Fragmen #29 Mengejar Layla Bagian IV
Layla, aku mendengar keriuhan itu. Sepertinya kau sedang merayakan sesuatu. Aku turut bahagia Layla, meskipun aku hanya bisa merasakan hawa bahagianya saja, bukan bahagia itu sendiri. Layla, aku masih sendirian di sini, bertengger di atas pohon nasib, menunggu daun-daun dan rantingnya patah, berdoa agar batangnya rubuh, menimpa segala kesialan yang aku alami.
Layla, aku di sini sedang melihat kembang api, yang bertebaran di angkasa sana, di atas langit-langit yang memayungimu hari ini. Biru, merah, hijau, dan warna-warna lain sedang menghiburmu di atas sana. Mereka rela di lempar ke atas, lalu meledak. Daging-daging itu berhamburan di sana, darah-darah itu melayang-layang. Semua orang terdengar, berteriak, bersahutan satu sama lain, menepuk tangannya dengan cepat, menjeritkan euphoria bahagia.
Aku di sini hanya bisa melihat pemandangan itu, dari jauh, dari hutan lembab yang dingin ini. Gelap. Hanya ditemani kunang-kunang yang hanya memiliki cahaya temaram. Nyanyian sendu dari burung hantu, adalah teman setia telingaku, jangkrik-jangkrik pun turut menemani nyanyian surgawi itu. Mereka, berusaha menghiburku setiap hari. Mereka, ingin agar aku sekali saja menyunggingkan senyuman. Atau mungkin, sekadar dengusan nafasku yang semakin hari semakin membatu.
Layla, aku di sini, masih menunggu waktu untuk membuka tirainya. Menyibak segala luka dari ruang yang tak pernah menyerahkan dirinya. Ya, luka itu kini telah meruam. Makin parah. Nampak borok. Nanah, mulai bercucuran di dalam luka itu Layla. Dan aku menyebut luka itu dengan nama kerinduan.
Layla, sekilas aku mendengar senyumanmu. Bayangkan! Senyuman, bukan lagi tawa. Aku kini bisa mendengar senyuman. Senyuman, kini memiliki nada. Memiliki simfoninya sendiri. Aku mendengar mu Layla. Begitu jelas, meskipun di tengah kebisingan suara pesta itu. Aku masih bisa mencandra bayanganmu. Meskipun tirai-tirai pemisah, dengan begitu kejamnya, menutupi kita berlapis-lapis.
Laylaku yang begitu jauh, apakah kau masih menyimpan rasa itu? Apakah kerinduan masih betah tinggal dalam dirimu? Aku harap kau masih bisa menjaganya. Tak apa Layla, meskipun kita hanya bisa merindu satu sama lain, aku yakin kita bisa bertatap muka. Meskipun aku tak tahu, kapan waktunya akan tiba. Tapi, Layla, ketidaktahuanku bukan berarti bahwa aku tak berusaha, atau tak berharap. Aku masih menunggu. Jangan salah juga Layla, menunggu bukan suatu hal yang pasif. Menunggu adalah, hal yang paling bijak dalam hidup ini. Betapa tidak? Menunggu adalah membiarkan realitas mereaksi kepada kita. Jadi, bukan kita yang mereaksi, tapi alam itu sendiri. Menunggu adalah, usaha untuk membiarkan alam semesta ini, berbicara atas nama dirinya. Menunggu adalah, membiarkan alam menelanjangi dirinya. Dengan sikap itu, kita bagaikan Raja. Kita bagaikan Tuan. Seorang Tuan tak membutuhkan budaknya, tapi budak akan selalu membutuhkan Tuannya. Karena kebutuhan tersebut, sang budak akan memberikan apapun kepada Tuan, agar ia dilindungi. Tentu, tahap reaksi pertama adalah sang budak terlebih dahulu, lalu sang Tuan kemudian. Jangan lupa juga Layla, ketika sang Tuan diberi, ia memiliki kebebasan untuk merespon pemberiannya atau justru menolak dan membuang pemberian itu. Bukankah itu menakjubkan Layla. Aku pun begitu Layla, atau barangkali berusaha menjadi laiknya Tuan.
Layla, hari ini adalah hari terbaik dalam hidupku, karena aku bisa merasakan kebahagiaan itu. Pesta itu. Yang sedangkan kau rayakan saat ini. Ah Layla, aku tak bisa berkata apapun, ketika melihat cahaya-cahaya pesta itu. Aku tak bisa menggerakkan, barang satu hari pun untuk merespon nuansa itu, nuansa kesenangan yang kau perlihatkan di sana. Di tempat yang jauh itu.
Comments
Post a Comment