib, baik jiwanya maupun raganya. Segala beban pikiran mulai ia
hilangkan satu persatu, seperti: pikiran tentang istri dan anaknya yang sedang
menunggu di rumah, kasur hangat yang menunggunya di rumah, kawan-kawannya yang
menunggu di kamp, serta kopi hitam dan cerutu; dan terkhusus kesetiaan yang
sia-sia, karena akhirnya toh ia terbunuh juga oleh orang yang ia gendong. Namun
satu hal yang mengganjal dalam pikirannya:
“Aku kenal suara kawanku, tapi aku tak kenal dengan
suara pria yang baru saja meninggalkanku.”
8 Juli 2016
TAMAT
Comments
Post a Comment