Fragmen #8 Tentang Memahami Perempuan
![]() |
Gambar diambil dari: https://id.pinterest.com/marykate6404/fantasy-art-the-women-iii/?lp=true |
Temanku pernah bertanya, apa sih yang diinginkan perempuan? Pertanyaan itu sebenarnya muncul dari kegelisahan temanku, mengenai relasinya dengan perempaun. Ia gelisah karena tak memahami, dan juga tak tahu cara memahami perempuan. Konon, perempuan dimitoskan sebagai sosok yang, sebagaimana temanku katakan, sulit untuk dipahami, ia penuh dengan teka-teki dan misteri yang sulit untuk disibak dan disingkap. Ada sesuatu, yang menari-nari di dalam lubuk terdalam perempuan, yang mana tarian-tarian itu sulit untuk diikuti gerakannya, sulit dibaca gerakannya, sulit dihentikan gerakannya. Singkat kata, sang misterius itu bercokol di dalam diri perempuan. Atau mungkin, perempuan itu sang misteri itu sendiri!
Entah lah mungkin itu cuma mitos, asumsi atau semacam hipotesa yang tak memiliki dasar yang objektif. Maksudku, perempuan yang sebenar-benarnya bukan seperti itu, mungkin saja seperti itu. Lebih jauh mungkin itu hanyalah asumsi kultural, atau juga barangkali konstruksi kultural?
Di sini, aku tidak berpretensi untuk menjawab pertanyaan itu, karena mungkin cukup naif juga. Kenapa? Sederhana, jawabannya karena aku laki-laki. Kelaki-lakianku bisa jadi malah tidak menyingkap jawaban, tidak membuahkan jawaban, tidak melahirkan apapun. Ya, itu mesti diterima, itu mesti diafirmasi. Tapi kalau begitu bukankah, sia-sia mencoba menjawab pertanyaan itu, jikalau pra-anggapan kelaki-lakian akan menghalangi suatu jawaban? Mungkin ya, mungkin juga tidak.
Terlepas dari itu semua, aku akan mencoba menjawab persoalan itu, dengan asumsi bahwa jawabanku tidak akan benar-benar menjawab pertanyaan itu. Baiklah, mari kita mulai.
***
Sebenarnya, pertanyaan itu mesti dipersoalkan. Mengapa? Persoalan yang mengemuka adalah, apakah pertanyaan itu tidak terlalu tendensius? Dalam arti ini, kita menemukan bahwa pertanyaan itu menuntut bahwa perempuan bisa dipahami.
Jujur, sebenarnya aku sendiri lebih setuju terhadap asumsi bahwa perempuan merupakan enigma yang tak pernah bisa direngkuh. Jadi, pertanyaan yang diajukan mengenai apa yang diinginkan perempuan, merupakan suatu hal yang absurd, karena toh begitulah perempuan. Tapi ingat, ketika dikatakan bahwa perempuan itu bak enigma, bukan berarti ada nada negatif di dalamnya, justru di sana lah letak 'kebenarannya'.
Perempauan itu semacam realitas yang di dalamnya terdapat segala unsur, yang dianggap kontradiktif. Di balik perempuan sebagai wujud biologis dan fenomen, terdapat suatu kekayaan. Kekayaan di sini berarti, segala unsur terhimpun di dalamnya, dan keterkumpulan dan keterhimpunan unsur inilah yang menyebabkan perempuan menjadi enigma dan misterius.
Pernyataan yang mengemuka ialah, mengapa aku mengafirmasi asumsi itu? Sebenarnya, kata asumsi yang aku pakai memiliki alasan. Asumsi aku anggap sebagai suatu kehatian-hatian berhadapan dengan suatu misteri perempuan. Mengapa? Karena aku sendiri tak mau menyederhanakan kekayaan perempuan itu sendiri, dengan mereduksi asumsi menjadi absolut (sehingga ia tidak lagi menjadi asumsi). Jadi, asumsi di sini hanya sekedar asumsi, sekadar upaya, sekadar hipotesa untuk menggambarkan perempuan. Apakah hal ini kedengarannya aneh? Ya, bagi orang yang berfikir secacara biner, sekaligus bagi orang yang berpikiran segala sesuatunya mesti pasti! Namun, perempuan tak bisa didekati dengan cara tersebut, ia mesti di dekati dengan kewaspadaan penuh, di dekati dengan menajamkan kepekaan terhadap kesubtilan perempuan itu sendiri.
Jujur, sebenarnya aku sendiri lebih setuju terhadap asumsi bahwa perempuan merupakan enigma yang tak pernah bisa direngkuh. Jadi, pertanyaan yang diajukan mengenai apa yang diinginkan perempuan, merupakan suatu hal yang absurd, karena toh begitulah perempuan. Tapi ingat, ketika dikatakan bahwa perempuan itu bak enigma, bukan berarti ada nada negatif di dalamnya, justru di sana lah letak 'kebenarannya'.
Perempauan itu semacam realitas yang di dalamnya terdapat segala unsur, yang dianggap kontradiktif. Di balik perempuan sebagai wujud biologis dan fenomen, terdapat suatu kekayaan. Kekayaan di sini berarti, segala unsur terhimpun di dalamnya, dan keterkumpulan dan keterhimpunan unsur inilah yang menyebabkan perempuan menjadi enigma dan misterius.
Pernyataan yang mengemuka ialah, mengapa aku mengafirmasi asumsi itu? Sebenarnya, kata asumsi yang aku pakai memiliki alasan. Asumsi aku anggap sebagai suatu kehatian-hatian berhadapan dengan suatu misteri perempuan. Mengapa? Karena aku sendiri tak mau menyederhanakan kekayaan perempuan itu sendiri, dengan mereduksi asumsi menjadi absolut (sehingga ia tidak lagi menjadi asumsi). Jadi, asumsi di sini hanya sekedar asumsi, sekadar upaya, sekadar hipotesa untuk menggambarkan perempuan. Apakah hal ini kedengarannya aneh? Ya, bagi orang yang berfikir secacara biner, sekaligus bagi orang yang berpikiran segala sesuatunya mesti pasti! Namun, perempuan tak bisa didekati dengan cara tersebut, ia mesti di dekati dengan kewaspadaan penuh, di dekati dengan menajamkan kepekaan terhadap kesubtilan perempuan itu sendiri.
11 Agustus 2017
Comments
Post a Comment