Tuhan, ‘siapakah’ diantara dirimu yang benar? (Bagian I)
Bagi orang beragama, Tuhan adalah sosok yang tidak
bisa tidak mesti diperhitungkan di dalam kehidupan. Karena, Tuhan dianggap
sebagai ‘tempat’ bermula dan berakhir. Ia adalah sosok yang dipuja-puja bagi
manusia beragama. Ia adalah zat yang mesti disembah oleh seluruh manusia yang
percaya kepadanya. Kehidupan kita tak lain dari pemberian-Nya, atau mungkin
sebagai titipan. Karena alasan inilah kita memuja dan menyembah-Nya. Namun,
bentuk penyembahan kita kepada-Nya, bukan berarti kita memberikan apa-apa yang
patut Ia terima dari kita. Mungkin, orang akan berkata, bahwa kita laiknya
seorang yang berhutang. Kita diberi suatu pinjaman oleh sang Empunya. Sehingga
kita mesti dan wajib membayar apa-apa yang telah dipinjamkan kepada kita. Tapi,
aku tidak berpikir sesederhana itu. Aku pikir, kita benar-benar tak ‘membayar’
apapun kepada-Nya. Mengapa? Karena jika kita benar-benar membayar kepada-Nya,
maka kita telah memberi sesuatu kepada-Nya. Jika demikian, Ia telah menerima
sesuatu. Menerima sesuatu dari sosok terbatas. Inilah mengapa, analogi tersebut
benar-benar tidak tepat. Karena bagiku Tuhan tidak benar-benar menerima apa-apa
yang kita beri kepadanya. Ia sama sekali ‘tidak peduli’ atas apa yang kita
berikan kepada-Nya.
Terlepas dari persoalan itu. Kita—bagi orang yang
beriman—merasa wajib terus menundukkan diri kepada-Nya, dan berserah diri
kepada-Nya. Hidup kita, kita sajikan kepada diri-Nya saja. Dan tak ada yang
lebih pantas untuk diberi ‘kehidupan’ selain diri-Nya. Namun, ingat, dalam
posisi ini, kita tak benar-benar memberi sesuatu kepada diri-Nya. Namun,
persoalannya siapakah sosok Tuhan itu sebenarnya? Apakah kita benar-benar yakin
sosok Tuhan yang kita bayangkan, benar-benar sosok Tuhan yang riil? Apakah
pikiran kita benar-benar cocok dengan gambaran diri-Nya? Bagiku, tak ada yang
dapat memastikan hal ini. Karena Ia adalah zat yang benar-benar misterius. Kemisteriusan
ini berimplikasi pada, kita tak dapat memastikan bahwa ia cocok dengan pikiran
kita, pun kita tak bisa memastikan
apakah ia tidak cocok dengan pikiran kita. Jadi Ia benar-benar Sang Misteri
yang tersembunyi, yang tak akan pernah bisa disingkap oleh siapapun.
Jika demikian, apa yang mesti kita lakukan? Mula-mula,
alangkah lebih baiknya jika kita jabarkan gambaran—yang telah ada—mengenai
Tuhan, sebelum menjawab pertanyaan itu. Tuhan seringkali dikonsepsikan sebagai
sosok orang tua, sedangkan kita sebagai hamba-Nya merupakan anak yang diasuh
oleh-Nya. Ia adalah pengatur segala yang berkaitan dengan hidup kita. Ia adalah
sosok yang mengetahui apa yang kita butuhkan; sekaligus sebagai yang mengetahui
apa-apa yang akan, sedang, dan telah kita lakukan. Gambaran ini berkonsekuensi,
bahwa kita mesti menyerahkan diri kita pada-Nya. Apapun keputusan-Nya, terserah
Ia!
Banyak orang, hampir memiliki gambaran orang yang demikian—sejauh
pengamatanku. Menurutku, gambaran Tuhan tersebut benar-benar memuakkan. Mengapa?
Karena ia telah mengetahui dan mengatur segala kehendak kita. Seolah kita tak
memiliki kebebasan secuil pun dihadapan-Nya. Lebih mengerikan lagi, banyak
orang yang dengan begitu saja menyerahkan nasib dan takdir-Nya kepada Tuhan,
seolah-olah ‘si lemah’ itu mengetahui kehendak Tuhan yang sebenarnya. Si lemah
seringkali mengeluh: “ini adalah takdir-Nya, aku mesti pasrah” atau “mungkin
aku mesti merubah cita-citaku, karena sepertinya Tuhan tidak mengehendaki
keinginannku”.
Sikap-sikap tersebut , yakni sikap menyerahkan takdir
kepada-Nya, serta sikap ‘sok tahu’ atas takdir Tuhan, seringkali muncul di
dalam sikap para penganut-Nya. Bagiku, sikap menyerahkan takdir kepada-Nya
merupakan kepengecutan seorang hamba di hadapan Tuhannya. Sikap tersebut
muncul, karena—menurutku—kemalasan berpikir dan bertindak saja. Jika ia
benar-benar tidak malas, niscaya ‘si lemah’ akan menjadi ‘si kuat’. Terkait sikap
yang kedua, menurutku, tak lain dari usaha melampaui Tuhan, yang senyatanya
tidak mungkin. Maksudnya, seolah-olah ia benar-benar mengetahui kehendak Tuhan,
dengan berkata: “mungkin ini takdir-Nya” atau “ sepertinya ini takdir-Nya”, itu
semua bagiku tak lain dari—sebagaimana disebutkan sebelumnya—ke-sok-tahuan
seorang hamba yang picik. Mengapa aku berkata demikian? Karena seringkali,
ketika hamba yang sok tahu ini mengeluh, dengan ke-sok-tahuannya, ia
menghentikan segala tindakan untuk mencapai suatu tujuannya. Bagiku sikap ini
sangat mengerikan. Mengapa? Karena pada satu sisi, ia menyebutkan kata ‘mungkin’
yang berarti suatu ketidak pastian, namun pada sisi lain, ia berhenti seolah
segalanya telah berakhir. Disini ada suatu paradoks yang nyata. Seharusnya,
ketika kita menyadari posisi kita yang ‘mungkin’ itu, kita mesti melanjutkan
kehendak dan kemauan kita. Kita tak mesti berhenti, bahkan kita niscaya terus
melaksanakan kehendak kita.
Gambaran yang lemah itu sebenarnya—menurutku—tak lain
dari, kebutuhan kita akan penggambaran tersebut. Maksudnya, seorang yang lemah
akan menafsirkan Tuhan-Nya dengan Tuhan yang lembah pula; sebagaimana aku
sebutkan di atas. Maka dari itu, layaklah jika aku menafsirkan Tuhan tidak
demikian. Aku pikir, Tuhan adalah sosok yang ‘mengabaikan’ kita. dalam artian,
Ia adalah sosok yang membiarkan diri kita. Misalnya, jika kita memiliki
kehendak tertentu Tuhan akan membiarkan kehendak itu terwujud. Karena, ia
bukanlah orang tua diktator. Orang tua diktator, akan senantiasa mengatur ‘tanpa
belas kasihan’ kepada anaknya. Sehingga apa-apa yang hendak dilakukan sang
anak, si orang tua akan senantiasa memantau sambil mengatur (bukan
mengarahkan!), si anak tersebut. Efeknya adalah, si anak akan senantiasa
berilusi bahwa dirinya bebas, dan membayangkan bahwa apa-apa yang diberikan
orang tuanya adalah baik bagi dirinya—padahal ia sama sekali tak dapat
memastikan apakah, benar ia telah ditetapkan demikian atau tidak. Tentunya,
gambaran ini merupakan parasit bagi seorang manusia beragama. Maka dari itu,
kita mesti memiliki ‘proyeksi’ yang lebih tepat.
Proyeksi yang tepat adalah proyeksi Tuhan
non-diktator. Ia adalah pengayom bagi manusia. Ia merupakan sosok yang membiarkan
manusia, penghamba-Nya, berkehendak semau-Nya. Sehingga apa-apa yang telah
dilakukan seorang hamba, merupakan tanggung jawabnya, dalam artian ini apa yang
ia kehendaki adalah apa yang ia terima; yang mana tak ada intervensi Tuhan
sedikit pun di dalam-Nya. Gambaran ini akan berimplikasi pada, hilangnya
ke-sok-tahuan yang membuat seorang manusia pasif. Jadi ia akan senantiasa dalam
posisinya yang senantiasa ‘terbebas’ dari Tuhan, sehingga ia bertanggung jawab
atas apa yang ia kehendaki. Ia akan senantiasa menyadari ‘kemungkinannya’ yang
paling ekstrem, tanpa ada paradoks—sebagaimana disebutkan dalam paragraf sebelumnya.
Namun, mesti diingat, bahwa kedua gambaran ini, tidak meniscayakan ketepatan
apa yang kita gambarkan dengan apa yang sebenarnya. Karena Tuhan akan
senantiasa menjadi misteri.
Sampailah kita pada pertanyaan yang hendak kita jawab.
Apa yang mesti kita lakukan? Aku sarankan agar kita memilih gambaran-gambaran
yang ada—meskipun gambaran tersebut adalah ciptaan kita sendiri. Mengapa
jawabanku begitu sederhana? Karena toh
pada faktanya, jawaban tersebut berkaitan dengan apa yang kita maui. Gambaran adalah
apa yang kita kehendaki. Lalu, fakta ini—bahwa kita mesti memilih, karena
persoalan utamanya adalah tentang apa yang kita kehendaki—mesti melahirkan
sikap afirmatif terhadap fakta bahwa apa-apa yang berkaitan dengan Tuhan,
merupakan proyeksi kita sendiri. Singkatnya, Tuhan itu bersifat antropomorfistik!
Kita hendaknya, bersikap santun terhadap Tuhan, dalam artian kita tidak boleh
semena-mena memberi cap kepada-Nya; lebih jauh menganggap cap kita benar.
Karena dengan begitu, menurutku, kita telah menghinakan diri-Nya.
Karena ini semua hanyalah proyeksi diri kita saja.
Maka, mesti diingat bahwa gambaran yang aku sodorkan pun merupakan proyeksi
saja, sekaligus sebagai bentuk pilihan dan afirmasi bahwa itu semua merupakan
Tuhan menurutku saja. Namun, aku membanggakan pilihanku, karena Tuhan yang aku
gambarkan akan melahirkan manusia yang bertanggung jawab dan manusia yang
tangguh. Bukan manusia-manusia lemah dan manusia yang malas berpikir; sekaligus
sok tahu atau tidak sopan santun, karena menganggap cap yang dia kenai kepada
Tuhan dianggapnya sebagai benar absolut.
3 Juli 2016
Comments
Post a Comment