Fragmen #26 Mengejar Layla Bagian III
Aku melihatmu saat itu, tepat di sore hari yang cerah. Kau sedang berjalan bersama seseorang, bergandengan tangan, dengan khidmat mengobrol tentang suatu hal yang tak pernah aku tahu. Aku hanya dapat melihatmu dari jauh. Kau bergandengan tangan dengannya, melewati ruang dan waktu. Kau nampak riang, kau nampak bahagia. Desir angin tak mengganggu perjalananmu, tak pernah menginterupsi kesibukanmu dengannya.
Aku hanya bisa melihatmu dari jauh, memerhatikan pipimu yang bulat berwarna sawo matang. Matamu bagaikan mata kijang, matamu begitu hitam legam, lenganmu nampak halus, laiknya kain sutra yang baru saja selesai dijahit. Sayang, aku belum pernah merasakan kelembutan itu, menyentuh surga perabaan, belum, aku belum pernah, tapi akankah?
Kau masih berjalan di bawah sorot matahari jingga, yang malu-malu menampakan dirinya sepenuhnya. Sepertinya ia malu melihat kesempurnaanmu, ia tak percaya diri terhadap keindahanmu. Kau masih berjalan menembus masa lalu. Kau berjalan maju melampaui hari ini, mundur ke masa depan. Ruang tiba-tiba menyempit, lalu mengkerut hingga menghilang, diserap kecantikanmu.
Anggur mabuk di hadapanmu, cahaya pun tiba-tiba menjadi gelap. Sang gelap pergi entah kemana, ia pergi mencarimu yang sampai hari ini tak pernah menampakan diri secara langsung kepadaku.
Namamu, aku tak mampu menyebutnya, aku tak kuasa memanggilmu. Siapa namamu? Apakah kau adalah itu? Atau kau adalah ini? Atau justru kau adalah ini sekaligus itu, yang melingkupi segala sesuatu? Apakah kau adalah aku? Mungkin, justru kau adalah sang pemberi nama itu sendiri? Kau adalah sang nama, yang melampaui segala nama yang ada.
Tiba-tiba kau berhenti sejenak, lalu mencoba menatapku. Tatapan itu, matamu yang menyorot itu, menusuk relung jiwa terdalamku. Aku pun melebur, jadi gundukan atom yang tak karuan. Pecah. Membuncah. Akhirnya aku menyatu kembali, menjadi keutuhan, lalu kau hancurkan lagi dengan tatapanmu. Kau pun tersenyum, aku pun berputar, lalu ditarik ke dua arah yang berbeda. Aku pun terpelanting ke belakang dan ke depan. Kini, arah tak lagi ada. Barat, Selatan, Utara, Timur menjadi lebur. Entah menyatu, atau justru hilang, atau barangkali menjadi khaos?
Kau berhenti menatapku, waktu pun tiba-tiba berhenti, waktu pun menyusut menjadi titik-titik yang beriringan tak berbatas. Ruang pun jadi hampa. Ruangan yang ada adalah ruang yang tak beruang. Waktu pun berlari, lalu berjalan, hingga akhirnya diam. Terpaku. Lalu sang waktu pun melahirkan akar. Akarnya mencengkram kuat di atas takdir dan nasib.
Kau masih di sana, diam. Namun, senyummu itu belum hilang. Kau masih tersenyum. Kau masih tersenyum. Tiba-tiba kau menghilang. Aku pun menangis. Tangisku semakin menggila. Kemudian, kau tiba-tiba muncul lagi. Namun, aku masih menangis, semakin menjadi. Akalku sirna, sedikit demi sedikit, bagaikan debu diterpa angin. Bagaikan bungan dandelion yang tersapu angin, jiwaku pun terbang. Terbagi ke dalam pecahan-pecahan kecil. Intuisiku retak, lalu pecah. Tapi aku masih diam, menatap senyummu yang abadi.
***
Layla, aku tak mampu menyebut namamu kali ini. Aku hanya bisa memanggilmu dengan kata pengganti. Tapi kau tak pernah terganti. Hanya saja, aku tak mampu memanggil namamu kali ini.
Kau masih di sana, diam. Namun, senyummu itu belum hilang. Kau masih tersenyum. Kau masih tersenyum. Tiba-tiba kau menghilang. Aku pun menangis. Tangisku semakin menggila. Kemudian, kau tiba-tiba muncul lagi. Namun, aku masih menangis, semakin menjadi. Akalku sirna, sedikit demi sedikit, bagaikan debu diterpa angin. Bagaikan bungan dandelion yang tersapu angin, jiwaku pun terbang. Terbagi ke dalam pecahan-pecahan kecil. Intuisiku retak, lalu pecah. Tapi aku masih diam, menatap senyummu yang abadi.
***
Layla, aku tak mampu menyebut namamu kali ini. Aku hanya bisa memanggilmu dengan kata pengganti. Tapi kau tak pernah terganti. Hanya saja, aku tak mampu memanggil namamu kali ini.
Comments
Post a Comment