Fragmen #33 Tentang Kekecewaan

Akhir-akhir ini aku begitu membenci manusia. Setiap kali aku gantungkan harapanku pada seseorang, malah kekecewaan yang aku dapati. Entahlah, apakah memang begitu aturan mainnya. Maksudku, apakah kecewa merupakan fakta dari relasi kita dengan manusia lainnya? Aku tak pernah tahu. Sampai sekarang aku belum berani menjawabnya. Karena aku begitu takut. Aku takut jika memang itulah fakta sebenernya.
Aku mencoba berpikir seoptimis mungkin, mungkin ada orang yang bisa aku andalkan untuk digantungi harapan. Tapi sampai sekarang aku belum menemukan orang itu. Yang aku temukan hanyalah orang-orang yang hanya peduli pada diri mereka sendiri. Orang-orang yang pura-pura peduli terhadap harapanku, padahal mereka hanya mengambil keuntungan darinya, sampai saat ketika keuntungan tak ada lagi di dalam diriku, mereka akan pergi dan menghilang tanpa jejak, lalu menyisakan ampas yang tak berharga: kekecewaan.
Aku juga bingung mesti berbuat apa sekarang. Karena tak ada lagi tumpuan lain selain manusia-manusia itu, manusia-manusia egois yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Akhirnya aku terpaksa meanggantungkan harapanku lagi kepada mereka, lalu akhirnya aku pun mendapatkan kekecewaan lagi. Lagi dan lagi. Begitu terus.
Sepi. Itulah kondisi yang aku alami sekarang. Aku merasa kesepian, aku merasa sendirian. Aku tak bisa melihat orang lain lagi di sekitarku, aku tak bisa mendengar lagi keriuhan keberadaan orang lain. Semua orang tiba-tiba sirna dari horizonku. Tak ada yang tersisa kecuali keheningan dan kemurungan.
Akhirnya aku sampai pada pertanyaan, apakah hidup ini layak dijalani atau tidak? Bagiku makna hidup merupakan penyebab seseorang menjalani hidupnya. Namun, jika makna itu telah hilang, mau apalagi? Untuk apa hidup ini diteruskan jika hidup ini hampa arti? Hidup yang tak bermakna tak layak lagi dijalani, tak perlu untuk diteruskan. Satu-satunya jalan adalah menyudahi segalanya.
Aku pikir kesepian adalah titik nadir dari ketakbermaknaan hidup. Kita tahu, manusia tak mungkin hidup tanpa manusia lainnya. Dan rasa percaya adalah motor penggerak dari cara kita berhubungan dengan orang lain. Tapi, jika rasa percaya telah hilang, bagaimana kita masih bisa hidup dengan orang lain? Bayangkan saja, kita menjalin hubugan dengan orang lain, tanpa ada rasa percaya sedikitpun pada mereka. Bukankah itu mengerikan? Bagiku itu sangat mengerikan. Bagiku, setiap orang mestinya saling peduli satu sama lain. Saling meluruhkan egoisme masing-masing. Tapi, apa yang aku alami? Sama sekali tak ada rasa peduli itu, sama sekali tak ada rasa solidaritas itu, yang ada hanya ketamakan dan kecongkakkan. Atau mungkin buka tak ada, tapi belum menemukan.
Jujur, aku pernah menaruh harapan pada seseorang. Aku begitu percaya pada orang itu. Sampai-sampai aku pikir, tak ada orang lain selain dia yang bisa aku percayai. Tapi, semuanya hancur berantakan. Orang yang aku percayai, ternyata merobek segala harapanku, lalu ia membuangnya ke keranjang sampah. Harapanku, diludahi dan diinjak-injak. Harapanku, tak berharga di hadapannya. Dengan begitu mudahnya, ia membuang segalanya. Awalnya, aku tak percaya hal itu benar-benar terjadi, bahkan beberapa saat aku berpikir bahwa itu hanya halusinasi, atau mungkin semacam delusi yang tiba-tiba muncul di dalam kepalaku. Aku kira itu cuma mimpi buruk. Namun, justru perasaan itulah yang mimpi. Perasaan bahwa kejadian itu cuma mimpi, itulah mimpi sebenarnya. Yang sebenarnya terjadi adalah pemancungan kepercayaan. Yang sebenarnya terjadi adalah upacara pemenggalan harapan dan cita-cita. Yang sebenarnya terjadi adalah hukuman mati terhadap kepedulian.
Mungkin, ini yang membuat aku tak percaya kepada orang lain. Mungkin semacam trauma. Tapi aku tak mau, sampai menganggap bahwa semua orang sama. Aku tak mau menggeneralisir pengalamanku ini kepada orang lain. Aku masih percaya bahwa ada orang lain di luar sana, yang bisa aku percayai. Tapi siapa? Entahlah aku belum menemukannya. Atau justru tak ada? Mungkinkah bahwa orang yang dapat dipercayai itu hanya ada di dalam imaninasiku sendiri? Lagi-lagi aku menyadari bahwa aku sendirian, di sini di tengah rimba raya absurditas. Sendirian menjalani hidup tanpa sandaran sedikitpun. Aku terlunta-lunta sekarang. Bingung. Kehilangan arah. Aku mesti ke mana? Jujur, aku butuh orang lain, aku pun butuh sandaran. Aku tak mampu menjalani hidup ini sendirian. Dan aku pikir semua orang pun begitu. Setiap orang, tak bisa hidup sendirian. Tapi, aku tak setega mereka yang malah menjadi parasit bagi orang lain. Dalam artian, mereka hidup dengan cara memanfaatkan orang lain. Mereka membutuhka orang lain, sejauh orang lain itu dpaat bermanfaat, jika habis manfaatnya, maka... Kau tahu sendiri apa yang terjadi. Aku tak pernah sudi nenjalani hidul seperti itu. Yang aku mau hanya satu, hidup bersama orang lain yang sama-sama peduli, tanpa menjadi parasit satu sama lain.
Persetan dengan jargon-jargon heroik yang mengatasnamakan kepedulian. Jargon pada akhirnya hanya sekedar jargon. Jargon itu pada akhirnya hanya menjadi topeng bagi ketamakan. Topeng itu sebenarnya hanyalah realitas seolah-olah. Semu. Tidak nyata. Hanya kepalsuan. Aku hanya ingin orang yang jujur dan setia. Tanpa pamrih.
Aku pun sadar, bahwa aku pun mesti melakukan hal itu. Aku tak mau egois, aku tak mau hanya orang lain yang mesti seperi itu, tanpa memedulika aku sendiri. Aku pun harus menjadi seperti itu. Menjadi orang yang peduli. Menjadi orang yang pantas digantungkan harapan bagi orang lain.
Yang sekarang aku inginkan adalah makna hidup. Aku tak mau berakhir mati di tiang gantungan. Aku tak mau menyerah pada kematian itu sendiri. Aku hanya berharap ada orang yang bersedia menjadi makna bagi hidupku. Menjadi sumber segala harapanku.
***
Mugkinkah orang semacam itu ada? Mungkin tak ada. Mungkin juga ada. Tapi sebentar. Barangkali, letak kekecewaan ku sebenarnya berasal dari diriku sendiri. Jangan-jangan yang mesti aku lakukan sebenarnya adalah mengamini bahwa orang lain itu adalah neraka. Maksudku, tugasku hanya satu, yakni mengakui bahwa kesendirian adalah hakikat dari hidup ini. Kesepian adalah arus kehidupan itu sendiri. Jadi dolusinya sederhana, aku hanya perlu menerima kenyataan. Tanpa mesti bermimpi bahwa ada orang lain yang patut diandalkan. Aku hanya perlu dengan berani menjalani hidup ini sendirian. Aku hanya perlu membunuh segala delusi tentang kepedulian atau harapan-harapan itu. Barangkali, aku cuma berkhayal, menganggap bahwa kekecewaan bisa dihilangkan. Akhirnya kita mesti sadar, bahwa kecewa itu pasti hadir dan akan hadir, menemani perjalanan hidup kita.

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra