Secarik Fenomenologi


Gambar diambil dari: artslant.com
Oleh: Raja Cahaya Islam[1]

Perkembangan sains merupakan suatu langkah yang gemilang bagi mahluk yang bernama manusia. Betapa tidak? Sains sendiri telah memberikan sumbangsih yang begitu besar dalam ‘memanusiakan’ manusia itu sendiri, atau dalam bahasa lain memberadabkan manusia. Salah satu bentuk tanda beradabnya manusia adalah, ketika ia menggunakan teknologi. Dan teknologi mau tidak mau—jika bisa disebut demikian—lahir dari rahim sains. Teknologi, sebagai perpanjangan dari tubuh manusia, benar-benar sangat membantu bagaimana manusia menjalani hidupnya. Dengan adanya teknologi, kesulitan-kesulitan yang tengah—dan akan—dihadapi oleh manusia pada akhirnya dapat dimudahkan.

Pertanyaannya, apakah kegemilangan serta prestasi dari sains, menunjukkan bahwa sains tidak memiliki persoalan secuilpun? Apakah—secara epitemologis—paradigma yang digunakan oleh sains benar-benar telah tepat dalam menjawab segala persoalan manusia; yang mana tidak memberikan dampak negatif pada diri manusia itu sendiri?
Nampaknya, jika kita menganggap bahwa sains tidak bermasalah sedikitpun, maka jawaban kita sungguhlah sangat naif. Karena pada dasarnya sains itu sendiri—terlepas dari manfaatnya yang begitu menakjubkan bagi peradaban—memiliki masalah-masalah yang cukup signifikan untuk diproblematisir.

Persoalannya, mengapa kita mesti memproblematisir problem yang ada di dalam tubuh sains? Jawabannya cukuplah sederhana sekaligus kompleks, yakni: bahwa masalah yang ada di dalam tubuh sains, sangat berpengaruh atau berdampak pada diri manusia itu sendiri. Pengaruhnya, selain pengaruh positif, adalah pengaruh negatif yang cukup krusial. Bahkan, pengaruh negatif ini sungguhlah lebih dan mesti disoroti daripada pengaruh positif. Salah satu masalah yang cukup besar dalam sains itu sendiri adalah, klaim bebas-nilai—yang terkesan metafisis—dalam objektifitas pengetahuan. Masalah yang muncul dari klaim tersebut adalah dehumanisasi. Kita ambil contoh, mengutip K. Bertens dalam Etika, bom nuklir atau alat perang. Memang, pada mulanya kedua penemuan tersebut secara saintifik tidak menjadi masalah. Namun, ketika bom tersebut dijatuhkan atau alat perang tertentu dipergunakan untuk membunuh sesama manusia, maka hal tersebut akan menjadi masalah yang besar. Ketika klaim bebas-nilai diafirmasi, maka kita tak bisa menyalahkan implikasi-implikasi negatif tersebut.

Problem lain dari sains karena klaim bebas nilainya adalah ini: manusia disamakan dengan alam, dalam artian jika manusia dijadikan objek oleh sains, maka manusia ‘dianggap’ sebagai sesuatu yang sama dengan non-manusia. Padahal, pada kenyataannya kita tak bisa begitu saja menyamakan manusia dengan non-manusia. Mengapa? Karena manusia pada dasarnya adalah mahluk yang dapat memaknai, karena ia dapat memaknai maka ada sisi subjektifitas atau keunikan pada diri manusia; yang tidak dapat digeneralisir, tidak seperti objek non-manusia yang cenderung sebaliknya. Ada pengalaman subjektif yang tidak dapat dikalkulasi secara saintifik dan tidak dapat ‘dijaring’ oleh perhitungan kausalitas yang mekanis (mengutip Budi Hardiman dalam Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche, saintisme justru cenderung beranggapan sebaliknya, bahwa manusia dapat dikalkulasi secara saintifik). Konsekuensinya, menyitir pendapat Budi Hardiman dalam Kritik Ideologi, ketika meneliti manusia adalah selalu mensyaratkan adanya ‘kondisi yang bersifat historis’ yang melekat pada diri si peneliti; yang mana tidak diandaikan oleh sains. Di sinilah problem mendasar dari sains.

Fenomenologi sebagai juru selamat[2]
Fenomenologi, dibaptis oleh Ito Prajna-Nugroho di artikel ‘Diri’ dan ‘Ketiadaan’ dalam Filsafat Sartre: memahami kesalahpahaman Sartre atas Fenomenologi Husserl, merupakan titik tolak filsafat kontemporer abad ke-20.  Bahkan, kaum intelektual dan filsuf pada masa tersebut begitu terpikat oleh aliran yang dipunggawai oleh Edmund Husserl ini. Keterpikatan itu disebabkan oleh: “…daya kritis yang dibawa oleh fenomenologi sebagai metode. Daya kritis itu termuat dalam dua hal mendasar yang menjadi tema pokok dari keseluruhan fenomenologi Husserl, yaitu 1) analisis tentang kesadaran, dan 2) analisis tentang ciri intensional pengalaman manusia.” Terlepas dari itu, kita bisa melihat bahwa fenomenologi merupakan suatu aliran yang dapat memperbaiki masalah-masalah yang ada di dalam tubuh sains.

Sebagaimana disebutkan dalam paragraf sebelumnya, fenomenologi Husserl berangkat dari analisisnya mengenai kesadaran. Kesadaran bagi Husserl sudah selalu bersifat intensional. Dalam artian, kesadaran selalu berarti ‘kesadaran akan’ . Maksudnya, ciri khas dari kesadaran adalah selalu mengarah pada objek tertentu. Ciri intensional inilah yang selalu luput dari teoritisasi filsafat mengenai kesadaran dan pengetahuan objektif/saintifik.
Kesadaran pun bersifat tidak penuh-diri. Dalam artian, kesadaran menyadari dirinya berada dalam perspektif tertentu. Kondisi tersebut disebabkan, karena subjek berada di posisi tertentu begitu juga objek pun berada di posisi tertentu pula. Fenomenologi di sini, berposisi untuk memahami relasi timbal-balik yang terjadi antara kesadaran dan objek-objek di luarnya. Pemahaman relasi ini akan menghasilkan deskripsi, yang mana ia tidak mencari relasi kausalitas (hal ini tidak terjadi dalam doktrin saintifik[3]; yang mencari kausalitas).

Di sini Fenomenologi berusaha kembali kepada objek itu sendiri, sebagaimana dalam jargon terkenalnya: zuruck zu den Sachen selbst (kembali pada objek-objek itu sendiri). Dalam artian ini, fenomenologi berusaha membiarkan objek itu hadir sebagaimana ia tampak dalam kesadaran. Hal inilah yang disebut sebagai fenomena. Bagaimana agar cara kerja ini mungkin? Caranya adalah dengan reduksi fenomenologis, yakni menunda (epoche) dan memberi tanda kurung terhadap konsep bawaan/pengandaian yang ada di dalam diri subjek. Kondisi ini mengandaikan, bahwa objek akan hadir sebagaimana ia-hadir tanpa intervensi dan intrupsi dari ‘pengandaian’ kita terhadapnya.

Efek dari cara kerja demikian (yang disebutkan di atas) adalah bahwa fenomenologi bekerja untuk mencapai pemahaman atau verstehen dan bukan penjelasan yang ilmiah atau erklaren. Upaya yang dilakukan oleh Husserl ini merupakan bentuk kritik atas Psikologisme dan Naturalisme empiris. Yang pertama, psikologisme mengklaim bahwa segala kebenaran dan realitas mesti dikembalikan kepada kesadaran; sedangkan yang kedua, justru sebaliknya, yakni menyingkirkan segala kecenderungan unsur subjektif kesadaran untuk hanya menekankan, bahwa kesadaran tak lain hanyalah sebagai fakta-fakta alam yang bekerja secara mekanis. Sebenarnya, psikologisme dan naturalisme empiris ini—klaim Husserl—berada di dalam krisis metodologi.

Husserl, selanjutnya mengatakan, bahwa kesadaran yang intensional ini selalu mengandaikan ‘yang-lain’. Dalam artian, ada sesuatu yang berada di luar kesadaran, yang bukan konstruksi kesadaran kita; bahkan jauh di belakang kesadaran kita. ‘Yang-lain’ ini malah mengonstruksi kesadaran kita. Oleh karenanya, kesadaran pada dasarnya tidak bersifat reflektif namun bersifat ­pra-reflektif. Dalam artian, kesadaran selalu mensyaratkan ‘yang-lain’ yang mendahului segala konseptualisasi dan teoritisi kita tentang dunia.
Sebagaimana pernah disingguh di atas, selain kesadaran bersifat pra-reflektif, kesadaran pun selalu hanya berada dalam perspektif tertentu; yang tergantung dari diri yang tertentu dan terarah pada objek tertentu pula. Kedua ciri inilah yang terangkum dalam istilah Husserl sebagai Lebenswelt atau dunia-kehidupan. Lebenswelt sebenarnya hendak menunjukkan bahwa: pertama, dunia itu bermakna karena ada kesadaran yang mengarah kepadanya; kedua, bahwa kesadaran itu bermakna karena ada dunia yang kepadanya kesadaran diarahkan. Proses inilah yang disebut Ito bahwa, “Keduanya bergerak dalam suatu relasi timbal balik yang tidak pernah tuntas, bahkan sifatnya selalu mengalir begitu saja (flux) dan mendua (ambigu).”

Penutup
Kita telah menjawabkan tentang fenomenologi, dan pada akhirnya kita memahami bahwa, fenomenologi berusaha melampaui problem-problem yang ada di dalam sains itu sendiri (lebih jauh problem metodologi yang ada di Filsafat Modern). Dengan pembahasannya mengenai kesadaran, Husserl hendak menunjukkan kesalahan yang ada di dalam paradigma sains, mulai dari subjek yang dianggap bersifat ahistoris, klaim bebas nilai, serta peringkusan segala sesuatu ke dalam kerangka kausalitas. Padahal, sebagaimana ditunjukkan Husserl: pertama, subjek bersifat historis, hal ini tampak dari pandangan Husserl bahwa kesadaran itu selalu berada dalam perspektif tertentu.

Kedua, klaim bebas nilai itu menjadi tidak masuk akal, karena klaim tersebut seolah menghilangkan dimensi subjektif yang ada di dalam diri subjek peneliti; yang justru inilah yang ingin ditunjukkan Husserl bahwa dalam proses tersebut selalu terdapat dimensi pemaknaan subjektif. Hal tersebut terbukti ketika Husserl berbicara tentang kembali kepada objek itu sendiri, yang berarti kembali kepada objek yang nampak dalam kesadaran. Serta pembuktian Husserl mengenai Lebenswelt. Terakhir atau ketiga, Husserl memberi paradigma pemahaman yang berciri deskriptif dalam memahami realitas.





[1] Mahasiswa Jurusan Filsafat Agama semester 7, bergiat di UKM LPIK. Sekarang sedang fokus mengkaji Simulacra-nya Jean P. Baudrillard.
[2] Dari sini saya akan banyak mengutip paparan Ito Prajna-Nugroho di artikel ‘Diri’ dan ‘Ketiadaan’ dalam Filsafat Sartre: memahami kesalahpahaman Sartre atas Fenomenologi Husserl, dalam buku kumpulan artikel berjudul Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartre.
[3] Lihat kembali kutipan dari Budi Hardiman dalam buku Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche, di awal-awal pembahasan.

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra