Tentang Kematian dan Pengalamannya
![]() |
Gambar diambil dari: http://www.innovationmanagement.se/2014/10/27/the-death-of-innovation-crowdsourcing-as-we-know-it/ |
Malam tadi, 14 Mei 2018, sekitar pukul sepuluh malam, Vini mengabari bahwa ibu dari kawanku, Taufik atau Emul, telah meninggal dunia. Malam itu, kebetulan aku baru saja tiba di rumah, setelah melewati hari yang cukup panjang, melawat kawanku yang pada hari itu merayakan kelulusannya dari universitas. Siang itu aku cukup senang, begitu pula yang lain, sampai malam itu kami dirundung duka.
Emul adalah salah satu kawan seperjuangan kami dalam dunia literasi di kampus, kita sering melakukan diskusi, bahwa seringkali berdebat perihal peradaban, dimulai dari pembicaraan filsafat, sosial, politik, hingga hal remeh temeh.
***
Seketika aku terdiam cukup lama. Kemudian, aku jadi ingat kembali soal ayah. Ayahku telah meninggal lebih dahulu, tepatnya ketika aku baru saja masuk sekolah menengah pertama. Lamunanku mengawang menuju pengalaman ditinggalkan. Pengalaman itu begitu menyakitkan, sekaligus sangat aku benci. Pengalaman akan kematian itu begitu melelahkan, karena kita mesti bersedih, kita mesti bergulat dengan duka, dan terlilit oleh kesedihan.
Tentang mengapa kita benci, jelas sekali, jawabannya terletak di pengalaman itu yang tiba-tiba saja hadir tak terkira. Ia tiba-tiba melesat begitu saja, tanpa ada kode atau aba-aba terlebih dahulu. Ia langsung hadir tanpa nyana, dan itu sungguh memuakkan. Meskipun memang, pengalaman manusia semuanya hadir secara tiba-tiba, namun pengalaman kematian sangat berbeda dengan pengalaman lainnya. Barangkali, pengalaman ini merupakan retakan dari kehidupan yang tiba-tiba meledak, dan ledakan ini begitu dalam juga begitu bombastis. Beda halnya dengan pengalaman kesenangan, yang efek ledakannya tak begitu hebat.
Mungkin semacam ada hirarki ledakan realitas di sini. Itulah yang terjadi. Pengalaman kematian selalu menuntut kita untuk mempertanyakan kehidupan, itulah titik perbedaan yang paling jelas, antara pengalaman kematian dan pengalaman yang lainnya. Kita tiba-tiba mempertanyakan arti dan juga makna, sekaligus tujuan untuk apa kita hidup. Juga kita turut serta mempertanyakan makna dan kehidupan orang lain. Heidegger benar, ketika ia bilang bahwa Das Sein (baca: penyebutan terhadap manusia yang memiliki makna yang berbeda dengan pemahaman umum) merupakan entitas yang berada menuju kematian. Betul, mahluk lain pun mengalami kematian, namun manusia berbeda, karena manusia selalu mempertanyakan keberadaannya sebagai salah satu ada, dari adaan-adaan lainnya. Ia bisa mencari tentang hakikat ada, meskipun hakikat itu sendiri selalu tak terjaring, licin dan tertangkap. Kematian, merupakan bagian dari fenomena keberadaan manusia, yang mengehentikan aktifitas tanya kita terhadap Ada, demikianlah makna kematian dalam diri manusia, memiliki ciri khasnya sendiri.
Pengalaman akan kematian memang agak langka. Maksudnya, pengalaman kita yang mengalami rasa kehilangan akan orang lain yang mengalami kematian, dan kita merasakan ledakan eksistensial dalam diri kita, merupakan peristiwa yang jarang terjadi. Karena, lihat saja, yang namanya kematian merupakan gejala yang setiap hari terjadi, atau barangkali setiap detik terjadi. Namun, kita tak mengalami pengalaman itu sendiri, rasa akan kehilangan itu sendiri, bahkan tak jarang ketika kita melihat data statistik yang ditampilkan di media massa, kita merasa biasa saja, bahkan hati kita tak terketuk sedikit pun. Atau barangkali, bisa jadi kita membaca kematian orang lain, lalu kita menaruh empati kepada yang tertinggal, namun pengalaman itu masih tak menggugah tanya kepada kita, bisa jadi itu hanya sekadar pengalaman biasa saja, yang tak benar-benar menggedor sanubari kita. Pengalaman akan kematian yang menuntut maknalah, yang merupakan pengalaman otentik, pengalaman eksistensial..
Tak ada yang bisa menghindari pengalaman ini, karena ia hadir tanpa sekehedak kita. Di sinilah, maka kita tahu, bahwa kita ini pasif. Tak ada apa-apanya dihadapan kehidupan ini. Kita tak memiliki apapun, bahkan kehidupan yang melekat pada diri kita pun akan sirna tanpa sebab, secara tiba-tiba. Inilah sisi kengerian dari hidup, ia tak memiliki sopan santun kepada kita, ia tiba-tiba mendobrak laiknya maling, bahkan mirip teroris yang langsung meledakan bom tanpa permisi terlebih dahulu. Demikianlah, dunia ini begitu kejam, tak memiliki rasa iba sedikit pun.
Naas, seringkali kita melupakan akan potensi datangnya pengalaman akan kematian itu. Barangkali karena begitu ngeri, kita redam sedemikian rupa kesadaran kita akan hal tersebut. Entah dengan cara mengganti kesadaran akan hal itu atau dengan cara membalut kesadaran akan kematian itu dengan kesadaran lain, mirip seperti wajah mengerikan yang dipoles, sehingga ia nampak cantik. Meskipun tentu saja, kita tak bisa terus menerus memikirkan akan pengalaman akan kematian ini, karena jika demikian kita tak akan kuat untuk menjalani hidup, tak mungkin, karena pengalaman ini begitu mengerikan.
Kini orang yang telah melahirkan kawanku telah dijemput oleh kematian. Setelah ini, siapa lagi? Tak ada yang tahu. Kematian bagaikan penembak jitu, yang bersembunyi di suatu gedung, dan kita sama sekali tak mengetahui keberadaan mereka. Di sini, kita hanya menunggu giliran bidikan darinya. Dan yang paling mengerikan adalah, setiap orang menjadi target. Sang pembidik ini tak memandang bulu, semuanya kena tembak, dimulai dari jembel sampai Nabi sekalipun, akan direnggut.
Aku hari ini, detik ini, sedang mengalami pengalaman akan kematian itu, meskipun kalau boleh jujur aku tak pernah bertatap muka langsung dengan Ibu Emul. Aku hanya mengenal beliau, hanya lewat telfon dan juga pesan singkat. Tapi perjumpaan tak langsung itu, begitu bermakna bagiku. Karena di setiap percakapan itu, aku mengenal seorang manusia yang peduli terhadap anaknya. Tentu saja, hal itu begitu menyentuh. Begitu manis. Meskipun, pada akhirnya kemanisan itu mesti diakhiri di hari itu, hari kematian, hari di mana segalanya berakhir.
Mungkin hari ini kita yang mengalami pengalaman akan kematian itu. Di masa depan, bisa jadi, kita yang malah menjadi objek dari pengalaman kematian orang lain. Kita di sini, tak bisa juga menganggap bahwa kita pasti akan mati, karena sikap demikian merupakan bentuk peredam kecemasan kita akan kematian. Kecemasan seperti itu tak boleh ditolak, jika kita ingin menjadi manusia yang otentik. Kita mesti berhadapan dengan kematian dan kedatangan kematian dengan tangan terbuka, ia bersifat mungkin dalam kemungkinannya yang takkan pernah dapat terprediksi, karena memang begitulah sifat dari kematian, bukan suatu hal yang 'pasti' namun mungkin. Dengan begitu kita cemas, dengan cemas kita berarti otentik. Demikianlah, kita memaknai kematian, kita mencoba menggali akar dari Ada itu sendiri.
***
Sebagai penutup dari tulisan ini, saya haturkan bela sungkawa, dan turut berduka cita atas meninggalnya Ibu dan Emul. Saya sampaikan juga rasa terimakasih, meskipun aku juga bingung mesti aku berikan kepada siapa, karena beliau telah pergi: Terimakasih atas pengalaman bercakap-cakap di dalam telfon dan pesan singkatnya, percakapan itu begitu hangat dan menghibur.
Ttd
Raja Cahaya
Comments
Post a Comment