Fragmen #17 Mengejar Layla Bagian I
Aku mencoba mendekatimu Layla, dimulai pada hari minggu. Awal pembicaraan yang diusung terkait dengan kepentingan lain, selain kepentinganku mendekatimu. Padahal, sedari awal aku memang berniat mendekatimu, tak lebih dari itu. Jujur, waktu itu aku begitu kalap, oleh kesedihan yang luar biasa, aku baru saja terbunuh oleh ketaksetiaan. Bagaikan orang linglung, aku tak tahu arah. Bahkan, aku sempat berpikir apakah Laylaku tak pernah ada di dunia ini? Apakah Laylaku hanyalah fantasi atau aku justru sedang mengidap paranoia akut? Aku kebingungan, benar-benar bingung! Sampai akhirnya radarku membawaku kepadamu.
Pada hari itu, aku melihat gambarmu, setelah itu aku bertanya: "Apakah kau Laylaku?". Aku termenung lama setelah melihatmu. Bahkan menimbang ribuan kali. Karena aku khawatir, aku akan terjebak dalam fantasma yang sama, yang sebelumnya/dahulu aku terjebak di dalamnya. Ketertipuan yang membinasahkan.
Entah mengapa, tiba-tiba saja--semacam terjadi ketersingkapan--aku mendakumu, "Kau adalah Laylaku". Setelah itu, aku menimbang lagi, "benarkah? Benarkah ia Laylaku yang selama ini aku cari? Benarkah dia adalah permataku yang hilang? Matahariku yang selama ini terbenam entah kemana? Benarkah ia adalah cahaya yang selama ini redup? Benarkah? Benarkah?"
***
Minggu yang terik itu, aku ditemani oleh pikiran-pikiran itu, semacam sikap skeptis terhadap pertimbangan diri sendiri, bukankah itu mengerikan? Sungguh, bagiku itu sangat mengerikan, di mana aku sendiri meragukan diriku sendiri, meragukan pertimbangan dan penilaianku sendiri? Padahal, bukankah aku sendiri adalah aku yang memiliki aku, mengapa aku tidak yakin terhadap aku sendiri? Justru ragulah yang membayangi.
Minggu yang terik itu, aku ditemani oleh pikiran-pikiran itu, semacam sikap skeptis terhadap pertimbangan diri sendiri, bukankah itu mengerikan? Sungguh, bagiku itu sangat mengerikan, di mana aku sendiri meragukan diriku sendiri, meragukan pertimbangan dan penilaianku sendiri? Padahal, bukankah aku sendiri adalah aku yang memiliki aku, mengapa aku tidak yakin terhadap aku sendiri? Justru ragulah yang membayangi.
Akhirnya aku mencoba hati-hati, memberi jarak terhadap pertimbangan ini. Hingga akhirnya aku memosisikanmu sebagai: antara Layla dan bukan-Layla. Bukan tanpa alasan aku memosisikan dirimu. Bukannya aku jahat Layla, bukan. Tapi aku masih dirundung ketakutan dan kegelisahan yang luar biasa, bahwa kau bukanlah Layla yang selama ini aku cari. Aku belajar kepada pengalamanku, bahwa dahulu aku selalu tertipu oleh daya-daya penangkap realitasku, tertipu! Bayangkan aku ditipu oleh diriku sendiri: proyeksiku terhadap orang-lain yang aku anggap sebagai Layla.
Layla, aku minta kau memahami diriku sekarang ini, aku khawatir. Tapi bukannya aku pengecut! Aku ingatkan Layla, bukan, bukan... Aku waspada, memberi jarak, berusaha untuk objektif. Ah, apakah yang objektif itu ada? Dalam hal ini aku pikir itu bukan soal, ini pengalaman subjektif Layla, pengalaman personal. Jadi yang kumaksud dengan objektif bukanlah mencoba menggambarkan dirimu sebagaimana dirimu; itu tidak mungkin Layla. Paling banter yang aku sebut objektif adalah titik singgung antara aku dan kamu yang mewajah. Maaf Layla, aku bingung mengambil kata yang pas, tapi bagiku itu cukup mewakili: mewajah.
Benarkah kau mengerti apa arti mewajah Layla, yang kumaksud mewajah adalah pertemuan antara engkau sebagaimana yang engkau menampakan diri, aku sebagaimana aku tampakan kepadamu. Jadi aku dan kamu yang mewajah bertemu, bertatap satu sama lain, itulah yang dimaksud objektif. Namun ingat Layla, kau yang menampakan diri bukanlah kau yang sepenuhnya, bukan kau yang solid, ajeg, sempurna; karena aku yakin kau masih menyembunyikan misteri yang lebih dalam.
***
Layla, hari minggu itu, hari di mana aku mencoba mengarahkan diriku kepadamu, merupakan hari yang spesial, hari yang berharga bagiku. Ah, gunung emas pun takan pernah dapat membeli hari itu.
Tapi Layla, aku cukup bimbang juga, semacam bimbang tahap kedua. Aku mencoba menerka, apakah kau telah dimiliki oleh Majnunmu? Aduh, aku lupa akan hal ini, aku keburu terperosok lagi oleh fantasmaku lagi. Parah! Tapi tanggung, aku ingin meneruskan perjalanan pertemuan ini, aku akan berusaha mempertemukan wajah kau dengan ku.
Pada hari itu, aku mencoba bergurau kepadamu, karena kupikir setiap orang tak akan menolak gurauan, barangkali seperti itu. Entah kenapa, aku begitu percaya diri pada waktu itu. Bagiku, gurauan itu semacam sambutan laiknya pengembara yang tersesat di hutan, lalu menemukan suatu desa yang terlihat akan memberinya rasa aman. Kau tahu, begitu sumringahnya aku. Betapa tidak, aku haus dan lapar akan kasih dan cinta, selama ini aku tersesat di belantara kesepian, kesendirian yang menusuk. Apakah kau mampu membayangkan hal itu Layla? Aku terlunta-lunta di hutan, ketakutan. Aku takut bahwa besok aku tak lagi hidup, karena sangat kelaparan, lapar yang sangat melilit. Aku takut serigala-serigala keputusasaan menerkamku tiba-tiba, aku takut ular-ular depresi melilitku selagi aku lengah.
Aku berteriak-teriak di hutan itu, "Layla!!! Di mana kau berada! Aku ketakutan, aku kepayahan, aku keletihan, aku butuh pertolongan!" Tapi tahukan Layla, di hutan sana tak ada yang menyahut, burung-burung harapan pun tidak, pohon-pohon kebahagiaan pun tidak--mereka cuma bisa melambai-lambai, betapa teganya pohon-pohon dan burung itu.
Kau tahu Layla, hutan itu begitu gelap dan dingin. Apalagi ketika malam datang. Bulan kenyamanan malah menyembunyikan diri entah di mana, ia tidak menerangiku sama sekali. Ternyata, bulan itu sedang tertutupi oleh awan kenistaan, bayang-bayang kengerian malah menutupi sinar itu. Tapi itu tak berlangsung lama Layla, akhirnya dan tiba-tiba angin meniup kengerian itu, angin harapan.
Seketika itu, aku langsung bersyukur dan bersujud, "Tuhanku, terimakasih. Karena Kau telah mengirimkan angin itu, sehingga jalan kesejahteraan jadi tampak. Tak apa, meskipun agak remang-remang, tapi toh aku masih bisa melihat, meskipun harus meraba-raba". Akhirnya aku berjalan, menyusuri jalan setapak itu, jalan cita-cita.
Setelah sekian lama aku menyusuri, akhirnya aku menemukan desa. Tempat tinggalmu Layla, kau nampak sedang termenung di desa itu. Ya Layla, aku melihatmu dari kejauhan, indraku sepertinya telah menangkapmu, meskipun cukup samar-samar. Wangimu telah terendus olehku, meskipun tidak begitu jelas. Tapi, aku percaya bahwa kau sedang di desa itu, kau sedang menungguku Layla, menunggu aku menjemputmu.
"Aku datang Layla, aku akan tiba di sana sebentar lagi" ucapku.
Akhirnya aku menemukan gerbang desa itu, aku melambai-lambai kepada desa itu: semacam salam perdamaian (ini yang kumaksud gurauan itu Layla), bahwa aku akan bermukim di sana. Aku mengira sang penjaga desa telah tersenyum padaku dari kejauhan.
Air mataku tiba-tiba saja mengalir di pipiku. Aku langsung berlari secepat mungkin. Tapi Layla desamu ternyata jauh juga, sampai-sampai aku mengira bahwa aku sedang berlari di tempat. "Tidak-tidak, aku mesti yakin bahwa desa itu bukan ilusi. Lihat, desa itu semakin mendekat" Aku berlari sedemikian cepatnya. Laylaku, tunggulah aku.
Comments
Post a Comment