Fragmen #9 Tentang Mengapa Aku Menulis
Anne Frank pernah menulis di dalam buku hariannya, bahwa motivasinya menulis di dalam sebuah buku harian adalah bahwa ia tak memiliki teman. Aku paham, bahwa yang dimaksud dengan Anne Frank yang sebenarnya adalah, bahwa ia tak memiliki teman berbagi. Tak ada telinga yang bisa dipercaya untuk mendengar, atau bahkan tak ada telinga yang bersedia untuk mendengar. Mungkin begitu juga dengan diriku, meskipun tak selalu begitu. Maksudku, aku punya teman berbagi, dan bagiku ia adalah orang yang sangat spesial. Segala keresahan, kekhawatiran, keletihan, dan ketakberdayaanku segalanya aku bagi bersamanya. Dia mendengarkanku, dia memperhatikanku sedemikian rupa, sehingga aku merasa aman. Tapi, kenyataannya tidak selalu, terkhusus akhir-akhir ini.
Aku tak paham mengapa ini bisa terjadi, aku juga tak mengerti bahkan secuilpun. Sebabnya, entah. Alasannya tak diketahui. Jujur, aku ingin sekali dia kembali mendengarkanku. Dan juga, aku ingin mendengarkannya. Membagi segala kebahagiaan dan kesedihan bersama. Ya, kita adalah orang yang menyadari bahwa hidup dilapisi dan dihiasi oleh dua unsur itu, meskipun untuk yang terakhir (kesedihan) kita cenderung memusuhinya.
![]() |
Gambar diambil dari: http://www.artofmanliness.com/2014/03/26/want-to-become-a-better-writer-copy-the-work-of-others/ |
Sekarang aku mengalami apa yang dialami oleh Anne, sang perempuan cilik yang menjadi korban Nazi. Aku menyadari bahwa yang saat ini bersedia mendengarkanku adalah tulisanku. Tapi, jika aku pikir ulang, ternyata tulisanku sebenarnya diriku sendiri. Dalam artian, aku menyadari bahwa ketika aku menulis, aku sedang berbicara dengan diri sediri. Yang mendengarkanku sekarang adalah diriku sendiri. Yang paham aku sekarang adalah diriku sendiri.
Memang, menulis dapat menjadi pelipur lara, namun hanya sesaat. Karena pada akhirnya aku merindukan dia, dia yang mendengarkanku, yang memahamiku, yang mengerti aku. Aku begitu merindukannya. Aku tak tahan dengan kerinduanku ini. Aku ingin menangis. Aku tak mau berakhir dengannya, aku tak mau berpisah.
Wahai Anne, aku bayangkan bahwa kau mengalami apa yang aku rasakan pada saat itu, saat kau tak mampu berbagi dengan siapapun, kecuali dengan dirimu sendiri. Bahkan, begitu tragisnya, nyawamu direnggut oleh Nazi, dalam keadaan tak punya teman, kecuali kitty yakni buku harianmu. Anne, mungkin aku lebih beruntung, dan aku bersyukur, karena setidaknya pernah ada yang menjadi pendengarku dan yang mengerti aku. Tapi, aku pikir, aku tak mau hanya 'pernah' saja, aku ingin berlanjut, aku ingin hidupku ditemani olehnya sang pendengar.
***
Kau tahu Anne, aku adalah laki-laki pecundang yang tak bisa hidup tanpa pendengar. Aku laki-laki yang terasing yang butuh didengar. Butuh dipahami. Kau tahu, aku bersedia melakukan apapun, asalkan sang pendengarku kembali, kembali mendengarkanku.
13 Agustus 2017
Comments
Post a Comment