Fragmen #34 Mengejar Layla Bagian V
Aku memandang bayangmu hari ini. Di tengah hujan deras, di bawah awan hitam yang menggulung diangkasa. Kau masih nampak manis seperti dulu. Kau masih perempuan yang aku kenal. Perempuan yang kuat, perempuan yang tak pernah menyerah pada waktu.
Kini aku duduk termenung di bawah hujan, tak peduli tubuhku yang basah kuyub.
Aku tahu, begitu bodohnya aku karena telah meninggalkanmu waktu itu. Membiarkanmu terluka. Membuatmu sedih. Meninggalkanmu dalam kesepian. Aku tahu, bahwa aku begitu tolol, dengan tega merelakanmu pada awan gelap itu. Menyerahkanmu pada kecamuk kemalangan.
Kini aku menginginkanmu sayangku. Aku rela menunggumu. Di sini. Di atas bara api yang membakar kulit-kulit ku. Aku rela menyerahkan jantungku untuk dimakan belatung-belatung itu. Biarkanlah darah ini mengucur sayangku, karena ini belum seberapa. Luka ini. Penderitaan ini takkan pernah sepadan dengan apa yang kau alami dulu.
Apakah aku telah menghapus cantikmu manis? Aku harap wajah yang cantik tu tetap setia bertengger di dalam dirimu. Aku harap kau masih memiliki keabadian itu. Aku harap kau masih memelihara kesucianmu itu.
Manisku, aku di sini diam tak berdaya. Mencoba menyiksa diriku sendiri namun tak bisa. Rasa sakit telah pergi dari tubuhku. Mereka sengaja melakukan itu agar aku benar-benar tersiksa. Mereka tahu, bahwa rasa sakit yang akan aku alami, tak mampu menebus dosaku padamu. Kini aku berharap akan ampunan mu sayang. Aku berharap, kebaikan yang ada dalam tubuhmu masih mengalir deras.
Apakah kau membenciku sayang? Apakah kau tak mau lagi menghadapkan wajahmu padaku? Manisku, dengan wajah nanap aku berlutut padamu. Meminta agar pintu hatimu terbuka kembali. Tapi pantaskah sayang? Apakah diriku yang hina ini masih pantas diberi kesempatan? Pantaskah tubuh yang kotor dan bernoda ini diperbolehkan memasuki dunia surgawimu?
Setidaknya aku sadar diri. Setidaknya aku masih menghargai kehormatanmu. Aku tak mau jika aku malah menyakitimu kembali. Tapi aku tak mau kau pergi. Aku tak mau kau membiarkanku di sini sendirian. Sepi rasanya. Aku takut kesepian. Aku butuh engkau sayang.
Balutan nafas mencekik leherku, menahan jiwa yang rapuh ini. Membelenggu kebebasan yang mestinya dibiarkan lari dan bermain di tengah alam raya ini. Aku tak mampu lagi bernafas sayang, oksigen kini tak sudi lagi aku hirup. Tak berkenan untuk diproses oleh paru-paruku. Kini semua meninggalkan ku. Mereka semua marah atas apa yang aku lakukan dulu padamu sayang. Kini aku terseok-seok di bawah hujan darah yang bau amis. Dimahkotai daging bangkai babi yang busuk.
***
Sudikah jika aku memandangmu barang sedetik saja? Kau adalah nafasku, penentu kehidupan ku. Sumber segala sesuatu. Aku akan kembali padamu sayang. Meskipun entah kapan waktunya. Aku akan mencintaimu lagi. Aku akan menyayangimu lagi. Selamanya.
Aku tak mau mengkhianatimu lagi. Aku sungguh-sungguh menyesal sayang. Aku masih menunggu wajahmu kembali ke peredaran mataku. Aku tak sudi jika orang lain yang mengisinya. Aku tak kuasa membayangkan jika itu terjadi.
Aku mohon sayang, beri aku kesempatan lagi. Aku berjanji, tak akan mengkhianatimu. Di sini aku begitu tersiksa, oleh harapanku sendiri. Bayanganmu selalu hadir dalam jiwaku. Jiwa ini, tak layak dimasuki orang lain kecuali engkau manisku. Kapan kau akan kembali sayang? Kapan? Aku tak kuasa menahan derai air mata yang sudah tak terbendung ini. Aku hanya ingin kau...
Manisku, jika kau sempat membaca ini, berarti aku sedang diseret takdir menuju nerakanya. Dibiarkan menangis dan menjerit. Tak diberi ampun sedikit pun oleh sang nasib. Tapi aku sedang berusaha keluar dari penjara ini sayang. Untuk kembali ke haribaanmu.
***
Lagi-lagi aku tak mampu menyebut namamu di dalam tulisan ini Layla.
20 November 2017
Comments
Post a Comment