Fragmen #41 Tentang Mencintai Hidup

Aku mencintai manusia yang mencintai kehidupan, bukan manusia yang menolak hidup, dengan mengatas namakan realitas adi-duniawi. Manusia pecinta hidup ini begitu anggun, tangguh dan afirmatif terhadap dunia ini. Mereka berani, bukan pengecut laiknya manusia-manusia dekaden pemuja transendensi dan supranatural.
Terlalu banyak manusia tolol yang menganulir dunia ini, dunia konkret ini, dunia kontradiktif ini. Ah, mereka hanya para penyembah realitas delusional, pantas saja begitu. Namun anehnya mereka bangga dengan hal itu, bahkan memujanya. Mereka bersedia diperbudak oleh konsepsi mereka sendiri. Mereka patuh. Mereka bahkan tak bersaya jika konsepsi itu dihilangkan, atau digoncangkan. Dengan berani aku katakan, mereka adalah orang-orang yang bodoh dan munafik terhadap realitas. Mereka adalah peselingkuh sejati, karena mereka lebih mencintai konsepsi yang ilusif mereka sendiri, ketimbang mencintai kehidupan atau realitas itu sendiri. Mereka hanyalah orang-orang sadistik, yang begitu lemah, sehingga tak tahan dengan ketegangan, paradoks dan kontradiksi yang menggeliat di realitas sana. Ya, pada akhirnya ini adalah persoalan mental. Mental yang kuat atau mental yang lemah. Ini semua adalah pilihan, bagi orang-orang yang hidup dalam keterlemparan. Tapi, kita tahu, bahwa keterlemparan itu sendiri.adalah keniscayaan bagi sang manusia. Meskipun, kita sadar juga, bahwa manusia-manusia ini seringkali lupa akan keniscayaan tersebut.
Mereka seringkali mengklaim diri sebagai pemuja kebenaran. Maka aku tandaskan sekarang, bahwa aku adalah pengutuk kebenaran, sejauh kebenaean itu dikonsepsikan sebagaimana mata-mata para kaum dekaden. Aku tak butuh kebenaran sampah semacam itu. Aku tak sudi dijilat sekalipun, oleh kebenaran yang mirip belatung yang ringkih itu. Memang, ini semua bukan salah kebenaran, tapi mental-mental manusia-manusianya lah yang bermasalah. Mereka sakit, namun mereka tak sadar. Maklum, mereka telah terbius oleh narkose yang melumat mereka ke dalam batin-batin neurotik yang menyesatkan. Mereka dibuai oleh kedipan-kedipan kegelapan, yang membuat mereka lumpuh dan membuat mereka bisu. Kebutaan pun menyergap mereka. Buta akan realitas yang kaya, yang unik, yang tak pernah tunduk pada jaring-jaring konsepsi dari manusia.
Yang aku tawarkan ini bukanlah sebuah pasifitas, atau bentuk kependetaan atau kebiaraan. Tapi suatu bentuk sopan santun dihadapan kebenaran itu sendiri. Sikap terhormat, laiknya para aristokrat yang mampu bersikap secara mulia, tanpa merendahkan harga diri, di hadapan kebenaran dan realitas.
Tapi sayang sekali, tawaranku ini selalu disalahpami. Bahkan tak jarang diselewengkan menjadi bentuk dekadensi baru. Wajar saja, bentuk penyelewengan itu hanya hadir dari jiwa-jiwa miskin, impoten, dan loyo. Butuh ketangguhan dalam memahami tawaranku ini. Butuh keberanian dan tanggung jawab kaum bangsawan. Tentu saja, hal ini tak akan sampai pada orang-orang budak. Aku mewajarkan hal ini. Tak apa.
Hanya orang-orang non-reaktif yang mampu memahami hal ini. Berbeda halnya dengan orang-orang reaktif yang sama sekali tak akan paham, dan tak akan mengerti muatiara tawaranku ini. Ya, saking bodohnya, orang-orang bermental lemah itu menganggap mutiaraku ini hanya akan dianggap batu biasa, yang konon pemuja kebenaran itu. Akhirnya, aku juga cukup kelelahan dengan sikap mereka. Tapi apa daya, sekali lagi aku tegaskan, mereka tak akan mengerti.

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra