4 Maret 2018
4
Maret 2018
Hari
ini, di Minggu yang memelas, aku mendengar kabar bahwa salah satu organisasi
yang ada di Universitasku, akan mengadakan sebuah acara. Acara itu dinamai
acara recital. Aku sebenarnya belum pernah menghadiri acara ini, yang katanya acara
ini digelar setiap tahun sekali, ya semacam aku tak pernah menggaruk kepalaku
dengan kakiku sendiri, aku belum pernah melakukannya! Namun, hari itu aku tahu,
tapi info itu bukan turun laiknya Ilham yang hadir, karena aku akui sendiri aku
bukanlah orang saleh—coba sebutkan, apakah ada orang soleh yang menggemari
JKT48 dan film Dilan? Coba cari saja di laman pencarian google, pasti google
tak tahu. Info itu dibisikkan oleh kawanku, yang kebetulan hari itu sedang
bersamaku di secretariat, yang biasanya aku tinggali seharian, seusai
menyelesaikan acara diskusi.
“Kau
tahu, organisasi itu akan menggelar acara recital” bisik kawanku, dengan wajah
kusut yang tak karuan, laiknya cucian baju yang tak dicuci selama seminggu.
“Benarkah?”
Teriakku kaget.
“Mengapa
kau begitu kaget?” tanyanya.
“Tidak,
aku hanya kaget karena kau berbisik” kawanku heran dengan sikapku yang agak
idiot itu, akhirnya ia bungkam selama setengah jam, dan tak membahas lagi acara
itu.
Setelah
itu, apa yang tiba-tiba muncul di benakku adalah aku bisa bertemu, atau mungkin
tidak, tapi aku bisa menatapmu dari jauh. Ingat, ungkapanku ini bukan ungkapan
laiknya dialog-dialog sinetron alay yang
sering ditayangkan sore hari, ketika anak-anak SD pulang sekolah. Ungkapanku
ini murni hadir begitu saja, tanpa ada alasan apapun.
Aku
piker, hari itu adalah momen di mana aku bisa mengakui identitasku lagi padamu,
mungkin kau tahu maksudnya, yakni mengakui bahwa aku masih homo. Barangkali kau
masih ingat, bahwa aku pernah mengirimimu direct
message via Instagram, empat hari yang lalu. Saat itu, adalah momen terbaik
untuk melakukan itu, karena jika tidak mamaku tak akan perah bangga dengan
diriku, bahkan semut-semut peliharaanku tak akan lagi menyapaku jika tau bahwa
aku tak melakukan hal ini. Ah, mungkin kau tak akan percaya bahwa aku
memelihara semut, tapi percayalah aku memelihara mereka. Buktinya mereka
tersebar di setiap sudut rumahku.
***
Jam
akhirnya menunjukan pukul 13.00 wib, ternyata langit malah mendung, lalu ketika
aku sudah siap untuk berangkat, hujan malah turun. Entahlah, apa maksud dari
awan, apakah dia cemburu, atau dia hanya ingin aku tak memenuhi janji pada
diriku sendiri, atau dia hanya ingin membuat mamaku marah padaku. Siapa yang
tahu? Tapi, saat itu aku berpikir bahwa langit sama sekali tak memihak padaku.
Jika saja langit itu laki-laki dan dia adalah heteroseksual, maka saat itu juga
aku akan mencium pipinya, karena aku pikir dia akan muntah jika aku
melakukannya. Untung saja, langit tak memiliki jenis kelamin, dan jika pun dia
memilikinya, bagaimana mungkin aku dapat mencapai langit. Dari situlah aku
sadar bahwa aku adalah orang tolol.
Akhirnya
aku mesti menunggu hujan reda, dan akhirnya setelah setengah jam berlalu, hujan
pun berhenti. Aku langsung berkemas saat itu juga, karena khawatir kau sudah
turun panggung. Akhirnya aku pun berlari, dari gedung student centre menuju Aula Lama (mahasiswa UIN biasanya menyebut Aula
Abdjan Soelaiman dengan nama itu), namun kakiku diwakili oleh sepeda motor.
Ternyata
informasi itu benar, Resital itu digelar. Aku pun masuk Aula lama, dan berusaha
mencarimu, namun kau tak Nampak ketika aku masuk. Awalnya aku berpikir, bahwa
aku takkan mungkin bertemu denganmu. Aku kecewa, dengan hujan dan langit, namun
tidak denganmu. Karena kau tidak salah, yang salah adalah… Aku tidak tahu,
mungkin aku yang salah, atau justru kuda Nil di Australia yang salah, karena ia
tak pernah berhenti mandi di sungai (akhirnya, ketidak jelasanku muncul).
Aku
pun pergi ke lantai dua, lalu menonton acara music. Ternyata beberapa anggota
PSM ada yang cukup tampan (sial, kambuh lagi, dan lagi).
Aku
menonton setiap penampilan yang hadir, sambal berharap kau hadir di panggung
itu. Dan, ternyata benar kau hadir, aku menatapmu dari jauh. Tapi tak sulit
untuk menemukanmu di antara barisan itu. Aku senang karena bisa melihatmu,
meskipun kita belum bertatap muka. Kau pun menyanyi dari jauh. Jujur, aku sulit
mendengar suaramu, karena tertutup oleh suara-suara orang lainnya, namun aku
tetap menikmati hal itu.
Namun,
aku agak aneh dan heran. Aku merasa ada yang salah denganmu, seolah kau sedang
khawatir akan sesuatu, hal itu Nampak jelas dari matamu. Lalu, hal itu Nampak dari
gerak-gerikmu di atas panggung, yang bagiku cukup ganjil. Aku berpikir, ada apa
denganmu, apakah ada yang salah, bahkan kau Nampak sedih. Hingga, akhirnya
acara pun selesai, aku turun dari lantai dua, lalu pembawa acara bilang, bahwa
setiap kerabat boleh naik ke panggung dan menyalami para penyanyi. Jujur saja,
aku tak memiliki kerabat sama sekali, hanya kau yang aku kenal, itu pun aku
merasa aneh, karena kita baru pertama kali bertemu, dan aku baru sekali
menghubungimu itu pun hanya dua kali balasan dalam pesan singkat. Awalnya, aku
ingin mengurungkan niatku untuk menyalamimu di panggung, sampai akhirnya aku pikir
kapan lagi aku memiliki kesempatan ini?
Akhirnya
aku memberanikan diri, dan aku pun bertemu denganmu.
“Hai
teh, masih ingat aku?” tanyaku.
Kau
memasang wajah tanya, namun wajahmu Nampak ramah.
“Siapa
ya?” tanyamu.
“Aku
yang sewaktu itu pernah mengobrol denganmu teh”
“Ooo
yang homo ya” kau pun tertawa, aku pikir kau mengingatku.
“Polos
banget sih kamu” ucap kawan
sebelahmu.
“Emang
dia yang bilang gitu” timpalmu.
Aku
pun mengiyakan, “Memang betul teh”
aku tersenyum, dan kau masih memasang wajah ramah.
Setelah
bertemu denganmu dalam detik yang singkat itu, aku pun langsung melompat keluar
barisan dan keluar dari Aula. Dan kau tahu, ternyata ramalanku benar, bahwa aku
benar mengaku homo ketika aku bertemu lagi denganmu. Jujur, aku senang bukan
main, karena aku bisa menepati janjiku. Akhirnya mamaku akan bangga melahirkan
aku.
***
Di
luar Aula lama, aku mengobrol dengan kawanku. Lalu, aku pergi ke kamar mandi di
dalam Aula lama. Setelah keluar dari kamar mandi, secara kebetulan aku
berpapasan denganmu.
“Hai
teh” Aku menyapa lagi.
Kau
menjulurkan lenganmu ke bahuku. Dan kau merekahkan senyum. Namun, aku
kesenanganku berhenti saat itu. Waktu tiba-tiba melambat, begitu lambat, bahkan
hampir-hampir setiap gerak dalam ruang itu berhenti seketika. Aku melihat
wajahmu. Kau ternyata menangis.
Matamu
sembab, merah karena air mata yang keluar dari kedua matamu. Tapi kau seperti
sedang menahan wajah riang dan ramahmu itu.
“Kenapa
teh?” Aku tanya kau.
“Enggak”
jawabmu, senggukanmu terdengar dengan jelas.
“Mencari
apa teh?”
“Aku
mencari kawan jurnalistikku” jawabmu.
“Kalau
tak salah, aku tadi melihatnya, dia mengenakan hijab warna abu-abu kan?”
Kau
tiba-tiba menoleh ke samping, lalu menunjuk seseorang. “Itu mereka” ucapmu,
agak girang.
Kau
pun dihampiri oleh kawan-kawanmu, lalu mereka bertanya tentang keberadaanmu
sedari tadi.
Aku
masih di tempat itu, memerhatikan, namun sedikit demi sedikit agak menjauh,
karena khawatir akan merusak suasana kehatanganmu bersama kawanmu itu. Aku pun
pergi dan menjauh dari lokasi itu, dan aku melihat kau pun pergi.
***
Ketika
aku mulai melangkahkan kakiku untuk pergi dan kembali ke gedung student centre, aku melihatmu sedang
bercengkrama dengan kawan-kawanmu, aku sempat menatap kalian beberapa saat,
sampai akhirnya aku pergi meninggalkan tempat itu.
Setelah
menyelesaikan urusanku di gedung itu, aku pun berniat pergi ke salah satu café yang
ada di sekitar Cibiru. Menariknya, dan secara kebetulan, ketika aku melewati
Aula lama, aku melihatmu masih di tempat yang sama. Aku agak melambatkan motorku,
aku mengendarai motor saat itu, dan mencoba melihatmu dari jauh, mungkin kau
tak sadar, dan aku yakin kau memang tidak sadar akan keberadaanku saat itu,
karena jarak kita cukup jauh. Aku pun meninggalkan kampus.
Sudah
dulu, nanti kita lanjut di cerita selanjutnya.
Comments
Post a Comment