Secarik Fenomenologi
![]() |
Gambar diambil dari: artslant.com |
Perkembangan sains merupakan suatu langkah yang
gemilang bagi mahluk yang bernama manusia. Betapa tidak? Sains sendiri telah
memberikan sumbangsih yang begitu besar dalam ‘memanusiakan’ manusia itu
sendiri, atau dalam bahasa lain memberadabkan manusia. Salah satu bentuk tanda
beradabnya manusia adalah, ketika ia menggunakan teknologi. Dan teknologi mau
tidak mau—jika bisa disebut demikian—lahir dari rahim sains. Teknologi, sebagai
perpanjangan dari tubuh manusia, benar-benar sangat membantu bagaimana manusia
menjalani hidupnya. Dengan adanya teknologi, kesulitan-kesulitan yang
tengah—dan akan—dihadapi oleh manusia pada akhirnya dapat dimudahkan.
Pertanyaannya, apakah kegemilangan serta prestasi dari
sains, menunjukkan bahwa sains tidak memiliki persoalan secuilpun?
Apakah—secara epitemologis—paradigma yang digunakan oleh sains benar-benar
telah tepat dalam menjawab segala persoalan manusia; yang mana tidak memberikan
dampak negatif pada diri manusia itu sendiri?
Nampaknya, jika kita menganggap bahwa sains tidak
bermasalah sedikitpun, maka jawaban kita sungguhlah sangat naif. Karena pada
dasarnya sains itu sendiri—terlepas dari manfaatnya yang begitu menakjubkan
bagi peradaban—memiliki masalah-masalah yang cukup signifikan untuk
diproblematisir.
Persoalannya, mengapa kita mesti memproblematisir
problem yang ada di dalam tubuh sains? Jawabannya cukuplah sederhana sekaligus
kompleks, yakni: bahwa masalah yang ada di dalam tubuh sains, sangat
berpengaruh atau berdampak pada diri manusia itu sendiri. Pengaruhnya, selain
pengaruh positif, adalah pengaruh negatif yang cukup krusial. Bahkan, pengaruh
negatif ini sungguhlah lebih dan mesti disoroti daripada pengaruh positif.
Salah satu masalah yang cukup besar dalam sains itu sendiri adalah, klaim
bebas-nilai—yang terkesan metafisis—dalam objektifitas pengetahuan. Masalah
yang muncul dari klaim tersebut adalah dehumanisasi. Kita ambil contoh,
mengutip K. Bertens dalam Etika, bom
nuklir atau alat perang. Memang, pada mulanya kedua penemuan tersebut secara
saintifik tidak menjadi masalah. Namun, ketika bom tersebut dijatuhkan atau
alat perang tertentu dipergunakan untuk membunuh sesama manusia, maka hal
tersebut akan menjadi masalah yang besar. Ketika klaim bebas-nilai diafirmasi,
maka kita tak bisa menyalahkan implikasi-implikasi negatif tersebut.
Problem lain dari sains karena klaim bebas nilainya
adalah ini: manusia disamakan dengan alam, dalam artian jika manusia dijadikan
objek oleh sains, maka manusia ‘dianggap’ sebagai sesuatu yang sama dengan
non-manusia. Padahal, pada kenyataannya kita tak bisa begitu saja menyamakan
manusia dengan non-manusia. Mengapa? Karena manusia pada dasarnya adalah mahluk
yang dapat memaknai, karena ia dapat memaknai maka ada sisi subjektifitas atau
keunikan pada diri manusia; yang tidak dapat digeneralisir, tidak seperti objek
non-manusia yang cenderung sebaliknya. Ada pengalaman subjektif yang tidak
dapat dikalkulasi secara saintifik dan tidak dapat ‘dijaring’ oleh perhitungan
kausalitas yang mekanis (mengutip Budi Hardiman dalam Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche, saintisme justru
cenderung beranggapan sebaliknya, bahwa manusia dapat dikalkulasi secara
saintifik). Konsekuensinya, menyitir pendapat Budi Hardiman dalam Kritik Ideologi, ketika meneliti manusia
adalah selalu mensyaratkan adanya ‘kondisi yang bersifat historis’ yang melekat
pada diri si peneliti; yang mana tidak diandaikan oleh sains. Di sinilah
problem mendasar dari sains.
Fenomenologi
sebagai juru selamat[2]
Fenomenologi, dibaptis oleh Ito Prajna-Nugroho di
artikel ‘Diri’ dan ‘Ketiadaan’ dalam
Filsafat Sartre: memahami kesalahpahaman Sartre atas Fenomenologi Husserl, merupakan titik tolak filsafat
kontemporer abad ke-20. Bahkan, kaum
intelektual dan filsuf pada masa tersebut begitu terpikat oleh aliran yang
dipunggawai oleh Edmund Husserl ini. Keterpikatan itu disebabkan oleh: “…daya
kritis yang dibawa oleh fenomenologi
sebagai metode. Daya kritis itu termuat dalam dua hal mendasar yang menjadi
tema pokok dari keseluruhan fenomenologi Husserl, yaitu 1) analisis tentang kesadaran, dan 2) analisis tentang ciri intensional
pengalaman manusia.” Terlepas dari itu, kita bisa melihat bahwa fenomenologi
merupakan suatu aliran yang dapat memperbaiki masalah-masalah yang ada di dalam
tubuh sains.
Sebagaimana disebutkan dalam paragraf sebelumnya,
fenomenologi Husserl berangkat dari analisisnya mengenai kesadaran. Kesadaran
bagi Husserl sudah selalu bersifat intensional. Dalam artian, kesadaran selalu
berarti ‘kesadaran akan’ . Maksudnya, ciri khas dari kesadaran adalah selalu
mengarah pada objek tertentu. Ciri intensional inilah yang selalu luput dari
teoritisasi filsafat mengenai kesadaran dan pengetahuan objektif/saintifik.
Kesadaran pun bersifat tidak penuh-diri. Dalam artian,
kesadaran menyadari dirinya berada dalam perspektif tertentu. Kondisi tersebut
disebabkan, karena subjek berada di posisi tertentu begitu juga objek pun
berada di posisi tertentu pula. Fenomenologi di sini, berposisi untuk memahami
relasi timbal-balik yang terjadi antara kesadaran dan objek-objek di luarnya.
Pemahaman relasi ini akan menghasilkan deskripsi, yang mana ia tidak mencari
relasi kausalitas (hal ini tidak terjadi dalam doktrin saintifik[3];
yang mencari kausalitas).
Di sini Fenomenologi berusaha kembali kepada objek itu
sendiri, sebagaimana dalam jargon terkenalnya: zuruck zu den Sachen selbst (kembali pada objek-objek itu sendiri).
Dalam artian ini, fenomenologi berusaha membiarkan objek itu hadir sebagaimana
ia tampak dalam kesadaran. Hal inilah yang disebut sebagai fenomena. Bagaimana agar cara kerja ini mungkin? Caranya adalah
dengan reduksi fenomenologis, yakni
menunda (epoche) dan memberi tanda
kurung terhadap konsep bawaan/pengandaian yang ada di dalam diri subjek.
Kondisi ini mengandaikan, bahwa objek akan hadir sebagaimana ia-hadir tanpa
intervensi dan intrupsi dari ‘pengandaian’ kita terhadapnya.
Efek dari cara kerja demikian (yang disebutkan di
atas) adalah bahwa fenomenologi bekerja untuk mencapai pemahaman atau verstehen
dan bukan penjelasan yang ilmiah atau
erklaren. Upaya yang dilakukan oleh
Husserl ini merupakan bentuk kritik atas Psikologisme dan Naturalisme empiris.
Yang pertama, psikologisme mengklaim bahwa segala kebenaran dan realitas mesti
dikembalikan kepada kesadaran; sedangkan yang kedua, justru sebaliknya, yakni
menyingkirkan segala kecenderungan unsur subjektif kesadaran untuk hanya
menekankan, bahwa kesadaran tak lain hanyalah sebagai fakta-fakta alam yang
bekerja secara mekanis. Sebenarnya, psikologisme dan naturalisme empiris
ini—klaim Husserl—berada di dalam krisis metodologi.
Husserl, selanjutnya mengatakan, bahwa kesadaran yang
intensional ini selalu mengandaikan ‘yang-lain’. Dalam artian, ada sesuatu yang
berada di luar kesadaran, yang bukan konstruksi kesadaran kita; bahkan jauh di
belakang kesadaran kita. ‘Yang-lain’ ini malah mengonstruksi kesadaran kita.
Oleh karenanya, kesadaran pada dasarnya tidak bersifat reflektif namun bersifat pra-reflektif.
Dalam artian, kesadaran selalu mensyaratkan ‘yang-lain’ yang mendahului segala
konseptualisasi dan teoritisi kita tentang dunia.
Sebagaimana pernah disingguh di atas, selain kesadaran
bersifat pra-reflektif, kesadaran pun selalu hanya berada dalam perspektif
tertentu; yang tergantung dari diri yang tertentu dan terarah pada objek
tertentu pula. Kedua ciri inilah yang terangkum dalam istilah Husserl sebagai Lebenswelt atau dunia-kehidupan. Lebenswelt sebenarnya hendak menunjukkan
bahwa: pertama, dunia itu bermakna
karena ada kesadaran yang mengarah kepadanya; kedua, bahwa kesadaran itu bermakna karena ada dunia yang kepadanya
kesadaran diarahkan. Proses inilah yang disebut Ito bahwa, “Keduanya bergerak
dalam suatu relasi timbal balik yang tidak pernah tuntas, bahkan sifatnya
selalu mengalir begitu saja (flux)
dan mendua (ambigu).”
Penutup
Kita telah menjawabkan tentang fenomenologi, dan pada
akhirnya kita memahami bahwa, fenomenologi berusaha melampaui problem-problem
yang ada di dalam sains itu sendiri (lebih jauh problem metodologi yang ada di
Filsafat Modern). Dengan pembahasannya mengenai kesadaran, Husserl hendak
menunjukkan kesalahan yang ada di dalam paradigma sains, mulai dari subjek yang
dianggap bersifat ahistoris, klaim bebas nilai, serta peringkusan segala
sesuatu ke dalam kerangka kausalitas. Padahal, sebagaimana ditunjukkan Husserl:
pertama, subjek bersifat historis, hal ini tampak dari pandangan Husserl bahwa
kesadaran itu selalu berada dalam perspektif tertentu.
Kedua, klaim bebas nilai itu menjadi tidak masuk akal,
karena klaim tersebut seolah menghilangkan dimensi subjektif yang ada di dalam
diri subjek peneliti; yang justru inilah yang ingin ditunjukkan Husserl bahwa
dalam proses tersebut selalu terdapat dimensi pemaknaan subjektif. Hal tersebut
terbukti ketika Husserl berbicara tentang kembali kepada objek itu sendiri,
yang berarti kembali kepada objek yang nampak dalam kesadaran. Serta pembuktian
Husserl mengenai Lebenswelt. Terakhir
atau ketiga, Husserl memberi paradigma pemahaman
yang berciri deskriptif dalam memahami realitas.
[1] Mahasiswa Jurusan
Filsafat Agama semester 7, bergiat di UKM LPIK. Sekarang sedang fokus mengkaji
Simulacra-nya Jean P. Baudrillard.
[2] Dari sini saya akan
banyak mengutip paparan Ito Prajna-Nugroho di artikel ‘Diri’ dan ‘Ketiadaan’ dalam Filsafat Sartre: memahami kesalahpahaman
Sartre atas Fenomenologi Husserl, dalam buku kumpulan artikel berjudul Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartre.
[3] Lihat kembali kutipan
dari Budi Hardiman dalam buku Filsafat
Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche, di awal-awal pembahasan.
Comments
Post a Comment