Tuhan, ‘siapakah’ diantara dirimu yang benar? (Bagian I)

Oleh: Raja Cahaya Islam
gambar diambil dari: lcministries.org

Bagi orang beragama, Tuhan adalah sosok yang tidak bisa tidak mesti diperhitungkan di dalam kehidupan. Karena, Tuhan dianggap sebagai ‘tempat’ bermula dan berakhir. Ia adalah sosok yang dipuja-puja bagi manusia beragama. Ia adalah zat yang mesti disembah oleh seluruh manusia yang percaya kepadanya. Kehidupan kita tak lain dari pemberian-Nya, atau mungkin sebagai titipan. Karena alasan inilah kita memuja dan menyembah-Nya. Namun, bentuk penyembahan kita kepada-Nya, bukan berarti kita memberikan apa-apa yang patut Ia terima dari kita. Mungkin, orang akan berkata, bahwa kita laiknya seorang yang berhutang. Kita diberi suatu pinjaman oleh sang Empunya. Sehingga kita mesti dan wajib membayar apa-apa yang telah dipinjamkan kepada kita. Tapi, aku tidak berpikir sesederhana itu. Aku pikir, kita benar-benar tak ‘membayar’ apapun kepada-Nya. Mengapa? Karena jika kita benar-benar membayar kepada-Nya, maka kita telah memberi sesuatu kepada-Nya. Jika demikian, Ia telah menerima sesuatu. Menerima sesuatu dari sosok terbatas. Inilah mengapa, analogi tersebut benar-benar tidak tepat. Karena bagiku Tuhan tidak benar-benar menerima apa-apa yang kita beri kepadanya. Ia sama sekali ‘tidak peduli’ atas apa yang kita berikan kepada-Nya.
Terlepas dari persoalan itu. Kita—bagi orang yang beriman—merasa wajib terus menundukkan diri kepada-Nya, dan berserah diri kepada-Nya. Hidup kita, kita sajikan kepada diri-Nya saja. Dan tak ada yang lebih pantas untuk diberi ‘kehidupan’ selain diri-Nya. Namun, ingat, dalam posisi ini, kita tak benar-benar memberi sesuatu kepada diri-Nya. Namun, persoalannya siapakah sosok Tuhan itu sebenarnya? Apakah kita benar-benar yakin sosok Tuhan yang kita bayangkan, benar-benar sosok Tuhan yang riil? Apakah pikiran kita benar-benar cocok dengan gambaran diri-Nya? Bagiku, tak ada yang dapat memastikan hal ini. Karena Ia adalah zat yang benar-benar misterius. Kemisteriusan ini berimplikasi pada, kita tak dapat memastikan bahwa ia cocok dengan pikiran kita, pun kita tak bisa memastikan apakah ia tidak cocok dengan pikiran kita. Jadi Ia benar-benar Sang Misteri yang tersembunyi, yang tak akan pernah bisa disingkap oleh siapapun.
Jika demikian, apa yang mesti kita lakukan? Mula-mula, alangkah lebih baiknya jika kita jabarkan gambaran—yang telah ada—mengenai Tuhan, sebelum menjawab pertanyaan itu. Tuhan seringkali dikonsepsikan sebagai sosok orang tua, sedangkan kita sebagai hamba-Nya merupakan anak yang diasuh oleh-Nya. Ia adalah pengatur segala yang berkaitan dengan hidup kita. Ia adalah sosok yang mengetahui apa yang kita butuhkan; sekaligus sebagai yang mengetahui apa-apa yang akan, sedang, dan telah kita lakukan. Gambaran ini berkonsekuensi, bahwa kita mesti menyerahkan diri kita pada-Nya. Apapun keputusan-Nya, terserah Ia!
Banyak orang, hampir memiliki gambaran orang yang demikian—sejauh pengamatanku. Menurutku, gambaran Tuhan tersebut benar-benar memuakkan. Mengapa? Karena ia telah mengetahui dan mengatur segala kehendak kita. Seolah kita tak memiliki kebebasan secuil pun dihadapan-Nya. Lebih mengerikan lagi, banyak orang yang dengan begitu saja menyerahkan nasib dan takdir-Nya kepada Tuhan, seolah-olah ‘si lemah’ itu mengetahui kehendak Tuhan yang sebenarnya. Si lemah seringkali mengeluh: “ini adalah takdir-Nya, aku mesti pasrah” atau “mungkin aku mesti merubah cita-citaku, karena sepertinya Tuhan tidak mengehendaki keinginannku”.
Sikap-sikap tersebut , yakni sikap menyerahkan takdir kepada-Nya, serta sikap ‘sok tahu’ atas takdir Tuhan, seringkali muncul di dalam sikap para penganut-Nya. Bagiku, sikap menyerahkan takdir kepada-Nya merupakan kepengecutan seorang hamba di hadapan Tuhannya. Sikap tersebut muncul, karena—menurutku—kemalasan berpikir dan bertindak saja. Jika ia benar-benar tidak malas, niscaya ‘si lemah’ akan menjadi ‘si kuat’. Terkait sikap yang kedua, menurutku, tak lain dari usaha melampaui Tuhan, yang senyatanya tidak mungkin. Maksudnya, seolah-olah ia benar-benar mengetahui kehendak Tuhan, dengan berkata: “mungkin ini takdir-Nya” atau “ sepertinya ini takdir-Nya”, itu semua bagiku tak lain dari—sebagaimana disebutkan sebelumnya—ke-sok-tahuan seorang hamba yang picik. Mengapa aku berkata demikian? Karena seringkali, ketika hamba yang sok tahu ini mengeluh, dengan ke-sok-tahuannya, ia menghentikan segala tindakan untuk mencapai suatu tujuannya. Bagiku sikap ini sangat mengerikan. Mengapa? Karena pada satu sisi, ia menyebutkan kata ‘mungkin’ yang berarti suatu ketidak pastian, namun pada sisi lain, ia berhenti seolah segalanya telah berakhir. Disini ada suatu paradoks yang nyata. Seharusnya, ketika kita menyadari posisi kita yang ‘mungkin’ itu, kita mesti melanjutkan kehendak dan kemauan kita. Kita tak mesti berhenti, bahkan kita niscaya terus melaksanakan kehendak kita.
Gambaran yang lemah itu sebenarnya—menurutku—tak lain dari, kebutuhan kita akan penggambaran tersebut. Maksudnya, seorang yang lemah akan menafsirkan Tuhan-Nya dengan Tuhan yang lembah pula; sebagaimana aku sebutkan di atas. Maka dari itu, layaklah jika aku menafsirkan Tuhan tidak demikian. Aku pikir, Tuhan adalah sosok yang ‘mengabaikan’ kita. dalam artian, Ia adalah sosok yang membiarkan diri kita. Misalnya, jika kita memiliki kehendak tertentu Tuhan akan membiarkan kehendak itu terwujud. Karena, ia bukanlah orang tua diktator. Orang tua diktator, akan senantiasa mengatur ‘tanpa belas kasihan’ kepada anaknya. Sehingga apa-apa yang hendak dilakukan sang anak, si orang tua akan senantiasa memantau sambil mengatur (bukan mengarahkan!), si anak tersebut. Efeknya adalah, si anak akan senantiasa berilusi bahwa dirinya bebas, dan membayangkan bahwa apa-apa yang diberikan orang tuanya adalah baik bagi dirinya—padahal ia sama sekali tak dapat memastikan apakah, benar ia telah ditetapkan demikian atau tidak. Tentunya, gambaran ini merupakan parasit bagi seorang manusia beragama. Maka dari itu, kita mesti memiliki ‘proyeksi’ yang lebih tepat.
Proyeksi yang tepat adalah proyeksi Tuhan non-diktator. Ia adalah pengayom bagi manusia. Ia merupakan sosok yang membiarkan manusia, penghamba-Nya, berkehendak semau-Nya. Sehingga apa-apa yang telah dilakukan seorang hamba, merupakan tanggung jawabnya, dalam artian ini apa yang ia kehendaki adalah apa yang ia terima; yang mana tak ada intervensi Tuhan sedikit pun di dalam-Nya. Gambaran ini akan berimplikasi pada, hilangnya ke-sok-tahuan yang membuat seorang manusia pasif. Jadi ia akan senantiasa dalam posisinya yang senantiasa ‘terbebas’ dari Tuhan, sehingga ia bertanggung jawab atas apa yang ia kehendaki. Ia akan senantiasa menyadari ‘kemungkinannya’ yang paling ekstrem, tanpa ada paradoks—sebagaimana disebutkan dalam paragraf sebelumnya. Namun, mesti diingat, bahwa kedua gambaran ini, tidak meniscayakan ketepatan apa yang kita gambarkan dengan apa yang sebenarnya. Karena Tuhan akan senantiasa menjadi misteri.
Sampailah kita pada pertanyaan yang hendak kita jawab. Apa yang mesti kita lakukan? Aku sarankan agar kita memilih gambaran-gambaran yang ada—meskipun gambaran tersebut adalah ciptaan kita sendiri. Mengapa jawabanku begitu sederhana? Karena toh pada faktanya, jawaban tersebut berkaitan dengan apa yang kita maui. Gambaran adalah apa yang kita kehendaki. Lalu, fakta ini—bahwa kita mesti memilih, karena persoalan utamanya adalah tentang apa yang kita kehendaki—mesti melahirkan sikap afirmatif terhadap fakta bahwa apa-apa yang berkaitan dengan Tuhan, merupakan proyeksi kita sendiri. Singkatnya, Tuhan itu bersifat antropomorfistik! Kita hendaknya, bersikap santun terhadap Tuhan, dalam artian kita tidak boleh semena-mena memberi cap kepada-Nya; lebih jauh menganggap cap kita benar. Karena dengan begitu, menurutku, kita telah menghinakan diri-Nya.
Karena ini semua hanyalah proyeksi diri kita saja. Maka, mesti diingat bahwa gambaran yang aku sodorkan pun merupakan proyeksi saja, sekaligus sebagai bentuk pilihan dan afirmasi bahwa itu semua merupakan Tuhan menurutku saja. Namun, aku membanggakan pilihanku, karena Tuhan yang aku gambarkan akan melahirkan manusia yang bertanggung jawab dan manusia yang tangguh. Bukan manusia-manusia lemah dan manusia yang malas berpikir; sekaligus sok tahu atau tidak sopan santun, karena menganggap cap yang dia kenai kepada Tuhan dianggapnya sebagai benar absolut.

3 Juli 2016

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra