Fragmen #1 Tentang Pesimisme Terhadap Orang-Lain

Sudah kubilang pergulatan batin kerap kali menghasilkan suatu pemikiran. Sekarang aku akan mencoba menjabarkan kegelisahanku sendiri, dengan mencoba memberi jarak terhadap apa yang aku rasakan, sekaligus mengalaminya kembali. Jadi akan terjadi proses memberi jarak dan mengalami secara dialektis.
Aku memperlajari suatu hal, bahwa kita sebagai manusia tak bisa menggantungkan begitu saja harapan kita terhadap manusia lainnya. Maksudku, menggantungkan sepenuhnya. Itu tak mungkin, karena apa, orang lain yang digantungkan tidak akan selalu menghayati pengalaman menggantungkan yang sama dengan diri kita. 
Terdapat orang yang aku temui dan aku menggantungkan diri kepadanya, syahdan memang orang itu pun sama menggantungkan dirinya, tapi ketika terjadi mengalami kondisi terpuruk, entah apa dan bagaimana seolah-olah penggantungan itu sirna. Memang, yang namanya manusia, memiliki kondisi perasaan yang selalu saja berubah-ubah tanpa disadari. Ini memang wajar, hanya saja, bagiku adalah tidak wajar bahkan kurang manusiawi ketika ia tak bisa melampauinya. Pelampauan itu sendiri, hanya bisa dilakukan jika komitmen telah mengakar kuat di dalam dirinya. Nah inilah, yang seringkali aku tekankan, bahwa komitmen merupakan ciri manusia, bahkan ciri eksistensial.
Tapi problemnya, seringkali banyak yang tak menyadari hal ini, bahkan ketika ia sadar, kondisi tersebut malah dicampakkan. Mengapa? Karena, kita perlu akui, bahwa proses komitmen itu begitu berat untuk dijalani, dan banyak sekali orang yang lelah dengan 'beban' komitmen tersebut, sehingga tidak banyak yang meninggalkan komitmen tersebut; apalagi jika sedang mengalami kondisi terpuruk.
Gambar diambil dari: https://www.designmantic.com/blog/designers-take-on-contemporary-women/

Pada satu sisi, aku seringkali menyadarkan diri bahwa komitmen itu masih bisa dimunculkan--barangkali semacam optimisme pribadi. Namun, akhir-akhir ini justru aku memiliki pemikiran yang sebaliknya, yakni semacam pesimisme yang diakibatkan oleh kejemuan dan kelelahan sekaligus keletihan menghadapi optimisme itu sendiri. Usaha yang dikerahkan, serasa sia-sia dilakukan, karena toh terulang kembali kondisi yang sama. Tapi, bukan berarti aku menampik fakta bahwa manusia pasti akan mengalami kondisi terpuruk itu. Yang aku maksudkan ialah, seringkali ketika seseorang berada dalam kondisi tersebut (terpuruk), ia tidak menyadari komitmennya sendiri!
Akhirnya aku pesimis! Jujur, jadi kebingungan sendiri apa yang mesti dilakukan. Tentu saja, aku tak menutup mata bahwa optimisme di dalam diriku sendiri masih bisa tumbuh. Dan masib bisa ditumbuhkan. Hanya saja, ya sekarang aku berada dalam kondisi tersebut.
Aku terus berpikir apa yang mesti aku lakukan sekarang? Apakah aku akan menuruti pesimisme? Menyerah kepada arus kemuraman? Mengibarkan bendera putih? Aku juga bingung. Karena di sisi lain, aku juga enggan melakukan hal tersebut. Dalam artian, aku berharap masih ada optimisme itu, berharap ada yang mencoba membantu membangkitkan optimisme itu sendiri. 
Intinya aku butuh pertolongan! Karena aku mulai tak memercayai komitmen sesama manusia, tanggung jawab sesama manusia, dan apapun itu namanya! Aku mulai membenci hal tersebut. Sederhana, karena aku percaya justru yang ada hanya relasi non intersubjektif, dalam artian tak ada kata-kata altruisme itu! Yang ada hanya kepentingan pribadi yang sama sekali tak mengandaikan relasi dengan orang lain. Singkat kata, yang ada hanya individualisme. Yang ada hanya manusia-manusia yang sendirian yang pura-pura bersama.

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra